“Fira, ayolah makan,” pinta mama saat mereka sekeluarga saat berkumpul di meja makan.
Seperti malam-malam lainnya, makan malam yang dilalui Safira terasa hambar.
Mama, Papa, dan Berliana menatap Safira yang dari tadi memain-mainkan sendoknya di atas piring nasi. Sepertinya baru beberapa suap yang masuk. Karena nasi di piring itu tersisa masih sangat banyak.
Sementara adik dan kedua orang tuanya sudah dari tadi menuntaskan makan malamnya.
Terlalu berat bagiku, menghadapi ini. Aku tak sanggup, ucapnya dalam hati.
Dia tak menyadari permintaan mamanya, karena terlalu larut dalam pikirannya.
“Fira, Sayang. Ayolah makan. Kamu harus kuat. Kamu harus bisa melanjutkan kehidupan,” ucap Papanya.
Nada suara papanya jauh lebih nyaring dibanding mamanya sehingga Safira bisa mendengarnya.
“Iya, Pa…” ucap Safira, dia ingin menyenangkan papanya. “Ini aku, makan,” lanjutnya sembari menyuap nasi. Sekalipun tak berselera, perlahan dia mengunyahnya.
“Nah, gitu dong, Sayang. Kamu perlu energi untuk bisa menuntaskan masalah ini. Kita nggak boleh lemah. Kita harus kuat menjalani ini semua,” mamanya mencoba memberikan energi positif.
“Ma, Pa… Benua sudah pulang. Mungkin dia sudah tahu dari media sosial.”
“Iya, Mama juga udah tahu dan bisa memahami apa yang kamu rasakan sekarang,” kata Sambil melirik ke arah Berliana. Adiknya memang sudah bercerita.
“Tenang, Fira. Kita bisa menghadapi bersama. Nanti Papa akan jelaskan pada Benua.”
“Apa dia masih mau menerimaku dalam kondisi seperti ini, Pa?”
Papa bingung mau menjawabnya. Namun di sisi lain, dia juga tak mau putrinya terus menerus larut dalam kesedihan. Dia ingin Safira bisa segera ‘berdamai’ dengan prahara yang menimpa dirinya.
“Menurut Papa, kamu hanyalah korban. Kamu tidak berzina. Jadi kamu nggak bersalah. Seandainya Benua menyia-nyiakanmu, tak mau menerima kondisimu, Papa yakin ada jalan lain yang terbaik untukmu.”
Mendengar penjelasan papanya, Safira jadi berasumsi, bahwa pernikahan dia dengan Benua sedang terancam.
Tanpa terasa makanan di piring Safira sudah habis. Perkembangan yang jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
Menyaksikan hal itu, Mama semringah, “Alhamdulillah, akhirnya kamu bisa menghabiskannya, Sayang.”
Safira sendiri baru menyadarinya. Dia sendiri tak menyangka bisa menghabiskan makanannya.
“Keren, Kak,” puji Berlian. “Besok dan seterusnya, insya Allah Kakak tetap semangat makan kayak gini ya,” Berlina menyemangati.
“Apa aku harus tutupi apa yang terjadi sebisaku, sampai akad nikah nanti, Pa?”
Sejenak papanya berpikir. Baginya, ini pertanyaan berat. Ditutupi, memang membuat pernikahan Safira dan Benua jadi aman. Tapi bagaimana cara menutupinya, berita tentang Safira sudah viral. Akan sangat sulit untuk menghilangkan jejak digital.
Walaupun seandainya usaha untuk menutupi kejadian ini berhasil, lalu bagaimana nanti saat malam pertama. Tetap saja, Safira akan ketahuan sudah tak gadis lagi. Jika sudah begitu, keluarga tetap akan menanggung malu.
Ya Allah, kuatkan kami melalui ujian ini. Semoga aku dan putriku, bisa mendapatkan hikmah dan pelajaran berharga dari peristiwa ini, ucap papa dalam hati.
“Membina rumah tangga perlu dimulai dengan transparan dari awal. Justru menutupi hal ini juga nanti akan jadi masalah. Ingat, Nak. Allah itu, nggak tidur. Dia pasti memahami apa yang diderita hamba-Nya.”
Safira menunduk. Dia masih merasa belum tenang. Dia belum puas dengan penjelasan papanya.
“Jadi, aku harus siap menerima jika pernikahanku dengan Benua batal?”
“Iya, siap nggak siap harus siap,” ucap Papa pelan.
Meskipun apa yang diucapkan papanya memang benar, tapi tetap saja, ucapan seperti itu sangat menikam hatinya. Bukan ucapan papanya yang membuatnya sakit, tapi perpisahan dengan Benua yang tak pernah terbayangkan olehnya. Benua, dialah cinta pertamanya. Dia tak pernah memberikan hatinya kepada siapa pun kecuali kepada lelaki itu.
Membayangkan hal itu lebih jauh, tubuh Safira lemas. Dia tak berminat untuk melanjutkan lagi obrolannya. Dia hanya ingin sendiri, mengurung diri di kamarnya.
“Pa, Ma... aku duluan ya,” Safira berdiri dan langsung hengkang dari ruang makan.
Papa dan Mama saling berpandangan.
“Banyak berdoa ya. Ya. Baca Al-Quran supaya bisa lebih tenang menghadapi ujian,” ucap mamanya.
Bagi Safira pesan itu sudah biasa ia dengar sedari kecil. Kerap kali kalau dia mengadu kepada mamanya, jika ada masalah, mamanya selalu menyarankan hal itu.
Kalau sedang bersemangat, saran dari mamanya suka dilakukan, dan memang manjur. Namun untuk saat ini, entahlah dia juga bingung harus bagaimana mana. Mungkin nanti jika suasana hatinya jauh lebih baik, dia akan coba ikuti saran mamanya.
“Iya, Ma,” kata Safira singkat seraya menoleh ke arah mamanya. “Makasih ya, Ma.”
Begitu tiba di dalam kamar, tubuhnya kian lunglai. Perasaannya makin kacau. Dia mengunci pintu kamarnya.
Tubuh Safira terkulai di kasur. Dari nakas di samping ranjangnya terdengar panggilan masuk di ponselnya.
Panggilan dari Benua.
Safira galau. Haruskah dia mengangkat panggilan itu?
Tidak… tidak aku belum siap!
Namun di satu sisi, dia pun merasakan rindu, sudah lama dia tak mendengar suara Benua yang baginya cukup dapat meneduhkan hatinya.
Dengan ragu-ragu dia menerima panggilan itu.
“Queen, kamu baik-baik saja kan?” tanya Benua di seberang.
“Iya, aku baik-baik, Ben,” Safira menjawab dengan tenang. Dia ingin mencoba seolah-olah tak terjadi apa-apa pada dirinya.
Semoga kamu tak tahu berita tentangku, Ben, harap Safira dalam hatinya.
“Syukurlah. Aku jadi lega mendengarnya, Queen.”
Aku tak bisa membayangkan responmu, Ben. Seandainya kamu tahu tentangku, gumam Safira dalam hati.
“Queen, aku menunggu respon dan balasan chat, kamu kenapa nggak pernah balas. Aku mengkhawatirkanmu. Aku takut terjadi sesuatu padamu,” ungkap Benua. Suara itu berhenti sejenak. Mungkin menunggu Safira memberikan respon
“Oia, Ben. Gimana kamu sekarang di mana?”
“Aku sekarang sudah di depan rumahmu?”
“Apa?” Safira tak menyangka.
“Iya, aku serius sudah di depan rumah. Kayaknya kamu belum baca pesanku ya…” jawab Benua.
Memang benar, hari ini dia belum membuka pesan apa pun di ponselnya.
Tidak…. Aku harus bagaimana? Kegundahan hati Safira mencapai klimaksnya.
Dia tak kuasa meneruskan obrolannya dengan Benua. Safira putuskan obrolan itu secara sepihak.
Lantas dia segera melangkah ke kamar mandi. Air mata tumpah lagi.
Buru-buru Safira menyalakan keran air sekencang-kencangnya supaya dia bisa menangis sekeras-kerasnya. Dia tak ingin tangisnya terdengar oleh orang tuanya. Dia tak mau orang tuanya makin sedih melihat kondisinya saat ini yang masih belum bisa beranjak dari trauma penodaan yang dialaminya.
Sagara, aku benci kamu. Kenapa kamu hancurin hidupku?! Aku takkan pernah memaafkanmu. Seumur hidupku.
Tangis Safira pecah sejadi-jadinya.
Dia tak tahu perasaan macam apa yang tengah menimpanya saat ini. Pernikahan dengan Benua adalah impian terindahnya. Bagaimana bisa pernikahan yang sudah di depan matanya itu akan kandas begitu saja?
Ya Allah, ampuni dosaku. Ampuni salahku. Astagfirullah… lirih dalam hati kalimat itu dia ucapkan di sela isak tangisnya.
Dalam isak tangisnya dia memandangi dirinya di cermin dengan penuh rasa jijik.
Aku bukan Safira yang suci. Aku kotor!
Tak jauh dari depan cermin itu dia melihat gunting. Dia raih gunting itu dengan tangan gemetar.
Entah mengapa dia merasa jijik melihat penampilannya sendiri saat ini.
Dengan cepat gunting itu dia gunakan untuk memotong rambutnya. Rambut panjangnya yang subur dan bergelombang itu berjatuhan di kamar mandi setelah dipotong-potong secara acak.
Siapa yang bisa menolongku? Tolong angkat semua beban yang menghimpit jiwaku…. Batin Safira meraung.
Bersambung...
Bagaimana kesanmu setelah membaca part ini?
Menurutmu, kira-kira kisahnya dilanjutkan? Kasih masukan di komentar ya...
Makasih banyak supportnya ya...
“Kak, tolong buka, Kak!” suara Berliana terdengar lebih tinggi saat mengetuk-ngetuk kamar Safira.Dia sudah berkali-kali mengucapkan kalimat itu, namun tak kunjung ada respon dari kakaknya.Dia mengkhawatirkan kakaknya, sementara untuk bisa masuk ke kamar pintunya terkunci.“Kak, tolong buka, Kak,” ucap Berliana lagi. Dia mulai cemas. Duuh, Kak, moga-moga aja nggak terjadi apa-apa sama kamu, gumam Berliana.Dari dalam sebenarnya Safira dapat mendengar dengan jelas suara adiknya. Namun dia merasa enggan, sama sekali tak berminat membuka pintu kamar dan menampakkan diri. Terlebih dengan kondisi saat ini, penampilan rambutnya sudah tak jelas.Dia memandangi dirinya di depan cermin, dengan potongan rambut yang sudah pendek.Namun suara adiknya di luar juga masih terus terdengar. Adiknya tak menyerah.Safira berhenti memandangi dirinya di cermin. Dia melangkahmendekati pintu. Akhirnya terpaksa, dia membuka kun
“Hubungan rumah tangga harus dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan,” Safira mengawali. “Aku tahu ini pahit untukku. Tapi aku tidak mau mengecewakanku, sehingga malam ini aku harus berkata apa ada padamu, Ben.”“Ya, aku sepakat,” jawab Benua lugas.“Ben, apa kamu nggak tahu berita viral?” tanya Safira saat dia bersama Benua sudah duduk di kursi halaman rumah. Di samping Safira, Berliana ikut duduk menemani.Kenapa nanya soal berita viral sih, pikir Benua. Nggak ada pertanyaan lain apa? Benua belum memahami alur pembicaraan calon istrinya.“Berita viral apa? Maksud kamu apa?” tanya Benua polos. Dia memang belum paham.Mendengar jawaban seperti itu, Safira menyimpulkan bahwa Benua memang belum mengetahuinya. Mungkin dia belum sempat baca-baca berita di media sosial.Safira menghirup napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan.“Ben, sebelumnya aku mau m
Ya Tuhan, mengapa dunia ini tiba-tiba gelap teramat pekat dan mencekam? Padahal jauh-jauh hari aku sudah merencanakan kebahagiaanku bersamanya. Bersama Queenku...Dunia Ben kini menggelap, lebih gelap dari jutaan malam yang telah dilaluinya. Selama ini, segelap apa pun malam yang dijalaninya, tetap saja indah karena di langit hatinya ada satu bintang, yaitu Safira yang selalu ia sayang setulusnya.Malam itu, Benua termenung sendiri di kamarnya yang gelap tanpa nyala lampu. Dua memang sengaja mematikan lampu di kamarnya.Sekalipun hatinya mencoba untuk tenang menghadapi masalah asmaranya ini, namun jiwanya tetap saja muncul gelisah.Ada hitam yang semakin membesar di dadanya. Jika dibiarkan, tentu kegelapan itu akan memakan cahaya hati dan membuat jiwanya terguncang.Dalam kegalauannya dia memainkan gawai yang tergeletak di nakas di samping tempat tidurnya. Dia meraihnya perlahan dengan rasa malas.Sungguh beberapa hari i
Tiba di kantor polisi, Safira dan ayahnya mengisi buku tamu. Tak lama kemudian keduanya menunggu di ruang besuk.Didampingi seorang sipir, Sagara muncul dengan wajah tertunduk. Sama sekali dia tak berani menatap Safira dan ayahnya.Sementara itu, Safira dan ayahnya tak berkedip sedikit pun memandangi Sagara. Amarah ayah Safira bergolak. Terlebih lagi Safira. Ingin sekali dia memukul-mukul lelaki yang telah menodainya sampai habis tak tersisa.Ayah Sagara yang duduk, dia segera bangkit. Dan langkah cepat, dia memburu Sagara.“Anak kurang ajar!” pekik ayah Safira. Dia menampar dan memukul Sagara berkali-kali. Apa yang dilakukan oleh ayah Safira dihalangi oleh sifir. Sayangnya sifir pun hampir kewalahan menahan kekuatan ayah Sagara yang didorong karena amarahnya yang meledak-ledak.Sagara sekuat mungkin dia menahan rasa sakit, tanpa mengelak sedikit pun. Di
“Mohon Bapak tidak salah paham. Dengarkan dulu penjelasan saya,” kata Ustaz Reza.“Tenang, Pa...” ibu Safira meremas jemari suaminya. “Nggak ada salahnya kita dengerin dulu penjelasan Pak Ustaz.”“Silakan, mau menjelaskan apa?” kata ayah Safira.“Saya bisa paham kondisi Bapak saat ini, karena saya punya anak perempuan. Saya pun pasti sedih dan marah bila anak perempuan saya mengalami kondisi yang tidak seharusnya terjadi seperti yang dihadapi Nak Safira saat ini,” kata Ustaz Reza.“Saya saya sangat terpukul manakala yang melakukan kejahatan atas Nak Safira adalah anak saya. Seandainya saya bisa melaksanakan hukuman yang sesuai syariat Islam atas kasus penodaan terhadap perempuan, saya rela dan bersedia untuk menghukum anak saya saya sendiri dengan hukuman mati biar menjadi pelajar bagi yang lain agar tidak lagi merendahkan seorang wanita.”“Dan sebenarnya Bapak sekeluarga
Safira tak menjawab. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, yang ada hanya lelehan air mata. Ibu Safira paham, air mata putrinya sudah cukup menjawab pertanyaan yang barusan dia lontarkan kepada putrinya.“Ini, liat aja sendiri,” kata Safira kemudian seraya menyerahkan tes pack itu kepada ibunya.“Ya Allah… astagfirullah… Ya Alllah...” ibu Safira menangis sejadi-jadinya. Tangisannya jauh lebih menyayat hati dibandingkan tangisan putrinya.Ayah Safira memegangi kepalanya yang pening.Tak lama kemudian, ibu Safira kehilangan keseimbangan. Dia pun pingsan. Tubuhnya yang lunglai tertahan di pangkuan ayah Safira.“Mama...” Lian tiba-tiba datang. Dia terkejut melihat kondisi mamanya.***Sehari kemudian. Belum reda ‘kejutan pahit’ yang menimpa keluarga Safira, mereka kedatangan tamu, yatu dari keluarga Benua.Orang tua Safira yang dalam kondisi sedih tetap harus tena
“Mama kenapa mendadak begini sih. Sebelum ngomong begini kita harusnya ngobrol dulu,” kata ayah Benua.“Tenang, Pa. Ini bukannya baik untuk anak kita,” ucap ibu Benua santai.“Papa nggak ngerti, baiknya di mana?”Ibu Benua tak membalas pertanyaan itu. Dia merasa santai tanpa ada beban.Berliana sungguh tak menyangka akan ikut terseret dalam pusaran besar yang sungguh rumit ini. Matanya tak berkedip. Dia memandang ibu Benua yang masih tersenyum ke arahnya.Kemudian dia berganti memandang kakaknya yang malam.Safira dan Berliana bertatapan cukup lama. Mereka berusaha saling menyelami perasaan yang menyelimuti di antara mereka berdua.“Bagaimana Bu, Pak… bersedia?”“Maaf, kami lebih baik memilih tidak ada pernikahan sama sekali,” kata ibu Safira.“Iya, lagi pula jika harus menikah dalam waktu dekat, Lian masih harus fokus menyelesaikan ku
“Karena jika aku gagal menikah dengan Benua, di luar sana aku tak yakin dia akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dariku.”Safira menghembuskan napas dalam-dalam.“Sementara jika kamu, aku sudah melihat keseharianmu, melihat segala kebaikanmu, mengikhlaskannya untukmu aku lebih lega ketimbang wanita lain di luaran sana yang tak bisa kupastikan apakah dia wanita baik-baik,” lanjut Safira dengan suara berat.Dia ingin lebih kuat, tak menangis. Namun nyatanya dia tak bisa membendung air mata yang membanjiri pipinya.Dalam kondisi berurai air mata, Safira berdiri.“Aku akan pergi,” ucap Safira.“Mau pergi ke mana?” tanya ayah Safira.“Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin hamil tanpa seorang suami,” ucap Safira.“Ibu belum ngerti, apa rencana kamu, Nak?”“Aku ingin ke kantor polisi, minta kepada pihak kepolisian ag