Share

Bab 7 | Tak Siap Kandas

“Fira, ayolah makan,” pinta mama saat mereka sekeluarga saat berkumpul di meja makan.

Seperti malam-malam lainnya, makan malam yang dilalui Safira terasa hambar.

Mama, Papa, dan Berliana menatap Safira yang dari tadi memain-mainkan sendoknya di atas piring nasi. Sepertinya baru beberapa suap yang masuk. Karena nasi di piring itu tersisa masih sangat banyak.

Sementara adik dan kedua orang tuanya sudah dari tadi menuntaskan makan malamnya.

Terlalu berat bagiku, menghadapi ini. Aku tak sanggup, ucapnya dalam hati.

Dia tak menyadari permintaan mamanya, karena terlalu larut dalam pikirannya.

“Fira, Sayang. Ayolah makan. Kamu harus kuat. Kamu harus bisa melanjutkan kehidupan,” ucap Papanya.

Nada suara papanya jauh lebih nyaring dibanding mamanya sehingga Safira bisa mendengarnya.

“Iya, Pa…” ucap Safira, dia ingin menyenangkan papanya. “Ini aku, makan,” lanjutnya sembari menyuap nasi. Sekalipun tak berselera, perlahan dia mengunyahnya.

“Nah, gitu dong, Sayang. Kamu perlu energi untuk bisa menuntaskan masalah ini. Kita nggak boleh lemah. Kita harus kuat menjalani ini semua,” mamanya mencoba memberikan energi positif.

“Ma, Pa… Benua sudah pulang. Mungkin dia sudah tahu dari media sosial.”

“Iya, Mama juga udah tahu dan bisa memahami apa yang kamu rasakan sekarang,” kata Sambil melirik ke arah Berliana. Adiknya memang sudah bercerita.

“Tenang, Fira. Kita bisa menghadapi bersama. Nanti Papa akan jelaskan pada Benua.”

“Apa dia masih mau menerimaku dalam kondisi seperti ini, Pa?”

Papa bingung mau menjawabnya. Namun di sisi lain, dia juga tak mau putrinya terus menerus larut dalam kesedihan. Dia ingin Safira bisa segera ‘berdamai’ dengan prahara yang menimpa dirinya.

“Menurut Papa, kamu hanyalah korban. Kamu tidak berzina. Jadi kamu nggak bersalah. Seandainya Benua menyia-nyiakanmu, tak mau menerima kondisimu, Papa yakin ada jalan lain yang terbaik untukmu.”

Mendengar penjelasan papanya, Safira jadi berasumsi, bahwa pernikahan dia dengan Benua sedang terancam.

Tanpa terasa makanan di piring Safira sudah habis. Perkembangan yang jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

Menyaksikan hal itu, Mama semringah, “Alhamdulillah, akhirnya kamu bisa menghabiskannya, Sayang.”

Safira sendiri baru menyadarinya. Dia sendiri tak menyangka bisa menghabiskan makanannya.

“Keren, Kak,” puji Berlian. “Besok dan seterusnya, insya Allah Kakak tetap semangat makan kayak gini ya,” Berlina menyemangati.

 “Apa aku harus tutupi apa yang terjadi sebisaku, sampai akad nikah nanti, Pa?”

Sejenak papanya berpikir. Baginya, ini pertanyaan berat. Ditutupi, memang membuat pernikahan Safira dan Benua jadi aman. Tapi bagaimana cara menutupinya, berita tentang Safira sudah viral. Akan sangat sulit untuk menghilangkan jejak digital.

Walaupun seandainya usaha untuk menutupi kejadian ini berhasil, lalu bagaimana nanti saat malam pertama. Tetap saja, Safira akan ketahuan sudah tak gadis lagi. Jika sudah begitu, keluarga tetap akan menanggung malu.

Ya Allah, kuatkan kami melalui ujian ini. Semoga aku dan putriku, bisa mendapatkan hikmah dan pelajaran berharga dari peristiwa ini, ucap papa dalam hati.

“Membina rumah tangga perlu dimulai dengan transparan dari awal. Justru menutupi hal ini juga nanti akan jadi masalah. Ingat, Nak. Allah itu, nggak tidur. Dia pasti memahami apa yang diderita hamba-Nya.”

Safira menunduk. Dia masih merasa belum tenang. Dia belum puas dengan penjelasan papanya.

“Jadi, aku harus siap menerima jika pernikahanku dengan Benua batal?”

“Iya, siap nggak siap harus siap,” ucap Papa pelan.

Meskipun apa yang diucapkan papanya memang benar, tapi tetap saja, ucapan seperti itu sangat menikam hatinya. Bukan ucapan papanya yang membuatnya sakit, tapi perpisahan dengan Benua yang tak pernah terbayangkan olehnya. Benua, dialah cinta pertamanya. Dia tak pernah memberikan hatinya kepada siapa pun kecuali kepada lelaki itu.

Membayangkan hal itu lebih jauh, tubuh Safira lemas. Dia tak berminat untuk melanjutkan lagi obrolannya. Dia hanya ingin sendiri, mengurung diri di kamarnya.

“Pa, Ma... aku duluan ya,” Safira berdiri dan langsung hengkang dari ruang makan.

Papa dan Mama saling berpandangan.

“Banyak berdoa ya. Ya. Baca Al-Quran supaya bisa lebih tenang menghadapi ujian,” ucap mamanya.

Bagi Safira pesan itu sudah biasa ia dengar sedari kecil. Kerap kali kalau dia mengadu kepada mamanya, jika ada masalah, mamanya selalu menyarankan hal itu.

Kalau sedang bersemangat, saran dari mamanya suka dilakukan, dan memang manjur. Namun untuk saat ini, entahlah dia juga bingung harus bagaimana mana. Mungkin nanti jika suasana hatinya jauh lebih baik, dia akan coba ikuti saran mamanya.

“Iya, Ma,” kata Safira singkat seraya menoleh ke arah mamanya. “Makasih ya, Ma.”

Begitu tiba di dalam kamar, tubuhnya kian lunglai. Perasaannya makin kacau. Dia mengunci pintu kamarnya.

Tubuh Safira terkulai di kasur. Dari nakas di samping ranjangnya terdengar panggilan masuk di ponselnya.

Panggilan dari Benua.

Safira galau. Haruskah dia mengangkat panggilan itu?

Tidak… tidak aku belum siap!

Namun di satu sisi, dia pun merasakan rindu, sudah lama dia tak mendengar suara Benua yang baginya cukup dapat meneduhkan hatinya.

Dengan ragu-ragu dia menerima panggilan itu.

“Queen, kamu baik-baik saja kan?” tanya Benua di seberang.

“Iya, aku baik-baik, Ben,” Safira menjawab dengan tenang. Dia ingin mencoba seolah-olah tak terjadi apa-apa pada dirinya.

Semoga kamu tak tahu berita tentangku, Ben, harap Safira dalam hatinya.

“Syukurlah. Aku jadi lega mendengarnya, Queen.”

Aku tak bisa membayangkan responmu, Ben. Seandainya kamu tahu tentangku, gumam Safira dalam hati.

“Queen, aku menunggu respon dan balasan chat, kamu kenapa nggak pernah balas. Aku mengkhawatirkanmu. Aku takut terjadi sesuatu padamu,” ungkap Benua. Suara itu berhenti sejenak. Mungkin menunggu Safira memberikan respon

“Oia, Ben. Gimana kamu sekarang di mana?”

“Aku sekarang sudah di depan rumahmu?”

“Apa?” Safira tak menyangka.

“Iya, aku serius sudah di depan rumah. Kayaknya kamu belum baca pesanku ya…” jawab Benua.

Memang benar, hari ini dia belum membuka pesan apa pun di ponselnya.

Tidak…. Aku harus bagaimana? Kegundahan hati Safira mencapai klimaksnya.

Dia tak kuasa meneruskan obrolannya dengan Benua. Safira putuskan obrolan itu secara sepihak.

Lantas dia segera melangkah ke kamar mandi. Air mata tumpah lagi.

Buru-buru Safira menyalakan keran air sekencang-kencangnya supaya dia bisa menangis sekeras-kerasnya. Dia tak ingin tangisnya terdengar oleh orang tuanya. Dia tak mau orang tuanya makin sedih melihat kondisinya saat ini yang masih belum bisa beranjak dari trauma penodaan yang dialaminya.

Sagara, aku benci kamu. Kenapa kamu hancurin hidupku?! Aku takkan pernah memaafkanmu. Seumur hidupku.

Tangis Safira pecah sejadi-jadinya.

Dia tak tahu perasaan macam apa yang tengah menimpanya saat ini. Pernikahan dengan Benua adalah impian terindahnya. Bagaimana bisa pernikahan yang sudah di depan matanya itu akan kandas begitu saja?

Ya Allah, ampuni dosaku. Ampuni salahku. Astagfirullah… lirih dalam hati kalimat itu dia ucapkan di sela isak tangisnya.

Dalam isak tangisnya dia memandangi dirinya di cermin dengan penuh rasa jijik.

Aku bukan Safira yang suci. Aku kotor!

Tak jauh dari depan cermin itu dia melihat gunting. Dia raih gunting itu dengan tangan gemetar.

Entah mengapa dia merasa jijik melihat penampilannya sendiri saat ini.

Dengan cepat gunting itu dia gunakan untuk memotong rambutnya. Rambut panjangnya yang subur dan bergelombang itu berjatuhan di kamar mandi setelah dipotong-potong secara acak.

Siapa yang bisa menolongku? Tolong angkat semua beban yang menghimpit jiwaku…. Batin Safira meraung.

Bersambung...

Bagaimana kesanmu setelah membaca part ini?

Menurutmu, kira-kira kisahnya dilanjutkan? Kasih masukan di komentar ya...  

Makasih banyak supportnya ya...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status