แชร์

Bab 7 | Tak Siap Kandas

ผู้เขียน: Biru Tosca
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2021-09-20 08:00:59

“Fira, ayolah makan,” pinta mama saat mereka sekeluarga saat berkumpul di meja makan.

Seperti malam-malam lainnya, makan malam yang dilalui Safira terasa hambar.

Mama, Papa, dan Berliana menatap Safira yang dari tadi memain-mainkan sendoknya di atas piring nasi. Sepertinya baru beberapa suap yang masuk. Karena nasi di piring itu tersisa masih sangat banyak.

Sementara adik dan kedua orang tuanya sudah dari tadi menuntaskan makan malamnya.

Terlalu berat bagiku, menghadapi ini. Aku tak sanggup, ucapnya dalam hati.

Dia tak menyadari permintaan mamanya, karena terlalu larut dalam pikirannya.

“Fira, Sayang. Ayolah makan. Kamu harus kuat. Kamu harus bisa melanjutkan kehidupan,” ucap Papanya.

Nada suara papanya jauh lebih nyaring dibanding mamanya sehingga Safira bisa mendengarnya.

“Iya, Pa…” ucap Safira, dia ingin menyenangkan papanya. “Ini aku, makan,” lanjutnya sembari menyuap nasi. Sekalipun tak berselera, perlahan dia mengunyahnya.

“Nah, gitu dong, Sayang. Kamu perlu energi untuk bisa menuntaskan masalah ini. Kita nggak boleh lemah. Kita harus kuat menjalani ini semua,” mamanya mencoba memberikan energi positif.

“Ma, Pa… Benua sudah pulang. Mungkin dia sudah tahu dari media sosial.”

“Iya, Mama juga udah tahu dan bisa memahami apa yang kamu rasakan sekarang,” kata Sambil melirik ke arah Berliana. Adiknya memang sudah bercerita.

“Tenang, Fira. Kita bisa menghadapi bersama. Nanti Papa akan jelaskan pada Benua.”

“Apa dia masih mau menerimaku dalam kondisi seperti ini, Pa?”

Papa bingung mau menjawabnya. Namun di sisi lain, dia juga tak mau putrinya terus menerus larut dalam kesedihan. Dia ingin Safira bisa segera ‘berdamai’ dengan prahara yang menimpa dirinya.

“Menurut Papa, kamu hanyalah korban. Kamu tidak berzina. Jadi kamu nggak bersalah. Seandainya Benua menyia-nyiakanmu, tak mau menerima kondisimu, Papa yakin ada jalan lain yang terbaik untukmu.”

Mendengar penjelasan papanya, Safira jadi berasumsi, bahwa pernikahan dia dengan Benua sedang terancam.

Tanpa terasa makanan di piring Safira sudah habis. Perkembangan yang jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

Menyaksikan hal itu, Mama semringah, “Alhamdulillah, akhirnya kamu bisa menghabiskannya, Sayang.”

Safira sendiri baru menyadarinya. Dia sendiri tak menyangka bisa menghabiskan makanannya.

“Keren, Kak,” puji Berlian. “Besok dan seterusnya, insya Allah Kakak tetap semangat makan kayak gini ya,” Berlina menyemangati.

 “Apa aku harus tutupi apa yang terjadi sebisaku, sampai akad nikah nanti, Pa?”

Sejenak papanya berpikir. Baginya, ini pertanyaan berat. Ditutupi, memang membuat pernikahan Safira dan Benua jadi aman. Tapi bagaimana cara menutupinya, berita tentang Safira sudah viral. Akan sangat sulit untuk menghilangkan jejak digital.

Walaupun seandainya usaha untuk menutupi kejadian ini berhasil, lalu bagaimana nanti saat malam pertama. Tetap saja, Safira akan ketahuan sudah tak gadis lagi. Jika sudah begitu, keluarga tetap akan menanggung malu.

Ya Allah, kuatkan kami melalui ujian ini. Semoga aku dan putriku, bisa mendapatkan hikmah dan pelajaran berharga dari peristiwa ini, ucap papa dalam hati.

“Membina rumah tangga perlu dimulai dengan transparan dari awal. Justru menutupi hal ini juga nanti akan jadi masalah. Ingat, Nak. Allah itu, nggak tidur. Dia pasti memahami apa yang diderita hamba-Nya.”

Safira menunduk. Dia masih merasa belum tenang. Dia belum puas dengan penjelasan papanya.

“Jadi, aku harus siap menerima jika pernikahanku dengan Benua batal?”

“Iya, siap nggak siap harus siap,” ucap Papa pelan.

Meskipun apa yang diucapkan papanya memang benar, tapi tetap saja, ucapan seperti itu sangat menikam hatinya. Bukan ucapan papanya yang membuatnya sakit, tapi perpisahan dengan Benua yang tak pernah terbayangkan olehnya. Benua, dialah cinta pertamanya. Dia tak pernah memberikan hatinya kepada siapa pun kecuali kepada lelaki itu.

Membayangkan hal itu lebih jauh, tubuh Safira lemas. Dia tak berminat untuk melanjutkan lagi obrolannya. Dia hanya ingin sendiri, mengurung diri di kamarnya.

“Pa, Ma... aku duluan ya,” Safira berdiri dan langsung hengkang dari ruang makan.

Papa dan Mama saling berpandangan.

“Banyak berdoa ya. Ya. Baca Al-Quran supaya bisa lebih tenang menghadapi ujian,” ucap mamanya.

Bagi Safira pesan itu sudah biasa ia dengar sedari kecil. Kerap kali kalau dia mengadu kepada mamanya, jika ada masalah, mamanya selalu menyarankan hal itu.

Kalau sedang bersemangat, saran dari mamanya suka dilakukan, dan memang manjur. Namun untuk saat ini, entahlah dia juga bingung harus bagaimana mana. Mungkin nanti jika suasana hatinya jauh lebih baik, dia akan coba ikuti saran mamanya.

“Iya, Ma,” kata Safira singkat seraya menoleh ke arah mamanya. “Makasih ya, Ma.”

Begitu tiba di dalam kamar, tubuhnya kian lunglai. Perasaannya makin kacau. Dia mengunci pintu kamarnya.

Tubuh Safira terkulai di kasur. Dari nakas di samping ranjangnya terdengar panggilan masuk di ponselnya.

Panggilan dari Benua.

Safira galau. Haruskah dia mengangkat panggilan itu?

Tidak… tidak aku belum siap!

Namun di satu sisi, dia pun merasakan rindu, sudah lama dia tak mendengar suara Benua yang baginya cukup dapat meneduhkan hatinya.

Dengan ragu-ragu dia menerima panggilan itu.

“Queen, kamu baik-baik saja kan?” tanya Benua di seberang.

“Iya, aku baik-baik, Ben,” Safira menjawab dengan tenang. Dia ingin mencoba seolah-olah tak terjadi apa-apa pada dirinya.

Semoga kamu tak tahu berita tentangku, Ben, harap Safira dalam hatinya.

“Syukurlah. Aku jadi lega mendengarnya, Queen.”

Aku tak bisa membayangkan responmu, Ben. Seandainya kamu tahu tentangku, gumam Safira dalam hati.

“Queen, aku menunggu respon dan balasan chat, kamu kenapa nggak pernah balas. Aku mengkhawatirkanmu. Aku takut terjadi sesuatu padamu,” ungkap Benua. Suara itu berhenti sejenak. Mungkin menunggu Safira memberikan respon

“Oia, Ben. Gimana kamu sekarang di mana?”

“Aku sekarang sudah di depan rumahmu?”

“Apa?” Safira tak menyangka.

“Iya, aku serius sudah di depan rumah. Kayaknya kamu belum baca pesanku ya…” jawab Benua.

Memang benar, hari ini dia belum membuka pesan apa pun di ponselnya.

Tidak…. Aku harus bagaimana? Kegundahan hati Safira mencapai klimaksnya.

Dia tak kuasa meneruskan obrolannya dengan Benua. Safira putuskan obrolan itu secara sepihak.

Lantas dia segera melangkah ke kamar mandi. Air mata tumpah lagi.

Buru-buru Safira menyalakan keran air sekencang-kencangnya supaya dia bisa menangis sekeras-kerasnya. Dia tak ingin tangisnya terdengar oleh orang tuanya. Dia tak mau orang tuanya makin sedih melihat kondisinya saat ini yang masih belum bisa beranjak dari trauma penodaan yang dialaminya.

Sagara, aku benci kamu. Kenapa kamu hancurin hidupku?! Aku takkan pernah memaafkanmu. Seumur hidupku.

Tangis Safira pecah sejadi-jadinya.

Dia tak tahu perasaan macam apa yang tengah menimpanya saat ini. Pernikahan dengan Benua adalah impian terindahnya. Bagaimana bisa pernikahan yang sudah di depan matanya itu akan kandas begitu saja?

Ya Allah, ampuni dosaku. Ampuni salahku. Astagfirullah… lirih dalam hati kalimat itu dia ucapkan di sela isak tangisnya.

Dalam isak tangisnya dia memandangi dirinya di cermin dengan penuh rasa jijik.

Aku bukan Safira yang suci. Aku kotor!

Tak jauh dari depan cermin itu dia melihat gunting. Dia raih gunting itu dengan tangan gemetar.

Entah mengapa dia merasa jijik melihat penampilannya sendiri saat ini.

Dengan cepat gunting itu dia gunakan untuk memotong rambutnya. Rambut panjangnya yang subur dan bergelombang itu berjatuhan di kamar mandi setelah dipotong-potong secara acak.

Siapa yang bisa menolongku? Tolong angkat semua beban yang menghimpit jiwaku…. Batin Safira meraung.

Bersambung...

Bagaimana kesanmu setelah membaca part ini?

Menurutmu, kira-kira kisahnya dilanjutkan? Kasih masukan di komentar ya...  

Makasih banyak supportnya ya...

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Ikatan Tak Dirindu   Bab 52 | Hadiah Cinta

    “Pa, ayo buruan berangkat, nanti Bima kesiangan,” Bimantara tampak sangat bersemangat. Dia menarik lengan ayahnya.Safira, Sagara, dan Bimantara baru saja menuntaskan sarapan pagi. Ada panggilan masuk dari gawai Sagara.“Bentar, sayang. Papa angkat telepon dulu ya…”“Assalamualaikum Pak. Gimana kabarnya Pak?”“Waalaikumussalam. Alhamdulillah baik, Pak.”“Wah lama nggak ketemu ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” ucap Sagara.“Begini Pak.. hari ini kita bisa ketemu, saya ada produk baru dan sangat prospektif.”“Bisa. Bapak dateng aja ke kan

  • Ikatan Tak Dirindu   Bab 51 | Terusik Masa Lalu

    “Sinii… ini punyaku,” teriak Fayra sambil mempertahankan boneka kucingnya agar tidak jatuh ke tangan Bima. “Aku pinjem,” Bima tetap maksa dan menarik kuat-kuat boneka kucing itu. “Enggak…ini kucingku.” Bima dan Fayra masih tetap tarik menarik. Masing-masing tak ada yang mau mengalah. Karena Bimantara adalah anak laki-laki, tentu tenaganya pun lebih kuat, akhirnya dia berhasil merebut boneka kucing itu dan membawanya lari. “Yee…. aku menang… aku menang!” ucap Bima sambil berjingkrak. Fayra menangis. “Kamu jahat!” Fayra yang merasa bonek kucing itu adalah milik mengejar Bima sambil menangis.

  • Ikatan Tak Dirindu   Bab 50 | Doa di Bukit Cinta

    Sesuai rencana, sepulang dari Paris, mereka berempat bersiap untuk berangkat ke Tanah Suci. Sagara mengurus semua biaya akomodasinya. Papa Sagara memang punya sebuah unit bisnis tour and travel haji dan umrah. "Makasih ya, Sayang. Semoga sepulang kita dari Tanah Suci. Allah selalu membimbing kita menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat untuk banyak orang." Sagara mengaminkan. "Insya Allah, semoga ini jalan salah satu jalan yang bisa menguatkan cinta kita pada Allah dan mengukuhkan cinta di antara kita." Bahkan, ternyata tidak hanya mereka berempat yang berangkat. Begitu keluarga mereka tahu, orang tua Safira, orang tua Sagara dan orang tua Benua memutuskan untuk ikut. Jadinya, ini menjadi umrah sekeluarga. Mereka sekeluarga bergabung bersam rombongan umrah yang dibimbing langsung oleh ayah Sagara, Ustaz Reza. Pesawat pun terbang dari Jakarta menuju Jeddah. Mereka mengikuti rangkaian prosesi ibadah umrah. K

  • Ikatan Tak Dirindu   Bab 49 | Surga Cinta

    Di kamar hotel, Sagara dan Safira bangun untuk menunaikan salat Subuh. Keduanya menunaikannya dengan berjamaah."Yang, kita bobo lagi yuk," kata Sagara usai berzikir bakda Subuh."Jangan dong, kan nggak boleh tidur lagi habis Subuh. Bisa mewariskan kefakiran. Nanti rezeki kita keburu dipatok ayam," kata Safira."Iya, aku juga tahu kok. Maksud aku bobo lagi ya bukan bobo dalam yang sebenarnya. Kita ngobrol aja gitu pillow talk. Mau kayak malam juga nggak apa-apa," ungkap Sagara sambil membayangkan malam terindahnya yang ia habiskan bersama Safira di kota romantis ini."Idiih, lagi udah mandi juga kali. Kamu kok jadi ketagihan sih," Safira menyikut suaminya, masih menggunakan mukena."Bukannya bagus ya, kalo suami addict sama istrinya. Yang nggak boleh itu kan zina. Harusnya kamu seneng.""Iya juga sih," Safira tersipu. Kali ini dia sudah menanggalkan mukenanya.Sagara masih terbayang malam indah bersama istrinya. Dia bena

  • Ikatan Tak Dirindu   Bab 48 | Meramu Bahagia

    “Banyak pilihan, bisa jalan-jalan di dalam negeri keluar negeri,” jawab Benua. Dia sudah mulai mengarahkan rencananya.Ngapain dia ngomong gitu. Jangan-jangana ada udang di balik batu lagi, pikir Sagara.Sagara sejujurnya tidak menghendaki kebersamaan yang mendekatkan Safira dan Benua. Dia bertekad untuk melakukan apapun agar Benua dan Safira tidak terlalu sering ketemu.Tapi bagaimana caranya kalau sebentar lagi mereka akan hidup berdekatan, rumah mereka bersebelahan."Yuk ah jalan yuk," ajak Sagara. Dia sudah merasa bosan dengan keberadaan Benua."Bro, kok buru-buru amat sih, ngobrol-ngobrol dulu aja di sini, Bro," ujar Benua mencoba mengakrabkan diri dengan Sagara. Niat dia sebenarnya baik.Mungkin sudah saatnya bagiku untuk mengikhlaskan semuanya. Aku harus belajar mencintai Lian sepenuhnya. Tidak baik juga aku menyimpan perasaan kepada kakak iparku sendiri. Aku akan berjuang melawan perasaan ini, pikir Sagara.

  • Ikatan Tak Dirindu   Bab 47 | Tetangga Sebelah

    “Tahun depan aja… ” Safira gemas. “Ya udah buruan kita berangkat sekarang aja.”“Ya, udah aku siap-siap ya,” kata Sagara. Dia pun mengganti pakaian. Safira juga demikian. Dia mengenakan hijab syar’i terbaiknya.Setelah keduanya siap, mereka masuk mobil. Dan mobil pun melaju menuju kawasan Bintaro Sektor 9. Tangerang.Selama di dalam kendaraan mereka asyik berbincang. Keduanya membicarakan berbagai rencana masa depan rumah tangga.“Yang, kapan rencana kamu kuliah lagi?” tanya Safira.“Dalam waktu dekat. Tapi untuk saat ini aku prioritas ke kamu dulu. Aku ingin kamu bisa bisa hidup bahagia dulu dengan aku. Kalau kamu udah baikan, ya aku bakal segera daftar kuliah S2.”“Lha kenapa kok jadi bergantung ke aku… kok gitu sih?”“Ya kan aku sekarang imam kamu. Aku harus mastiin makmumku aman dulu. Kalau urusan rumah tangga selesai, l

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status