Share

Bab 6 | Dia Pulang

Kenapa ini semua harus menimpa diriku? hati Safira bertanya-tanya. Sejak peristiwa itu, dia sering menangis saat seorang diri.

Dalam kesendiriannya, Safira termenung. Sekalipun Sagara kini sudah meringkuk di penjara, namun bagaimanapun luka yang sudah dihujamkan ke dalam jiwanya masih membekas. Jiwanya belum tenang karena kesuciannya takkan bisa kembali lagi.

Apa ini semua salahku? Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa mimpi-mimpi indahku yang sudah kuukir kini berubah menjadi mimpi buruk, lirih Safira.

Bagaimana bisa tenang, kesucian yang selama ini dia jaga, hanya dipersembahkan untuk suaminya nanti, malah dirampas begitu saja.

Mimpi indah itu telah pergi. Yang menemani ku kini mimpi-mimpi buruk. Aku sudah tak punya masa depan lagi, ungkap hatinya.

Ini semua salahku, seharusnya hari itu, aku nggak pergi. Mungkin jika tak pergi, semua ini takkan terjadi, ungkap hatinya lagi, cenderung menyalahkan dirinya sendiri.

Safira meraih ponsel pintar miliknya. Sudah lama dia tak membukanya. Dia teringat Benua.

“Ben, Sayang. Bagaimana maafkan aku. Aku tak bisa menjaga cintaku untukmu,” Safira bergumam.

Pelan-pelan, Safira membuka ponselnya.

Ada banyak pesan yang masuk di W******p, mulai dari pesan dari grup di kampusnya, japri dari teman-temannya, dan masih banyak lagi. Namun ada satu pesan dari calon suaminya. Dia mulai membaca pesan yang cukup banyak itu.

Queen, gimana kabarmu?

Safira membaca kalimat pertama di pesan itu. Queen, adalah panggilan khas Benua untuk dirinya.

Kenapa akhir-akhir ini kamu tak pernah membalas pesan-pesanku?

Padahal aku kangen berat sama kamu.

Sungguh aku nggak sabar, menunggu beberapa bulan lagi. Tungguin nungguin aku ya. Di sini aku memang sedang fokus merampungkan studiku, tapi nggak bisa berhenti mikirin kamu, Queen.

Kamu memang penyemangat hidupku. Aku bisa sampai berani menginjakkan kaki ke Paris semua berkat dukunganmu.

Oia, aku sudah siapkan semuanya. Setelah kita nanti resmi jadi pasangan pengantin paling Bahagia di dunia, kita balik lagi ke Paris sesuai janji kita.

Aku akan bawa kamu jalan-jalan ke Menara Eiffel. Kamu bisa menyusuri Sungai Seine sepuasmu. Ke Museum Louvre dan tempat-tempat indah lainnya di Paris.

Safira berhenti sejenak. Dia membayangkan indahnya tempat-tempat yang disebutkan oleh calon tunangannya. Dia membayangkan dirinya berada di sebuah perahu yang melaju di atas Sungai Seine yang disaksikan oleh para beberapa orang dalam perahu yang sama. 

Mereka menatap Safira dan Benua, pengantin muda yang membuat mereka iri melihatnya. Benar-benar dramatis dan romantis. Di atas perahu itu dia menyaksikan riak Sungai Seine.

Safira juga membayangkan dirinya berada di dekat Menara Eifel dan berfose bersama Benua. Mereka berdua menaiki Menara cantik itu, melewati lift. Dan ketika sampai di atas, keduanya menikmati lanskap kota Paris yang cantik. Sungai Seine pun terlihat dari atas Sana. Sungguh suasana yang begitu romantis.

Dia juga membayangkan dirinya menjadi wanita paling Bahagia di dunia karena berada di Sungai Seine, Menara Eiffel, Museum Louvre dan tempat-tempat indah lainnya selalu ditemani oleh Benua, lelaki yang selama ini dia cintai.

Safira tersenyum sendiri membayangkanmya. Namun ketika teringat realita yang kini tengah dialaminya, senyum di wajahnya berangsur-angsur pudar.

Tak mungkin lagi, Ben. Aku sudah tak suci lagi. Aku tak layak menjadi istrimu. Kamu tentu ingin hidup bersamaku dalam kondisi tubuhku yang bersih dan masih gadis bukan?

Air mata Safira meleleh. Dia menyekanya dengan salah satu telapak tangannya. Lalu kembali membaca pesan lanjutan dari Benua.

Queen, semoga kamu tetap sehat dan kamu juga bisa segera merampungkan kuliah sarjanamu. Kita bisa diwisuda dalam waktu yang berdekatan. Dan setelah itu kita melangsungkan pernikahan.

Perkataan itu membuat jantung Safira nyaris copot.

Bagaimana dirinya bisa fokus mengerjakan tugas-tugas kuliah, terutama skripsinya dalam kondisi jiwanya yang benar-benar rapuh saat ini. Jadwal bimbingan seharusnya dia lakukan sudah lewat beberapa kali. Entahlah apakah dia bisa merampungkan skripsinya?

Semuanya berantakan, jauh dari yang sudah dia rencanakan.

Aku sudah tak punya lagi impian! Masa depanku sudah hancur! Saat kata-kata itu terucap dalam hatinya, jiwanya kian terasa remuk.

Queen, kenapa kamu tak pernah membalas pesanku. Segitu sibukkah kamu menyelesaikan kuliahmu.

Aku ingin ngobrol sesuatu yang penting. Mengenai rencana masa depan kita. Rumah tangga kita. Kita bisa ngobrol di sela-sela kesibukan kita.

Please, Queen, tolong jangan abaikan aku. Aku sangat sedih jika kamu memperlakukanku begitu. Aku jadi tak semangat. Kamulah semangatku!

Kalimat itu membuat hati Safira berbunga-bunga. Itu yang aku suka darimu. Kamu tahu cara membahagiakanku.

“Ben, really I miss you…” Safira bergumam.

“Aku tak bisa membayangkan apa jadinya jika kamu tahu kondisiku. Apakah kamu mau menerimaku atau sebaliknya, kamu jijik tak mau lagi berada di sisiku,” lanjutnya.

Queen, tolong balas pesan-pesanku ya. Aku akan mencoba memaklumi, sekalipun kamu telat membalasnya.

Sampai di situ, Safira belum punya kekuatan untuk mengetik kalimat. Dia bingung apa yang akan dia katakan kepada Benua.

Oia, Queen. Pekan depan aku pulang dulu ke Indonesia, riset studiku ternyata belum tuntas. Masih ada yang kurang. Mau tak mau aku harus pulang. Nah, mumpung pulang, sekalian nanti kita ketemu buat ngelist segala keperluan pernikahan ya…

Safira tiba-tiba terlonjak.

Tidak-tidak… bagaimana bisa secepat ini? Aku belum siap ketemu dia! Safira berteriak dalam hati.

Safira mengecek pesan itu tanggal berapa. Rupanya pesan itu sudah dikirim dari 7 hari yang lalu. Berarti saat ini Benua kemungkinan sudah di Indonesia.

Oh tidak, tidak! Safira berteriak lagi dalam hati.

Saat tubuhnya panas dingin, dan suasana hatinya tak nyaman, tiba-tiba pintu kamarrnya diketuk.

Suara yang sangat familiar mengucapkan salam.

“Kak, boleh aku masuk,” kata Berliana. Suaranya seperti terburu-buru.

“Masuk aja, Lian,” ucap Safira sambil segera tampilan pesan W******p dari Benua di ponselnya.

“Ada apa?” tanya Safira saat Berlian sudah duduk di bibir ranjang tepat di hadapannya.

“Kak, coba lihat…” ucap Berliana sambil menunjukan layar ponselnya. “Berita tentang Sagara viral di media sosial. Foto-foto kakak juga banyak dikutip akun-akun gossip di I*******m Kak,” lanjut Berliana tampak cemas.

Safira pun melihat satu per satu berita yang diinfokan oleh adiknya. Media ramai memberitakan. Kasus yang menimpa Safira menjadi viral. Di masyarakat pun dirinya menjadi perbincangan.

“Kenapa sih, bisa seviral ini?” Safira tampak gusar.

“Mungkin karena orang tua Sagara itu tokoh nasional. Ceramahnya juga sering viral. Nah, giliran ini berita negatif, ikut-ikutan viral juga.”

Safira membenarkan apa yang dikatakan Berliana.

Dari sekian headline berita, dua berita berikut ini yang membuatnya sangat sedih.

Anak Kiai Memperkosa Mahasiswi

Gadis Cantik Jadi Korban Perkosaan

Safira tak bisa berkata apa-apa setelah membaca berita itu. Dia benar-benar sedih. Dia memang pernah diinterview oleh beberapa jurnalis setelah melaporkan kasus itu saat di kantor polisi. Tapi sungguh dia tak menyangka beritanya akan seviral saat ini.

“Aku nyesel kenapa saat itu mau diwawancara oleh wartawan,” kata Safira.

“Udah, Kak. Kakak nggak salah,” kata Berlian seraya mengusap pundak kakaknya.

“Aduh gimana ini, Lian? Aku harus gimana? Aku takut Benua tahu lebih dulu bukan dari mulutku, tapi dari berita viral ini!”

“Kan Kak Benua, masih di Paris, mudah-mudahan dia belum tahu, Kak,” tepis Berliana.

“Enggak, Lian,” Safira kian gusar. “Ini aku baru baca pesan dari dia seminggu yang lalu. Dia bilang mau pulang. Dia tak pernah ingkar janji. Aku yakin dia sudah tiba!”

“Astagfirullah…” Berliana tak mampu melanjutkan ucapannya.

Bersambung...

Bagaimana kesanmu setelah membaca part ini?

Menurutmu, kira-kira kisahnya dilanjutkan? Kasih masukan di komentar ya... 

Makasih banyak supportnya ya...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status