“Kak, tolong buka, Kak!” suara Berliana terdengar lebih tinggi saat mengetuk-ngetuk kamar Safira.
Dia sudah berkali-kali mengucapkan kalimat itu, namun tak kunjung ada respon dari kakaknya.
Dia mengkhawatirkan kakaknya, sementara untuk bisa masuk ke kamar pintunya terkunci.
“Kak, tolong buka, Kak,” ucap Berliana lagi. Dia mulai cemas. Duuh, Kak, moga-moga aja nggak terjadi apa-apa sama kamu, gumam Berliana.
Dari dalam sebenarnya Safira dapat mendengar dengan jelas suara adiknya. Namun dia merasa enggan, sama sekali tak berminat membuka pintu kamar dan menampakkan diri. Terlebih dengan kondisi saat ini, penampilan rambutnya sudah tak jelas.
Dia memandangi dirinya di depan cermin, dengan potongan rambut yang sudah pendek.
Namun suara adiknya di luar juga masih terus terdengar. Adiknya tak menyerah.
Safira berhenti memandangi dirinya di cermin. Dia melangkah mendekati pintu. Akhirnya terpaksa, dia membuka kunci pintu kamarnya.
Begitu pintu terbuka, Safira dapat menyaksikan adiknya terkejut.
“Ya Allah, astagfirullah, kenapa Kak?” Berliana menutup mulutnya. Hatinya benar-benar sedih menyaksikan kakaknya dengan penampilan yang tak jelas begitu.
Berliana masuk ke kamar Kakaknya. Dia melirik ke arah ruang tamu, memastikan tak ada siapa pun yang melihat dirinya dan kakaknya.
“Kak, aku bantu rapikan rambutmu ya, Kak?” Berliana menawarkan.
“Biarin aja begini, Lian,” Safira tampak ketus.
“Kak, tahu nggak Kak, dari tadi Kak Benua nungguin Kakak?”
“Apa?” kata Safira tak percaya. Jadi dia sudah di sini? pikirnya.
“Itu sekarang dia ada di ruang tamu, lagi ngobrol sama Mama dan Papa,” jawab Berliana.
Berliana menuntun kakaknya ke kamar mandi. “Ayo, Kak. Aku rapiin lagi sebentar aja, Kak,” ucap adiknya.
Safira pun akhirnya menurut.
Keduanya kini di depan cermin. Dengan telaten, Berliana merapikan beberapa bagian rambut kakaknya yang masih terlalu panjang. Bagian-bagian tertentu seperti di bagian bahu kanan dan kirinya tadinya terlihat tak simetris, dibuat lebih simetris.
“Makasih, Lian. Aku bahagia punya adik kayak kamu,” ucap Safira memandangi adiknya dari cermin. Dia menatap adiknya yang masih sibuk menata rambutnya.
“Aku juga seneng punya saudara secantik Kakak,” ucap Berliana sambil membalas tatapan kakaknya dari cermin.
“Beneran, aku masih cantik?” kata Safira meragukan ucapan adiknya. Dia merasa adiknya hanya berusaha menghiburnya saja.
“Masa kakak nggak percaya ucapanku,” Berliana menggoda kakaknya. “Tuh lihat, Kak. Sekalipun gaya rambut kakak nggak jelas begini, pesona wajah kakak nggak sama sekali pudar. Pantesan aja, Kak Benua setia pada Kakak,” ucap Berliana seakan merasa iri pada kakaknya.
“Aku bangga padamu, Lian. Kamu cantik. Nggak pacaran. Pasti kamu dapat suami yang pacaran juga, yang saleh pastinya.”
“Aamin, Kak. Doain ya Kak, aku pengen calon suami seperti yang kakak sebutkan. Nggak pacaran dan…” Berliana terdiam. Aktivitasnya merapikan rambut kakaknya sebentar lagi.
“Apa? Kok nggak dilanjutin?” Safira penasaran.
“Hmm…. Intinya sih ganteng dan saleh dunia akhirat Kak,” ucap Berlian sembari senyum malu-malu.
“Karena kamu juga salehah dan cantik luar dalem, pasti keinginanmu dikabul ya sama Allah,” ucap Safira terharu.
“Aku… aku… baru kepikiran sekarang. Mungkin apa yang dulu diucapkan Papa ada benarnya. Coba saja dari dulu aku berhijab, mungkin aku nggak akan mengalami kejadian ini,” ucap Safira menangis lagi.
“Sudah… sudah... Kak…” ucap Berliana memijit punggung kakaknya, “Jangan bahas itu lagi, Kak. Semuanya sudah terjadi, yang penting sekarang mikirin Kakak nextnya mau gimana…”
Berliana yang masih berdiri merangkul kakaknya dari belakang. Dia melihat dari cermin, mata kakaknya yang berkaca-kaca.
“Sudah beres, Kak. Yuk pakai pakaian terbaikmu, Kak Benua menunggumu,” Berliana membimbing kakaknya.
Berliana membawakan beberapa potong baju dari lemarinya. Dia menyerahkan kepada kakaknya, mau memilih yang mana.
Sambil mengenakan baju berlengan panjang dan rok panjang, Safira berkata, “Kalau dalam kondisi yang sudah terlanjur ternoda begini, apakah aku masih boleh berhijab seperti kamu?”
Pertanyaan itu mengagetkan Berliana. Dalam hati dia bertanya-tanya, apakah ini pertanda kakaknya ingin mengenakan hijab? Ah, senang sekali mendengarnya jika kakaknya berniat mengenakan gamis dan kerudung, pikir sang adik.
“Ya, tentu boleh dong Kak,” ucap Berliana. Dia tak bisa menyembunyikan rasa harunya mendengar Kakaknya berkata begitu.
“Kalau gitu, aku akan menemui Benua dengan mengenakan kerudung. Tapi kalau kerudungnya mungkin waktu kita berangkat ke kantor polisi boleh kan? Aku belum bisa berhijab sempurna seperti kamu,” ucap Safira.
Adiknya mengangguk. Bahagia mendengarnya. Dalam hati, dia berdoa semoga niat kakaknya dicatat sebagai kebaikan. Apa yang dilakukan kakaknya ini adalah tahap awal, semoga ke depannya Kakaknya bisa sempurna berhijab.
Sejenak Safira mematut dirinya di cermin. Dia mengambil koleksi kerudung yang dia punya. Kain itu lalu ia pasang di kepalanya, menutupi rambutnya yang pendek. Kerudung itu lalu ia lilitkan di bagian lehernya.
“Sudah siap, ayo,” kata Safira menatap adiknya.
Kakak beradik ini melangkah bersama. Berliana menggandeng tangan kakaknya kuat-kuat.
“Semoga lisan kakak dimudahkan saat ngobrol dengan Kak Benua ya,” ucap sang adik.
“Nanti kalau papa dan mama udah nggak ada di ruangan, tolong temani aku ya. Aku belum siap ngobrol hanya berdua dengannya,” pinta Safira.
“Siap, Kak.”
Tiba di ruang tamu, di ruangan itu Papa dan Mama sedang ngobrol dengan Benua. Obrolan terhenti sejenak begitu Safira dan Berliana bergabung.
Benua menatap Safira agak lama. Dia merasakan ada penampilan yang berbeda dari calon istrinya. Apakah dia sudah memutuskan untuk berkerudung. Kok nggak bilang-bilang padaku? Benua bertanya-tanya dalam hati.
Merasa dipandangi terus oleh Benua, Safira menatap Benua sejenak. Selebihnya dia lebih banyak menunduk.
“Queen, kamu baik-baik saja?” kata Benua agak grogi memanggilnya begitu di hadapan kedua orang tuanya.
“Ya, baik. Kapan kamu pulang dari Paris?” kata Safira berbasa-basi.
“Baru sehari yang lalu,” jawab Benua singkat. Dia tak mengerti, mengapa Safira tak ceria seperti biasanya. Mengapa calon istrinya ini mendadak berubah, jadi lebih dingin.
Mama dan papa memahami suasana di ruangan tiba-tiba terasa beku. Keduanya mencoba mencairkan suasana.
“Berapa lama sih hari pernikahan kalian?” kata papa.
“Sekitar 3 bulanan lagi,” jawab Benua.
Mendengar jawaban, hati Safira bergetar. Masih mungkinkah pernikahan itu bisa dilangsungkan? Hati wanita itu berkecamuk.
“Nggak kerasa ya, Waktunya semakin dekat,” ungkap mama.
“Ben, Papa ingin menyampaikan sesuatu yang penting…” Belum selesai lelaki itu mengucapkan, Safira menyelanya.
“Pa…” kata Safira, “Aku pengen ngobrol di luar, di halaman sama Ben,” lanjutnya.
“Oke…” balas Papa singkat.
“Papa dan mama kalau begitu pamit duluan ya,” kata mama sambil bangkit. Suaminya pun refleks ikut bangkit.
“Baik, Pa… Ma...” balas Benua singkat.
“Lian, temani kakakmu ya,” ucap mama. Mama tidak berharap Safira dan Benua ngobrol hanya berdua-duaan. Sekalipun sebentar lagi mau menikah, tetap saja dari dulu juga dia selalu menasihati Safira agar menjaga jarak dan interaksi sampai nanti benar-benar menjadi pasangan yang sah dan halal.
“Siap, Ma…” jawab Berliana.
Mama senang melihatnya. Dalam hati, dia berharap semoga malam ini, putrinya bisa kuat mengutarakan peristiwa yang menimpanya kepada calon suaminya.
Ya Allah, kuatkan dia, berikan dia jalan keluar, lirih Mama dalam hati.
Papa dan Mama beranjak melangkah meninggalkan ruangan.
Sementara Safira mengambil inisiatif, tanpa berkata-kata dia melangkah keluar menuju halaman rumah…
Benua masih duduk termenung, berusaha memahami berbagai kejanggalan yang tak pernah ia dapati sebelumnya pada diri calon istrinya.
Bersambung...
Bagaimana kesanmu setelah membaca part ini?
Menurutmu, kira-kira kisahnya dilanjutkan? Kasih masukan di komentar ya...
Makasih banyak supportnya ya...
“Hubungan rumah tangga harus dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan,” Safira mengawali. “Aku tahu ini pahit untukku. Tapi aku tidak mau mengecewakanku, sehingga malam ini aku harus berkata apa ada padamu, Ben.”“Ya, aku sepakat,” jawab Benua lugas.“Ben, apa kamu nggak tahu berita viral?” tanya Safira saat dia bersama Benua sudah duduk di kursi halaman rumah. Di samping Safira, Berliana ikut duduk menemani.Kenapa nanya soal berita viral sih, pikir Benua. Nggak ada pertanyaan lain apa? Benua belum memahami alur pembicaraan calon istrinya.“Berita viral apa? Maksud kamu apa?” tanya Benua polos. Dia memang belum paham.Mendengar jawaban seperti itu, Safira menyimpulkan bahwa Benua memang belum mengetahuinya. Mungkin dia belum sempat baca-baca berita di media sosial.Safira menghirup napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan.“Ben, sebelumnya aku mau m
Ya Tuhan, mengapa dunia ini tiba-tiba gelap teramat pekat dan mencekam? Padahal jauh-jauh hari aku sudah merencanakan kebahagiaanku bersamanya. Bersama Queenku...Dunia Ben kini menggelap, lebih gelap dari jutaan malam yang telah dilaluinya. Selama ini, segelap apa pun malam yang dijalaninya, tetap saja indah karena di langit hatinya ada satu bintang, yaitu Safira yang selalu ia sayang setulusnya.Malam itu, Benua termenung sendiri di kamarnya yang gelap tanpa nyala lampu. Dua memang sengaja mematikan lampu di kamarnya.Sekalipun hatinya mencoba untuk tenang menghadapi masalah asmaranya ini, namun jiwanya tetap saja muncul gelisah.Ada hitam yang semakin membesar di dadanya. Jika dibiarkan, tentu kegelapan itu akan memakan cahaya hati dan membuat jiwanya terguncang.Dalam kegalauannya dia memainkan gawai yang tergeletak di nakas di samping tempat tidurnya. Dia meraihnya perlahan dengan rasa malas.Sungguh beberapa hari i
Tiba di kantor polisi, Safira dan ayahnya mengisi buku tamu. Tak lama kemudian keduanya menunggu di ruang besuk.Didampingi seorang sipir, Sagara muncul dengan wajah tertunduk. Sama sekali dia tak berani menatap Safira dan ayahnya.Sementara itu, Safira dan ayahnya tak berkedip sedikit pun memandangi Sagara. Amarah ayah Safira bergolak. Terlebih lagi Safira. Ingin sekali dia memukul-mukul lelaki yang telah menodainya sampai habis tak tersisa.Ayah Sagara yang duduk, dia segera bangkit. Dan langkah cepat, dia memburu Sagara.“Anak kurang ajar!” pekik ayah Safira. Dia menampar dan memukul Sagara berkali-kali. Apa yang dilakukan oleh ayah Safira dihalangi oleh sifir. Sayangnya sifir pun hampir kewalahan menahan kekuatan ayah Sagara yang didorong karena amarahnya yang meledak-ledak.Sagara sekuat mungkin dia menahan rasa sakit, tanpa mengelak sedikit pun. Di
“Mohon Bapak tidak salah paham. Dengarkan dulu penjelasan saya,” kata Ustaz Reza.“Tenang, Pa...” ibu Safira meremas jemari suaminya. “Nggak ada salahnya kita dengerin dulu penjelasan Pak Ustaz.”“Silakan, mau menjelaskan apa?” kata ayah Safira.“Saya bisa paham kondisi Bapak saat ini, karena saya punya anak perempuan. Saya pun pasti sedih dan marah bila anak perempuan saya mengalami kondisi yang tidak seharusnya terjadi seperti yang dihadapi Nak Safira saat ini,” kata Ustaz Reza.“Saya saya sangat terpukul manakala yang melakukan kejahatan atas Nak Safira adalah anak saya. Seandainya saya bisa melaksanakan hukuman yang sesuai syariat Islam atas kasus penodaan terhadap perempuan, saya rela dan bersedia untuk menghukum anak saya saya sendiri dengan hukuman mati biar menjadi pelajar bagi yang lain agar tidak lagi merendahkan seorang wanita.”“Dan sebenarnya Bapak sekeluarga
Safira tak menjawab. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, yang ada hanya lelehan air mata. Ibu Safira paham, air mata putrinya sudah cukup menjawab pertanyaan yang barusan dia lontarkan kepada putrinya.“Ini, liat aja sendiri,” kata Safira kemudian seraya menyerahkan tes pack itu kepada ibunya.“Ya Allah… astagfirullah… Ya Alllah...” ibu Safira menangis sejadi-jadinya. Tangisannya jauh lebih menyayat hati dibandingkan tangisan putrinya.Ayah Safira memegangi kepalanya yang pening.Tak lama kemudian, ibu Safira kehilangan keseimbangan. Dia pun pingsan. Tubuhnya yang lunglai tertahan di pangkuan ayah Safira.“Mama...” Lian tiba-tiba datang. Dia terkejut melihat kondisi mamanya.***Sehari kemudian. Belum reda ‘kejutan pahit’ yang menimpa keluarga Safira, mereka kedatangan tamu, yatu dari keluarga Benua.Orang tua Safira yang dalam kondisi sedih tetap harus tena
“Mama kenapa mendadak begini sih. Sebelum ngomong begini kita harusnya ngobrol dulu,” kata ayah Benua.“Tenang, Pa. Ini bukannya baik untuk anak kita,” ucap ibu Benua santai.“Papa nggak ngerti, baiknya di mana?”Ibu Benua tak membalas pertanyaan itu. Dia merasa santai tanpa ada beban.Berliana sungguh tak menyangka akan ikut terseret dalam pusaran besar yang sungguh rumit ini. Matanya tak berkedip. Dia memandang ibu Benua yang masih tersenyum ke arahnya.Kemudian dia berganti memandang kakaknya yang malam.Safira dan Berliana bertatapan cukup lama. Mereka berusaha saling menyelami perasaan yang menyelimuti di antara mereka berdua.“Bagaimana Bu, Pak… bersedia?”“Maaf, kami lebih baik memilih tidak ada pernikahan sama sekali,” kata ibu Safira.“Iya, lagi pula jika harus menikah dalam waktu dekat, Lian masih harus fokus menyelesaikan ku
“Karena jika aku gagal menikah dengan Benua, di luar sana aku tak yakin dia akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dariku.”Safira menghembuskan napas dalam-dalam.“Sementara jika kamu, aku sudah melihat keseharianmu, melihat segala kebaikanmu, mengikhlaskannya untukmu aku lebih lega ketimbang wanita lain di luaran sana yang tak bisa kupastikan apakah dia wanita baik-baik,” lanjut Safira dengan suara berat.Dia ingin lebih kuat, tak menangis. Namun nyatanya dia tak bisa membendung air mata yang membanjiri pipinya.Dalam kondisi berurai air mata, Safira berdiri.“Aku akan pergi,” ucap Safira.“Mau pergi ke mana?” tanya ayah Safira.“Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin hamil tanpa seorang suami,” ucap Safira.“Ibu belum ngerti, apa rencana kamu, Nak?”“Aku ingin ke kantor polisi, minta kepada pihak kepolisian ag
“Dia bisa keluar dari rutan ini, tapi status dia tidak berubah. Dia tetap berstatus sebagai tahanan kota. Dia tidak boleh bepergian keluar kota. Dan dia diwajibkan melapor secara berkala selama masa hukuman,” jelas polisi itu.“Baik, terima kasih, Pak. Sekarang bisakah saya ketemu dengan Sagara?”Polisi pun mengizinkan Safira dan ayahnya untuk menemui Sagara di ruang besuk.Sampai di ruang besuk, Safira dan ayahnya berdiri menunggu kemunculan Sagara.Beberapa menit kemudian, Sagara muncul didampingi seorang sipir.Sagara duduk perlahan.“Apa yang mau Bapak sampaikan kepada saya?” tanya Sagara melirik ayah Safira.Ayah Safira tak merespon. Dia masih menimbang-nimbang kata apa saja yang harus dia ucapkan.“Biar Safira sendiri yang bicara padamu,” ucap ayah Safira sambil memalingkan pandangannya ke arah lain. Dia membalikkan badan sebagaimana yang Safi