Share

6. Tidak Perlu Mengingatnya Lagi

Hari-hari pun berlalu begitu saja. Begitu cepat dan tak terasa. Alina sudah memperpanjang masa cutinya. Sedangkan Maya teman dekatnya, kemarin baru saja tiba ke kota Y. Ketika mendengar kabar pernikahan Alina, ia segera mengurus cutinya.

 

Dan hari yang paling tidak diinginkan Alina, akhirnya tiba.

 

Alina tidak lagi mampu mengelak nya. Tepat di sebuah ruang yang di dominasi warna putih dan aroma obat-obatan. Di situlah tempat berlangsungnya ijab qobul. Yang mana di sebuah bangsal rumah sakit tempat neneknya dirawat.

 

Seorang penghulu dan beberapa kerabat tak lama lagi akan hadir memenuhi tempat itu.

Tentunya jumlah hadirin sangat di batasi, karena bagaimanapun tempat itu adalah rumah sakit.

 

Dan semua dilakukan dengan sangat biasa.

 

Termasuk penampilan Alina saat ini yang hanya mengenakan gaun putih polos sederhana yang dipadukan balutan hijab di kepalanya yang cukup simpel.

 

Maya yang membantu merias dirinya, tau Alina yang tidak suka make up berlebihan. Hanya membedakan wajahnya dan memoles sedikit lipstik merah di bibir tipisnya.

 

"Selesai!" Seru Maya gembira. Ia tidak akan pernah mengira Alina yang sangat membenci pria, akhirnya bertemu dengan jodohnya.

 

Sedangkan dirinya yang sudah lama menunggu, belum juga datang.

 

"Nenek lihat cucu anda! Dandanan sederhana seperti ini saja sudah luar biasa. Pria mana yang tidak jatuh hati"

 

Maya membawanya lebih dekat ke sisi ranjang tempat neneknya berbaring.

 

Alina hanya mengulum senyum tipis. Kalau bukan untuk menyenangkan hati neneknya, mana mau ia melakukan semua ini.

 

Menikah dengan seorang pria? Jenis yang paling ia benci.

 

Dan bahkan pria asing yang sama sekali tidak ia kenal!

 

Huh! Semua sungguh Alina lakukan untuk menyenangkan hati neneknya.

 

"Yah semua pria tentu menyukai keindahan, wanita pun juga begitu. Jika tidak tampan mana mungkin aku menerima perjodohan ini"

 

Alina mengekspresikan dirinya lebih ceria dan tegas. Neneknya bagaimana pun juga tidak boleh menangkap kesedihan di raut wajahnya.

 

Walau sebenarnya, Alina merasa sangat tertekan dengan situasinya saat ini.

 

"Yah, Alin harus berterimakasih pada nenek! Pria yang nenek kenalkan padamu selain tampan dia juga mapan. Cucu nenek pasti akan bahagia"

 

Mengepalkan kedua tangannya, Alina memaksakan dirinya untuk tetap tersenyum. Menarik nafasnya, ia menghembuskannya perlahan. "Seperti yang nenek katakan, tidak tau jika tidak mencoba! Ku harap, pilihan nenek sungguh yang terbaik"

 

Erina tersenyum lembut mendengarnya. Sebenarnya, ia agak terkejut dengan keputusan mendadak cucunya beberapa hari yang lalu. Meskipun sangat ingin melihat cucunya menikah. Erina tidak ingin memaksa cucunya itu, untuk menerima perjodohan yang ia buat.

 

Tapi siapa yang mampu menebak! Cucunya yang sangat membenci pria entah bagaimana begitu cepat berubah pikiran dan menerima perjodohan yang ia atur untuknya.

 

"Nenek kalau boleh tau kau sungguh menjodohkan Alina dengan seorang CEO tampan?" Maya yang sudah begitu dekat dengan keluarga kecil Alina, tentu sudah terbiasa memanggil wanita tua itu dengan sebutan 'nenek' sama seperti Alina. Bagi Maya, wanita tua itu sudah seperti neneknya sendiri.

 

"Itu benar! Dia adalah CEO muda PT. Jaya Sejahtera, perusahaan besar yang mengelola bagian kosmetik, pakaian bahkan kuliner. Sangat luar biasa bukan?"

 

Luar biasa apa? Itu karena kakek Zayyad adalah pemegang saham terbesar di perusahaan.

 

Ini sedikit tidak jauh berbeda dengan nepotisme. Meskipun itu adalah perusahaan besar keluarga. Tapi tetap saja ia memperoleh posisi itu dengan kuasa nepotisme.

 

Alina diam-diam memberi kritikan keras untuk Zayyad. Pria angkuh sepertinya itu, tidak pantas untuk di puji.

 

"Apa? Jadi dia adalah Zayyad kafa CEO muda yang dirumorkan gay itu!" Maya menyadari apa yang baru saja ia katakan, terus menutup mulutnya. Dalam hati ia merasa sangat menyesal karena sudah mengatakannya. Padahal itu hanyalah rumor dan belum tentu benar.

 

Alina sama sekali tidak tau kepanjangan nama Zayyad. Dan bahkan ia sangat terkejut dengan pernyataan Maya tadi. Barusan ia mengatakan gay?

 

"Maya tidak boleh berbicara sembarangan! Itu hanya rumor yang tidak bisa di pertanggungjawabkan kebenarannya. Buktinya jika kalau benar ia gay, bagaimana mungkin ia menerima di jodohkan dengan cucuku Alina"

 

Maya tersenyum cengengesan di tempat sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

 

"Maaf nenek! Mulut ini sangat ceroboh"

 

Erina tidak terlalu mempermasalahkannya dan tersenyum. Meski sinar matanya sedikit berubah. Itu tampak seperti menyembunyikan sesuatu dan terlihat cukup rumit.

 

"Tok..tok"

 

Pintu bangsal terbuka.

 

Muncullah Bakri yang berpenampilan formal seperti biasa. Pria itu tersenyum sopan dan sedikit membungkuk pada mereka.

 

"Tuan Irsyad dan tuan Zayyad sedang menuju kemari bersama penghulu. Ijab kabul akan di mulai dalam beberapa menit lagi"

 

"Terus kenapa?" Ketus Alina sama sekali tidak memedulikan kesopanan. Matanya fokus melihat kuku-kukunya yang putih bersih.

 

Bakri tidak tahu kenapa Alina bersikap seakan begitu membencinya, hanya mampu meringis dalam hatinya.

 

'Apakah mereka punya dendam nenek moyang di masa silam?'

 

"Saya di utus untuk menyampaikan ini kepada Bu Alina untuk bersiap-siap"

 

"Aku sudah!"

 

Erina yang melihat gelagat cucunya yang sangat tidak bersahabat, tidak tahu berkata apa.

 

'Cucunya ini kapan berhenti membenci pria?'

 

"Terimakasih Bakri! Maafkan cucuku yang sedikit tidak sopan"

 

"Huh! Dimananya yang tidak sopan? nenek terlalu berlebih-lebihan" Ketus Alina.

 

Kemudian ia terus beranjak pergi ke balkon. Bangsal tempat perawatan neneknya terletak di lantai dua dan memiliki pintu terhubung ke balkon.

 

Maya yang melihat hal itu. Tidak lagi begitu terkejut. Ia cukup mengerti seperti apa seorang Alina. Ia pun pergi mengikuti Alina ke balkon hanya untuk melihat gadis itu memasang tampang masam di wajahnya.

 

"Lihat! Kenapa nenek ku akhir-akhir ini terus membela pria-pria asing itu? Bahkan ia tidak bosan-bosannya memuji mereka di depan ku" Gerutu Alina yang merasa sangat kesal. Tangannya yang terkepal terus meninju besi balkon.

 

Maya dapat melihat buku jarinya memerah.

 

"Apakah itu sakit?" Maya ragu-ragu bertanya.

 

"Tidak! Aku pernah memiliki jauh yang lebih dari ini" Tatapan Alina meredup. Merenungi buku-buku jarinya yang sudah memerah.

 

Sedang pikirannya menerawang jauh. Pada hari-hari yang seperti neraka untuknya.

 

Hari dimana punggungnya di pukul dengan balok sampai menyisakan bekas hingga hari ini. Hari dimana ia di tampar berkali-kali dengan kasar. Hari di mana ia di rantai di dalam gudang yang gelap.

 

Dan masih banyak hari-hari lainnya yang Alina tak sanggup mengingatnya. Mendadak ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Itu hangat dan bersahabat.

 

Matanya yang memanas, masih berusaha keras untuk mempertahankan butir-butir jernih yang sudah tergenang di pelupuk mata.

 

"Tidak perlu mengingatnya lagi!"

 

Itu adalah Maya yang memeluk Alina dengan erat. Seakan ia sedang menyalurkan semua energi yang ia miliki untuknya.

 

"Ya, tidak perlu mengingatnya lagi" Ulang Alina, meski terdengar cukup lirih. Tapi itu kecaman tegas untuk dirinya sendiri.

 

Mengerjapkan matanya berkali-kali, Alina akhirnya berhasil mengeringkan air matanya yang tidak jadi jatuh.

 

Maya menarik Alina untuk berputar menghadapnya.

 

"Aku tau kau sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini! Tapi aku yakin satu hal" Kata Maya lembut. Matanya dengan tenang menatap lurus kearah Alina.

 

"Apa itu?"

 

"Kau mengikhlaskan keputusan berat ini untuk menyenangkan hati nenekmu, Allah pasti akan membalas keikhlasan mu itu dengan suatu hal yang sangat indah. Percayalah!"

 

Alina dapat melihat sorot mata Maya yang serius dan menyakinkan. Gadis di depannya ini selalu bersikap relijius dan optimis dalam menjalani kehidupan.

 

Perlahan Alina menganggukkan kepalanya dan tersenyum.

 

"Em! Terimakasih Maya. Aku merasa jauh lebih baik sekarang"

 

___

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status