Taksi yang ditumpangi Tanisha beserta keluarga akhirnya sampai di sebuah lahan parkir yang cukup luas. Tepat di sebelah utara terdapat pintu gerbang yang menghubungkan lahan parkir itu menuju ke area pesantren.
Semua anggota keluarga turun dari dalam taksi. Namun, tidak dengan Tanisha. Ia terlalu malas untuk turun dari dalam taksi.
"Hufftt, udah mah mau dijodohin, terus yang harus nyamperin, tuh, malah pihak ceweknya. Ish, nyebelin," gumam gadis itu dengan raut wajah yang kesal.
Sebelum berangkat tadi Tanisha sempat berdebat dengan kedua orang tuanya mengenai perjodohannya dengan ... tak tahu siapa orangnya. Tanisha sudah sebisa mungkin menolak perjodohan ini, tetapi ia harus kalah hanya karena kalimat, "Ini semua demi kebaikan kamu."
Sungguh, ia sangat benci kalimat itu.
"Cha, ayo turun. Jodoh kamu udah nungguin, tuh," goda Afzar yang sedari tadi berdiri menunggu Tanisha di depan pintu mobil.
Gadis berjilbab hitam itu kembali menghela napas kesal. Dengan langkah kaki yang dihentak-hentakkan, ia keluar dan pergi menyusul keluarga yang lain.
Tanisha menatap ke sekeliling area pesantren. Banyak santri yang berlalu lalang di sana. Ada yang sedang bermain sepak bola, lari-larian, yang sedang sibuk menghapal sendirian pun ada.
Tapi anehnya, ia tak melihat santriwati di sana.
"Yang cewek ada di gerbang kedua pas sebelum kita ke sini," ujar Afzar seolah tahu apa yang dipikirkan adiknya.
Tanisha memutar bola matanya saat salah seorang santri tersenyum ke arahnya. Ia benar-benar tak menyukai mereka. Entahlah.Beberapa saat kemudian, mereka sampai di sebuah rumah 2 tingkat sederhana. Arsitekturnya yang terbuat dari kayu, tetapi didesain sebegitu indahnya membuat rumah ini terlihat elegan.
Tanisha dan juga yang lainnya masuk ke dalam setelah sebelumnya mengucap salam dan dipersilakan masuk.
"Bagaimana kabarnya?" tanya
Fian—ayah Tanisha—sambil memeluk seorang pria paruh baya."Alhamdulillah, baik, Fi," balas Sardan—Abi Aqlan.
Semua orang yang berada di ruangan itu pun duduk di kursi yang tersedia. Mereka berbincang-bincang sebelum acara taaruf dimulai.
Tanisha menyimak pembicaraan ayahnya dengan sahabatnya. Wajah gadis itu kian cemberut kala mendengar ayahnya membicarakan soal pernikahannya dengan ... Aqlan? Ya, ia rasa nama itu yang didengarnya.
Menyebalkan sekali rasanya. Ia hanya bisa menerima perjodohan ini dengan sikap pasrah. Mereka pikir ini cerita novel yang setiap perjodohan pasti dari benci jadi cinta? Oh tidak! Tanisha bukan gadis seperti itu. Ia pun tak seperti gadis di novel yang begitu lemahnya sampai pasrah dijodohkan.
Tunggu saja dan lihat apa yang akan ia lakukan.
"Ayah, aku keluar dulu, ya? Bosen, nih," pinta Tanisha yang kemudian diangguki Fian.
Dengan perasaan senang, Tanisha keluar dari rumah itu dan berjalan di sekitar pesantren. Sungguh, ia sangat lega telinganya bisa terhindar dari pembicaraan horor itu.
Ya, baginya menikah dengan seorang gus adalah bencana. Bencana yang harus segera ditanggulangi sebelum akibatnya semakin menjadi.
Tanpa gadis itu sadari, ia berjalan di sekitar asrama ikhwan. Namun, sepertinya jiwa "bad girl"-nya yang masih tersisa membuatnya biasa saja dan tak memedulikan konsekuensi yang mungkin ia terima. Beruntung ia bukan perempuan yang suka cari perhatian jika di depan laki-laki.
"Permisi," sapa seseorang yang tiba-tiba ada di samping Tanisha.
Bahu gadis itu bergerak pertanda ia terkejut. Ia kemudian menghadapkan seluruh tubuhnya ke orang itu.
Terlihat seorang laki-laki yang ia prediksi 2 atau 3 tahun lebih tua darinya. Laki-laki itu memakai baju koko berwarna abu-abu.
Dengan tatapan sinis, Tanisha menyahut, "Apa?"
Laki-laki itu tersenyum ramah ke arah Tanisha, tetapi tak gadis itu hiraukan. "Kenapa ada di sini? Asrama akhwat ada di sana. Apa kamu nyasar?"
Kedua mata Tanisha terbelalak. Bisa-bisa laki-laki itu berpikir seperti itu.
"Heh, aku bukan orang sini. Aku tamu, lho, di sini," ucapnya dengan nada ketus. Tak lupa kedua tangannya ia lipat di depan dada.
"Tamu? Tapi kenapa di sini? Harusnya di rumah, dong. Lagian, nggak baik kamu ada di sini. Liat, tuh, di sini semuanya ikhwan. Nanti terjadi fitnah."
Gadis itu menghela napas kesal. Ia kemudian membalikkan seluruh tubuhnya dan berjalan menjauh sambil menghentak-hentakkan kakinya.
Laki-laki itu terdiam sambil menatap kepergian Tanisha. Ia agak bingung dengan sikapnya tadi. Padahal, ia bicara dengan baik-baik. Tapi mengapa gadis itu seolah kesal dengannya?
"Permisi, Gus Aqlan."
Suara seseorang membuyarkan lamunan laki-laki itu. Ia kemudian tersenyum pada orang itu lalu segera pergi ke rumah orang tuanya.
***
"Nah, jadi ini yang namanya Aqlan, Nak Nisha."
Tanisha menatap laki-laki yang duduk di hadapannya. Ia menatap lamat-lamat laki-laki itu. Sepertinya ia merasa tak asing dengan dia.
Tanisha terkejut saat menyadari bahwa laki-laki itu adalah orang yang ia temui di area asrama tadi. Raut wajah gadis itu kian terlihat kesal.
'Sial, aku dijodohin sama dia.'
"Aqlan, ini perempuan yang mau Abi jodohkan sama kamu. Namanya Tanisha."
Aqlan tersenyum ramah sambil ke arah Tanisha. Namun, dengan cepat gadis itu menoleh ke arah lain.
Jujur saja, Aqlan juga terkejut. Akan tetapi, rasa debar di jantungnya lebih besar dari rasa kagetnya. Entahlah.
"Nisha ini seorang penulis, lho. Dia juga pintar masak. Mandiri lagi."
"Maa syaa Allah." Aqlan menatap wajah Tanisha sekilas. Ada rasa sejuk ketika menatap gadis itu.
Di mata Aqlan, Tanisha memang tak secantik perempuan lain. Ia begitu sederhana. Mungkin cantiknya gadis itu terlihat dari sikapnya yang cuek dan dingin pada laki-laki.
"Nisha, Aqlan ini guru di pesantren ini. Dia juga guru di beberapa sekolah swasta."
Ucapan Sardan itu tak membuat Tanisha menjadi tertarik pada Aqlan. Di matanya, Aqlan hanya seorang laki-laki yang sialnya malah dijodohkan dengannya.
Pembicaraan pun melebar ke mana-mana. Sampai-sampai masa kecil keduanya pun diceritakan.
Menurut pembicaraan kedua orang tua masing-masing, Aqlan dan Tanisha sebenarnya sudah saling mengenal sejak usia 7 tahun. Namun, mereka berpisah karena Aqlan dan kedua orang tuanya sempat pindah jauh. Dulu, katanya mereka berdua adalah sahabat.
Namun, lagi-lagi topik itu tetap tak membuat Tanisha tertarik. Apa pedulinya ia yang bersahabat baik dengan Aqlan sewaktu kecil? Bahkan ingat saja ia tidak.
"Jadi, kamu mau, 'kan, dijodohkan dengan Tanisha?" tanya Sardan pada Aqlan.
Baru saja Aqlan hendak membuka suara, suara Tanisha mendahuluinya.
"Jangan tanya sekarang, Om. Boleh nggak kasih kita waktu buat bicara berdua? Bentar aja," pinta gadis itu dengan nada memohon.
"Aqlan, apa kamu mau?"
Aqlan menatap heran ke arah Tanisha. Gadis itu kemudian memberi kode padanya agar menyetujui permintaannya.
"Eh, eee, iya, Abi. Kita bicara berdua aja dulu," jawabnya gugup.
Tanisha pun segera keluar diikuti Aqlan. Tak lupa ada Afzar yang menemani keduanya.
***
Beberapa bulan kemudian semenjak kejadian Tanisha keguguran, semua kembali berjalan dengan normal. Hubungannya dengan Rezvan kembali membaik. Tak ada lagi saling diam mendiami satu sama lain. Semua benar-benar kembali ke keadaan di mana mereka baru memulai yang namanya bahtera rumah tangga. Persoalan Theano, laki-laki itu sudah ditangkap dan dipenjara atas kasus yang ia lakukan. Meneror, menyerang, dan membuat kandungan Tanisha keguguran. Meski begitu, tak ada rasa dendam atau benci di hati Tanisha dan Rezvan. Mereka senang karena telah mendapat keadilan. Namun, mereka juga tetap memaafkan perbuatan Theano. Hari-hari berjalan dengan penuh kebahagiaan dan canda tawa. Tak ada kekhawatiran akan keturunan yang belum juga diamanahkan. Tanisha dan Rezvan menjalani semuanya dengan penuh kesabaran. Diiringi doa dan ikhtiar, mereka tak berhenti berharap agar Tuhan kembali mempercayakan seorang anak pada mereka. "Sayang, aku berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah," ucap Rezvan
Afzar tampak keheranan saat mendapati Tanisha yang sudah kembali dari taman, tetapi dengan wajah yang tampak murung. Perempuan itu melewatinya begitu saja. Bahkan tak membalas sapaannya saat ia menyapa. Afzar yang semula duduk di luar ruangan inap pun lekas mengekori Tanisha hingga ke dalam. Ia masih menatap dalam diam memandangi sang adik yang duduk di atas ranjang sambil tertunduk lesu. "Cha, tadi Rezvan dateng ngejenguk. Udah ketemu belum?" tanyanya sambil menarik kursi mendekati ranjang. Tanisha mengangguk mengiyakan. "Ketemu. Tadi di taman." "Terus, sekarang dia di mana? Kok, gak bareng kamu?" tanya Afzar lagi seraya celingak-celinguk mencari keberadaan suami adiknya. "Aku belum mau ketemu sama dia dulu, Bang. Dan tolong, jangan bicarain dia juga di depan aku." Setelah mengatakan itu, perempuan dengan piyama warna biru tosca itu meluruskan kedua kakinya, lalu ditutupi dengan kain selimut yang tebal. Afzar memandangi wajah adiknya tersebut lekat-lekat. Dapat ia lihat jejak k
BRUK!Untuk ke sekian kalinya Rezvan melempar tubuh Theano ke lantai hingga tersungkur. Memar dan darah menyebar di beberapa bagian anggota tubuh laki-laki itu. Keadaannya sangat memprihatinkan, seolah sedang berada di antara hidup dan mati. Laki-laki dengan wajah penuh amarah itu berjalan mendekati Theano yang masih berusaha untuk bangkit dengan sisa tenaga yang ada. Dinding di belakangnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya yang serasa sudah begitu remuk. Rezvan, dengan napasnya yang memburu, dengan kasar menarik kerah baju Theano hingga laki-laki yang sudah sangat lemah itu berdiri lunglai. Tatapan yang ia layangkan begitu tajam setajam mata elang. Tatapan itu seolah mengartikan berapa marahnya atas apa yang dilakukan oleh lawannya tersebut. "Dengerin gue, Theano. Kalo lo masih berani nyentuh istri gue dikit aja, gue gak akan pernah biarin lo hidup lagi. Sekarang lo beruntung masih gue kasih kesempatan buat hidup. Inget, perbuatan lo gak akan semudah itu gue maafin," tegas Rezvan
Semua anggota Garparez langsung menuju lokasi saat mendapat kabar bahwa Tanisha terluka akibat didorong oleh Theano hingga terjatuh. Wajah-wajah panik yang tertutup helm memenuhi jalanan. Kendaraan yang mereka kendalikan pun dilajukan begitu cepat. Sementara itu, Rezvan yang ditemani Kalandra bergegas mengambil langkah cepat dengan mengantarkan Tanisha ke rumah sakit. Raut wajah Rezvan tampak sangat khawatir. Keselamatan istri dan calon anaknya benar-benar membuatnya tak dapat duduk tenang barang sekejap saja. Bahkan, ketika Tanisha sudah dimasukkan ke ruang IGD, Rezvan masih saja tak henti-hentinya bersikap sangat panik. Ia tak mau menunggu sambil duduk. Terus saja dirinya mondar-mandir di depan pintu sambil menyatukan kedua tangan, berharap tak ada kabar menyakitkan nantinya. Kalandra yang paham apa yang tengah dirasakan oleh calon ayah itu tak mampu berbuat apa pun. Sejujurnya ia juga merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Tanisha. Betapa menyesalnya karena sebagai seorang l
Suara pintu yang diketuk beradu dengan suara bel hingga terdengar seluruh penjuru rumah. Tanisha yang saat itu sedang bekerja di depan laptopnya lantas bergegas turun ke bawah menuju pintu utama. Suara bel yang dipencet beberapa kali membuat Tanisha makin mempercepat langkahnya. Suara yang sangat keras itu seolah membuat gendang telinganya hampir pecah. Diiringi perasaan kesal ia pun lekas membuka pintu dan matanya pun menangkap sosok lelaki yang tak ia kenal. "Mau ketemu siapa, ya?" tanya Tanisha dengan wajah masam. Penampilan laki-laki yang seperti anak geng motor itu membuatnya seakan kembali diingatkan pada kebohongan suaminya. "Kamu. Tanisha Azzahra Khalisah," jawab laki-laki itu disertai senyuman yang tak dapat perempuan itu tebak senyuman apakah itu. "Aku? Kamu siapa? Ada urusan apa kamu sama aku?" Nada bicara Tanisha terdengar agak ketus. Matanya terus mengamati penampilan laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. "Saya cuma mau menyampaikan satu hal dari atasan sam
Keesokan paginya, Rezvan sudah siap dengan setelan pakaiannya. Namun, yang ia pakai bukan baju untuk bekerja seperti biasanya. Kali ini ia mengenakan kaos berwarna biru tua yang dibalut dengan jaket berbahan levi's. Dilihat dari penampilannya, sudah dapat ditebak kalau ia hendak pergi ke markas Garparez. Tanissha yang menyadari hal tersebut lantas menggerutu terus-menerus. Lidahnya tak berhenti mengumpati suaminya bahkan di saat ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kecewa yang belum juga mereda pun membuatnya tak sudi menanyakan apa pun pada laki-laki itu. Rezvan menatap istrinya dari kejauhan—tepatnya di balik pintu dapur. Ada rasa khawatir bercampur cemas saat melihat istrinya yang kini masih terlihat sibuk itu. Bayang-bayang Theano yang mungkin saja akan mendatangi Tanisha kapan pun dia mau. Apalagi membayangkan sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada perempuan itu rasanya ia tak sanggup. Rezvan tahu Tanisha masih marah padanya. Memang bukan hal yang mudah untuk mengemb
Pagi kembali menyapa. Mentari pun ikut menyambut dengan masuk ke celah-celah jendela dan memberikan kehangatan bagi setiap penghuni rumahnya. Aroma-aroma masakan dari setiap rumah menguar dari balik jendela dapur hingga mengundang rasa lapar yang telah tertahan semalaman. Akan tetapi, kehangatan itu tak dapat dirasakan oleh pasangan suami istri yang baru pulang dini hari tadi. Tak ada percakapan ringan yang menyertai kegiatan mereka di awal hari. Tak ada pelukan mesra yang biasanya selalu datang memberikan senyum manis yang menawan hati. Hanya ada keheningan tanpa ada keributan yang biasanya ada setiap hari. Di antara Tanisha maupun Rezvan, tak ada yang berani menyapa lebih dahulu. Masing-masing dari mereka fokus dengan urusannya tanpa memedulikan hubungan mereka yang terancam renggang. Kejadian semalam seolah mengubah 180 derajat kebiasaan mereka sehari-hari. Walaupun dengan rasa terpaksa, Tanisha menyiapkan sarapan pagi begitu cepat. Tak ada nyala kompor yang mengeluarkan api, d
Di malam yang gelap gulita itu Tanisha keluar dari area rumah sakit menuju taman tempat para pasien jalan-jalan untuk menenangkan diri. Di sana perempuan itu bersimpuh di atas rumput dengan kepala mendongak menatap langit. Sesakit inikah dibohongi? Kecewa yang mendalam seolah tak ada lagi celah untuk dapat memercayai sesuatu yang sudah disadari bahwa itu adalah kebohongan. Tanisha tahu, banyak kebaikan yang telah dilakukan Rezvan untuknya. Namun, entah mengapa satu kebohongan itu telah meruntuhkan seluruh kepercayaan yang pernah ia berikan pada laki-laki itu. Entah mungkin karena faktor kehamilan atau apa pun itu, yang jelas kini ia benar-benar kecewa. Dengan langkah yang terseok-seok Rezvan datang menyusul istrinya. Wajahnya tampak khawatir. Matanya bergerak luar mencari keberadaan Tanisha. Saat matanya menangkap sosok yang dicarinya, ia pun langsung berlari dan memeluk perempuan itu. "Acha! Lo ngapain di sini? Ayo, duduk di kursi. Kita bicarain ini baik-baik, ya?" Rezvan memegan
Semua orang di lapangan tersebut terkejut dengan teriakan Rezvan. Mereka yang semula sedang bertarung memperebutkan kemenangan lantas menghentikan pertarungan mereka dan berlari menghampiri suara teriakan itu. Lawan mereka, yaitu anak buah Theano tertawa penuh kemenangan saat menyadari ketua dari lawan mereka sudah hampir tumbang. Wajah-wajah penuh kekhawatiran tampak jelas mengelilingi Rezvan yang terkulai lemas dengan Kalandra di sebelahnya. Laki-laki itu segera menyuruh seseorang untuk memanggil ambulan agar sahabatnya dapat segera ditangani. Tanpa akhir yang diharapkan, pertarungan ini selesai dengan kekecewaan. Perdamaian yang menjadi tujuan kini hirap tak berbekas. Theano dan antek-anteknya tertawa lepas melihat kekalahan dari rivalnya, Rezvan. Lagi, tentang Tanisha yang sudah mengetahui yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi dengan hak itu. Tak lama setelah dipanggil, ambulan pun datang dan segera mengeluarkan tandu untuk membantu mengangkat Rezvan masuk ke dalam mobil