Share

PART 01

Taksi yang ditumpangi Tanisha beserta keluarga akhirnya sampai di sebuah lahan parkir yang cukup luas. Tepat di sebelah utara terdapat pintu gerbang yang menghubungkan lahan parkir itu menuju ke area pesantren.

Semua anggota keluarga turun dari dalam taksi. Namun, tidak dengan Tanisha. Ia terlalu malas untuk turun dari dalam taksi.

"Hufftt, udah mah mau dijodohin, terus yang harus nyamperin, tuh, malah pihak ceweknya. Ish, nyebelin," gumam gadis itu dengan raut wajah yang kesal.

Sebelum berangkat tadi Tanisha sempat berdebat dengan kedua orang tuanya mengenai perjodohannya dengan ... tak tahu siapa orangnya. Tanisha sudah sebisa mungkin  menolak perjodohan ini, tetapi ia harus kalah hanya karena kalimat, "Ini semua demi kebaikan kamu."

Sungguh, ia sangat benci kalimat itu.

"Cha, ayo turun. Jodoh kamu udah nungguin, tuh," goda Afzar yang sedari tadi berdiri menunggu Tanisha di depan pintu mobil.

Gadis berjilbab hitam itu kembali menghela napas kesal. Dengan langkah kaki yang dihentak-hentakkan, ia keluar dan pergi menyusul keluarga yang lain.

Tanisha menatap ke sekeliling area pesantren. Banyak santri yang berlalu lalang di sana. Ada yang sedang bermain sepak bola, lari-larian, yang sedang sibuk menghapal sendirian pun ada.

Tapi anehnya, ia tak melihat santriwati di sana.

"Yang cewek ada di gerbang kedua pas sebelum kita ke sini," ujar Afzar seolah tahu apa yang dipikirkan adiknya.

 

Tanisha memutar bola matanya saat salah seorang santri tersenyum ke arahnya. Ia benar-benar tak menyukai mereka. Entahlah.

Beberapa saat kemudian, mereka sampai di sebuah rumah 2 tingkat sederhana. Arsitekturnya yang terbuat dari kayu, tetapi didesain sebegitu indahnya membuat rumah ini terlihat elegan.

Tanisha dan juga yang lainnya masuk ke dalam setelah sebelumnya mengucap salam dan dipersilakan masuk.

"Bagaimana kabarnya?" tanya

Fian—ayah Tanisha—sambil memeluk seorang pria paruh baya.

"Alhamdulillah, baik, Fi," balas Sardan—Abi Aqlan.

Semua orang yang berada di ruangan itu pun duduk di kursi yang tersedia. Mereka berbincang-bincang sebelum acara taaruf dimulai.

Tanisha menyimak pembicaraan ayahnya dengan sahabatnya. Wajah gadis itu kian cemberut kala mendengar ayahnya membicarakan soal pernikahannya dengan ... Aqlan? Ya, ia rasa nama itu yang didengarnya.

Menyebalkan sekali rasanya. Ia hanya bisa menerima perjodohan ini dengan sikap pasrah. Mereka pikir ini cerita novel yang setiap perjodohan pasti dari benci jadi cinta? Oh tidak! Tanisha bukan gadis seperti itu. Ia pun tak seperti gadis di novel yang begitu lemahnya sampai pasrah dijodohkan.

Tunggu saja dan lihat apa yang akan ia lakukan.

"Ayah, aku keluar dulu, ya? Bosen, nih," pinta Tanisha yang kemudian diangguki Fian.

Dengan perasaan senang, Tanisha keluar dari rumah itu dan berjalan di sekitar pesantren. Sungguh, ia sangat lega telinganya bisa terhindar dari pembicaraan horor itu.

Ya, baginya menikah dengan seorang gus adalah bencana. Bencana yang harus segera ditanggulangi sebelum akibatnya semakin menjadi.

Tanpa gadis itu sadari, ia berjalan di sekitar asrama ikhwan. Namun, sepertinya jiwa "bad girl"-nya yang masih tersisa membuatnya biasa saja dan tak memedulikan konsekuensi yang mungkin ia terima. Beruntung ia bukan perempuan yang suka cari perhatian jika di depan laki-laki.

"Permisi," sapa seseorang yang tiba-tiba ada di samping Tanisha.

Bahu gadis itu bergerak pertanda ia terkejut. Ia kemudian menghadapkan seluruh tubuhnya ke orang itu.

Terlihat seorang laki-laki yang ia prediksi 2 atau 3 tahun lebih tua darinya. Laki-laki itu memakai baju koko berwarna abu-abu. 

Dengan tatapan sinis, Tanisha menyahut, "Apa?"

Laki-laki itu tersenyum ramah ke arah Tanisha, tetapi tak gadis itu hiraukan. "Kenapa ada di sini? Asrama akhwat ada di sana. Apa kamu nyasar?"

Kedua mata Tanisha terbelalak. Bisa-bisa laki-laki itu berpikir seperti itu.

"Heh, aku bukan orang sini. Aku tamu, lho, di sini," ucapnya dengan nada ketus. Tak lupa kedua tangannya ia lipat di depan dada.

"Tamu? Tapi kenapa di sini? Harusnya di rumah, dong. Lagian, nggak baik kamu ada di sini. Liat, tuh, di sini semuanya ikhwan. Nanti terjadi fitnah."

Gadis itu menghela napas kesal. Ia kemudian membalikkan seluruh tubuhnya dan berjalan menjauh sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Laki-laki itu terdiam sambil menatap kepergian Tanisha. Ia agak bingung dengan sikapnya tadi. Padahal, ia bicara dengan baik-baik. Tapi mengapa gadis itu seolah kesal dengannya?

"Permisi, Gus Aqlan."

Suara seseorang membuyarkan lamunan laki-laki itu. Ia kemudian tersenyum pada orang itu lalu segera pergi ke rumah orang tuanya.

***

"Nah, jadi ini yang namanya Aqlan, Nak Nisha."

Tanisha menatap laki-laki yang duduk di hadapannya. Ia menatap lamat-lamat laki-laki itu. Sepertinya ia merasa tak asing dengan dia.

Tanisha terkejut saat menyadari bahwa laki-laki itu adalah orang yang ia temui di area asrama tadi. Raut wajah gadis itu kian terlihat kesal.

'Sial, aku dijodohin sama dia.'

"Aqlan, ini perempuan yang mau Abi jodohkan sama kamu. Namanya Tanisha."

Aqlan tersenyum ramah sambil ke arah Tanisha. Namun, dengan cepat gadis itu menoleh ke arah lain.

Jujur saja, Aqlan juga terkejut. Akan tetapi, rasa debar di jantungnya lebih besar dari rasa kagetnya. Entahlah.

"Nisha ini seorang penulis, lho. Dia juga pintar masak. Mandiri lagi."

"Maa syaa Allah." Aqlan menatap wajah Tanisha sekilas. Ada rasa sejuk ketika menatap gadis itu.

Di mata Aqlan, Tanisha memang tak secantik perempuan lain. Ia begitu sederhana. Mungkin cantiknya gadis itu terlihat dari sikapnya yang cuek dan dingin pada laki-laki. 

"Nisha, Aqlan ini guru di pesantren ini. Dia juga guru di beberapa sekolah swasta."

Ucapan Sardan itu tak membuat Tanisha menjadi tertarik pada Aqlan. Di matanya, Aqlan hanya seorang laki-laki yang sialnya malah dijodohkan dengannya.

Pembicaraan pun melebar ke mana-mana. Sampai-sampai masa kecil keduanya pun diceritakan.

Menurut pembicaraan kedua orang tua masing-masing, Aqlan dan Tanisha sebenarnya sudah saling mengenal sejak usia 7 tahun. Namun, mereka berpisah karena Aqlan dan kedua orang tuanya sempat pindah jauh. Dulu, katanya mereka berdua adalah sahabat. 

Namun, lagi-lagi topik itu tetap tak membuat Tanisha tertarik. Apa pedulinya ia yang bersahabat baik dengan Aqlan sewaktu kecil? Bahkan ingat saja ia tidak.

"Jadi, kamu mau, 'kan, dijodohkan dengan Tanisha?" tanya Sardan pada Aqlan.

Baru saja Aqlan hendak membuka suara, suara Tanisha mendahuluinya.

"Jangan tanya sekarang, Om. Boleh nggak kasih kita waktu buat bicara berdua? Bentar aja," pinta gadis itu dengan nada memohon.

"Aqlan, apa kamu mau?"

Aqlan menatap heran ke arah Tanisha. Gadis itu kemudian memberi kode padanya agar menyetujui permintaannya.

"Eh, eee, iya, Abi. Kita bicara berdua aja dulu," jawabnya gugup.

Tanisha pun segera keluar diikuti Aqlan. Tak lupa ada Afzar yang menemani keduanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status