Share

Ikatan di Atas Kertas
Ikatan di Atas Kertas
Author: Kato Yuuki

PROLOG

Tanisha merenggangkan otot-ototnya yang terasa ingin patah. Ia juga terus menerus mengucek kedua matanya yang sudah sangat lelah. Duduk di depan laptop selama berjam-jam benar-benar telah membuat tubuh gadis itu seakan remuk.

Kilatan cahaya dari langit malam menghiasi suasana kesendirian Tanisha. Ia segera beranjak menuju kamar mandi. Setelah beberapa menit, ia pun kembali keluar dengan sebagian anggota tubuh yang basah.

Dengan malas ia berjalan ke arah ranjangnya lalu melemparkan tubuhnya ke atas kasur empuknya. Helaan napas keluar dari mulut perempuan berusia sekitar 22 tahun itu.

"Akhirnya, aku bisa istirahat dengan tenang. Ah, tapi sial. Besok aku harus usaha makin keras karena deadline hampir tiba," ujarnya sambil mengambil ponselnya yang berada di atas nakas.

Dengan satu tangan yang memeluk guling, matanya terfokus pada layar ponsel. Sesekali terdengar kekehan ringan keluar dari mulutnya. Tak ada yang lucu. Hanya saja, ia seringkali ingin tertawa saat mendapat pesan yang menyatakan ingin menggunakan jasanya.

Setelah membalas pesan-pesan yang masuk, Tanisha lekas menutup ponselnya lalu menyimpannya kembali di tempat semula. Kedua matanya sudah semakin berat dan sulit terbuka. Hingga akhirnya, dengan mulut yang masih bergerak mengucap doa-doa, kedua matanya sudah tertutup rapat.

Di balik pintu, seseorang mengintip Tanisha yang tengah tertidur pulas. Ia menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis yang mengembang di wajahnya.

***

"Pagi, Abang!" sapa Tanisha lalu mengecup singkat pipi Afzar.

"Hm."

Tanisha menatap kesal sang Kakak yang tengah sibuk merapikan kemejanya di depan cermin. 

Berkali-kali Tanisha melemparkan senyum pada Afzar sebagai kode. Namun, tak dihiraukannya.

"Abang ...," panggil Tanisha.

"Apa, sih, Cha?" sahut laki-laki itu dengan tangan yang sibuk memasangkan jam tangan di pergelangan tangannya.

"Hari ini bantu Acha edit tulisan Acha, ya? Capek, nih. Deadline-nya bentar lagi," ujar Tanisha sambil menggelayut di lengan sang kakak.

Afzar menatap wajah sang adik dari cermin. Bisa ia lihat gurat kelelahan dari wajah adiknya. Pekerjaannya sebagai penulis di salah satu platform menulis membuat Tanisha mau tak mau harus siap disuguhi kesibukan yang tiada henti. Ditambah jasa Ghost Writer yang disediakan Tanisha membuat gadis itu kian hari semakin sibuk.

"Abang bisa, tapi nggak sekarang. Lagian kenapa kamu nggak cari kerjaan lain aja, sih? Yang lebih ringan gitu?"

Tanisha menggeleng pelan. Ia semakin mengeratkan pelukannya di lengan Afzar. Matanya yang terus memaksa tertutup menandakan bahwa gadis berwajah bulat itu tengah sangat mengantuk.

"Aku suka nulis, Bang. Lagian seru, nggak perlu keluar rumah. Sambil rebahan aja bisa."

Afzar menggelengkan kepalanya. Ia kemudian mengambil parfum lalu menyeprotkannya ke seluruh tubuhnya. Sontak hal itu membuat Tanisha lekas menjauh.

"Kalo mau semprot-semprot bilang, dong. Udah tau parfum cowok, tuh, nggak enak tau," sewot Tanisha sambil menutup mulut dan hidungnya.

Afzar tertawa ringan melihat reaksi Tanisha. Ia kemudian mengambil ponsel dan bersiap keluar.

"Mending kamu siap-siap, deh," ucap Afzar hingga membuat Tanisha mengernyit bingung.

"Buat apa?"

"Pergi ke Ponpes Al-Muhajirin."

"Ngapain?"

"Ngejodohin kamu sama anak sana."

"WHAT?!!"

***

"Aqlan, kamu udah siap?"

Aqlan yang tengah bersiap tersenyum mendengar suara lembut dari sang Ummi. Suara itu adalah suara terindah yang ingin selalu Aqlan dengar.

"Sebentar lagi, Ummi."

"Ya sudah. Ummi tunggu di depan, ya?"

"Na'am, Ummi."

Aqlan menatap pantulan dirinya di balik cermin. Senyumnya kian mengembang bersamaan dengan cerahnya pagi ini. 

Aqlan tahu besok adalah hari dipertemukannya ia dengan seorang gadis muslimah, putri dari sahabat kecil sang Abi. 

Sebelumnya ia sempat menolak. Namun, ia sadar. Mungkin jodohnya memang gadis itu. Ia yakin, apa yang 

ditakdirkan Allah pastilah yang terbaik.

Aqlan membalikkan badannya menghadap lukisan berkalimat "Allah" yang tertempel di dinding putih kamarnya. Ia menatap lamat-lamat tulisan Arab itu sambil tersenyum seolah tulisan itu adalah penyemangatnya.

Laki-laki itu memejamkan matanya sejenak sambil mengucap basmallah. Kemudian, ia berjalan ke arah pintu lalu keluar dari kamarnya.

Di ruang tamu sudah berkumpul seluruh anggota keluarga. Senyum sumringah terlihat di wajah-wajah mereka. Hal itu tentu saja membuat Aqlan turut bahagia.

"Cieee, yang mau ketemu jodohnya," celetuk Leyna—keponakan Aqlan—yang baru berusia 9 tahun.

Aqlan hanya tersenyum tipis menanggapinya. Jujur saja, hatinya kini tengah berdebar-debar meski pertemuannya akan dilakukan esok hari. 

"Aqlan."

Suara lembut sang Ummi kembali menyapa telinganya. Aqlan tersenyum sambil menatap Raidah yang kini sudah ada di dekatnya.

"Ada apa, Ummi?" tanya Aqlan seraya tersenyum.

Raidah membalas senyuman putranya lalu berkata, "Kita belum tau bagaimana putri dari sahabat Abi-mu nanti. Ummi harap, bagaimana pun dia, kamu bisa menerimanya, ya?"

Aqlan mengangguk pelan. Ia bisa merasakan kekhawatiran dari sang Ummi. 

"Iya, Insya Allah, Ummi."

"Alhamdulillah ...."

***

Aqlan berdiri di depan pagar balkonnya sambil menatap langit yang hitam pekat. Embusan angin yang mengenai wajahnya menimbulkan kesan tenang dan damai di hatinya. Tak lupa, lisannya tak henti-henti menggumamkan kalimat zikir sebagai bentuk kekagumannya atas ciptaan Tuhan yang begitu indah ini. 

Pikirannya tiba-tiba melayang  pada kejadian pagi tadi, saat kedua orang tuanya mengatakan bahwa ia akan dijodohkan dengan seorang perempuan muslimah. Ia tak berharap lebih tentang seseorang itu. Ia hanya berharap, perempuan itu bisa menyayangi kedua orang tuanya seperti menyayangi kedua orang tua perempuan itu sendiri. 

Aqlan pun hanya berharap perempuan itu adalah seseorang yang bersedia menemani di setiap langkahnya. Bersama-sama meraih rida-Nya, dan 

menjadikan surga sebagai pelabuhan terakhir dari perjalanan rumah tangganya nanti. 

Aqlan memejamkan kedua matanya sejenak. Menikmati embusan angin malam yang semakin terasa sejuk. Beberapa saat kemudian, ia kembali membuka kedua kelopak matanya lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya. 

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sebelum ia pergi ke alam mimpi, Aqlan mengambil air wudhu terlebih dahulu lalu melaksanakan salat witir sebanyak 3 rakaat. Aqlan memang tak pernah lupa untuk melaksanakan salah satu sunnah Nabi sebelum tidur itu. 

Setelah salatnya selesai, ia membaca zikir-zikir pendek lalu mengangkat kedua tangannya untuk memanjatkan doa-doa. Ia berdoa untuk kedua orang tuanya, para gurunya, orang-orang terdekatnya, orang-orang yang mengenalnya, murid-muridnya, dan terakhir, untuk dirinya sendiri. 

Tak lupa, ia juga berdoa untuk pertemuan esok hari dengan keluarga teman sang ayah. Ia berharap, semua akan berjalan lancar tiada kendala. Ia pun berdoa agar diberikan sosok pendamping yang terbaik. Semua doa-doanya itu akhirnya ia tutup dengan kalimat "Aamiin Allahumma Aamiin."

Aqlan pun berdiri lalu merapikan perlengkapan salatnya. Kemudian, laki-laki itu mengganti pakaiannya dengan piyama. Lampu tidur dimatikan, dan ia pun membaringkan tubuhnya di atas ranjang kesayangannya. Kemudian, segera berangkat menuju alam bawah sadarnya setelah merapalkan doa sebelum tidur. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status