Tanisha merenggangkan otot-ototnya yang terasa ingin patah. Ia juga terus menerus mengucek kedua matanya yang sudah sangat lelah. Duduk di depan laptop selama berjam-jam benar-benar telah membuat tubuh gadis itu seakan remuk.
Kilatan cahaya dari langit malam menghiasi suasana kesendirian Tanisha. Ia segera beranjak menuju kamar mandi. Setelah beberapa menit, ia pun kembali keluar dengan sebagian anggota tubuh yang basah.
Dengan malas ia berjalan ke arah ranjangnya lalu melemparkan tubuhnya ke atas kasur empuknya. Helaan napas keluar dari mulut perempuan berusia sekitar 22 tahun itu.
"Akhirnya, aku bisa istirahat dengan tenang. Ah, tapi sial. Besok aku harus usaha makin keras karena deadline hampir tiba," ujarnya sambil mengambil ponselnya yang berada di atas nakas.
Dengan satu tangan yang memeluk guling, matanya terfokus pada layar ponsel. Sesekali terdengar kekehan ringan keluar dari mulutnya. Tak ada yang lucu. Hanya saja, ia seringkali ingin tertawa saat mendapat pesan yang menyatakan ingin menggunakan jasanya.
Setelah membalas pesan-pesan yang masuk, Tanisha lekas menutup ponselnya lalu menyimpannya kembali di tempat semula. Kedua matanya sudah semakin berat dan sulit terbuka. Hingga akhirnya, dengan mulut yang masih bergerak mengucap doa-doa, kedua matanya sudah tertutup rapat.
Di balik pintu, seseorang mengintip Tanisha yang tengah tertidur pulas. Ia menggelengkan kepalanya dengan senyum tipis yang mengembang di wajahnya.
***
"Pagi, Abang!" sapa Tanisha lalu mengecup singkat pipi Afzar.
"Hm."
Tanisha menatap kesal sang Kakak yang tengah sibuk merapikan kemejanya di depan cermin.
Berkali-kali Tanisha melemparkan senyum pada Afzar sebagai kode. Namun, tak dihiraukannya.
"Abang ...," panggil Tanisha.
"Apa, sih, Cha?" sahut laki-laki itu dengan tangan yang sibuk memasangkan jam tangan di pergelangan tangannya.
"Hari ini bantu Acha edit tulisan Acha, ya? Capek, nih. Deadline-nya bentar lagi," ujar Tanisha sambil menggelayut di lengan sang kakak.
Afzar menatap wajah sang adik dari cermin. Bisa ia lihat gurat kelelahan dari wajah adiknya. Pekerjaannya sebagai penulis di salah satu platform menulis membuat Tanisha mau tak mau harus siap disuguhi kesibukan yang tiada henti. Ditambah jasa Ghost Writer yang disediakan Tanisha membuat gadis itu kian hari semakin sibuk.
"Abang bisa, tapi nggak sekarang. Lagian kenapa kamu nggak cari kerjaan lain aja, sih? Yang lebih ringan gitu?"
Tanisha menggeleng pelan. Ia semakin mengeratkan pelukannya di lengan Afzar. Matanya yang terus memaksa tertutup menandakan bahwa gadis berwajah bulat itu tengah sangat mengantuk.
"Aku suka nulis, Bang. Lagian seru, nggak perlu keluar rumah. Sambil rebahan aja bisa."
Afzar menggelengkan kepalanya. Ia kemudian mengambil parfum lalu menyeprotkannya ke seluruh tubuhnya. Sontak hal itu membuat Tanisha lekas menjauh.
"Kalo mau semprot-semprot bilang, dong. Udah tau parfum cowok, tuh, nggak enak tau," sewot Tanisha sambil menutup mulut dan hidungnya.
Afzar tertawa ringan melihat reaksi Tanisha. Ia kemudian mengambil ponsel dan bersiap keluar.
"Mending kamu siap-siap, deh," ucap Afzar hingga membuat Tanisha mengernyit bingung.
"Buat apa?"
"Pergi ke Ponpes Al-Muhajirin."
"Ngapain?"
"Ngejodohin kamu sama anak sana."
"WHAT?!!"
***
"Aqlan, kamu udah siap?"
Aqlan yang tengah bersiap tersenyum mendengar suara lembut dari sang Ummi. Suara itu adalah suara terindah yang ingin selalu Aqlan dengar.
"Sebentar lagi, Ummi."
"Ya sudah. Ummi tunggu di depan, ya?"
"Na'am, Ummi."
Aqlan menatap pantulan dirinya di balik cermin. Senyumnya kian mengembang bersamaan dengan cerahnya pagi ini.
Aqlan tahu besok adalah hari dipertemukannya ia dengan seorang gadis muslimah, putri dari sahabat kecil sang Abi.
Sebelumnya ia sempat menolak. Namun, ia sadar. Mungkin jodohnya memang gadis itu. Ia yakin, apa yang
ditakdirkan Allah pastilah yang terbaik.
Aqlan membalikkan badannya menghadap lukisan berkalimat "Allah" yang tertempel di dinding putih kamarnya. Ia menatap lamat-lamat tulisan Arab itu sambil tersenyum seolah tulisan itu adalah penyemangatnya.
Laki-laki itu memejamkan matanya sejenak sambil mengucap basmallah. Kemudian, ia berjalan ke arah pintu lalu keluar dari kamarnya.
Di ruang tamu sudah berkumpul seluruh anggota keluarga. Senyum sumringah terlihat di wajah-wajah mereka. Hal itu tentu saja membuat Aqlan turut bahagia.
"Cieee, yang mau ketemu jodohnya," celetuk Leyna—keponakan Aqlan—yang baru berusia 9 tahun.
Aqlan hanya tersenyum tipis menanggapinya. Jujur saja, hatinya kini tengah berdebar-debar meski pertemuannya akan dilakukan esok hari.
"Aqlan."
Suara lembut sang Ummi kembali menyapa telinganya. Aqlan tersenyum sambil menatap Raidah yang kini sudah ada di dekatnya.
"Ada apa, Ummi?" tanya Aqlan seraya tersenyum.
Raidah membalas senyuman putranya lalu berkata, "Kita belum tau bagaimana putri dari sahabat Abi-mu nanti. Ummi harap, bagaimana pun dia, kamu bisa menerimanya, ya?"
Aqlan mengangguk pelan. Ia bisa merasakan kekhawatiran dari sang Ummi.
"Iya, Insya Allah, Ummi."
"Alhamdulillah ...."
***
Aqlan berdiri di depan pagar balkonnya sambil menatap langit yang hitam pekat. Embusan angin yang mengenai wajahnya menimbulkan kesan tenang dan damai di hatinya. Tak lupa, lisannya tak henti-henti menggumamkan kalimat zikir sebagai bentuk kekagumannya atas ciptaan Tuhan yang begitu indah ini.
Pikirannya tiba-tiba melayang pada kejadian pagi tadi, saat kedua orang tuanya mengatakan bahwa ia akan dijodohkan dengan seorang perempuan muslimah. Ia tak berharap lebih tentang seseorang itu. Ia hanya berharap, perempuan itu bisa menyayangi kedua orang tuanya seperti menyayangi kedua orang tua perempuan itu sendiri.
Aqlan pun hanya berharap perempuan itu adalah seseorang yang bersedia menemani di setiap langkahnya. Bersama-sama meraih rida-Nya, dan
menjadikan surga sebagai pelabuhan terakhir dari perjalanan rumah tangganya nanti.
Aqlan memejamkan kedua matanya sejenak. Menikmati embusan angin malam yang semakin terasa sejuk. Beberapa saat kemudian, ia kembali membuka kedua kelopak matanya lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sebelum ia pergi ke alam mimpi, Aqlan mengambil air wudhu terlebih dahulu lalu melaksanakan salat witir sebanyak 3 rakaat. Aqlan memang tak pernah lupa untuk melaksanakan salah satu sunnah Nabi sebelum tidur itu.
Setelah salatnya selesai, ia membaca zikir-zikir pendek lalu mengangkat kedua tangannya untuk memanjatkan doa-doa. Ia berdoa untuk kedua orang tuanya, para gurunya, orang-orang terdekatnya, orang-orang yang mengenalnya, murid-muridnya, dan terakhir, untuk dirinya sendiri.
Tak lupa, ia juga berdoa untuk pertemuan esok hari dengan keluarga teman sang ayah. Ia berharap, semua akan berjalan lancar tiada kendala. Ia pun berdoa agar diberikan sosok pendamping yang terbaik. Semua doa-doanya itu akhirnya ia tutup dengan kalimat "Aamiin Allahumma Aamiin."
Aqlan pun berdiri lalu merapikan perlengkapan salatnya. Kemudian, laki-laki itu mengganti pakaiannya dengan piyama. Lampu tidur dimatikan, dan ia pun membaringkan tubuhnya di atas ranjang kesayangannya. Kemudian, segera berangkat menuju alam bawah sadarnya setelah merapalkan doa sebelum tidur.
Taksi yang ditumpangi Tanisha beserta keluarga akhirnya sampai di sebuah lahan parkir yang cukup luas. Tepat di sebelah utara terdapat pintu gerbang yang menghubungkan lahan parkir itu menuju ke area pesantren.Semua anggota keluarga turun dari dalam taksi. Namun, tidak dengan Tanisha. Ia terlalu malas untuk turun dari dalam taksi."Hufftt, udah mah mau dijodohin, terus yang harus nyamperin, tuh, malah pihak ceweknya. Ish, nyebelin," gumam gadis itu dengan raut wajah yang kesal.Sebelum berangkat tadi Tanisha sempat berdebat dengan kedua orang tuanya mengenai perjodohannya dengan ... tak tahu siapa orangnya. Tanisha sudah sebisa mungkin menolak perjodohan ini, tetapi ia harus kalah hanya karena kalimat, "Ini semua demi kebaikan kamu."Sungguh, ia sangat benci kalimat itu."Cha, ayo turun. Jodoh kamu udah nungguin, tuh," goda Afzar yang sedari tadi berdiri menunggu Tanisha di depan pintu mobil.Gadis berjilbab hitam itu kembali menghela napas kesal. Dengan langkah kaki yang dihentak-h
Aku mau kamu tolak perjodohan kita." Tanisha berkata dengan pandangan lurus ke depan. Sikap dewasanya mendadak muncul."Kenapa aku harus melakukan itu?"Tanisha menoleh ke arah Aqlan yang berada di sampingnya. Raut terkejut terlihat di wajah baby face-nya."Kenapa kamu bilang? Hei, aku nggak pernah mau dijodohin. Apalagi sama kamu. Aku mau memilih pendamping hidup sendiri. Aku nggak suka hidup aku diatur-atur kayak gini. Emang kamu suka gitu dijodohin?" tukasnya dengan nada yang semakin meninggi.Aqlan mengusap kepalanya sejenak. Ia kemudian menyatukan kedua tangannya. Helaan napas pun terdengar dari mulut laki-laki itu.Afzar yang hanya bisa menonton dari belakang kursi pun terdiam. Tak berniat mencampuri urusan mereka. Ia pikir, mereka berhak memutuskan urusan mereka berdua saja."Aku diam karena aku berpikir mungkin memang kamu perempuan yang ditakdirkan untukku. Lagipula, aku nggak sanggup kalau harus menolak permintaan orang tuaku."Tiba-tiba Tanisha berdiri di depan Aqlan. Sonta
Tanisha menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun putih berhias bunga - bunga berwarna merah sudah terpasang di tubuhnya. Tak lupa jilbab senada yang juga dihiasi karangan bunga di atas kepalanya.Namun, wajah gadis itu terlihat cemberut, tak ada gurat kebahagiaan di wajahnya yang sudah dipolesi make up. Bahkan, sedari tadi ia justru terus mengomel.Sungguh, Tanisha tak menyangka akan sampai di hari ini. Ia pikir, ketika dirinya sudah terbangun, tanahlah yang akan ia lihat.Tanisha memang bisa segila itu.Sepeninggal tukang rias, gadis itu memilih untuk mengambil laptopnya dan kembali menulis cerita di sana. Harapannya semalam benar-benar terkabul untuk bisa mendapat inspirasi dari mimpinya sendiri. Daripada keburu lupa, lebih baik segera diaplikasikan ke dalam bentuk tulisan bukan?Tanisha tersenyum-senyum saat mulai mengetikkan kata per kata di keyboard laptopnya. Ingatannya saat membayangkan mimpinya kembali terasa lucu padahal saat baru terbangun gadis itu bercucuran keringat.Baga
"Bentar - bentar, ini maksud kamu apa? Ngapain kamu nyuruh Abang tanda tangan beginian?" tanya Aqlan. Dalam hati ia berharap Tanisha tak melakukan sesuatu yang tak ia harapkan."Tanda tangan aja, apa susahnya, sih? Udah, mending kamu baca semuanya, terus tanda tangan!" Tanisha melempar sebuah pulpen ke atas meja dengan kasar.Aqlan membaca isi map tersebut. Napasnya mulai memburu pertanda ia tengah menahan amarah. Sejurus kemudian, laki-laki itu berdiri lalu melempar map itu ke atas meja."Kamu mau kita menikah kontrak gitu? Nggak, Sha! Abang nggak akan ngelakuin itu. Itu nggak diperbolehkan dalam agama!""Aku nggak bilang kalau ini, tuh, semacam menikah kontrak. Aku lebih suka menyebutnya perjanjian dalam pernikahan," ujar Tanisha diakhiri senyum miring.Aqlan kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa. Wajahnya ia usap dengan kasar. Kalimat istigfar berkali-kali keluar dari mulutnya."Abang nggak mau, Sha," ucapnya pelan.Tanisha duduk di samping Aqlan. Raut wajahnya terlihat kesal.
Pagi hari, mungkin bagi pasangan lain yang baru menikah adalah momen terbaik untuk saling menyapa mesra. Sang istri menyiapkan sarapan untuk sang suami, dan sang suami menunggu sambil minum teh hangat di teras rumah.Atau bisa juga jalan-jalan kecil berdua di sekitar komplek. Lalu dilanjut dengan senam ringan di taman komplek. Setelahnya, sarapan di sebuah kedai kecil sambil berbincang kecil disertai kekehan tawa sesekali.Atau yang paling sederhananya, sekadar berbagi kehangatan di balik selimut tebal. Entah itu sambil mendengarkan musik, menonton televisi, atau bercerita ringan mengenai acara semalam.Sayang sekali, itu hanya menjadi ekspektasi belaka bagi Aqlan yang kini justru tidak dipedulikan oleh Tanisha. Selesai salat Subuh tadi istrinya itu langsung bekerja alias mulai mengetik cerita di laptopnya. Padahal, Aqlan ingin sekali menikmati waktu berdua bersama istrinya.Ya, seharusnya ia sadar, dirinya hanya suami dalam perjanjian yang artinya Tanisha tak p
Sesampainya di rumah, Aqlan dan Tanisha kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Tanisha dengan kertas beserta laptopnya, dan Aqlan dengan buku catatan serta kitab-kitabnya.1 proyek sudah selesai setelah menghabiskan waktu selama kurang lebih 2 jam dari semenjak bakda Isya. Kini Tanisha melanjutkan tugasnya yang lain yang mungkin kira-kira ada 2 projek lagi.Semua aktifitas Tanisha itu tak lepas dari perhatian Aqlan yang sudah sedari tadi selesai mencatat materi yang akan ia sampaikan pada para santri esok hari. Ia begitu setia menunggu sang istri menyelesaikan pekerjaannya.Aqlan sangat teringin menegur istrinya agar tak terlalu memaksakan dirinya untuk menyelesaikan semua tugasnya. Namun, bayang-bayang map perjanjian selalu membuat laki-laki itu tak berani melakukan hal itu. Padahal, seharusnya ia lebih berkuasa daripada secarik kertas yang bahkan bisa rusak hanya dengan merobeknya sedikit saja.Lagi-lagi Aqlan beristigfar karena ia merasa lemah di hadapan istrinya. Ia sadar,
Dari bakda Subuh tadi, Tanisha sudah sibuk dengan peralatan dapur. Ia memasak banyak makanan untuk Aqlan. Hal itu sebagai permintaan maafnya atas kejadian semalam.Keringat bercucuran di dahi perempuan itu. Kakinya sudah lelah untuk tetap berdiri. Namun, makanan yang belum selesai dimasak membuatnya terpaksa menguatkan diri.Tak berselang lama, terdengar suara Aqlan mengucap salam. Laki-laki itu memasuki rumah dan mendapati Tanisha yang tengah sibuk memasak. Ia melepas pecinya lalu duduk di kursi sambil memandangi istrinya.Ada perasaan heran di hati Aqlan. Mengapa istrinya masak begitu banyak? Hampir seisi meja makan penuh dengan makanan.Kegiatan memasak pun selesai. Tanisha meletakkan sisa makanan yang baru selesai dimasak ke atas meja makan. Perempuan itu mengarahkan pandangannya pada Aqlan sekilas. Kemudian kembali fokus dengan kegiatannya."Kamu kenapa masak sebanyak ini? Ada acara apa?" Tanisha menghela napas pelan lalu meletakkan tangannya di pinggang. Kepalanya ia miringkan
Sepanjang perjalanan, Aqlan dan Tanisha saling diam. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada yang berani memulai percakapan walau hanya sekadar untuk memecah keheningan.Tanisha tengah memikirkan pembicaraannya tadi dengan Kalandra. Sementara Aqlan, ia sibuk bertanya - tanya dalam benaknya, saat ia tak sengaja melihat istrinya itu mengobrol dengan sahabatnya sendiri. Pasalnya, cara mereka saling berbicara terlihat seperti sudah sangat mengenal dan akrab.Tanisha memainkan kain gamisnya. Ia benar-benar tak senang kala kembali mengingat kehidupannya di masa lalu dengan seseorang. Ia benar-benar kesal, mengapa ia harus kembali bertemu Kalandra?"Acha ....""Iya?"Aqlan terlihat ragu untuk menanyakan hal tadi kepada perempuan itu. Stir mobil ia ketuk - ketukkan dengan jari. Ia juga mengulum bibirnya pertanda gugup."Nanti aja, deh. Pas di rumah," jawabnya yang seketika mendapat tatapan sinis dari istrinya.Sesampainya di rumah, mereka kembali sibuk dengan urusannya masing