Share

PART 02

Aku mau kamu tolak perjodohan kita." Tanisha berkata dengan pandangan lurus ke depan. Sikap dewasanya mendadak muncul.

"Kenapa aku harus melakukan itu?"

Tanisha menoleh ke arah Aqlan yang berada di sampingnya. Raut terkejut terlihat di wajah baby face-nya.

"Kenapa kamu bilang? Hei, aku nggak pernah mau dijodohin. Apalagi sama kamu. Aku mau memilih pendamping hidup sendiri. Aku nggak suka hidup aku diatur-atur kayak gini. Emang kamu suka gitu dijodohin?" tukasnya dengan nada yang semakin meninggi.

Aqlan mengusap kepalanya sejenak. Ia kemudian menyatukan kedua tangannya. Helaan napas pun terdengar dari mulut laki-laki itu.

Afzar yang hanya bisa menonton dari belakang kursi pun terdiam. Tak berniat mencampuri urusan mereka. Ia pikir, mereka berhak memutuskan urusan mereka berdua saja.

"Aku diam karena aku berpikir mungkin memang kamu perempuan yang ditakdirkan untukku. Lagipula, aku nggak sanggup kalau harus menolak permintaan orang tuaku."

Tiba-tiba Tanisha berdiri di depan Aqlan. Sontak Aqlan pun menengadahkan kepalanya menatap gadis itu.

"Ayolah. Kamu nggak akan bahagia hidup sama aku. Aku jamin. Jadi, sebelum nyesel, mending kamu tolak aja dari sekarang."

"Kenapa aku nggak akan bahagia? Aku yakin, kok. Jika kita menjalaninya dengan baik, bahagia akan mendatangi kita."

"Kenapa kamu nggak paham, sih? Ayolah. Kalo kamu yang nolak, mereka pasti bakalan denger. Kalo aku yang nolak, ah, mereka bakalan nggak dengerin aku."

Aqlan tak tahu harus menjawab apa lagi. Ia benar-benar tak bisa menolak perjodohan ini. Apalagi, perasaannya pada Tanisha pun mendadak tumbuh. Kini, ia bingung harus melakukan apa.

"Lagi. Satu hal yang membuatku nggak mau dijodohin sama kamu, ya, karena aku nggak suka kamu. Aku bukan perempuan yang bermimpi bisa nikah sama gus, ustaz, atau siapa pun itu. Aku nggak mau!" sentak Tanisha lalu duduk di kursi untuk mengontrol emosinya.

"Memangnya ada apa dengan laki-laki sepertiku?"

Gadis itu kembali menoleh pada Aqlan. Raut kemarahan terlihat di wajahnya. Namun, ia masih menahannya, terbukti dari napasnya yang sedikit naik turun.

"Nggak perlu tau! Intinya, aku nggak suka sama kamu!"

Tanisha kembali berdiri, hendak meninggalkan Aqlan. Sebelum pergi, gadis itu menyampaikan sesuatu terlebih dahulu.

"Aku kasih kamu waktu 3 hari. Aku harap, dalam waktu 3 hari itu kamu bisa ngasih jawaban yang kuharapkan."

Gadis itu langsung pergi meninggalkan Aqlan dan Afzar. Afzar yang tengah duduk di kursi belakang Aqlan menatap laki-laki itu lamat-lamat. Ia kemudian berjalan mendekatinya.

"Maafin sikap adik saya, ya?" ucapnya sambil menepuk bahu Aqlan.

"Eh, iya. Nggak papa, kok, Mas."

"Tetap berusaha, ya? Sejatinya, saat ini Acha butuh kamu. Cuma dia yang agak nggak suka aja sama orang alim kayak kamu," sambungnya disertai kekehan ringan. Afzar pun pergi menyusul adiknya.

Kening Aqlan mengernyit pertanda bingung. Apa yang dimaksud Afzar? Tanisha membutuhkannya? Untuk apa?

***

Sehelai kertas kembali terlempar ke dalam tong sampah untuk yang entah ke berapa kalinya. Bahkan tong sampahnya pun sudah sangat penuh oleh kertas-kertas yang sedari tadi dilempar oleh Tanisha.

Pikirannya benar-benar kacau. Ia tak bisa memikirkan satu ide pun. Sementara, orang yang memakai jasa Ghost Writer-nya sudah menanyakannya.

Tanisha memukul kuat kepalanya yang terasa sakit. Ia tak bisa berpikir jernih. Padahal, hari pun sudah semakin larut dan belum ada satu pekerjaan pun yang selesai. Semua ini dikarenakan perjodohan itu. Ia menjadi teringat kejadian beberapa hari lalu.

Saat ia memberi Aqlan waktu 3 hari, ia pikir laki-laki itu akan berubah pikiran. Ternyata tidak. Laki-laki itu tetap teguh pendirian dan menerima perjodohan ini. Bagi Tanisha, gus calon suaminya itu amat kejam. Bisa-bisanya memutuskan sesuatu secara sepihak tanpa memikirkan perasaannya.

Tanisha sempat menangis, sebagai bentuk berontaknya. Tetapi ia tetap kalah. Tak ada yang memedulikan air matanya. Ia tetap tak diperhatikan.

Apa ini yang harus diterima oleh anak bungsu?

Pendapatnya tak pernah didengar, keinginannya hanya ucapan yang tak pernah dikabulkan, dan selalu dikekang di balik kalimat, "Semua ini demi kebaikanmu."

Tanisha benar-benar benci harus berada di posisi ini.

Gadis itu pun memilih untuk beranjak dari meja kerjanya. Ia sadar, bekerja dalam keadaan banyak pikiran seperti ini tak akan berjalan lancar. Apalagi pekerjaannya memang harus berpikir. 

Bukan hal yang mudah membuat alur agar menarik dan sesuai kaidah. Apalagi ini untuk orang lain. Tanisha harus ekstra berpikir dan ia pun harus siap jika jari jemarinya tiba-tiba terasa ingin patah.

Tanisha pun harus berpikir 3 kali lebih teliti jika sedang berhadapan dengan genre thriller atau misteri. Ceroboh sedikit saat hendak menyelipkan clue, ketika pembaca membuat teori pasti langsung ketebak.

Kadang ia berpikir, untuk apa ia berlelah-lelah memikirkan alur semenarik mungkin kalau pembacanya sedikit? Ya, walaupun ia akui, ia mendapat sedikit rezeki dari profesi langka ini.

Langka? Iya! Mana ada orang yang menjadikan menulis sebagai satu-satunya mata pencaharian. Mungkin ada beberapa dari sekian banyak manusia di muka bumi ini. Namun,  kebanyakan orang hanya menjadikan menulis sebagai pekerjaan sampingan.

Tanisha bersiap untuk segera pergi ke alam mimpi. Ia harus mendinginkan kepalanya terlebih dahulu. Ia harap bisa mendapat inspirasi lewat mimpinya walau hanya secuil.

Tanisha pun harus mempersiapkan mentalnya untuk esok hari. Iya, Tanisha sempat lupa kalau besok adalah hari paling bersejarah dalam hidupnya. Namun juga hari yang paling ia benci.

Besok, adalah hari pernikahannya dengan seorang laki-laki bergelar gus bernama Aqlan Harith Ridauddin.

***

Aqlan tersenyum senang saat menyaksikan para santriwan dan santriwati yang tengah sibuk memasak makanan di dapur pesantren. Aqlan merasa bahagia ketika murid-muridnya itu seolah begitu antusias dengan hari pernikahannya esok hari. 

Ya, setelah perdebatan cukup panjang dengan istrinya, akhirnya ia keputusan yang ia ambil tetaplah menerima perjodohan ini. Ia yakin, mungkin ini memang jalan yang terbaik yang diberikan Allah untuknya. 

"Cieee, senyum-senyum mulu Ustaz Aqlan-nya."

Aqlan tiba-tiba salah tingkah saat mendapati keponakannya yang tengah berdiri di hadapannya sambil tersenyum jahil. Malam ini keponakannya itu pasti akan gencar meledekinya terus menerus. 

"Biarin, senyum itu ibadah, Dek," sahut Aqlan sambil melipat kedua tangannya di depan dada. 

Leyna tertawa renyah mendengar kalimat yang diucapkan Aqlan, walaupun menurut Aqlan sendiri tak ada yang lucu dari ucapannya. 

"Gak sabar, deh, pengen cepet-cepet besok," ujar gadis itu dengan raut wajah antusiasnya. 

Aqlan tertawa ringan seraya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah lucu keponakannya itu. "Yang mau nikahnya Abang, tapi yang gak sabarannya kok kamu?" tanya laki-laki tak kuasa menahan senyumnya. 

"Karena aku suka sama Kak Acha," balas Leyna dengan tingkah menggemaskannya. 

Aqlan pun kembali tertawa, dan dalam hati ia berkata, "Iya, Abang juga suka sama perempuan bernama Tanisha itu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status