Aku mau kamu tolak perjodohan kita." Tanisha berkata dengan pandangan lurus ke depan. Sikap dewasanya mendadak muncul.
"Kenapa aku harus melakukan itu?"
Tanisha menoleh ke arah Aqlan yang berada di sampingnya. Raut terkejut terlihat di wajah baby face-nya.
"Kenapa kamu bilang? Hei, aku nggak pernah mau dijodohin. Apalagi sama kamu. Aku mau memilih pendamping hidup sendiri. Aku nggak suka hidup aku diatur-atur kayak gini. Emang kamu suka gitu dijodohin?" tukasnya dengan nada yang semakin meninggi.
Aqlan mengusap kepalanya sejenak. Ia kemudian menyatukan kedua tangannya. Helaan napas pun terdengar dari mulut laki-laki itu.
Afzar yang hanya bisa menonton dari belakang kursi pun terdiam. Tak berniat mencampuri urusan mereka. Ia pikir, mereka berhak memutuskan urusan mereka berdua saja.
"Aku diam karena aku berpikir mungkin memang kamu perempuan yang ditakdirkan untukku. Lagipula, aku nggak sanggup kalau harus menolak permintaan orang tuaku."
Tiba-tiba Tanisha berdiri di depan Aqlan. Sontak Aqlan pun menengadahkan kepalanya menatap gadis itu.
"Ayolah. Kamu nggak akan bahagia hidup sama aku. Aku jamin. Jadi, sebelum nyesel, mending kamu tolak aja dari sekarang."
"Kenapa aku nggak akan bahagia? Aku yakin, kok. Jika kita menjalaninya dengan baik, bahagia akan mendatangi kita."
"Kenapa kamu nggak paham, sih? Ayolah. Kalo kamu yang nolak, mereka pasti bakalan denger. Kalo aku yang nolak, ah, mereka bakalan nggak dengerin aku."
Aqlan tak tahu harus menjawab apa lagi. Ia benar-benar tak bisa menolak perjodohan ini. Apalagi, perasaannya pada Tanisha pun mendadak tumbuh. Kini, ia bingung harus melakukan apa.
"Lagi. Satu hal yang membuatku nggak mau dijodohin sama kamu, ya, karena aku nggak suka kamu. Aku bukan perempuan yang bermimpi bisa nikah sama gus, ustaz, atau siapa pun itu. Aku nggak mau!" sentak Tanisha lalu duduk di kursi untuk mengontrol emosinya.
"Memangnya ada apa dengan laki-laki sepertiku?"
Gadis itu kembali menoleh pada Aqlan. Raut kemarahan terlihat di wajahnya. Namun, ia masih menahannya, terbukti dari napasnya yang sedikit naik turun.
"Nggak perlu tau! Intinya, aku nggak suka sama kamu!"
Tanisha kembali berdiri, hendak meninggalkan Aqlan. Sebelum pergi, gadis itu menyampaikan sesuatu terlebih dahulu.
"Aku kasih kamu waktu 3 hari. Aku harap, dalam waktu 3 hari itu kamu bisa ngasih jawaban yang kuharapkan."
Gadis itu langsung pergi meninggalkan Aqlan dan Afzar. Afzar yang tengah duduk di kursi belakang Aqlan menatap laki-laki itu lamat-lamat. Ia kemudian berjalan mendekatinya.
"Maafin sikap adik saya, ya?" ucapnya sambil menepuk bahu Aqlan.
"Eh, iya. Nggak papa, kok, Mas."
"Tetap berusaha, ya? Sejatinya, saat ini Acha butuh kamu. Cuma dia yang agak nggak suka aja sama orang alim kayak kamu," sambungnya disertai kekehan ringan. Afzar pun pergi menyusul adiknya.
Kening Aqlan mengernyit pertanda bingung. Apa yang dimaksud Afzar? Tanisha membutuhkannya? Untuk apa?
***
Sehelai kertas kembali terlempar ke dalam tong sampah untuk yang entah ke berapa kalinya. Bahkan tong sampahnya pun sudah sangat penuh oleh kertas-kertas yang sedari tadi dilempar oleh Tanisha.
Pikirannya benar-benar kacau. Ia tak bisa memikirkan satu ide pun. Sementara, orang yang memakai jasa Ghost Writer-nya sudah menanyakannya.
Tanisha memukul kuat kepalanya yang terasa sakit. Ia tak bisa berpikir jernih. Padahal, hari pun sudah semakin larut dan belum ada satu pekerjaan pun yang selesai. Semua ini dikarenakan perjodohan itu. Ia menjadi teringat kejadian beberapa hari lalu.
Saat ia memberi Aqlan waktu 3 hari, ia pikir laki-laki itu akan berubah pikiran. Ternyata tidak. Laki-laki itu tetap teguh pendirian dan menerima perjodohan ini. Bagi Tanisha, gus calon suaminya itu amat kejam. Bisa-bisanya memutuskan sesuatu secara sepihak tanpa memikirkan perasaannya.
Tanisha sempat menangis, sebagai bentuk berontaknya. Tetapi ia tetap kalah. Tak ada yang memedulikan air matanya. Ia tetap tak diperhatikan.
Apa ini yang harus diterima oleh anak bungsu?
Pendapatnya tak pernah didengar, keinginannya hanya ucapan yang tak pernah dikabulkan, dan selalu dikekang di balik kalimat, "Semua ini demi kebaikanmu."
Tanisha benar-benar benci harus berada di posisi ini.
Gadis itu pun memilih untuk beranjak dari meja kerjanya. Ia sadar, bekerja dalam keadaan banyak pikiran seperti ini tak akan berjalan lancar. Apalagi pekerjaannya memang harus berpikir.
Bukan hal yang mudah membuat alur agar menarik dan sesuai kaidah. Apalagi ini untuk orang lain. Tanisha harus ekstra berpikir dan ia pun harus siap jika jari jemarinya tiba-tiba terasa ingin patah.
Tanisha pun harus berpikir 3 kali lebih teliti jika sedang berhadapan dengan genre thriller atau misteri. Ceroboh sedikit saat hendak menyelipkan clue, ketika pembaca membuat teori pasti langsung ketebak.
Kadang ia berpikir, untuk apa ia berlelah-lelah memikirkan alur semenarik mungkin kalau pembacanya sedikit? Ya, walaupun ia akui, ia mendapat sedikit rezeki dari profesi langka ini.
Langka? Iya! Mana ada orang yang menjadikan menulis sebagai satu-satunya mata pencaharian. Mungkin ada beberapa dari sekian banyak manusia di muka bumi ini. Namun, kebanyakan orang hanya menjadikan menulis sebagai pekerjaan sampingan.
Tanisha bersiap untuk segera pergi ke alam mimpi. Ia harus mendinginkan kepalanya terlebih dahulu. Ia harap bisa mendapat inspirasi lewat mimpinya walau hanya secuil.
Tanisha pun harus mempersiapkan mentalnya untuk esok hari. Iya, Tanisha sempat lupa kalau besok adalah hari paling bersejarah dalam hidupnya. Namun juga hari yang paling ia benci.
Besok, adalah hari pernikahannya dengan seorang laki-laki bergelar gus bernama Aqlan Harith Ridauddin.
***
Aqlan tersenyum senang saat menyaksikan para santriwan dan santriwati yang tengah sibuk memasak makanan di dapur pesantren. Aqlan merasa bahagia ketika murid-muridnya itu seolah begitu antusias dengan hari pernikahannya esok hari.
Ya, setelah perdebatan cukup panjang dengan istrinya, akhirnya ia keputusan yang ia ambil tetaplah menerima perjodohan ini. Ia yakin, mungkin ini memang jalan yang terbaik yang diberikan Allah untuknya.
"Cieee, senyum-senyum mulu Ustaz Aqlan-nya."
Aqlan tiba-tiba salah tingkah saat mendapati keponakannya yang tengah berdiri di hadapannya sambil tersenyum jahil. Malam ini keponakannya itu pasti akan gencar meledekinya terus menerus.
"Biarin, senyum itu ibadah, Dek," sahut Aqlan sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Leyna tertawa renyah mendengar kalimat yang diucapkan Aqlan, walaupun menurut Aqlan sendiri tak ada yang lucu dari ucapannya.
"Gak sabar, deh, pengen cepet-cepet besok," ujar gadis itu dengan raut wajah antusiasnya.
Aqlan tertawa ringan seraya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah lucu keponakannya itu. "Yang mau nikahnya Abang, tapi yang gak sabarannya kok kamu?" tanya laki-laki tak kuasa menahan senyumnya.
"Karena aku suka sama Kak Acha," balas Leyna dengan tingkah menggemaskannya.
Aqlan pun kembali tertawa, dan dalam hati ia berkata, "Iya, Abang juga suka sama perempuan bernama Tanisha itu."
Beberapa bulan kemudian semenjak kejadian Tanisha keguguran, semua kembali berjalan dengan normal. Hubungannya dengan Rezvan kembali membaik. Tak ada lagi saling diam mendiami satu sama lain. Semua benar-benar kembali ke keadaan di mana mereka baru memulai yang namanya bahtera rumah tangga. Persoalan Theano, laki-laki itu sudah ditangkap dan dipenjara atas kasus yang ia lakukan. Meneror, menyerang, dan membuat kandungan Tanisha keguguran. Meski begitu, tak ada rasa dendam atau benci di hati Tanisha dan Rezvan. Mereka senang karena telah mendapat keadilan. Namun, mereka juga tetap memaafkan perbuatan Theano. Hari-hari berjalan dengan penuh kebahagiaan dan canda tawa. Tak ada kekhawatiran akan keturunan yang belum juga diamanahkan. Tanisha dan Rezvan menjalani semuanya dengan penuh kesabaran. Diiringi doa dan ikhtiar, mereka tak berhenti berharap agar Tuhan kembali mempercayakan seorang anak pada mereka. "Sayang, aku berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah," ucap Rezvan
Afzar tampak keheranan saat mendapati Tanisha yang sudah kembali dari taman, tetapi dengan wajah yang tampak murung. Perempuan itu melewatinya begitu saja. Bahkan tak membalas sapaannya saat ia menyapa. Afzar yang semula duduk di luar ruangan inap pun lekas mengekori Tanisha hingga ke dalam. Ia masih menatap dalam diam memandangi sang adik yang duduk di atas ranjang sambil tertunduk lesu. "Cha, tadi Rezvan dateng ngejenguk. Udah ketemu belum?" tanyanya sambil menarik kursi mendekati ranjang. Tanisha mengangguk mengiyakan. "Ketemu. Tadi di taman." "Terus, sekarang dia di mana? Kok, gak bareng kamu?" tanya Afzar lagi seraya celingak-celinguk mencari keberadaan suami adiknya. "Aku belum mau ketemu sama dia dulu, Bang. Dan tolong, jangan bicarain dia juga di depan aku." Setelah mengatakan itu, perempuan dengan piyama warna biru tosca itu meluruskan kedua kakinya, lalu ditutupi dengan kain selimut yang tebal. Afzar memandangi wajah adiknya tersebut lekat-lekat. Dapat ia lihat jejak k
BRUK!Untuk ke sekian kalinya Rezvan melempar tubuh Theano ke lantai hingga tersungkur. Memar dan darah menyebar di beberapa bagian anggota tubuh laki-laki itu. Keadaannya sangat memprihatinkan, seolah sedang berada di antara hidup dan mati. Laki-laki dengan wajah penuh amarah itu berjalan mendekati Theano yang masih berusaha untuk bangkit dengan sisa tenaga yang ada. Dinding di belakangnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya yang serasa sudah begitu remuk. Rezvan, dengan napasnya yang memburu, dengan kasar menarik kerah baju Theano hingga laki-laki yang sudah sangat lemah itu berdiri lunglai. Tatapan yang ia layangkan begitu tajam setajam mata elang. Tatapan itu seolah mengartikan berapa marahnya atas apa yang dilakukan oleh lawannya tersebut. "Dengerin gue, Theano. Kalo lo masih berani nyentuh istri gue dikit aja, gue gak akan pernah biarin lo hidup lagi. Sekarang lo beruntung masih gue kasih kesempatan buat hidup. Inget, perbuatan lo gak akan semudah itu gue maafin," tegas Rezvan
Semua anggota Garparez langsung menuju lokasi saat mendapat kabar bahwa Tanisha terluka akibat didorong oleh Theano hingga terjatuh. Wajah-wajah panik yang tertutup helm memenuhi jalanan. Kendaraan yang mereka kendalikan pun dilajukan begitu cepat. Sementara itu, Rezvan yang ditemani Kalandra bergegas mengambil langkah cepat dengan mengantarkan Tanisha ke rumah sakit. Raut wajah Rezvan tampak sangat khawatir. Keselamatan istri dan calon anaknya benar-benar membuatnya tak dapat duduk tenang barang sekejap saja. Bahkan, ketika Tanisha sudah dimasukkan ke ruang IGD, Rezvan masih saja tak henti-hentinya bersikap sangat panik. Ia tak mau menunggu sambil duduk. Terus saja dirinya mondar-mandir di depan pintu sambil menyatukan kedua tangan, berharap tak ada kabar menyakitkan nantinya. Kalandra yang paham apa yang tengah dirasakan oleh calon ayah itu tak mampu berbuat apa pun. Sejujurnya ia juga merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Tanisha. Betapa menyesalnya karena sebagai seorang l
Suara pintu yang diketuk beradu dengan suara bel hingga terdengar seluruh penjuru rumah. Tanisha yang saat itu sedang bekerja di depan laptopnya lantas bergegas turun ke bawah menuju pintu utama. Suara bel yang dipencet beberapa kali membuat Tanisha makin mempercepat langkahnya. Suara yang sangat keras itu seolah membuat gendang telinganya hampir pecah. Diiringi perasaan kesal ia pun lekas membuka pintu dan matanya pun menangkap sosok lelaki yang tak ia kenal. "Mau ketemu siapa, ya?" tanya Tanisha dengan wajah masam. Penampilan laki-laki yang seperti anak geng motor itu membuatnya seakan kembali diingatkan pada kebohongan suaminya. "Kamu. Tanisha Azzahra Khalisah," jawab laki-laki itu disertai senyuman yang tak dapat perempuan itu tebak senyuman apakah itu. "Aku? Kamu siapa? Ada urusan apa kamu sama aku?" Nada bicara Tanisha terdengar agak ketus. Matanya terus mengamati penampilan laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. "Saya cuma mau menyampaikan satu hal dari atasan sam
Keesokan paginya, Rezvan sudah siap dengan setelan pakaiannya. Namun, yang ia pakai bukan baju untuk bekerja seperti biasanya. Kali ini ia mengenakan kaos berwarna biru tua yang dibalut dengan jaket berbahan levi's. Dilihat dari penampilannya, sudah dapat ditebak kalau ia hendak pergi ke markas Garparez. Tanissha yang menyadari hal tersebut lantas menggerutu terus-menerus. Lidahnya tak berhenti mengumpati suaminya bahkan di saat ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kecewa yang belum juga mereda pun membuatnya tak sudi menanyakan apa pun pada laki-laki itu. Rezvan menatap istrinya dari kejauhan—tepatnya di balik pintu dapur. Ada rasa khawatir bercampur cemas saat melihat istrinya yang kini masih terlihat sibuk itu. Bayang-bayang Theano yang mungkin saja akan mendatangi Tanisha kapan pun dia mau. Apalagi membayangkan sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada perempuan itu rasanya ia tak sanggup. Rezvan tahu Tanisha masih marah padanya. Memang bukan hal yang mudah untuk mengemb
Pagi kembali menyapa. Mentari pun ikut menyambut dengan masuk ke celah-celah jendela dan memberikan kehangatan bagi setiap penghuni rumahnya. Aroma-aroma masakan dari setiap rumah menguar dari balik jendela dapur hingga mengundang rasa lapar yang telah tertahan semalaman. Akan tetapi, kehangatan itu tak dapat dirasakan oleh pasangan suami istri yang baru pulang dini hari tadi. Tak ada percakapan ringan yang menyertai kegiatan mereka di awal hari. Tak ada pelukan mesra yang biasanya selalu datang memberikan senyum manis yang menawan hati. Hanya ada keheningan tanpa ada keributan yang biasanya ada setiap hari. Di antara Tanisha maupun Rezvan, tak ada yang berani menyapa lebih dahulu. Masing-masing dari mereka fokus dengan urusannya tanpa memedulikan hubungan mereka yang terancam renggang. Kejadian semalam seolah mengubah 180 derajat kebiasaan mereka sehari-hari. Walaupun dengan rasa terpaksa, Tanisha menyiapkan sarapan pagi begitu cepat. Tak ada nyala kompor yang mengeluarkan api, d
Di malam yang gelap gulita itu Tanisha keluar dari area rumah sakit menuju taman tempat para pasien jalan-jalan untuk menenangkan diri. Di sana perempuan itu bersimpuh di atas rumput dengan kepala mendongak menatap langit. Sesakit inikah dibohongi? Kecewa yang mendalam seolah tak ada lagi celah untuk dapat memercayai sesuatu yang sudah disadari bahwa itu adalah kebohongan. Tanisha tahu, banyak kebaikan yang telah dilakukan Rezvan untuknya. Namun, entah mengapa satu kebohongan itu telah meruntuhkan seluruh kepercayaan yang pernah ia berikan pada laki-laki itu. Entah mungkin karena faktor kehamilan atau apa pun itu, yang jelas kini ia benar-benar kecewa. Dengan langkah yang terseok-seok Rezvan datang menyusul istrinya. Wajahnya tampak khawatir. Matanya bergerak luar mencari keberadaan Tanisha. Saat matanya menangkap sosok yang dicarinya, ia pun langsung berlari dan memeluk perempuan itu. "Acha! Lo ngapain di sini? Ayo, duduk di kursi. Kita bicarain ini baik-baik, ya?" Rezvan memegan
Semua orang di lapangan tersebut terkejut dengan teriakan Rezvan. Mereka yang semula sedang bertarung memperebutkan kemenangan lantas menghentikan pertarungan mereka dan berlari menghampiri suara teriakan itu. Lawan mereka, yaitu anak buah Theano tertawa penuh kemenangan saat menyadari ketua dari lawan mereka sudah hampir tumbang. Wajah-wajah penuh kekhawatiran tampak jelas mengelilingi Rezvan yang terkulai lemas dengan Kalandra di sebelahnya. Laki-laki itu segera menyuruh seseorang untuk memanggil ambulan agar sahabatnya dapat segera ditangani. Tanpa akhir yang diharapkan, pertarungan ini selesai dengan kekecewaan. Perdamaian yang menjadi tujuan kini hirap tak berbekas. Theano dan antek-anteknya tertawa lepas melihat kekalahan dari rivalnya, Rezvan. Lagi, tentang Tanisha yang sudah mengetahui yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi dengan hak itu. Tak lama setelah dipanggil, ambulan pun datang dan segera mengeluarkan tandu untuk membantu mengangkat Rezvan masuk ke dalam mobil