Kalandra menatap wajah Aqlan yang terlihat menahan amarah, tetapi masih bisa bersikap tenang. Ia dapat merasakan, betapa marahnya seorang suami yang mengetahui bahwa istrinya pernah menjalin sebuah hubungan yang melebihi batas wajar. Bahkan, ia sendiri agak menyesal telah menceritakan bagian yang cukup tabu itu. "Lan, maafin gue," ucap Kalandra tak enak hati. Aqlan tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. Helaan napas perlahan mengembus dari mulutnya seolah tengah melepas segala beban yang ada di kepalanya. "Gak, kok. Lo gak salah, dan memang gak ada yang salah. Yang lo ceritain hanya masa lalu Tanisha, gak usah diungkit lagi. Tanisha yang sekarang tak sama dengan Tanisha yang dulu. Gue yakin," tuturnya dengan senyum yang tak luntur. Aqlan mengarahkan pandangannya lurus ke depan menatap para santri yang tengah berlalu lalang. Namun, pikirannya justru mengembara ke perjalanan rumah tangganya dengan Tanisha. Yang ia lihat, rintangan
"Gimana? Apa semuanya udah siap? Gue mau cek lokasi 2 abis ini.""Semua sudah siap, Pak. 1 jam lagi mau dimulai.""Good. Semoga lancar dan project ini bisa sukses."Laki-laki itu memasangkan kaca mata hitam lalu segera meluncur ke lokasi 2 untuk memantau proses shooting di sana. Sudah menjadi kebiasaannya bolak-balik dari lokasi satu ke lokasi lainnya untuk memantau kelancaran produksi film yang berasal dari ide-idenya itu. Mobil SUV hitam yang dinaikinya pun segera keluar dari lahan parkir. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Lagu-lagu pop ia putar dari radionya. Sesekali laki-laki itu menyapa warga sekitar yang ia lewati dengan seulas senyum. Di atas dashboard mobilnya, terdapat sebuah buku novel. Novel itu telah ia beli setahun lalu, tepat saat ia sukses menjalankan project film pertamanya saat masih berada di luar kota. Ia membeli novel itu karena pada waktu itu, novel yang dimilikinya kini sempat mem-booming. Dengan satu tangan yang mengendalikan stir, satu tanganny
Ahad pagi, Tanisha sibuk merapikan rak buku yang terletak di sudut kamar. Ia baru saja membeli beberapa buku mengenai kepenulisan untuknya belajar agar tulisannya lebih baik. Ia pun memisahkan beberapa buku yang ia lahirkan sendiri di rak bagian paling atas. Tanisha tersenyum senang saat menatap buku-buku novel yang ia tulis sendiri itu. Ia juga terharu dan tak menyangka, salah satu novelnya berjudul "Toxic Relationship", bisa meledak saat terbit satu tahun lalu. Tangannya bergerak untuk meletakkan buku-buku itu kecuali satu novel yang judulnya disebut di atas tadi. Ia melangkahkan kaki menuju meja belajar lalu duduk di atas kursi. Perlahan tangannya membuka lembar demi lembar buku novel itu. Matanya bergerak pertanda ia sedang membaca kata demi kata di novel itu. Pikirannya tiba-tiba melayang ke pengalaman hidupnya di masa SMA. Tanisha sadar, kisah yang ia tulis di novel itu sebenarnya adalah kisahnya. Mengisahkan tentang cinta pertamanya yang tak indah, justru begitu menyakitka
Tanisha menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sesekali ia tersenyum manis seolah sedang ada seorang photografer yang tengah memotretnya. Tampilannya sangat cantik, gamis pink yang dipadu dengan jilbab segi empat berwarna lavender pink, serta sneacker putih yang menutupi kakinya. Tanisha kemudian mengambil ponselnya lalu melakukan mirror selfie—gaya selfie andalan perempuan. Perempuan itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Merasa masih banyak waktu, ia memutuskan untuk men-scroll akun sosial medianya dahulu. Sementara itu, ada Aqlan yang tengah menatap sang istri dari balik pintu kamar. Wajahnya nampak cemberut. Hatinya pun serasa dipenuhi oleh rasa cemburu. Pasalnya, hari ini Tanisha akan melakukan pertemuan dengan produser film itu setelah pembicaraan cukup panjang di room chat. Laki-laki itu membuka pintu perlahan lalu berpura-pura berjalan menuju lemari bajunya. Tangannya bergerak seolah tengah mencari bajunya, padahal ia hanya ingin mencari perhatian dari
Keheningan tercipta antara Rezvan dan Tanisha sejak beberapa menit lalu. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, tak ada seorang pun yang berani mengangkat suara. Tanisha memainkan jari-jarinya di atas meja dengan kepala menunduk. Sementara itu, Rezvan tak juga mengalihkan tatapan matanya dari perempuan yang ada di depannya itu. "Cha." Akhirnya Rezvan mengangkat suara hingga memecahkan keheningan di antara mereka berdua untuk sejenak. Tak ada jawaban dari perempuan itu. Ia masih setia menunduk tanpa berani mengangkat kepalanya barang sekejap saja. "Cha." Lagi-lagi Rezvan memanggil nama perempuan itu, berharap panggilannya diindahkan. "Kenapa diem aja? Lo gak mau bilang apa-apa gitu sama gue? Udah lama, loh, kita gak ketemu," ujar laki-laki tanpa mengalihkan pandangannya. Tanisha menggelengkan kepalanya pelan. "Aku bahkan gak pernah berharap bisa ketemu kamu lagi."Kalimat yang dilontarkan Tanisha cukup membuat hati Rezvan seperti digores. Sakit. Itulah yang ia rasakan.
"Kenapa, Kal?" tanya Aqlan sambil mengambil sepotong kue di atas meja. Kalandra yang semula tengah melamun sontak mengerjapkan matanya lalu menoleh pada Aqlan. "Hah? Nggak, nggak papa, kok." Aqlan hanya menganggukkan kepalanya mendengar jawaban dari Kalandra. "Dia produser film yang terkenal beberapa tahun lalu itu, kan?" Laki-laki berkoko biru itu kembali bertanya."True," jawab Aqlan setelah menelan makanannya. Kalandra nampak sedang memikirkan sesuatu. Tatapannya seolah menyiratkan kekhawatiran. Tentu hal itu membuat Aqlan terheran-heran. "Andra, ada apa, sih? Kok, pas gue jawab pertanyaan lo, keliatannya muka lo jadi beda gitu?"Kalandra kembali menatap sahabatnya itu. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu untuk sekadar mengucapkan satu kata saja. Yang ada di pikirannya kini justru tentang Aqlan, Tanisha, dan Rezvan. Ya, Kalandra sudah mengetahui identitas asli dari seorang Evan Reshal Fatih. "Gue ... gue perlu ingetin lo, Lan.""Ingetin apa?" Raut wajah Aqlan berubah serius. Pera
Tanisha termenung sendirian di balkon kamar. Sebuah buku motivasi berada di tangannya, tetapi perempuan itu tak juga membacanya. Minuman cokelat yang ia buat dalam keadaan panas pun kini sudah mulai dingin, sedingin malam yang memeluk tubuh hangatnya. Aqlan belum pulang. Sore tadi laki-laki itu menghubungi Tanisha dan mengatakan kalau ia akan pulang sehabis Maghrib karena ada urusan penting di pesantren. Namun, hingga pukul 9 kini, laki-laki itu belum juga pulang, tapi Tanisha tak terlalu memedulikan hal tersebut. Sepinya suasana membuat pikirannya begitu gencar berlari mengajak Tanisha ke kenangan di masa lalunya. Seolah menyuruhnya untuk kembali mengulang semua rasa sakit yang pernah ia rasakan dahulu. Tanisha masih tak menyangka kalau ia akan kembali bertemu dengan laki-laki yang paling ia benci itu. Hidupnya yang sudah bebas dan bahagia selama beberapa tahun ini seolah kembali menghilang. Hadirnya laki-laki itu ke dalam hidupnya lagi, membuat Tanisha merasa was-was mengenai nas
Senin pagi, seisi rumah mulai sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sibuk menyiapkan peralatan sekolah, sibuk menyetrika pakaian, sibuk memasak, bahkan ada yang sekadar sibuk menyiram tanaman di depan rumah. Senin, hari yang katanya paling dibenci oleh semua orang. Hari di mana semua kesibukan dimulai. Hari di mana rasa lelah akan menerpa. Namun, tidak bagi Tanisha. Entah itu hari Senin, Selasa, maupun seterusnya terasa sama saja, tak ada bedanya. Sama-sama membosankan. Pagi ini, perempuan itu hanya duduk-duduk santai di ruang keluarga sambil menonton televisi. Kegiatan beres-beres rumah dan memasaknya sudah selesai sedari tadi. Yang belum hanyalah mencuci piring dan mencuci baju. Terlihat Aqlan yang mengenakan baju koko berwarna ungu, dan celana relaxed-legged, serta peci hitam yang menjadi penutup kepala andalannya saat hendak pergi mengajar. Satu tangannya nampak tengah menggandeng sebuah tas. "Bang Aqlan, sarapan dulu," ucap Tanisha saat baru menyadari kehadiran Aqla