"Ada apa ini?"Tanisha dan April nampak terkejut dengan kemunculan Aqlan yang tiba-tiba. Keduanya lantas saling diam seraya menundukkan kepala. Kalandra yang berada tepat di belakang Aqlan pun melipat kedua tangannya di depannya. Sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman yang terkesan jail. "Hayo ... giliran udah ada Gus Aqlan, berantemnya jadi udahan," sindir diakhiri kekehan yang terdengar jahat. Aqlan hanya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan KalandraDengan kepala yang masih tertunduk, Tanisha melayangkan tatapan tajam pada Kalandra. Bukannya takut, laki-laki itu justru makin gencar menertawakan keduanya. "Bentar lagi azan berkumandang. Mending kalian siap-siap dulu, deh, buat ke masjid," titah Aqlan. Sebenarnya ia juga merasa kaget mendapati sang istri yang lagi-lagi datang kemari. Sejujurnya pun, hatinya begitu senang. Akan tetapi, karena ada April, ia pun terpaksa untuk bersikap biasa saja. "Oke, deh, Mas Aqlan!" April mengacungkan jempolnya lalu segera pergi m
"Bang Aqlan, aku mau nanya, dong," ujar Tanisha setibanya di ruang guru. Saat ia memasuki ruangan tersebut, terlihat Aqlan yang tengah duduk di kursinya sambil melahap makanan yang dibawa Tanisha. Aqlan mengunyah makanannya terlebih dahulu lalu menelannya perlahan. "Boleh. Mau nanya apa?" Tanisha terlihat seperti ragu-ragu untuk mengungkapkan sesuatu yang agak mengganggunya beberapa hari terakhir ini. Ia memandangi meja yang diketuk-ketuk dengan jari-jarinya. Aqlan yang menyadari keanehan Tanisha lantas mengangkat sebelah alisnya. Kegiatan makannya ia hentikan sejenak. Timbul pertanyaan di benaknya mengenai apa yang mungkin tengah dipikirkan istrinya itu. "Kenapa? Kok, diem? Nggak jadi nanya?" tanya laki-laki itu. Kalandra yang menyaksikan keduanya pun tak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya, ia pun tahu apa yang hendak ditanyakan oleh Tanisha pada Aqlan. Namun, Kalandra lebih memilih untuk diam dan tak mencampuri urusan rumah tangga keduanya. "Gini, em ... Bang Aqlan bohong, kah,
Brak! Pintu kamar dibanting dengan keras hingga menimbulkan suara yang keras pula. Tampak Tanisha yang berjalan begitu cepat diikuti Aqlan di belakangnya. Tas selempang yang dibawa Tanisha pun dilemparnya ke sembarang arah. "Udahlah, Bang! Kalo Bang Aqlan masih berharap sama dia, balikan aja sana! Aku nggak keberatan, kok. Daripada si April itu nyalahin aku terus. Kesel tau nggak!" pekik Tanisha disertai gerakan tangan ke sana kemari. "Cha, Abang nggak pernah mau duain kamu. Kamu nggak usahlah pikirin omongan dia. Abang mohon!" balas Aqlan tak kalah garang. Raut wajahnya menunjukkan rasa lelah sampai-sampai laki-laki itu memijit kepalanya. Sepanjang perjalanan pulang tadi, keduanya terus-menerus bertengkar mengenai April. Perbedaan pendapat dan keukeuhnya Tanisha membuat Aqlan merasa kewalahan untuk terus menghadapi dan menyanggah ucapan istrinya itu. Tanisha kesal dan tak terima dirinya disalahkan atas sesuatu yang tidak diketahuinya. Tuduhan April seolah menyatakan bahwa Tanisha
Datang dengan niat ingin menenangkan pikiran, Tanisha lantas memutuskan untuk membaca buku tentang sejarah Islam, sekadar menemani kejenuhannya karena terus berdiam di kursi. Kue pie rasa blueberry serta jus mangga masih tersedia di hadapannya. Perempuan itu begitu asyik hingga lupa bahwa dirinya sudah di sini sejak 2 jam yang lalu. Buku yang tebalnya sekitar 300 halaman lebih itu sudah Tanisha baca setengahnya. Mata hitamnya terus bergerak seolah tak lelah membaca rangkaian kata yang jumlahnya pasti sampai puluhan ribu kata. Hujan deras di luar kafe pun membuat perempuan itu enggan untuk beranjak dari tempat tersebut. "Perang khandaq," ucap perempuan itu pelan. Sudah bisa kautebak apa yang sedang Tanisha baca. Tak lama kemudian, Tanisha menutup bukunya sejenak dan menyuapkan satu sendok kue pie yang masih tersisa. Pandangannya ia arahkan ke luar jendela, menatap ribuan air yang turun membasahi bumi. Tak ia pedulikan lalu-lalang orang-orang yang berlari ke sana kemari, karena ia beg
"Gue perlu ketemu sama lo.""Iya, hari ini. Jam empat sore. Di tempat biasa. Bisa, kan?""Oke. Sampai ketemu di sana."Rezvan lekas menutup ponsel dan kembali meletakkannya di atas meja kerja. Pandangannya lurus ke depan dengan posisi menopang dagu. Sepulang dari kafe tadi, Rezvan berniat menghubungi Kalandra dan bertemu dengannya untuk menanyakan perihal Tanisha. Hatinya benar-benar dilanda khawatir ketika melihat perempuan itu menangis di kafe tadi. Entah mengapa, tiba-tiba ia mencurigai Kalandra sebagai tersangka pertama yang telah berani melukai hati Tanisha. Beberapa ide yang ia tuangkan ke lembaran kertas mulai terabaikan. Rencana rapat pun berkali-kali ia batalkan. Pun, kini Rezvan jarang pergi ke lokasi syuting untuk memantau berjalannya proses pembuatan film. Semua itu terjadi semenjak ia kembali bertemu dengan Tanisha. Tanisha seolah telah mengambil alih dunianya yang sebelumnya sempat terlalu disibukkan oleh pekerjaannya. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu hingga m
"Ssshhh." Kalandra berdesis saat sapu tangan basah menyentuh permukaan kulit wajahnya yang memar. "Maafin. Sakit, ya?" tanya Tanisha disertai cengiran khasnya. Setelah selesai, Tanisha pun kembali memasukkan sapu tangannya ke dalam tas. Kemudian, ia tatap luka di wajah Kalandra itu sambil meringis pelan. "Kenapa kamu bisa berantem sama dia, sih? Apa yang lagi kalian permasalahin?" tanyanya tak habis pikir. "Gue nggak ada masalah apa-apa sama dia. Dia aja yang tiba-tiba mukulin gue dan bilang kalo gue nyakitin lo," jawab Kalandra dengan nada kesal. "Hah?" Tanisha menatap tak percaya pada Kalandra. Mengapa Rezvan mengira kalau Kalandra menyakitinya? Apa yang sebenernya terjadi? Mungkin itulah kira-kira deretan pertanyaan yang muncul di kepala perempuan itu. Tanisha pun teringat pada kejadian di kafe siang tadi di mana ia menangis di depan Rezvan. Ia pun mengangguk paham dan berpikir mungkin karena itulah Rezvan memukuli Kalandra. Memikirkannya benar-benar membuat Tanisha tak dapat
Tanisha dan Aqlan kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tanisha sibuk bercengkerama ria dengan laptopnya, dan Aqlan yang bernostalgia bersama buku-buku zaman perkuliahannya, atau bisa dibilang; murajaah. Hubungan mereka saat ini sedang baik-baik saja. Entah nanti. Ujian rumah tangga mereka memang seringkali datang seolah tak mengizinkan keduanya untuk bisa merasakan indahnya kehidupan rumah tangga meski banyak kekurangan yang dimiliki. Layaknya bahtera rumah tangga pada umumnya, permasalahan rumah tangga memang sesuatu yang lumrah dan wajar. Tinggal sang pemainnyalah yang harus pandai-pandai menyikapi masalah tersebut dan tak mengedepankan ego masing-masing. Percayalah, rumah akan terasa begitu hambar jika tak ada bumbu konflik di dalamnya. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi. Tanisha yang baru selesai menulis di laptopnya pun beralih pada pekerjaan rumahnya yang masih tersisa. Pagi-pagi sekali tadi ia sudah memasukkan semua pakaian kotor ke dalam mesin cuci, dan
Sepulang dari makan mie ayam bersama di luar, Tanisha kembali berkutat dengan laptopnya. Menyelesaikan beberapa naskah pesanan yang belum selesai. Sementara itu, Aqlan pun membuka-buka buku pelajaran untuk menyiapkan materi yang akan diberikan pada murid-muridnya esok hari. Sepanjang keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Aqlan tak henti-hentinya menggoda Tanisha seperti saat ia menggoda sang istri di luar tadi. Laki-laki itu seolah tak main-main dengan ucapannya bahwa ia ingin sekali menahan perempuan itu di kamarnya karena saking gemasnya. Tentu saja hal itu membuat Tanisha dilanda rasa kesal. "Abang, ih, jangan godain aku mulu! Nggak ada kerjaan banget, sih!" gerutunya dengan jari-jari yang sibuk menari di atas keyboard. "Kerjaan Abang bentar lagi juga selesai. Jadi Abang mau gangguin kamu terus. Salah sendiri kenapa gemesin," balas Aqlan. Ia berdiri di belakang istrinya dan terus-menerus memainkan pipi tembamnya. "Bang Aqlan!" pekik Tanisha. Namun, laki-laki itu tetap