Tanisha berjalan lunglai memasuki kamarnya. Seluruh tubuhnya basah kuyup karena tadi ia nekat menerobos hujan. Pasalnya, hujan tak reda-reda, angkutan umum pun tak ada yang lewat. Ia juga tak sanggup jika harus terus-menerus dekat dengan Rezvan. Tanisha segera melepas pakaian basahnya lalu menutupi tubuhnya dengan handuk. Hawa dingin seolah masih menerpanya sehingga membuat sekujur tubuhnya terasa menggigil. Setelah ia selesai mengeringkan tubuh basahnya, Tanisha pun mengoleskan minyak kayu putih ke bagian-bagian tubuh yang cenderung terkena penyakit jika sudah hujan-hujanan. Tanisha menghirup udara dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya perlahan. Ada sensasi lega dan hangat yang menyapa tubuhnya. Baju piyama dengan lengan panjang terpasang di tubuhnya yang agak kurus itu. Tanisha pun melanjutkan kegiatannya dengan mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk kecil. Bersamaan dengan itu, pikirannya menjadi melayang pada kejadian di halte tadi. Masih dapat ia rasakan sisa-sisa b
Hari ini Rezvan pergi menemui Kalandra di tempat biasa mereka berdua. Entah dorongan dari mana ia begitu teringin menceritakan tentang perasaannya pada teman lamanya itu. Ia berpikir, apa salahnya berbagi kebahagiaan kepada orang lain mengenai betapa berbunga-bunga hatinya. Apalagi Rezvan sudah berbaikan dengan Kalandra soal ia yang tiba-tiba memukuli laki-laki itu saat tengah berada di JPO. Rezvan berjalan dengan penuh sukacita menuju sebuah tempat rekreasi yang berlokasi di sebuah danau. Ia begitu tak sabar untuk bercerita banyak hal pada Kalandra mengenai Tanisha. Walaupun Rezvan belum sepenuhnya mengakui tentang perasaannya pada Tanisha yang kembali tumbuh, tetapi hatinya tak dapat berbohong bahwa sejatinya ia telah jatuh cinta kembali pada perempuan itu. Di lubuk hatinya yang terdalam, Rezvan begitu berharap Tanisha pun merasakan hal yang sama meskipun kemungkinannya sangat kecil mengingat perlakuannya di masa lalu yang tak bisa dimaafkan semudah itu. Namun, apa salahnya berj
"Fathan!" Rezvan berjalan cepat sambil menyingkapkan lengan bajunya. Deru napasnya memburu, kedua matanya menatap jalang. Raut wajah laki-laki itu nampak begitu marah hingga membuat siapa pun yang melihatnya merasa ketakutan. Fathan yang sedang duduk santai dan berbincang-bincang dengan teman-temannya lantas menoleh ke arah suara tersebut. Keningnya mengernyit heran. Ia berdiri seraya menatap Rezvan penuh tanda tanya. Dengan tangan yang terkepal kuat, Rezvan melayangkan satu pukulan mematikan ke wajah Fathan. Kemudian, tanpa ampun ia menyusulnya dengan pukulan-pukulan lain. Lawannya hanya menatap bingung dan tak sanggup membalas karena pukulan yang mengenainya terlalu tiba-tiba. "Bangsat lo, Than! Banci! Beraninya sama cewek doang!" bentak Rezvan dengan ekspresi yang begitu terlihat sangar. Ia kembali memukul beberapa bagian tubuh Fathan hingga membuat sang empu merasa kewalahan. Laki-laki itu bahkan sampai terbatuk-batuk seraya memegangi perutnya yang tadi terkena pukulan hebat R
Tanisha mendorong pintu yang terbuat dari kaca hingga terbuka lebar. Saat ia memasuki rumah bagi para buku itu, matanya langsung disambut dan dimanjakan oleh ratusan—bahkan mungkin ribuan buku—yang tersusun rapi di rak-rak yang berjejer dengan rapi pula. Kedua mata bulatnya berbinar senang. Perasaannya begitu antusias dan tak sabar untuk menyusuri setiap rak buku yang ada di sana. Tanisha langsung berjalan menuju rak yang khusus buku-buku non-fiksi hingga yang fiksi. Hatinya amat gembira, ia seolah tengah memasuki surga dunianya. Mungkin saat ini kausudah dapat menebak sedang berada di manakah Tanisha. Ya, gramedia. Alasan perempuan itu pergi ke tempat ini adalah untuk mencari buku yang akan ia jadikan referensi bagi cerita yang hendak digarapnya. Entah kunjungannya yang ke berapa kali ke tempat ini, bahkan buku-buku yang sebelumnya pun sudah begitu banyak tersimpan di rak buku miliknya. Buku memang selalu menjadi sumber informasi yang sangat valid dan dapat dipercaya mengenai apa
Derap kaki Tanisha bergerak begitu cepat. Wajahnya tertekuk menahan tumpukan kekesalan yang menggunung di dalam hatinya. Sementara itu, dengan wajah tak berdosanya, Rezvan terus mengikutinya dan tak henti-hentinya menyamakan langkah kakinya dengan Tanisha. Rezvan seolah tak ingin menyerah begitu saja. Sebelum perempuan itu menerima permintaan maafnya, ia tak akan berhenti untuk terus mendekati Tanisha dan mengucap kata maaf berkali-kali. Padahal, tanpa ia sadari, hal itu justru membuat empunya merasa makin dilanda rasa kesal. "Cha, maafin gue, ya? Ya, ya, ya? Gue janji gak akan gitu lagi." Ditatapnya Tanisha dari samping yang ia rasa malah makin mempercepat langkah kakinya. Perempuan itu nampak tak menghiraukan ucapannya hingga membuat Rezvan merasa tak tenang dan tak enak hati. "Acha, jangan gini, dong. Gue janji gak akan mukulin orang sembarangan lagi, deh. Ya? Ntar cantiknya ilang, lho, kalo ditekuk mulu kek gitu mukanya," ujar laki-laki tersebut dengan niat membujuk Tanisha. Na
Tumpukan kitab di atas meja turut menemani keheningan yang dirasakan oleh perempuan berusia 23 tahun itu. Cahaya remang-remang dari lampu belajar menyoroti salah satu kitab yang tengah dibacanya. Kedua matanya sedari tadi terus mengerjap. Wajar saja, gadis itu sudah duduk di tempat itu sekitar 2 jam. Merasa kedua matanya menjadi perih, ia pun lantas menutup kitabnya lalu mengusap kelopak matanya. Matanya itu terasa berat, mungkin karena sudah tak sanggup menahan kantuk. Gadis bernama April itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada sebuah buku diari yang berada di tumpukan buku lain dan terletak paling atas. Diari dengan sampul putih itu kemudian ia buka dan ia baca halaman demi halamannya. Tulisan-tulisan ia goreskan beberapa tahun lalu itu ia baca kembali. Sesekali tawa renyahnya bergema menghilangkan suasana sepi sejenak. Diari itu berisi tulisan-tulisan tentang Aqlan. April memang telah mengagumi laki-laki itu sedari dahulu. Namun, perbedaan antara dirinya dan Aqlan membuatnya
Rasa canggung berselimut keheningan seolah mengelilingi Tanisha dan Aqlan sedari memtari baru menampakkan dirinya. Masing-masing sibuk melalukan rutinitas di pagi hari tanpa memedulikan satu sama lain. Hari-hari yang mereka lewati secara sendiri-sendiri membuat hubungan yang sempat begitu dekat kini kembali merenggang. Tanisha tengah sibuk mencuci piring bekas memasak dan sarapan. Suara gemericik air serta denting sendok dan piring yang saling bersentuhan mengisi keheningan di area dapur yang cukup luas ini. Sementara itu, Aqlan asyik membaca-baca buku berisi materi untuk ia sampaikan pada anak didiknya nanti. Sudah menjadi hal yang biasa baginya untuk membaca-baca sekilas sebelum berangkat mengajar. Tanpa Tanisha dan Aqlan sadari, kerenggangan yang terjadi di antara keduanya justru telah membuat hubungan yang lain menjadi dekat. Tanisha dengan Rezvan yang makin hari makin saling bertaut pikiran, dan Aqlan dengan April yang walaupun keduanya saling diam, tetapi masing-masing selalu
"Jujur, aku paling gak bisa kalo udah ditanya kayak gitu, Bang."Tanisha tertunduk lesu sambil memukul pelan lengan Aqlan yang berada di pahanya. Laki-laki yang tengah berjongkok di hadapan Tanisha itu dapat melihat raut kesal di wajah sang istri. "Terus? Kamu jawab pertanyaan Ummi kayak gimana?" tanya Aqlan sembari menggenggam tangan Tanisha. Perempuan itu menghela napas panjang. Kejadian di dapur siang tadi masih berputar di kepalanya. Di saat tak mampu berkata-kata kala mendapat pertanyaan dari ibu mertua. Ketika itu, Tanisha hanya mampu menjawab dengan alasan Allah belum memercayakan seorang anak padanya atau belum takdirnya. Namun, ia juga merasa bersalah karena telah berbohong mengenai hal itu. Ia merasa menjadi seseorang paling kejam di saat Raidah justru bersikap begitu baik padanya. "Ya udah, gak usah dipikirin. Mending kita jadiin harapan orang tua kita, hm?" ucap Aqlan mencoba menggoda perempuan itu. Tanisha yang merasa kesal pun lantas mendorong Aqlan hingga hampir ter