Share

Bagian 2: Penghakiman

"Aduh, bagaimana kalau Pak Karta berbuat jahat sama anak itu?"

 

Surtini semakin resah. Berurusan dengan rentenir culas macam Karta hanya akan meninggalkan banyak masalah. Bukan hanya dia, Rukmini dan Hastuti bisa saja ikut terseret. Gadis itu pun mondar-mandir tak jauh dari gudang.

 

"Paman jahat! Tolong!" Jeritan anak kecil dari dalam gudang semakin memilukan.

 

"Argggh! Aku tidak bisa membiarkan ini!" 

 

Surtini meletakkan keranjang kue di  tanah. Dia bergegas menuju gudang. Sialnya, pintu gudang itu dikunci dari dalam.

 

"Tolong! Tolong! Huaaaa! Lepaskan aku, Paman Jahat!" Suara anak kecil di dalam gudang terdengar semakin memprihatinkan.

 

Surtini menghela napas berat. Dia segera memasang kuda-kuda. Satu tendangan belum berhasil menjebol pintu yang sudah mulai rapuh. Dia kembali mencoba berulang kali, hingga pintu ambruk pada tendangan kedua belas.

 

Seperti dugaan Surtini, Karta memang tengah memeluk gadis kecil yang gemetar ketakutan. Wajah lelaki paruh baya itu terlihat buas, layaknya harimau hendak menerkam mangsa. Surtini mengumpulkan keberanian, lalu menghadiahkan tendangan kuat pada si rentenir. Tubuh tambun lelaki itu pun terguling dan terhenti ketika membentur dinding.

 

Tangisan gadis kecil yang baru terlepas dari cengkeraman Karta memenuhi udara. Dia tampaknya masih ketakutan. Surtini memeluknya, mencoba menenangkan. 

 

"Ssstt ... ada Mbak di sini, tenanglah, Adik Manis ...."

 

"SURTINI!"

 

Namun, bahaya masih mengincar mereka. Karta bangkit sambil menyeka darah di sudut bibir. Surtini langsung pasang badan di depan si gadis kecil.

 

"Mbak hitung sampai tiga, habis itu kamu lari secepat mungkin, cari bantuan," bisiknya.

 

Gadis kecil mengangguk takut-takut. Surtini memasang kuda-kuda bersiap menghadapi serangan Karta. Dia mulai berhitung.

 

"Satu ... dua ... tiga! Lari!"

 

Bertepatan dengan serangan Karta ke arah Surtini, gadis kecil itu berhasil melarikan diri. Sementara Surtini menahan gerakan rentenir yang berbau alkohol. Untunglah, dia memang mempelajari ilmu silat, sehingga cukup imbang ketika berhadapan dengan Karta.

 

Buuuk! 

 

Karta melempar tubuh Surtini. Tenaga lelaki tinggi besar tentu tak sebanding dengan gadis beranjak remaja. Namun, Surtini tak ingin menyerah. Dia bangkit dengan segera. Guru silatnya mengajarkan bahwa meskipun kekuatan lawan lebih besar, jika menggunakan teknik tepat pasti akan bisa dirobohkan juga.

 

"Sial*n kau, Surti!"

 

Karta mulai mengumpat. Namun, kekesalannya tak bertahan lama. Dia mendadak menyeringai. Matanya menelisik tubuh sintal Surtini dengan buas.

 

"Sepertinya, kamu harus menggantikan mangsaku tadi, Surti, malah lebih bagus begini," desis Karta sambil menjilati bibir.

 

Surtini tersenyum miring.

 

"Tidak akan semudah itu, Paman. Langkahi dulu mayatku!"

 

Karta menggeram. Dia merangsek maju. Surtini kini lebih tenang, sehingga celah dari serangan Karta terlihat jelas. Dia pun bisa menghindar dengan mudah.

 

Brakk!

 

Serangan Karta meleset. Bukannya menyergap Surtini, dia malah menyeruduk dinding gudang, membuat lubang seukuran kepala. Saat rentenir kejam itu berbalik, Surtini tak kuasa menahan tawa melihat benjolan sebesar telur puyuh menghiasi kening Karta.

 

"Walah, Paman punya tanduk sekarang!" ejeknya.

 

"Surti! Awas kamu!" bentak Karta.

 

Dengkusan kasar terembus dari lubang hidungnya. Karta kembali menyerang, tak peduli pada tubuhnya yang sempoyongan. Pengaruh alkohol tentu menganggu keseimbangan. Surtini jelas berada di atas angin.

 

Krak!

 

"Argggh!"

 

Karta meraung. Surtini memelintir tangannya ke belakang. Setelah gagal menyerang sebanyak dua puluh kali, tenaga Karta hampir terkuras habis. Dia ambruk sendiri dan memudahkan Surtini untuk meringkusnya.

 

"Tolong! Tolong!"

 

Karta yang terdesak terpaksa berteriak-teriak. Surtini tak menghiraukannya. Dia malah memelintir tangan gempal itu lebih kuat, bermaksud memberikan efek jera.

 

Namun, keberuntungan berpihak kepada Karta. Teriakannya membuahkan hasil. Satu per satu warga berdatangan menyaksikan kejadian unik tersebut, seorang lelaki gempal dipelintir oleh remaja tanggung.

 

"Ada apa ini? Kamu apakan suamiku, anak haram?" Jeritan histeris membuat kerumunan warga menepi, memberi jalan. Seorang wanita bertubuh tambun mendekat. Dialah Sumi, istri Karta.

 

Surtini mencoba menjelaskan. "Saya hanya memberi pelajaran karena Pak Karta mau memper-"

 

"Dia mau merayuku, Sayang! Aku menolak, malah dipukuli," potong Karta.

 

Surtini mendelik tajam. Dia refleks memelintir tangan Karta dengan lebih kuat. Sialnya, hal tersebut malah dimanfaatkan Karta. Lelaki itu meringis dan memasang raut muka paling memelas seolah menjadi korban kekejaman Surtini.

 

Jika berpikir logis, kata-kata Karta tentu tidak masuk akal. Namun, ibu-ibu terutama istri Karta sudah terlanjur termakan stigma negatif tentang ibu kandung Surtini. Pepatah buah tak jauh dari pohonnya seolah tersemat dengan kuat. Mereka sering kali menaruh curiga dan merasakan kecemburuan tak berdasar terhadap Surtini.

 

"Kurang ajar kamu, Surtini!" bentak Sumi.

 

Dia merangsek maju, lalu menjambak rambut Surtini dengan ganas. Pelintiran di tangan Karta terlepas. Lelaki itu diam-diam menyeringai, tetapi cepat mengubah raut wajahnya agar terlihat memelas lagi.

 

"Aduh! Aduh, Bu Sumi! Saya tidak salah! Saya tidak merayu Pak Karta!" keluh Surtini.

"Eh, pelakor! Mana ada maling ngaku! Kamu itu pasti tidak ada bedanya sama ibu kamu yang lont* itu!"

 

"Saya tidak salah! Pak Karta yang mau melecehkan saya!"

 

"Halah! Mana mungkin suamiku mau sama anak bau kencur seperti kamu! Dasar jelek!"

 

Surtini mengepalkan tangan. Dia terpaksa menginjak kaki Sumi. Wanita itu menjerit kesakitan, sehingga jambakannya terlepas.

 

Namun, belum sempat Surtini melarikan diri, ibu-ibu lain sudah menghadangnya. Mereka memegangi gadis itu. Dia mencoba meronta, tetapi hanya berakhir sia-sia. Ilmu silatnya entah kenapa menjadi tak berguna di hadapan para wanita yang dikuasai api cemburu.

 

"Kita arak telanja*ng saja lont* ini!" seru Sumi.

 

"Setuju!"

 

"Biar tau rasa dia!"

 

"Lepaskan saya! Saya tidak salah!" Surtini masih mencoba membela diri.

 

"Diam kamu!" bentak Sumi.

 

"Arak!"

 

"Arak!"

 

"Arak!"

 

Salah seorang wanita sudah hampir menarik kemeja yang dikenakan Surtini.

 

"Tunggu! Tunggu! Ada apa ini?"

 

Suara bersahaja menghentikan keributan sejenak. Seorang lelaki tua mendekat. Pemilik wajah ramah itu adalah ketua RT. Dia mencoba menengahi masalah yang tengah terjadi.

 

"Sabar dulu, Ibu-ibu. Ada apa ini sebenarnya?"

 

"Ini Pak RT, si anak haram mau merayu suamiku!" adu Sumi menggebu-gebu. "Mau kami arak telanj*ng keliling kampung!" tambahnya lagi. Dia pun menceritakan apa yang terjadi. Karta bahkan ikut menimpali cerita istrinya.

 

"Jangan main hakim sendiri begini, Bu! Lagi pula itu, kan, kata-kata Pak Karta, belum terbukti kebenarannya."

 

"Oh jadi maksud Bapak suamiku bohong? Bapak lebih percaya omongan anak lont* ini!"

 

Sumi menunjuk-nunjuk wajah Surtini. Pak RT menghela napas berat. Lelaki itu adalah sosok yang bijak. Dia tentu bisa berpikir jernih siapa yang patut dipercaya, seorang rentenir tukang main perempuan atau remaja yang sangat santun dan berbakti kepada orang tua.

 

"Saya tidak mau menghakimi seseorang tanpa bukti dan saksi yang jelas."

 

Pak RT hendak berbicara lagi, tetapi Sumi malah mengompori kaum ibu. Mereka pun terbakar amarah, menuntut Surtini agar segera dihukum. Suasana semakin panas. Pak RT mengacak-acak rambutnya yang sudah menipis.

 

Keadaan bertambah kacau ketika Rukmini tiba di lokasi. "Ada apa ini? Kalian apakan anakku!" jeritnya histeris.

 

"Diam saja kamu, Bu Rukmini! Seharusnya, kamu merasa bersyukur, duri dalam keluarga kamu ini akan kami hukum!" geram Sumi.

 

Rukmini menarik Surtini ke dalam pelukannya.

 

"Tidak ada yang boleh menyentuh putriku!"

 

"Serahkan dia pada kami, Bu Rukmini!"

 

"Tidak!"

 

Rukmini berusaha melindungi putrinya. Sementara para warga mencoba merebut Surtini, sehingga terjadilah tarik-menarik. Suara-suara bernada tinggi juga bersahutan. Pak RT menggaruk-garuk kepala sampai-sampai beberapa helai rambut tipisnya tercabut.

 

Sialnya, Surtini malah terlepas dari pelukan Rukmini. Sumi yang tengah dikuasai nafsu amarah berhasil mencengkeramnya. Gadis malang itu kini berada dalam lautan amarah ibu-ibu yang tengah kesetanan.

 

Sraat!

 

Lengan baju Surtini sobek. Hanya menunggu waktu, pakaiannya akan menjadi korban keegoisan warga. Karta dan beberapa pria hidung belang menyeringai, seperti tak sabar hendak menikmati kemolekan tubuh gadis itu. Pak RT kembali berusaha mengendalikan keadaan, tetapi malah terdorong ke samping, hingga tersungkur di tanah berbatu. Rukmini hanya bisa menjerit-jerit histeris.

 

"Lepaskan putriku! Dia tidak mungkin bersalah!"

 

Surtini memejamkan mata dengan buliran bening menuruni pipi, "Ya Tuhan, tolong aku ...," lirih bibirnya melangitkan doa.

 

***

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status