Home / Romansa / Illegitimate Child / Bagian 2: Penghakiman

Share

Bagian 2: Penghakiman

Author: Puziyuuri
last update Last Updated: 2022-01-02 21:56:53

"Aduh, bagaimana kalau Pak Karta berbuat jahat sama anak itu?"

 

Surtini semakin resah. Berurusan dengan rentenir culas macam Karta hanya akan meninggalkan banyak masalah. Bukan hanya dia, Rukmini dan Hastuti bisa saja ikut terseret. Gadis itu pun mondar-mandir tak jauh dari gudang.

 

"Paman jahat! Tolong!" Jeritan anak kecil dari dalam gudang semakin memilukan.

 

"Argggh! Aku tidak bisa membiarkan ini!" 

 

Surtini meletakkan keranjang kue di  tanah. Dia bergegas menuju gudang. Sialnya, pintu gudang itu dikunci dari dalam.

 

"Tolong! Tolong! Huaaaa! Lepaskan aku, Paman Jahat!" Suara anak kecil di dalam gudang terdengar semakin memprihatinkan.

 

Surtini menghela napas berat. Dia segera memasang kuda-kuda. Satu tendangan belum berhasil menjebol pintu yang sudah mulai rapuh. Dia kembali mencoba berulang kali, hingga pintu ambruk pada tendangan kedua belas.

 

Seperti dugaan Surtini, Karta memang tengah memeluk gadis kecil yang gemetar ketakutan. Wajah lelaki paruh baya itu terlihat buas, layaknya harimau hendak menerkam mangsa. Surtini mengumpulkan keberanian, lalu menghadiahkan tendangan kuat pada si rentenir. Tubuh tambun lelaki itu pun terguling dan terhenti ketika membentur dinding.

 

Tangisan gadis kecil yang baru terlepas dari cengkeraman Karta memenuhi udara. Dia tampaknya masih ketakutan. Surtini memeluknya, mencoba menenangkan. 

 

"Ssstt ... ada Mbak di sini, tenanglah, Adik Manis ...."

 

"SURTINI!"

 

Namun, bahaya masih mengincar mereka. Karta bangkit sambil menyeka darah di sudut bibir. Surtini langsung pasang badan di depan si gadis kecil.

 

"Mbak hitung sampai tiga, habis itu kamu lari secepat mungkin, cari bantuan," bisiknya.

 

Gadis kecil mengangguk takut-takut. Surtini memasang kuda-kuda bersiap menghadapi serangan Karta. Dia mulai berhitung.

 

"Satu ... dua ... tiga! Lari!"

 

Bertepatan dengan serangan Karta ke arah Surtini, gadis kecil itu berhasil melarikan diri. Sementara Surtini menahan gerakan rentenir yang berbau alkohol. Untunglah, dia memang mempelajari ilmu silat, sehingga cukup imbang ketika berhadapan dengan Karta.

 

Buuuk! 

 

Karta melempar tubuh Surtini. Tenaga lelaki tinggi besar tentu tak sebanding dengan gadis beranjak remaja. Namun, Surtini tak ingin menyerah. Dia bangkit dengan segera. Guru silatnya mengajarkan bahwa meskipun kekuatan lawan lebih besar, jika menggunakan teknik tepat pasti akan bisa dirobohkan juga.

 

"Sial*n kau, Surti!"

 

Karta mulai mengumpat. Namun, kekesalannya tak bertahan lama. Dia mendadak menyeringai. Matanya menelisik tubuh sintal Surtini dengan buas.

 

"Sepertinya, kamu harus menggantikan mangsaku tadi, Surti, malah lebih bagus begini," desis Karta sambil menjilati bibir.

 

Surtini tersenyum miring.

 

"Tidak akan semudah itu, Paman. Langkahi dulu mayatku!"

 

Karta menggeram. Dia merangsek maju. Surtini kini lebih tenang, sehingga celah dari serangan Karta terlihat jelas. Dia pun bisa menghindar dengan mudah.

 

Brakk!

 

Serangan Karta meleset. Bukannya menyergap Surtini, dia malah menyeruduk dinding gudang, membuat lubang seukuran kepala. Saat rentenir kejam itu berbalik, Surtini tak kuasa menahan tawa melihat benjolan sebesar telur puyuh menghiasi kening Karta.

 

"Walah, Paman punya tanduk sekarang!" ejeknya.

 

"Surti! Awas kamu!" bentak Karta.

 

Dengkusan kasar terembus dari lubang hidungnya. Karta kembali menyerang, tak peduli pada tubuhnya yang sempoyongan. Pengaruh alkohol tentu menganggu keseimbangan. Surtini jelas berada di atas angin.

 

Krak!

 

"Argggh!"

 

Karta meraung. Surtini memelintir tangannya ke belakang. Setelah gagal menyerang sebanyak dua puluh kali, tenaga Karta hampir terkuras habis. Dia ambruk sendiri dan memudahkan Surtini untuk meringkusnya.

 

"Tolong! Tolong!"

 

Karta yang terdesak terpaksa berteriak-teriak. Surtini tak menghiraukannya. Dia malah memelintir tangan gempal itu lebih kuat, bermaksud memberikan efek jera.

 

Namun, keberuntungan berpihak kepada Karta. Teriakannya membuahkan hasil. Satu per satu warga berdatangan menyaksikan kejadian unik tersebut, seorang lelaki gempal dipelintir oleh remaja tanggung.

 

"Ada apa ini? Kamu apakan suamiku, anak haram?" Jeritan histeris membuat kerumunan warga menepi, memberi jalan. Seorang wanita bertubuh tambun mendekat. Dialah Sumi, istri Karta.

 

Surtini mencoba menjelaskan. "Saya hanya memberi pelajaran karena Pak Karta mau memper-"

 

"Dia mau merayuku, Sayang! Aku menolak, malah dipukuli," potong Karta.

 

Surtini mendelik tajam. Dia refleks memelintir tangan Karta dengan lebih kuat. Sialnya, hal tersebut malah dimanfaatkan Karta. Lelaki itu meringis dan memasang raut muka paling memelas seolah menjadi korban kekejaman Surtini.

 

Jika berpikir logis, kata-kata Karta tentu tidak masuk akal. Namun, ibu-ibu terutama istri Karta sudah terlanjur termakan stigma negatif tentang ibu kandung Surtini. Pepatah buah tak jauh dari pohonnya seolah tersemat dengan kuat. Mereka sering kali menaruh curiga dan merasakan kecemburuan tak berdasar terhadap Surtini.

 

"Kurang ajar kamu, Surtini!" bentak Sumi.

 

Dia merangsek maju, lalu menjambak rambut Surtini dengan ganas. Pelintiran di tangan Karta terlepas. Lelaki itu diam-diam menyeringai, tetapi cepat mengubah raut wajahnya agar terlihat memelas lagi.

 

"Aduh! Aduh, Bu Sumi! Saya tidak salah! Saya tidak merayu Pak Karta!" keluh Surtini.

"Eh, pelakor! Mana ada maling ngaku! Kamu itu pasti tidak ada bedanya sama ibu kamu yang lont* itu!"

 

"Saya tidak salah! Pak Karta yang mau melecehkan saya!"

 

"Halah! Mana mungkin suamiku mau sama anak bau kencur seperti kamu! Dasar jelek!"

 

Surtini mengepalkan tangan. Dia terpaksa menginjak kaki Sumi. Wanita itu menjerit kesakitan, sehingga jambakannya terlepas.

 

Namun, belum sempat Surtini melarikan diri, ibu-ibu lain sudah menghadangnya. Mereka memegangi gadis itu. Dia mencoba meronta, tetapi hanya berakhir sia-sia. Ilmu silatnya entah kenapa menjadi tak berguna di hadapan para wanita yang dikuasai api cemburu.

 

"Kita arak telanja*ng saja lont* ini!" seru Sumi.

 

"Setuju!"

 

"Biar tau rasa dia!"

 

"Lepaskan saya! Saya tidak salah!" Surtini masih mencoba membela diri.

 

"Diam kamu!" bentak Sumi.

 

"Arak!"

 

"Arak!"

 

"Arak!"

 

Salah seorang wanita sudah hampir menarik kemeja yang dikenakan Surtini.

 

"Tunggu! Tunggu! Ada apa ini?"

 

Suara bersahaja menghentikan keributan sejenak. Seorang lelaki tua mendekat. Pemilik wajah ramah itu adalah ketua RT. Dia mencoba menengahi masalah yang tengah terjadi.

 

"Sabar dulu, Ibu-ibu. Ada apa ini sebenarnya?"

 

"Ini Pak RT, si anak haram mau merayu suamiku!" adu Sumi menggebu-gebu. "Mau kami arak telanj*ng keliling kampung!" tambahnya lagi. Dia pun menceritakan apa yang terjadi. Karta bahkan ikut menimpali cerita istrinya.

 

"Jangan main hakim sendiri begini, Bu! Lagi pula itu, kan, kata-kata Pak Karta, belum terbukti kebenarannya."

 

"Oh jadi maksud Bapak suamiku bohong? Bapak lebih percaya omongan anak lont* ini!"

 

Sumi menunjuk-nunjuk wajah Surtini. Pak RT menghela napas berat. Lelaki itu adalah sosok yang bijak. Dia tentu bisa berpikir jernih siapa yang patut dipercaya, seorang rentenir tukang main perempuan atau remaja yang sangat santun dan berbakti kepada orang tua.

 

"Saya tidak mau menghakimi seseorang tanpa bukti dan saksi yang jelas."

 

Pak RT hendak berbicara lagi, tetapi Sumi malah mengompori kaum ibu. Mereka pun terbakar amarah, menuntut Surtini agar segera dihukum. Suasana semakin panas. Pak RT mengacak-acak rambutnya yang sudah menipis.

 

Keadaan bertambah kacau ketika Rukmini tiba di lokasi. "Ada apa ini? Kalian apakan anakku!" jeritnya histeris.

 

"Diam saja kamu, Bu Rukmini! Seharusnya, kamu merasa bersyukur, duri dalam keluarga kamu ini akan kami hukum!" geram Sumi.

 

Rukmini menarik Surtini ke dalam pelukannya.

 

"Tidak ada yang boleh menyentuh putriku!"

 

"Serahkan dia pada kami, Bu Rukmini!"

 

"Tidak!"

 

Rukmini berusaha melindungi putrinya. Sementara para warga mencoba merebut Surtini, sehingga terjadilah tarik-menarik. Suara-suara bernada tinggi juga bersahutan. Pak RT menggaruk-garuk kepala sampai-sampai beberapa helai rambut tipisnya tercabut.

 

Sialnya, Surtini malah terlepas dari pelukan Rukmini. Sumi yang tengah dikuasai nafsu amarah berhasil mencengkeramnya. Gadis malang itu kini berada dalam lautan amarah ibu-ibu yang tengah kesetanan.

 

Sraat!

 

Lengan baju Surtini sobek. Hanya menunggu waktu, pakaiannya akan menjadi korban keegoisan warga. Karta dan beberapa pria hidung belang menyeringai, seperti tak sabar hendak menikmati kemolekan tubuh gadis itu. Pak RT kembali berusaha mengendalikan keadaan, tetapi malah terdorong ke samping, hingga tersungkur di tanah berbatu. Rukmini hanya bisa menjerit-jerit histeris.

 

"Lepaskan putriku! Dia tidak mungkin bersalah!"

 

Surtini memejamkan mata dengan buliran bening menuruni pipi, "Ya Tuhan, tolong aku ...," lirih bibirnya melangitkan doa.

 

***

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Illegitimate Child   Bagian 103: Akhir Cerita Kita (END)

    Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d

  • Illegitimate Child   Bagian 102: Pembalasan

    Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala

  • Illegitimate Child   Bagian 101: Perangkap

    "Jadi, solusi apa yang kau tawarkan, Eka?""Menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang mumpuni dan mendapat simpati publik. Kita juga bisa menjaminkan beberapa aset," sahut Eka sembari menunjukkan beberapa dokumen.Gilang mengambil dokumen. Dia mengernyitkan kening saat membaca nama perusahaan yang tertulis di kertas. Keraguan menyusup di hati. Perusahaan Keluarga Pratama memang tidak akan menimbulkan masalah. Gilang hanya khawatir Bambang tidak akan menyetujui kerja sama dengan pihak Prasetya. Namun, Eka juga benar. Kedua perusahaan tersebut besar, keuangan stabil, dan mendapat simpati publik karena bersih dari kecurangan dan sering melakukan kegiatan amal. Gilang memijat-mijat keningnya yang mendadak berdenyut."Eka, kakekmu mungkin tidak akan setuju untuk Mahardika Group. Kamu tahu, kan, pendirinya bekas orang kepercayaan Om Danu.""Iya, Pak Gilang. Saya tahu benar perselisihan tak habis-habisnya antara Pak Bambang Hartono dan Pak Langit Prasetya. Tapi, bukankah generasi suda

  • Illegitimate Child   Bagian 100: Titik Balik

    Aula Hotel Blue Sky mulai ramai. Para tamu dari kelas atas saling berbincang. Bisnis atau barang mewah yang menjadi bahan obrolan. Eka tersenyum. Proyek yang telah menyita waktunya sebulan terakhir sukses besar dan pesta hari ini adalah untuk merayakannya.Namun, rasa bangga Eka dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Dia tak sengaja melihat sosok familiar di antara para tamu. Gadis yang selama ini dirindu itu tak seharusnya berada di sana. Ya, Surtini tampak sedang sibuk menata kue-kue di meja.Eka memanggil salah seorang staf bagian makanan. "Setahu saya, gadis itu bukan bagian dapur, kenapa ada di sana?" tanyanya sambil menunjuk Surtini."Ah, itu karena Bu Sylvia, Pak. Beliau menambahkan menu kue dari toko kue favoritnya. Gadis itu dari toko kue tersebut," jelas staf."Oh begitu, terima kasih penjelasannya. Kamu bisa kembali bekerja."Staf bagian makanan itu membungkukkan badan, lalu pamit pergi. Eka seketika mendecakkan lidah. Mau seenak apa pun kue di toko Rukmini, mustahil seora

  • Illegitimate Child   Bagian 99: Setia

    Usaha toko kue Rukmini berkembang semakin pesat. Dia bahkan sudah membuka dua cabang. Hastuti sampai mengundurkan diri dari pekerjaannya demi mengelola cabang pertama. Sementara cabang satunya lagi dipegang oleh Surtini. Sudah 3 minggu berlalu sejak hari pembukaan cabang kedua toko kue Rukmini. Pelanggan semakin bertambah setiap harinya. Bahkan, mereka juga sudah menerima pesanan besar beberapa kali. Akibatnya, Surtini menjadi sangat sibuk. Namun, anehnya, dia sering melihat ke jalan raya, sedikit berharap Eka akan tiba-tiba datang. "Ada apa, Mbak Sur?" tegur salah seorang karyawan saat Surtini lagi-lagi tanpa sadar menatap sendu kaca jendela yang menghadap ke jalan raya."Eh, iya, Dek? Apa?""Aku liat dari tadi Mbak Surti liat ke luar terus, kirain ada apaan?"Surtini menyengir lebar. "Aku cuma berharap seseorang datang, tapi kayaknya enggak bakal datang deh."Karyawan itu mengangguk-angguk meskipun masih penasaran. Dia tak mungkin mengorek-ngorek informasi atasan sembarangan. Akhi

  • Illegitimate Child   Bagian 98: Salah Sandera

    Hastuti terlempar menghantam dinding. Surtini menjerit kaget. Tenaga laki-laki dan perempuan secara normal jelas memiliki perbedaan signifikan. Beno tentu bisa dengan mudah membanting putrinya."Mbak Tuti!"Surtini menghambur ke arah Hastuti, mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun, baru berhasil menghentikan pendarahan di kening sang kakak, tubuhnya sudah ditarik dengan kasar. Beno mencengkeram kuat lengan Surtini dan menyeretnya paksa."Tunjukan di mana uang yang disimpan Rukmini! Atau kamu akan kujual!" desis Beno tajam di telinga Surtini.Brak!Pintu dibuka paksa dari luar. Lima petugas berseragam merangsek masuk. Beno mengumpat, lalu mencengkeram lengan Surtini dengan lebih kuat. Kuku-kukunya yang panjang dan kehitaman menggores luka di kulit gadis itu."Saudara Beno, menyerahlah! Anda sudah terkepung!" seru salah seorang polisi.Bukannya takut, Beno malah terbahak-bahak. Para polisi mengarahkan moncong senjata, memberikan ancaman. Namun, hal tersebut tidak juga menyurutkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status