Share

Illegitimate Child
Illegitimate Child
Penulis: Puziyuuri

Bagian 1: Ibu

Apa yang kau pikir ketika mendengar kata ibu? Seseorang yang mengandung dan melahirkanmu atau sosok tegar yang tetap membesarkanmu dengan kasih sayang meski hati tertoreh luka.

~~~

Gadis kecil itu terseok-seok. Beberapa kali kaki mungilnya tersandung dan hampir tersungkur. Namun, wanita bergaun hitam yang tengah menarik kasar tangannya seolah tak peduli, tetap berjalan dengan cepat. Bibir berlipstik merah darah tak sedikit pun menyungingkan senyum, membuat si gadis kecil memasang wajah muram.

Surtini, begitulah nama yang diberikan wanita bergaun hitam untuk si gadis berusia 5 tahun. Nama itu diberikan dengan asal setelah mendengar berita korban pembunuhan di televisi. Tega, kejam, mungkin kata-kata itu pantas disematkan kepadanya. Namun, dia tak peduli. Anak semata wayangnya itu memang tak pernah diharapkan.

"Bu ... pelan-pelan jalannya," lirih Surtini. Dia melirik takut-takut. Bukan sekali dua kali, tubuh mungilnya dihantam dengan ikat pinggang.

Wanita bergaun hitam tak menyahut, hanya netra indahnya yang melirik tajam. Surtini seketika mengkerut dan tak berani lagi bertanya. Dia pun pasrah mengikuti ke mana saja sang ibu melangkah.

Surtini diam-diam mengembuskan napas lega begitu langkah kaki ibunya terhenti. Kini, mereka berdiri di depan rumah mungil bercat abu-abu. Wanita bergaun hitam mengetuk pintu dengan kasar. Untunglah, keadaan sekitar tampak sepi, sehingga mereka tidak menjadi pusat perhatian.

"Tunggu sebentar!" Terdengar sahutan dari dalam rumah.

Surtini merasakan kehangatan dari suara itu. Meskipun setengah berteriak, nadanya masih lembut sangat berbeda dengan ocehan ibunya. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Wanita muda dengan daster bunga-bunga tampak terperanjat. Surtini seketika bersembunyi di balik punggung ibunya. Dia bisa melihat amarah di sorot mata perempuan pemilik rumah.

"Mau apa kamu ke sini! Tidak cukup kamu menghancurkan rumah tangga saya, hah! Mas Beno sudah lama tidak pulang! Percuma kamu cari ke sini!"

Wanita berdaster tampak mengepalkan tangan dengan air mata menuruni pipi. Surtini mencengkeram gaun ibunya. Perasaan gadis kecil itu bercampur aduk. Dia takut, tetapi juga merasa kasihan. Entah kenapa Surtini ingin sekali menyeka air mata wanita berdaster.

"Aku udah enggak perlu si Beno, kok. Aku udah dapat cowok baru. Emangnya kamu, lusuh begini sekali dibuang suami, ya, mana ada lagi yang mau."

"Kamu!"

Rukmini, wanita berdaster bunga-bunga hampir saja mendaratkan tamparan. Namun, dia menurunkan kembali tangan yang terangkat, berusaha keras mengendalikan emosi begitu menyadari ada anak kecil bersembunyi di belakang si perusak rumah tangganya.

"Pergilah! Jangan ganggu hidup kami lagi!"

"Tentu saja, aku juga mana betah lama-lama di sini. Aku cuma mau mengembalikan titipin si Beno."

Rukmini mengerutkan kening. Wanita bergaun hitam menarik tangan putrinya, sehingga si gadis kecil sedikit terseok, lalu terjatuh ke arah Rukmini.

"Ma-maaf, Tante." Suara Surtini terdengar gemetar.

"Dia anaknya Beno. Calon suami aku enggak bisa nerima keberadaan dia. Yah, enggak penting-penting amat juga, jadi ya, mau aku kembaliin aja ke sini."

Belum sempat Rukmini menyahut, wanita bergaun hitam sudah melenggang pergi. Surtini termangu. Gadis kecil itu tampak kebingungan. Hening merayap perlahan membuat suasana menjadi sedikit mencekam.

"Ibuuu ... Ibu ...."

Tangisan Surtini memecahkan keheningan. Dia baru menyadari telah ditinggalkan sang ibu. Gadis kecil itu hanya bisa terisak. Mau mengejar, tetapi ibunya sudah menghilang dari pandangan.

Tubuh mungil itu gemetaran. Tangannya memeluk lutut. Surtini tidak mengerti kenapa sang ibu meninggalkannya di tempat asing, padahal dia sudah berusaha menjadi anak yang baik.

Surtini tidak pernah protes setiap dipukuli. Dia juga tetap tersenyum meskipun selalu diejek anak-anak lain atau bahkan orang dewasa. Gadis kecil itu juga menolak saat ada orang-orang berseragam berjanji akan membawanya ke tempat yang lebih baik.

Tidak! Surtini tidak mau berpisah dengan sang ibu. Dia tidak akan bisa tidur kalau tidak dipeluk. Setiap malam, gadis kecil itu memang selalu meringkuk di dada ibunya, tak peduli bau menyengat kadang membuat perutnya mual. Tetangga-tetangga bilang itu karena ibunya suka mabuk.

"Masuklah!" perintah Rukmini.

Surtini mendongak. Wajah wanita berdaster bunga-bunga itu terlihat dingin, membuatnya sedikit takut. Namun, dia juga bisa melihat sepercik kehangatan di sorot mata Rukmini.

"Ayo masuk!" pinta Rukmini lagi.

Surtini bergeming. Dia tahu Rukmini membenci ibunya, sehingga sedikit takut. Surtini juga masih berharap ibunya tidak benar-benar pergi, hanya meninggalkan sebentar dan akan kembali untuk menjemput. Namun, hujan tiba-tiba turun dengan lebat. Gadis kecil itu seketika menggigil. Rukmini menghela napas berat.

"Masuklah, Nak! Kamu bisa sakit jika terus di luar!" Meskipun masih terdengar seperti perintah, suara wanita itu terdengar lebih lembut.

Surtini mulai goyah. Dia melirik ke dalam rumah takut-takut. Namun, belum sempat buka suara, gadis yang tampak lebih tua darinya tiba-tiba keluar.

"Mak! Kenapa harus disuruh masuk, sih? Biarkan saja anak pelakor ini sakit, kalo perlu mati sekalian!" gerutu gadis itu. Dia adalah Hastuti, putri semata wayang Rukmini.

"Tuti! Jangan ngomong sembarangan kamu! Emak memang sakit hati dengan kelakuan ibu dan bapaknya, tapi dia tidak salah apa-apa!" sergah Rukmini.

Hastuti mendecakkan lidah.

"Terserah Emak deh! Cape aku ngomong sama Emak!" ketusnya sebelum kembali masuk ke rumah sambil menghentakkan kaki.

Rukmini tak memedulikan ocehan putrinya. Dia kembali membujuk Surtini. Sebenarnya, Rukmini bisa saja menyerahkan gadis kecil itu ke panti asuhan atau dinas sosial. Namun, hati nurani seorang ibu terketuk saat melihat dua bola bening Surtini berkaca-kaca.

Rukmini telah memutuskan untuk memelihara Surtini. Meskipun dia tahu wajah mirip pelakor itu pasti akan selalu menoreh luka.

"Ayo masuk, Nak ...."

"Tapi, Ibu ...."

Rukmini menghela napas berat. Dengan tangan sedikit gemetar, dia mengusap kepala Surtini. Rambut sebahu milik gadis kecil itu sedikit basah karena terkena tempias hujan.

"Mulai sekarang, aku adalah ibumu, kamu bisa panggil Emak juga, seperti Mbak Tuti."

"Tapi, Tante ...."

"Sudahlah, ayo masuk. Ibumu tidak akan kembali ke sini."

Setelah berulang kali dibujuk, Surtini mau masuk ke rumah. Baru saja melangkah, tubuh mungilnya ambruk ke dalam pelukan Rukmini. Sebelum tak sadarkan diri, dia bisa merasakan kehangatan yang tidak biasa, juga tercium aroma menenangkan, jauh berbeda dengan bau menyengat ibunya.

Hastuti yang tengah duduk di sofa ruang tamu berdecih.

"Ck! Emak benar-benar deh! Anak pelakor malah dipeluk-peluk! Awas aja kamu, anak pelakor, aku akan pastikan hidupmu menderita!" desisnya tajam.

***

Surtini menyibak tirai jendela. Sinar mentari terasa hangat menyirami tubuh bongsornya. Ya, dia memang memiliki tinggi badan di atas rata-rata. Meskipun baru berusia 12 tahun, Surtini sudah terlihat seperti remaja 17 tahunan. Kadang, Hastuti yang kelas 3 SMA malah dikira adiknya karena bertubuh lebih mungil.

"Tanah airku tidak kulupakan. Kan terkenang selama hidupku. Biarpun saya pergi jauh. Tidak kan hilang dari kalbu. Tanahku yang kucintai. Engkau kuhargai."

Lagu nasional ciptaan Ibu Soed itu terus terlantun dari bibir Surtini. Besok, dia memang akan ada ujian praktik pelajaran kesenian. Oleh karena itu, Surtini mencoba latihan sambil mengerjakan tugas rumah tangga.Setelah seluruh tirai sudah dibuka, Surtini mengambil sapu dan mulai menyingkirkan debu-debu di lantai.

Sementara itu, Rukmini tengah sibuk di dapur, membuat kue-kue yang akan dititipkan di warung-warung. Sejak sang suami menghilang usai digondol pelakor, begitulah caranya mencukupi kebutuhan rumah tangga.

Waktu berlalu dengan cepat, Surtini sudah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Dia segera mandi karena akan mengantarkan kue-kue sang ibu tiri ke warung-warung. Rukmini juga telah usai menata aneka kue dalam keranjang. Saat itulah, Hastuti keluar dari kamar sambil mengucek mata.

"Ya ampun, Tuti! Kok, baru bangun? Ini sudah jam berapa? Kamu ini libur itu, ya, bantu Emak," omel Rukmini hampir tanpa jeda.

"Kan, sudah ada si anak pelakor, Mak."

"Berhenti memanggil dia anak pelakor, Tuti!"

Hastuti berdecih. Dia tak mengindahkan omelan ibunya dan pergi ke kamar mandi. Hastuti mendelik tajam saat berpapasan dengan Surtini yang tengah mengeringkan rambut. Untunglah, dia sedang tak berselera mengganggu sang adik dan langsung masuk kamar mandi.

"Kuenya udah siap, Mak?" tanya Surtini ketika berada di dapur.

"Iya. Tapi, kamu sarapan dulu."

"Iya, Mak."

Surtini mencomot pisang goreng hangat dan melahapnya dengan semangat. Dia mengacungkan jempol.

"Pisang goreng buatan Emak paling enak sedunia."

"Surti, Surti, seperti pernah makan pisang goreng dari seluruh dunia saja kamu ini."

Surtini menyengir lebar. Tak lama kemudian, dia telah selesai sarapan. Setelah mencium tangan Rukmini, gadis itu langsung tancap gas sembari membawa keranjang kue.

"Terima kasih, Bu!" seru Surtini riang setiap kali selesai menitipkan kue.

Sebenarnya, dia hanya berusaha ceria. Hatinya malah lebih sering terluka. Ibu-ibu yang berkumpul di warung selalu melakukan hal sama setiap kedatangan gadis itu, berbisik-bisik dengan suara cukup keras.

"Kesian Bu Rukmini harus melihara anak haram suaminya sama pelakor."

"Kalau aku, sudah kukasih ke panti asuhan. Amit-amit melihara anak pelakor!"

"Tapi, lumayan juga lho tenaganya bisa dipakai ha ha ha."

"Iya juga, ya, ha ha ha."

Surtini mengepalkan tangan dan pergi secepat mungkin dari sana. Untunglah, warung itu adalah warung terakhir. Dia tinggal pulang saja ke rumah. Namun, baru saja berjalan sepuluh langkah, Surtini melihat Karta, salah seorang tetangganya sedang menggandeng anak kecil yang tampak asing.

"Lho, adik kecil itu mau dibawa ke mana sama Pak Karta?"

Surtini mengelus dagu. Awalnya, dia ingin bersikap masa bodoh. Namun, hatinya tidak bisa tenang. Surtini pun memutuskan untuk mengikuti secara diam-diam. Ternyata, Karta membawa si gadis kecil ke dalam gudang tua.

"Kok perasaanku jadi enggak enak, nih," gumam Surtini.

"Huaaa! Lepas! Tolong! Paman, lepaskan saya!"

Teriakan dari dalam gudang membuat Surtini menelan ludah. Dia terjebak dilema, haruskah pergi seolah tak tahu apa pun atau menolong dengan resiko berurusan dengan Karta? Surtini mengigiti ujung jari.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status