Home / Romansa / Illegitimate Child / Bagian 3: Hukuman

Share

Bagian 3: Hukuman

Author: Puziyuuri
last update Last Updated: 2022-01-03 23:26:36

"Kakak itu tidak bersalah!" Jeritan melengking seketika menghentikan keributan.

 

Warga yang tadi berdesakan hendak menghakimi Surtini refleks menepi. Mereka kompak menoleh ke asal suara. Ada empat orang berdiri di sana, dua orang dewasa, seorang remaja, dan gadis kecil yang hampir menjadi korban Karta.

 

"Itu orangnya, Ma, Pa! Itu dia orangnya, paman jahat yang mau buka-buka baju aku!" adu si gadis kecil, sambil menunjuk Karta. Mata bundarnya melotot, seakan-akan bisa keluar dari tempatnya.

 

Warga saling berpandangan, lalu berbisik-bisik. Mereka mulai meragukan kebenaran ucapan Karta. Surtini yang tadi dicengkeram bersama-sama tak sengaja terlepas. Rukmini tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia cepat mengamankan putrinya.

 

"Penjarakan paman jahat itu, Pa!" seru si gadis kecil lagi.

 

Sumi yang tadinya ikut melongo seolah tersadar. Dia langsung mendelik tajam.

 

"Jangan sembarangan ngomong kamu, anak kecil!" bentaknya.

 

Namun, gadis kecil itu tak terlihat gentar. Dia tetap dengan pendirian ingin memenjarakan Karta. Suasana kembali menegang. Pak RT yang baru saja berhasil berdiri dengan susah payah, tampak tersentak saat melihat kedua orang tua si gadis kecil.

 

"Lho, Pak Aris? Ada apa ini, Pak?" tanyanya sedikit linglung. Dia memang tak mendengar ucapan gadis kecil itu tentang Karta tadi karena bisik-bisik warga cukup menganggu.

 

Warga juga menatap keluarga kecil itu. Semua tampak meminta penjelasan. Sementara, si gadis kecil terus mengomel sambil menunjuk-nunjuk ke arah Karta, tak peduli pelototan Sumi. Aris, ayah gadis itu pun berdeham sebelum berbicara.

 

"Mohon maaf sebelumnya, Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian. Terlebih dulu, saya perkenalkan diri. Saya Aris Pratama." Dia menunjuk wanita dan anak laki-laki di kanan dan kirinya. "Ini istri saya, Amira dan putra sulung saya, Rehan. Kalau anak perempuan ini, putri bungsu saya, Reina. Kami datang ke sini karena saya berniat untuk membangun taman bermain dan water boom di daerah utara kawasan sini."

 

Aris mengatur napas sejenak. Warga yang sebelumnya bertampang beringas saat hendak menghakimi Surtini perlahan berubah wujud menjadi bermuka manis. Sudah seminggu beredar kabar tentang pengusaha yang hendak mengembangkan tempat wisata. Hal itu tentu menjadi peluang baru untuk membuka usaha. Apalagi si pengusaha juga memang berniat mengandeng UMKM sekitar. Mereka tentu harus cari muka, bahkan Sumi tak berani lagi melotot, malah menunduk-nunduk dengan takzim.

 

Aris kembali melanjutkan ucapannya, "Begini, tadi tiba-tiba Reina datang-datang langsung nangis, lalu–"

 

"Papa kelamaan!" potong Amira. "Begini lho, Pak, Bu. Kata putri saya, dia mau dilecehkan oleh paman jahat. Saya kira orang jahat itu yang ditunjuk sama anak saya!" cerocosnya hampir tanpa jeda.

 

Sumi tampak menelan ludah. Meskipun takut, dia masih berharap sang suami bisa lepas dari jerat hukum.

 

"Ibu coba ditanya baik-baik dulu. Mungkin dia salah liat, mana mungkin suami saya ...."

 

"Jadi, Kamu mau bilang anak saya matanya rusak!" sergah Amira galak.

 

"Bu-bu-kan begitu, Bu."

 

Amira mendelik tajam. Sumi seketika mengkerut. Aris tak ingin terjadi keributan besar. Dia mengusap pelan bahu istrinya.

 

"Tapi, Ma, kalo kita melaporkan orang juga perlu bukti dan saksi. Saksinya gadis remaja yang menolong Reina, lalu kita harus kumpulkan bukti dulu."

 

"Buktinya sudah ada."

 

Semua mata menoleh ke asal suara. Anak laki-laki Keluarga Pratama yang bersuara. Rehan mendekati adiknya.

 

"Dek, saat paman jahat itu mau menganggu, kamu lakukan yang seperti kakak suruh, 'kan?"

 

Reina mengangguk dengan cepat. Semua orang bingung dengan apa yang dimaksud kakak beradik itu. Rehan tak ingin membuang waktu. Dia meraih tangan Reina, lalu mengutak-atik  arloji di pergelangan tangan sang adik. Tak lama kemudian terdengar suara rekaman. 

 

"Ayo sini, anak manis, Paman akan membawa kamu ke surga!"

 

"Paman jahat! Lepasin aku!"

 

"Ayo buka dulu bajunya!"

 

"Enggak mau! Tolong! Tolong! Paman jahat! Tolong!"

 

"Kemarilah, Anak manis ... ha ha ha!"

 

"Tolong! Tolong! Huaaaa! Lepaskan aku, Paman Jahat!"

 

BRAK!

 

"Ssstt ... ada Mbak di sini, tenanglah, Adik Manis ...."

 

"SURTINI!"

 

"Mbak hitung sampai tiga, habis itu kamu lari secepat mungkin, cari bantuan."

 

"Satu ... dua ... tiga! Lari!"

 

Suara rekaman telah selesai. Kini, sudah jelas siapa yang telah berbohong. Untunglah, Rehan memang meminta adiknya untuk menggunakan aplikasi perekam dan panggilan darurat jika berada dalam bahaya.

 

Warga kembali berbisik-bisik, mengejek Karta. Mereka seolah lupa sebelumnya hendak menghukum Surtini, juga tidak meminta maaf atau merasa bersalah sedikit pun. Sementara itu, Amira mengeluarkan ponsel hendak menghubungi polisi. Namun, belum memanggil, suara sirene mobil polisi terdengar di kejauhan. Rehan sudah berinisiatif menghubungi petugas lebih dulu.

 

Karta seketika gemetaran. Dia dan Sumi berlutut di depan Keluarga Pratama, memohon untuk damai yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Amira.

 

Warga yang berkerumun juga tak satu pun berniat membantu. Beberapa dari mereka malah tersenyum lega. Kelakuan Karta memang sudah lama meresahkan. Laporan ke polisi juga percuma karena lelaki itu memiliki bekingan dari oknum petugas.

 

Namun, kasus kali ini tentu sangat berat. Lawan Karta tak sebanding, jauh lebih kuat dan lebih kaya. Rentenir mes*m itu telah salah memilih mangsa.

 

"Dia penjahatnya, Pak. Cepat tangkap!" seru Amira dengan gemas begitu polisi sudah sampai di tempat kejadian.

 

Polisi bergerak cepat meringkus Karta. Lelaki itu segera dimasukkan ke mobil patroli, lalu dibawa ke kantor. Ejekan dan hinaan warga serta tangis memilukan Sumi mengiringi kepergiannya.

 

Sementara itu, Reina berlari menghampiri Surtini. Mata bulatnya menatap cemas.

 

"Kakak Peri! Kakak Peri! Kakak tidak apa-apa? Maaf Reina datangnya lama ...."

 

Surtini susah payah tersenyum dengan sisa-sisa tenaga. "Terima kasih," lirihnya sebelum tidak sadarkan diri.

 

"Surti!"

 

"Kakak Peri!"

 

***

 

"Kakak Peri, mau, ya, jadi Kakak aku?" celoteh Reina manja.

 

"Iya, Dek."

 

"Beneran, Kakak Peri?"

 

"Iya dong. Tapi, panggil Mbak Surti aja. Mbak, kan, bukan peri."

 

"Tapi, Kakak itu cantik dan baik hati seperti peri di cerita dongeng!" seru Reina sambil terus menempel pada Surtini.

 

Ya, tepat 2 hari setelah insiden penangkapan Karta, Keluarga Pratama mengunjungi kediaman Rukmini. Mereka membawa aneka penganan dan hadiah atas rasa terima kasih karena Surtini sudah menyelamatkan Reina. Hastuti melirik iri, tetapi juga sedikit senang karena bisa ikut menikmati kue-kue mahal yang hanya bisa dilihat di televisi.

 

Sementara adiknya bermanja-manja pada Surtini, Rehan melirik diam-diam. Wajah manis sekaligus polos gadis penyelamat Reina itu entah kenapa menyebarkan rasa hangat di pipinya. Dia cepat-cepat mengalihkan pandangan, berpura-pura asyik dengan ponsel.

 

"Jadi Nak Surti hanya tinggal bertiga dengan Bu Rukmini dan Nak Tuti," celetuk Aris melanjutkan obrolan yang sempat tertunda karena celotehan Reina.

 

"Iya, Om. Soalnya Bapak kami itu berengs*k, jadi ya suka ngilang-ngilang gitu," ceplos Hastuti.

 

Tak ayal dia dicubit ibunya.

 

"Yang sopan, Tuti," bisik Rukmini.

 

Hastuti malah memutar bola mata, lalu malah permisi ke kamarnya. Rukmini mengepalkan tangan gemas. Sementara itu, Aris tampak rikuh, tak menyangka topik obrolan yang dipilihnya membuat suasana menjadi tak nyaman. Amira pun cepat mengambil alih.

 

"Oh iya, Sekarang, Nak Surti sudah kelas berapa? Apa sama kelas satu seperti Rehan? Nanti kalau sudah lulus, apa ada rencana kuliah?" cerocosnya cepat.

 

"Kok, kuliah, Tante? Masih lama itu. Saya ini baru mau lulus SD."

 

Aris, Amira, dan Rehan melongo. Mereka tentu tak menyangka Surtini dengan badan sebongsor itu masih kelas 6 SD. Rukmini pun menjelaskan tentang kecepatan pertumbuhan putrinya yang memang di atas rata-rata.

 

"Maaf, ya, Nak, Tante kira kamu sudah SMA, seumuran Rehan."

 

"Enggak apa-apa, Tante. Banyak juga kok yang salah kira, soalnya badan saya gede."

 

Amira mengangguk-angguk.

 

"Nak Surti, kami ...."

 

"Surti! Surti! Main yuk!"

 

Suara cempreng terdengar memanggil dari luar. Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki berkulit sawo matang melongokkan kepala dari pintu yang terbuka. Menyadari ada tamu berpakaian necis, dia menjadi malu dan salah tingkah. Surtini berdiri dari kursi.

 

"Permisi sebentar, ya, Om, Tante," ucapnya sopan sebelum menhampiri anak laki-laki itu.

 

Reina mengekor seperti anak ayam.

 

"Kenapa, Gus?" tanya Surtini setelah berhadapan dengan si anak lelaki.

 

Bagus, teman sepermainan Surtini itu malah balas bertanya, "Ada tamu, ya, Sur?"

 

"Iya, Om sama Tante yang mau bikin taman."

 

"Berarti, kita enggak bisa main dong." Suara Bagus terdengar kecewa, membuat Surtini menjadi serba salah.

 

"Kakak Peri mau main? Reina ikut!" seru Reina. Dia mulai merengek-rengek.

 

Surtini menatap para orang tua. Aris, Amira, dan Rukmini kompak mengangguk. Setelah mendapat izin, barulah gadis itu mengabulkan rengekan Reina. Mereka pun ke luar rumah.

 

Amira meminta Rehan untuk mengawasi anak-anak itu. Dia tentu masih  khawatir mengingat Reina hampir saja menjadi korban pelecehan Karta. Setelah anak-anak pergi, orang tua melanjutkan obrolan.

 

Aris tampak resah sebelum mulai bicara, "Sebenarnya, maksud kedatangan kami ke sini bukan hanya untuk berterima kasih. Kami juga ada permintaan terkait Nak Surti."

 

"Permintaan apa, ya, Pak?"

 

"Jadi, begini ...."

 

***

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Illegitimate Child   Bagian 103: Akhir Cerita Kita (END)

    Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d

  • Illegitimate Child   Bagian 102: Pembalasan

    Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala

  • Illegitimate Child   Bagian 101: Perangkap

    "Jadi, solusi apa yang kau tawarkan, Eka?""Menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang mumpuni dan mendapat simpati publik. Kita juga bisa menjaminkan beberapa aset," sahut Eka sembari menunjukkan beberapa dokumen.Gilang mengambil dokumen. Dia mengernyitkan kening saat membaca nama perusahaan yang tertulis di kertas. Keraguan menyusup di hati. Perusahaan Keluarga Pratama memang tidak akan menimbulkan masalah. Gilang hanya khawatir Bambang tidak akan menyetujui kerja sama dengan pihak Prasetya. Namun, Eka juga benar. Kedua perusahaan tersebut besar, keuangan stabil, dan mendapat simpati publik karena bersih dari kecurangan dan sering melakukan kegiatan amal. Gilang memijat-mijat keningnya yang mendadak berdenyut."Eka, kakekmu mungkin tidak akan setuju untuk Mahardika Group. Kamu tahu, kan, pendirinya bekas orang kepercayaan Om Danu.""Iya, Pak Gilang. Saya tahu benar perselisihan tak habis-habisnya antara Pak Bambang Hartono dan Pak Langit Prasetya. Tapi, bukankah generasi suda

  • Illegitimate Child   Bagian 100: Titik Balik

    Aula Hotel Blue Sky mulai ramai. Para tamu dari kelas atas saling berbincang. Bisnis atau barang mewah yang menjadi bahan obrolan. Eka tersenyum. Proyek yang telah menyita waktunya sebulan terakhir sukses besar dan pesta hari ini adalah untuk merayakannya.Namun, rasa bangga Eka dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Dia tak sengaja melihat sosok familiar di antara para tamu. Gadis yang selama ini dirindu itu tak seharusnya berada di sana. Ya, Surtini tampak sedang sibuk menata kue-kue di meja.Eka memanggil salah seorang staf bagian makanan. "Setahu saya, gadis itu bukan bagian dapur, kenapa ada di sana?" tanyanya sambil menunjuk Surtini."Ah, itu karena Bu Sylvia, Pak. Beliau menambahkan menu kue dari toko kue favoritnya. Gadis itu dari toko kue tersebut," jelas staf."Oh begitu, terima kasih penjelasannya. Kamu bisa kembali bekerja."Staf bagian makanan itu membungkukkan badan, lalu pamit pergi. Eka seketika mendecakkan lidah. Mau seenak apa pun kue di toko Rukmini, mustahil seora

  • Illegitimate Child   Bagian 99: Setia

    Usaha toko kue Rukmini berkembang semakin pesat. Dia bahkan sudah membuka dua cabang. Hastuti sampai mengundurkan diri dari pekerjaannya demi mengelola cabang pertama. Sementara cabang satunya lagi dipegang oleh Surtini. Sudah 3 minggu berlalu sejak hari pembukaan cabang kedua toko kue Rukmini. Pelanggan semakin bertambah setiap harinya. Bahkan, mereka juga sudah menerima pesanan besar beberapa kali. Akibatnya, Surtini menjadi sangat sibuk. Namun, anehnya, dia sering melihat ke jalan raya, sedikit berharap Eka akan tiba-tiba datang. "Ada apa, Mbak Sur?" tegur salah seorang karyawan saat Surtini lagi-lagi tanpa sadar menatap sendu kaca jendela yang menghadap ke jalan raya."Eh, iya, Dek? Apa?""Aku liat dari tadi Mbak Surti liat ke luar terus, kirain ada apaan?"Surtini menyengir lebar. "Aku cuma berharap seseorang datang, tapi kayaknya enggak bakal datang deh."Karyawan itu mengangguk-angguk meskipun masih penasaran. Dia tak mungkin mengorek-ngorek informasi atasan sembarangan. Akhi

  • Illegitimate Child   Bagian 98: Salah Sandera

    Hastuti terlempar menghantam dinding. Surtini menjerit kaget. Tenaga laki-laki dan perempuan secara normal jelas memiliki perbedaan signifikan. Beno tentu bisa dengan mudah membanting putrinya."Mbak Tuti!"Surtini menghambur ke arah Hastuti, mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun, baru berhasil menghentikan pendarahan di kening sang kakak, tubuhnya sudah ditarik dengan kasar. Beno mencengkeram kuat lengan Surtini dan menyeretnya paksa."Tunjukan di mana uang yang disimpan Rukmini! Atau kamu akan kujual!" desis Beno tajam di telinga Surtini.Brak!Pintu dibuka paksa dari luar. Lima petugas berseragam merangsek masuk. Beno mengumpat, lalu mencengkeram lengan Surtini dengan lebih kuat. Kuku-kukunya yang panjang dan kehitaman menggores luka di kulit gadis itu."Saudara Beno, menyerahlah! Anda sudah terkepung!" seru salah seorang polisi.Bukannya takut, Beno malah terbahak-bahak. Para polisi mengarahkan moncong senjata, memberikan ancaman. Namun, hal tersebut tidak juga menyurutkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status