Share

Bagian 3: Hukuman

"Kakak itu tidak bersalah!" Jeritan melengking seketika menghentikan keributan.

 

Warga yang tadi berdesakan hendak menghakimi Surtini refleks menepi. Mereka kompak menoleh ke asal suara. Ada empat orang berdiri di sana, dua orang dewasa, seorang remaja, dan gadis kecil yang hampir menjadi korban Karta.

 

"Itu orangnya, Ma, Pa! Itu dia orangnya, paman jahat yang mau buka-buka baju aku!" adu si gadis kecil, sambil menunjuk Karta. Mata bundarnya melotot, seakan-akan bisa keluar dari tempatnya.

 

Warga saling berpandangan, lalu berbisik-bisik. Mereka mulai meragukan kebenaran ucapan Karta. Surtini yang tadi dicengkeram bersama-sama tak sengaja terlepas. Rukmini tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia cepat mengamankan putrinya.

 

"Penjarakan paman jahat itu, Pa!" seru si gadis kecil lagi.

 

Sumi yang tadinya ikut melongo seolah tersadar. Dia langsung mendelik tajam.

 

"Jangan sembarangan ngomong kamu, anak kecil!" bentaknya.

 

Namun, gadis kecil itu tak terlihat gentar. Dia tetap dengan pendirian ingin memenjarakan Karta. Suasana kembali menegang. Pak RT yang baru saja berhasil berdiri dengan susah payah, tampak tersentak saat melihat kedua orang tua si gadis kecil.

 

"Lho, Pak Aris? Ada apa ini, Pak?" tanyanya sedikit linglung. Dia memang tak mendengar ucapan gadis kecil itu tentang Karta tadi karena bisik-bisik warga cukup menganggu.

 

Warga juga menatap keluarga kecil itu. Semua tampak meminta penjelasan. Sementara, si gadis kecil terus mengomel sambil menunjuk-nunjuk ke arah Karta, tak peduli pelototan Sumi. Aris, ayah gadis itu pun berdeham sebelum berbicara.

 

"Mohon maaf sebelumnya, Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian. Terlebih dulu, saya perkenalkan diri. Saya Aris Pratama." Dia menunjuk wanita dan anak laki-laki di kanan dan kirinya. "Ini istri saya, Amira dan putra sulung saya, Rehan. Kalau anak perempuan ini, putri bungsu saya, Reina. Kami datang ke sini karena saya berniat untuk membangun taman bermain dan water boom di daerah utara kawasan sini."

 

Aris mengatur napas sejenak. Warga yang sebelumnya bertampang beringas saat hendak menghakimi Surtini perlahan berubah wujud menjadi bermuka manis. Sudah seminggu beredar kabar tentang pengusaha yang hendak mengembangkan tempat wisata. Hal itu tentu menjadi peluang baru untuk membuka usaha. Apalagi si pengusaha juga memang berniat mengandeng UMKM sekitar. Mereka tentu harus cari muka, bahkan Sumi tak berani lagi melotot, malah menunduk-nunduk dengan takzim.

 

Aris kembali melanjutkan ucapannya, "Begini, tadi tiba-tiba Reina datang-datang langsung nangis, lalu–"

 

"Papa kelamaan!" potong Amira. "Begini lho, Pak, Bu. Kata putri saya, dia mau dilecehkan oleh paman jahat. Saya kira orang jahat itu yang ditunjuk sama anak saya!" cerocosnya hampir tanpa jeda.

 

Sumi tampak menelan ludah. Meskipun takut, dia masih berharap sang suami bisa lepas dari jerat hukum.

 

"Ibu coba ditanya baik-baik dulu. Mungkin dia salah liat, mana mungkin suami saya ...."

 

"Jadi, Kamu mau bilang anak saya matanya rusak!" sergah Amira galak.

 

"Bu-bu-kan begitu, Bu."

 

Amira mendelik tajam. Sumi seketika mengkerut. Aris tak ingin terjadi keributan besar. Dia mengusap pelan bahu istrinya.

 

"Tapi, Ma, kalo kita melaporkan orang juga perlu bukti dan saksi. Saksinya gadis remaja yang menolong Reina, lalu kita harus kumpulkan bukti dulu."

 

"Buktinya sudah ada."

 

Semua mata menoleh ke asal suara. Anak laki-laki Keluarga Pratama yang bersuara. Rehan mendekati adiknya.

 

"Dek, saat paman jahat itu mau menganggu, kamu lakukan yang seperti kakak suruh, 'kan?"

 

Reina mengangguk dengan cepat. Semua orang bingung dengan apa yang dimaksud kakak beradik itu. Rehan tak ingin membuang waktu. Dia meraih tangan Reina, lalu mengutak-atik  arloji di pergelangan tangan sang adik. Tak lama kemudian terdengar suara rekaman. 

 

"Ayo sini, anak manis, Paman akan membawa kamu ke surga!"

 

"Paman jahat! Lepasin aku!"

 

"Ayo buka dulu bajunya!"

 

"Enggak mau! Tolong! Tolong! Paman jahat! Tolong!"

 

"Kemarilah, Anak manis ... ha ha ha!"

 

"Tolong! Tolong! Huaaaa! Lepaskan aku, Paman Jahat!"

 

BRAK!

 

"Ssstt ... ada Mbak di sini, tenanglah, Adik Manis ...."

 

"SURTINI!"

 

"Mbak hitung sampai tiga, habis itu kamu lari secepat mungkin, cari bantuan."

 

"Satu ... dua ... tiga! Lari!"

 

Suara rekaman telah selesai. Kini, sudah jelas siapa yang telah berbohong. Untunglah, Rehan memang meminta adiknya untuk menggunakan aplikasi perekam dan panggilan darurat jika berada dalam bahaya.

 

Warga kembali berbisik-bisik, mengejek Karta. Mereka seolah lupa sebelumnya hendak menghukum Surtini, juga tidak meminta maaf atau merasa bersalah sedikit pun. Sementara itu, Amira mengeluarkan ponsel hendak menghubungi polisi. Namun, belum memanggil, suara sirene mobil polisi terdengar di kejauhan. Rehan sudah berinisiatif menghubungi petugas lebih dulu.

 

Karta seketika gemetaran. Dia dan Sumi berlutut di depan Keluarga Pratama, memohon untuk damai yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Amira.

 

Warga yang berkerumun juga tak satu pun berniat membantu. Beberapa dari mereka malah tersenyum lega. Kelakuan Karta memang sudah lama meresahkan. Laporan ke polisi juga percuma karena lelaki itu memiliki bekingan dari oknum petugas.

 

Namun, kasus kali ini tentu sangat berat. Lawan Karta tak sebanding, jauh lebih kuat dan lebih kaya. Rentenir mes*m itu telah salah memilih mangsa.

 

"Dia penjahatnya, Pak. Cepat tangkap!" seru Amira dengan gemas begitu polisi sudah sampai di tempat kejadian.

 

Polisi bergerak cepat meringkus Karta. Lelaki itu segera dimasukkan ke mobil patroli, lalu dibawa ke kantor. Ejekan dan hinaan warga serta tangis memilukan Sumi mengiringi kepergiannya.

 

Sementara itu, Reina berlari menghampiri Surtini. Mata bulatnya menatap cemas.

 

"Kakak Peri! Kakak Peri! Kakak tidak apa-apa? Maaf Reina datangnya lama ...."

 

Surtini susah payah tersenyum dengan sisa-sisa tenaga. "Terima kasih," lirihnya sebelum tidak sadarkan diri.

 

"Surti!"

 

"Kakak Peri!"

 

***

 

"Kakak Peri, mau, ya, jadi Kakak aku?" celoteh Reina manja.

 

"Iya, Dek."

 

"Beneran, Kakak Peri?"

 

"Iya dong. Tapi, panggil Mbak Surti aja. Mbak, kan, bukan peri."

 

"Tapi, Kakak itu cantik dan baik hati seperti peri di cerita dongeng!" seru Reina sambil terus menempel pada Surtini.

 

Ya, tepat 2 hari setelah insiden penangkapan Karta, Keluarga Pratama mengunjungi kediaman Rukmini. Mereka membawa aneka penganan dan hadiah atas rasa terima kasih karena Surtini sudah menyelamatkan Reina. Hastuti melirik iri, tetapi juga sedikit senang karena bisa ikut menikmati kue-kue mahal yang hanya bisa dilihat di televisi.

 

Sementara adiknya bermanja-manja pada Surtini, Rehan melirik diam-diam. Wajah manis sekaligus polos gadis penyelamat Reina itu entah kenapa menyebarkan rasa hangat di pipinya. Dia cepat-cepat mengalihkan pandangan, berpura-pura asyik dengan ponsel.

 

"Jadi Nak Surti hanya tinggal bertiga dengan Bu Rukmini dan Nak Tuti," celetuk Aris melanjutkan obrolan yang sempat tertunda karena celotehan Reina.

 

"Iya, Om. Soalnya Bapak kami itu berengs*k, jadi ya suka ngilang-ngilang gitu," ceplos Hastuti.

 

Tak ayal dia dicubit ibunya.

 

"Yang sopan, Tuti," bisik Rukmini.

 

Hastuti malah memutar bola mata, lalu malah permisi ke kamarnya. Rukmini mengepalkan tangan gemas. Sementara itu, Aris tampak rikuh, tak menyangka topik obrolan yang dipilihnya membuat suasana menjadi tak nyaman. Amira pun cepat mengambil alih.

 

"Oh iya, Sekarang, Nak Surti sudah kelas berapa? Apa sama kelas satu seperti Rehan? Nanti kalau sudah lulus, apa ada rencana kuliah?" cerocosnya cepat.

 

"Kok, kuliah, Tante? Masih lama itu. Saya ini baru mau lulus SD."

 

Aris, Amira, dan Rehan melongo. Mereka tentu tak menyangka Surtini dengan badan sebongsor itu masih kelas 6 SD. Rukmini pun menjelaskan tentang kecepatan pertumbuhan putrinya yang memang di atas rata-rata.

 

"Maaf, ya, Nak, Tante kira kamu sudah SMA, seumuran Rehan."

 

"Enggak apa-apa, Tante. Banyak juga kok yang salah kira, soalnya badan saya gede."

 

Amira mengangguk-angguk.

 

"Nak Surti, kami ...."

 

"Surti! Surti! Main yuk!"

 

Suara cempreng terdengar memanggil dari luar. Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki berkulit sawo matang melongokkan kepala dari pintu yang terbuka. Menyadari ada tamu berpakaian necis, dia menjadi malu dan salah tingkah. Surtini berdiri dari kursi.

 

"Permisi sebentar, ya, Om, Tante," ucapnya sopan sebelum menhampiri anak laki-laki itu.

 

Reina mengekor seperti anak ayam.

 

"Kenapa, Gus?" tanya Surtini setelah berhadapan dengan si anak lelaki.

 

Bagus, teman sepermainan Surtini itu malah balas bertanya, "Ada tamu, ya, Sur?"

 

"Iya, Om sama Tante yang mau bikin taman."

 

"Berarti, kita enggak bisa main dong." Suara Bagus terdengar kecewa, membuat Surtini menjadi serba salah.

 

"Kakak Peri mau main? Reina ikut!" seru Reina. Dia mulai merengek-rengek.

 

Surtini menatap para orang tua. Aris, Amira, dan Rukmini kompak mengangguk. Setelah mendapat izin, barulah gadis itu mengabulkan rengekan Reina. Mereka pun ke luar rumah.

 

Amira meminta Rehan untuk mengawasi anak-anak itu. Dia tentu masih  khawatir mengingat Reina hampir saja menjadi korban pelecehan Karta. Setelah anak-anak pergi, orang tua melanjutkan obrolan.

 

Aris tampak resah sebelum mulai bicara, "Sebenarnya, maksud kedatangan kami ke sini bukan hanya untuk berterima kasih. Kami juga ada permintaan terkait Nak Surti."

 

"Permintaan apa, ya, Pak?"

 

"Jadi, begini ...."

 

***

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status