Share

Bagian 8: Pertolongan

Bu Nina sudah siap merobek lembar jawaban Surtini. Namun, gerakannya terhenti saat pria tua berkacamata tiba-tiba masuk ke kelas, Pak Gunawan, kepala sekolah. Beliau tampak terheran-heran dengan kondisi kelas yang tidak biasa.

"Ada apa ini, Bu Nina? Surtini, kenapa duduk di lantai?" 

Mendengar suara bersahaja Pak Gunawan, Surtini merasakan secercah harapan. Dia mendapatkan kekuatan untuk berdiri lagi. Andini diam-diam menghela napas lega. Sementara Ira dan Ria duduk dengan gelisah. Namun, Bu Nina masih jemawa.

"Maaf, Pak, ini karena Surtini membuat masalah. Dia mau menyontek jawaban Andini. Jadi, saya akan menyobek lembar jawabannya."

Pak Gunawan mengerutkan kening. Meskipun sejak menjadi kepala sekolah sudah tidak mengajar, tetapi beliau lumayan dekat dengan murid-murid. Pria tua itu tahu betul reputasi Surtini, siswi berprestasi yang berbakti, jujur, dan suka menolong. Dia tentu tak mungkin melakukan kecurangan seperti menyontek.

"Sabar dulu, Bu Nina. Mungkin hanya salah paham," cetus Pak Gunawan mencoba menengahi.

Bu Nina tampak geram, tetapi susah payah ditutupi.

"Begini, Pak, saya tau Surti ini murid kesayangan, Bapak, tetapi bukan berarti tutup mata kalau dia melakukan kesalahan."

Pak Gunawan terlihat menghela napas berat. Kebencian Bu Nina kepada Surtini memang sudah menjadi rahasia umum. Beberapa kali wanita itu kedapatan mencoreng nama baik seorang guru dengan bersikap tidak profesional dan menyusahkan Surtini.

"Ibu melihat sendiri dia menyontek?"

Bu Nina seketika terdiam. Pertanyaan Pak Gunawan jelas pukulan telak. Dia menggeleng pelan.

"Lho, Ibu tidak lihat Surtini menyontek, tapi kok langsung main tuduh."

Bu Nina cepat membela diri, "Ira dan Ria yang duduk di belakang Surtini melihat dia mengintip jawaban Andini."

Pak Gunawan seketika menatap tajam ke arah Ira dan Ria. Beliau tampaknya sudah mengerti permasalahan yang sebenarnya terjadi. Dua siswi pembuat masalah itu dapat dipastikan telah memfitnah Surtini.

Mereka pun gemetar ketakutan. Pak Gunawan memang selalu terlihat ramah dan bersahaja. Namun, beliau juga tegas dalam menindak murid-murid yang melanggar peraturan sekolah. Uang sogokan orang tua Ira tak akan mempan.

"Jadi, kalian benar-benar melihat Surtini mau menyontek jawaban Andini?" tanya Pak Gunawan dengan nada suara penuh penekanan.

Ira dan Ria saling sikut. Mereka bisa lancar berbohong jika di hadapan Bu Nina yang memang punya masalah pribadi dengan Surtini. Namun, sorot mata lembut, tetapi menohok dari sang kepala sekolah membuat kedua siswi itu mengkerut.

Pak Gunawan tersenyum simpul. "Sepertinya, kalian sendiri juga tidak yakin. Tapi, tenang saja, sehari sebelum ujian, kelas ini sudah dilengkapi CCTV pemberian dari donatur. Jadi, perkataan kalian bisa dibuktikan kalau memang benar."

Wajah murid-murid berubah suram. Beberapa di antaranya sampai berkeringat dingin dan menelan ludah berkali-kali. Tentu hanya mereka yang telah melakukan kecurangan selama ujian.

Ira dan Ria seketika memucat.

"Maaf, Pak! Sepertinya kami salah liat. Kami liat Surtini lama menatap ke arah depan, jadi kami kira dia mau nyontek," sergah Ira cepat.

CCTV itu tidak boleh dibuka sekarang juga. Kelakuannya dan Ria selama ujian bisa-bisa terbongkar. Jika pengecekan ditunda, dia masih bisa berharap untuk menyuap petugas yang mengoperasikan kamera pengintai tersebut.

"Begitu, ya?" Pak Gunawan tersenyum. "Berarti, sebenarnya, Surtini tidak menyontek, kalian hanya salah paham."

"Iya, Pak, kami enggak yakin juga dia benar-benar nyontek.

"Lalu kenapa kalian malah langsung menuduh?"

"Itu ... Kami cuma refleks aja, Pak, kaget."

"Lain kali, jangan asal tuduh, hampir saja kalian membuat Surtini mengulang ujian. Tapi kalau ingin lebih pasti, bisa kita cek CCTV ...."

"Saya rasa tidak perlu, Pak. Ira dan Ria sepertinya benar-benar salah paham saja. Saya minta maaf tadi langsung menuduh," potong Bu Nina cepat.

Pak Gunawan mengerutkan keningnya.

"Lho, minta maafnya jangan sama saya, tapi sama Surtini yang sudah jadi korban."

Meskipun sangat enggan, Bu Nina terpaksa meminta maaf kepada Surtini, begitu juga duo trouble maker, Ira dan Ria. Pak Gunawan tersenyum puas. 

"Bu Nina kembalikan lembar jawaban Surtini, sepertinya dia belum selesai mengerjakan. Berikan waktu tambahan juga untuk murid-murid karena waktu mengerjakan ujian berkurang karena kejadian ini," titahnya.

Bu Nina mengangguk dengan setengah hati. Oknum guru yang tak patut dicontoh itu menyerahkan lembar jawaban dengan malas. Surtini menatap Pak Gunawan dengan mata berkaca-kaca.

"Terima kasih, Pak," ucapnya penuh haru.

Pak Gunawan tersenyum lembut.

"Sudah, sudah, kamu balik lagi ke tempat duduk sana."

Surtini mengangguk. Dia kembali ke mejanya dan mengerjakan soal yang belum terselesaikan. Sementara itu, Bu Nina mengumumkan waktu tambahan. Pak Gunawan pun ke luar dari kelas. Beliau akan memeriksa kondisi kelas-kelas lain.

***

Malam hari tiba. Seperti biasa, Surti bermanja-manja dengan Rukmini. Kepalanya menyandar di dada sang ibu, merasakan kenyamanan dari mendengar suara detak jantung wanita itu. Hastuti yang duduk tak jauh dari mereka mencibir.

"Dasar manja! Anak pelakor tak tau diri!" gerutunya. Namun, dia seketika terdiam saat dipelototi Rukmini.

"Mak ...."

"Iya, Surti."

"Surti saaayang Emak."

Rukmini terkekeh. Dia mencubit ujung hidung Surtini. Hastuti memutar bola mata, lalu tersenyum miring.

Rukmini mengusap rambut Surtini dan bergumam lembut, "Hmm ... kalau Surti sayang Emak tolong pertimbangkan lagi tawarannya Pak Aris dan Bu Amira."

Wajah Surtini berubah muram. Dia memilin ujung rambut. Helaan napas beratnya terdengar samar.

"Tapi, Surti enggak mau ninggalin Emak.  Nanti Emak repot sendirian."

Hastuti mendelik tajam. Dia menggetok kening Surtini dengan sadis. 

"Eh, Surti! Kalo punya otak, dipake dong! Justru bagus kalo kamu terima tawaran orang kaya itu! Ngurang-ngurangin beban Emak tau!"

Surtini termangu. Kata-kata sang kakak tiri seketika merasuki pikirannya. Rukmini memelototi Hastuti. 

Namun, gadis itu seolah tak peduli, malah melanjutkan ucapannya, "Coba kamu pikir baik-baik. Kalo kamu terima tawaran itu, Emak enggak perlu susah payah cari uang buat biaya makan sama sekolah kamu."

"Tuti!" Rukmini kehabisan kesabaran.

Hastuti balas menatap tajam. "Kenapa, Mak? Aku benar, 'kan? Si Surti ini cuma beban buat kita!"

Rukmini memijat kening yang mendadak berdenyut. Dia pun mengomeli putrinya itu. Namun, Hastuti malah berdiri sambil melirik sinis.

"Capek debat sama Emak! Mending aku tidur deh!" ketusnya sebelum masuk ke kamar, lalu membanting pintu.

Rukmini menatap Surtini dengan lembut.

"Surti kamu jangan dengerin kata Mbak Tuti, ya? Kamu bukan beban, Nak. Justru Emak yang sering dibantu sama Surti."

Surtini masih memasang wajah muram. Hatinya membenarkan kata-kata Hastuti. Menerima tawaran Aris dan Amira memang akan sangat membantu mengurangi beban biaya hidup, tetapi membayangkan Rukmini akan repot sendirian membuatnya ragu.

"Surti ... Emak mau kamu terima tawaran itu karena Emak mau masa depan kamu jadi lebih baik. Pak Aris sama Bu Amira mungkin bisa membantu mewujudkan cita-cita kamu."

"Iya, Mak, Surti ngerti maksud Emak. Mbak Tuti juga benar, cuma Surti takut ninggalin Emak."

"Sudah, sudah, kamu jangan banyak pikiran, masih kecil juga. Sekarang, kamu tidur, ini sudah larut malam."

"Kelonin, Mak," rengek Surtini sambil memeluk manja.

"Dasar anak manja!"

Rukmini terkekeh. Dia menyentil pelan ujung hidung Surtini yang semakin menggayut manja. Mereka pun bangkit dari kursi dan menuju kamar tidur.

***

Sayup-sayup Surtini mendengar keributan. Dia membuka mata perlahan, lalu terperanjat. Bagaimana tidak? Sepuluh orang pria kekar mengelilinginya.

Aroma amis tiba-tiba menyeruak. Surtini merasakan perih tak terkira. Saat dia menunduk, dapat terlihat sebilah belati yang berlumuran darah menancap tepat di ulu hati.

Perlahan, tubuh Surtini merosot. Rasa perih semakin menjadi. Pandangannya memburam.

"Surti! Surti! Bertahanlah!"

Sepasang tangan memeluk erat. Surtini merasakan kehangatan menyelimuti tubuh. Dia susah payah membuka mata. Wajah tampan seorang pemuda menyambutnya.

"Anda larilah!"

Surtini tak mengerti kenapa dia bisa bicara seolah telah kenal lama dengan si pemuda.

"Tidak, Surti!"

"Saya mohon! Lari!"

Pemuda itu menggeleng cepat. Namun, adegan mengharukan itu terjeda. Teriakan amarah para pria bertubuh kekar memenuhi udara. Mereka bergerak maju serentak menyerbu ke arah Surtini dan si pemuda tampan.

Dor!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status