Home / Romansa / Illegitimate Child / Bagian 9: Kecemasan Surtini

Share

Bagian 9: Kecemasan Surtini

Author: Puziyuuri
last update Last Updated: 2022-01-16 10:13:56

"Argggh!"

Erangan menyayat membuat Rukmini yang tengah mengaduk-aduk adonan bakwan tersentak. Gerakan tangannya terhenti sejenak. Dia mengerutkan kening, juga menajamkan pendengaran.

"Argggh! Ugh! Saya mohon Anda harus lari! Lari!"

Kebingungan Rukmini berubah menjadi kecemasan. Dia bisa mengenali jelas suara yang tengah menjerit-jerit itu, Surtini. Rukmini melepaskan sendok pengaduk adonan bakwa, lalu mengelap tangan dengan cepat.

"Argggh! Lari!" Teriakan Surtini kembali terdengar.

Rukmini bergegas menuju kamar. Pintu hampir saja dibantingnya. Kecemasan semakin bertambah saat melihat Surtini bergerak-gerak gelisah di kasur dengan daster basah oleh keringat. Gadis itu tampak memegangi perut sambil terus mengerang.

"Ya ampun, Surti! Kamu kenapa, Nak! Nyebut, Surti! Nyebut!" jerit Rukmini panik.

Dia duduk di tepian tempat tidur sembari terus memanggil Surtini. Namun, gadis itu tidak juga membuka mata, malah mengerang lebih keras. Napasnya terlihat berat, seolah sedang sekarang. Rukmini menyentuh kening Surtini, tetapi suhu tubuhnya normal saja.

"Surti! Surti, bangun, Nak."

Rukmini menepuk pelan pipi Surtini. Satu tepukan tak ada reaksi apa pun. Dia terpaksa menepuk sedikit lebih keras. Surtini tersentak, langsung bangkit dan duduk secara mendadak.

"Kodok kejepit pintu!" jerit Rukmini refleks.

Namun, seruan latahnya tidak juga membangunkan Surtini. Gadis itu malah terlihat panik. Dia menggeleng cepat seolah dalam keadaan sadar padahal dengan mata terpejam.

"Tidak! Saya mohon Anda larilah!" seru Surtini sambil mencengkram lengan kanannya.

Air mata mulai menuruni pipi gadis itu. Surtini terisak-isak sembari memohon agar seseorang yang diajaknya bicara cepat lari. Rukmini pun menjadi semakin cemas.

"Surti! Surti! Nyebut, Nak! Bangun!" 

Surtini masih tak sadar juga. Rukmini terpaksa melakukan tindakan lebih ekstrim. Dia mengambil cangkir di meja dan memercikkan ke wajah Surtini, membuat gadis itu terbatuk.

"Uhuk! Ugghhh ...."

Surtini perlahan membuka mata. Melihat wajah cemas Rukmini, tangisnya malah menjadi kencang. Dia memeluk tubuh sang ibu tiri dengan erat.

Rukmini mengusap-usap punggung Surtini dengan lembut. Gadis itu mulai tenang, hanya tertinggal sedikit isakan dan suara ingus yang disedot. Setelah tangis Surtini benar-benar reda, Rukmini menatap lembut tepat di manik mata putrinya. 

"Kamu kenapa, Sur? Emak takut sekali tadi. Ada yang sakit?"

Surtini menggeleng. Dia menyeka kasar sisa-sisa air mata di pipi.

"Surti mimpi buruk, Mak. Mimpinya aneh."

Rukmini mengerutkan kening.

"Mimpi aneh?"

"Iya, Mak. Surti ketemu orang ganteng banget, Mak. Terus, kami dikelilingi banyak orang yang badannya gede dan mukanya serem. Perut Surti rasanya sakit, ternyata ketusuk pisau. Surti jatuh, Mak, ditangkap sama orang ganteng itu. Surti suruh dia melarikan diri, tapi dia enggak mau. Pas kami mau dikeroyok dan Surti kena tembak, Emak ngebangunin."

Rukmini mengelus kepala Surtini dengan lembut. 

"Itu cuma mimpi, semoga anak Emak selalu sehat dan selamat, jauh dari marabahaya."

"Tapi, mimpinya kok seperti nyata, ya, Mak. Surti juga ngerasa kenal sama orang ganteng itu."

"Kamu, kan, emang jelalatan, makanya sampai kebawa mimpi. Susah, sih, kalo anak pelakor, enggak bisa liat cowok ganteng pasti ngiler," celetuk Hastuti yang tiba-tiba menangkring di depan pintu dengan tangan menyilang di depan dada. 

Senyuman sinis tak lepas dari bibirnya. Mata Surtini langsung berkaca-kaca. Bukannya merasa iba, Hastuti malah tertawa sinis.

"Mau Nangeees? Cewek murahan, ya, emang suka sok lemah biar dibela, kan, ya?"

"Tuti!"

"Kenapa, Mak? Ada yang salah sama kata-kataku? Bener, 'kan? Cewek murahan emang suka sok lemah. Kayak lagak ibunya dia dulu pas nuduh Emak yang enggak-enggak biar Bapak berpaling," cerocos Hastuti hampir tanpa jeda.

Pecahlah tangis Surtini. Rasa bersalah yang menggayuti hati membuat air mata tak henti menuruni pipi. Meskipun ibu kandungnyalah yang telah berbuat jahat, dia sadar juga menjadi luka hati bagi Rukmini.

Merawat anak pelakor dengan wajah mirip si pelakor tentu tidak mudah. Surtini tahu itu, sehingga kata-kata Hastuti menjadi hantaman keras untuk mentalnya.

"Tuti, keluar!" seru Rukmini.

"Ck! Emak susah dibilangin! Bela terus itu si anak haram!" umpatnya sebelum keluar dari kamar.

"Anak itu! Ugh!"

Rukmini menekan kening yang mendadak berdenyut. Melihat sang ibu tiri tampak kesakitan, Surtini seketika menghentikan tangisnya. Dia cepat-cepat mengusap bekas air mata, lalu mengusap punggung Rukmini dengan lembut.

"Enggak apa-apa, Mak. Jangan marah, nanti tensi Emak naik."

Rukmini mengatur napas sejenak. Perlahan, denyut di kepalanya berkurang. Sementara itu, Surtini melihat ke arah jam dinding. Dia seketika melompat dari tempat tidur.

"Waduh! Sudah jam segini! Surti kesiangan! Emak pasti repot kerja sendirian. maaf, ya, Mak!" serunya sambil melangkah cepat ke arah pintu kamar.

Rukmini ikut turun dari kasur dan menahan langka Surtini. "Lho, mau ke mana kamu, Sur?" tanyanya.

"Mandi, Mak, biar bisa bantu-bantu," sahut Surtini.

"Hari ini, Emak cuma bikin pesanan Pak Aris, enggak terlalu repot. Kamu istirahat aja dulu."

Surtini menggeleng cepat. 

"Enggak bisa gitu dong, Mak. Surti harus bantu Emak."

Rukmini melotot. Surtini seketika mengkerut. Dia yang tadi bersikeras hendak mandi, kembali ke tempat tidur.

"Nah, sekarang istirahat!" titah Rukmini.

"Kalau bantu buat masak makan siang ...."

"Surti ...."

"Iya, Mak, iya, Surti istirahat."

"Kamu seminggu ini belajar keras untuk ujian, makanya capek badan capek pikiran. Akhirnya, sampai mimpi buruk yang aneh-aneh. Istirahatlah yang bener!"

"Iya, Mak."

Rukmini tersenyum hangat. Dia mengusap kepala Surtini sebelum ke luar kamar. Adonan bakwan di dapur telah menunggunya.

***

"Aduh, gimana, Mak?"

Surtini bolak-balik keluar masuk rumah. Tangannya menenteng sepatu. Rukmini yang baru selesai menyapukan bedak di wajah menggeleng-gelengkan kepala.

"Gimana apanya? Cepatlah kamu pakai sepatu sana! Kok malah mondar-mandir tidak jelas!"

"Surti gugup, Mak. Bagaimana kalo enggak lulus? Atau nilainya jelek? Apa enggak usah ke sekolah aja, ya?"

Rukmini menepuk kening sendiri.

"Ya ampun, Surti, Surti. Kamu itu belajarnya rajin, pas mengerjakan ujian juga kamu bilang tidak kesulitan. Jadi, tenang saja."

"Tapi, Mak ... kalo misalnya Surti enggak lulus? Aduh! Jangan sampai Emak malu!"

Rukmini mengusap kepala Surtini dan bergumam lembut, "Selama kamu menjadi anak yang baik, Emak tetap bangga. Tapi, Emak yakin kamu lulus dengan nilai yang bagus."

"Doain, ya, Mak."

"Pasti Emak doain. Itu sepatu cepat dipakai, nanti kita terlambat!" perintah Rukmini, lalu menyampirkan tali tas di bahu.

Surtini berpose hormat, lalu bergegas ke teras dan memasang sepatu. Rukmini terkekeh melihat tingkahnya. Meskipun masih wajar bocah berusia 12 tahun bertingkah seperti itu, tetapi tampak sedikit lucu jika mengingat badan Surtini yang begitu bongsor.

Setelah memastikan penampilannya sudah rapi, Rukmini ikut keluar dan mengunci pintu. Tak lama kemudian, mereka pun berangkat ke sekolah Surtini. Hari itu akan ada pembagian rapor.

Sesampainya di sekolah, Surtini langsung mengajak sang ibu ke kelas. Ruangan persegi yang cukup luas itu sudah terisi oleh para wali murid. Tak lama kemudian, acara pembagian rapor dimulai.

Kegiatan diawali dengan sambutan dari wali kelas. Beliau memberikan sedikit petuah untuk para murid. Oleh karena akan diskusi dengan orang tua, siswi dan siswa diminta menunggu di luar.

Satu persatu wali murid akan dipanggil berdasarkan nomor absen anaknya. Surtini kembali gelisah. Dia mondar-mandir tidak jelas di koridor. Tepukan di bahu membuatnya hampir saja pingsan.

"Ish! Bagus, ngagetin aja!" sungutnya saat mengetahui Bagus yang menepuk bahunya.

Anak laki-laki itu menyengir lebar, lalu menyodorkan satu cup es krim.

"Nih, biar kamu lebih tenang."

Meskipun kesal, Surtini tetap menerima es krim yang disodorkan. Akhirnya, dua anak itu makan es krim sambil duduk di selasar.

"Orang tua siswi Surtini!" 

Suara wali kelas terdengar sampai ke luar ruangan, membuat Surtini menelan ludah berkali-kali. Es krim yang tadinya begitu manis mendadak terasa hambar.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Illegitimate Child   Bagian 103: Akhir Cerita Kita (END)

    Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d

  • Illegitimate Child   Bagian 102: Pembalasan

    Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala

  • Illegitimate Child   Bagian 101: Perangkap

    "Jadi, solusi apa yang kau tawarkan, Eka?""Menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang mumpuni dan mendapat simpati publik. Kita juga bisa menjaminkan beberapa aset," sahut Eka sembari menunjukkan beberapa dokumen.Gilang mengambil dokumen. Dia mengernyitkan kening saat membaca nama perusahaan yang tertulis di kertas. Keraguan menyusup di hati. Perusahaan Keluarga Pratama memang tidak akan menimbulkan masalah. Gilang hanya khawatir Bambang tidak akan menyetujui kerja sama dengan pihak Prasetya. Namun, Eka juga benar. Kedua perusahaan tersebut besar, keuangan stabil, dan mendapat simpati publik karena bersih dari kecurangan dan sering melakukan kegiatan amal. Gilang memijat-mijat keningnya yang mendadak berdenyut."Eka, kakekmu mungkin tidak akan setuju untuk Mahardika Group. Kamu tahu, kan, pendirinya bekas orang kepercayaan Om Danu.""Iya, Pak Gilang. Saya tahu benar perselisihan tak habis-habisnya antara Pak Bambang Hartono dan Pak Langit Prasetya. Tapi, bukankah generasi suda

  • Illegitimate Child   Bagian 100: Titik Balik

    Aula Hotel Blue Sky mulai ramai. Para tamu dari kelas atas saling berbincang. Bisnis atau barang mewah yang menjadi bahan obrolan. Eka tersenyum. Proyek yang telah menyita waktunya sebulan terakhir sukses besar dan pesta hari ini adalah untuk merayakannya.Namun, rasa bangga Eka dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Dia tak sengaja melihat sosok familiar di antara para tamu. Gadis yang selama ini dirindu itu tak seharusnya berada di sana. Ya, Surtini tampak sedang sibuk menata kue-kue di meja.Eka memanggil salah seorang staf bagian makanan. "Setahu saya, gadis itu bukan bagian dapur, kenapa ada di sana?" tanyanya sambil menunjuk Surtini."Ah, itu karena Bu Sylvia, Pak. Beliau menambahkan menu kue dari toko kue favoritnya. Gadis itu dari toko kue tersebut," jelas staf."Oh begitu, terima kasih penjelasannya. Kamu bisa kembali bekerja."Staf bagian makanan itu membungkukkan badan, lalu pamit pergi. Eka seketika mendecakkan lidah. Mau seenak apa pun kue di toko Rukmini, mustahil seora

  • Illegitimate Child   Bagian 99: Setia

    Usaha toko kue Rukmini berkembang semakin pesat. Dia bahkan sudah membuka dua cabang. Hastuti sampai mengundurkan diri dari pekerjaannya demi mengelola cabang pertama. Sementara cabang satunya lagi dipegang oleh Surtini. Sudah 3 minggu berlalu sejak hari pembukaan cabang kedua toko kue Rukmini. Pelanggan semakin bertambah setiap harinya. Bahkan, mereka juga sudah menerima pesanan besar beberapa kali. Akibatnya, Surtini menjadi sangat sibuk. Namun, anehnya, dia sering melihat ke jalan raya, sedikit berharap Eka akan tiba-tiba datang. "Ada apa, Mbak Sur?" tegur salah seorang karyawan saat Surtini lagi-lagi tanpa sadar menatap sendu kaca jendela yang menghadap ke jalan raya."Eh, iya, Dek? Apa?""Aku liat dari tadi Mbak Surti liat ke luar terus, kirain ada apaan?"Surtini menyengir lebar. "Aku cuma berharap seseorang datang, tapi kayaknya enggak bakal datang deh."Karyawan itu mengangguk-angguk meskipun masih penasaran. Dia tak mungkin mengorek-ngorek informasi atasan sembarangan. Akhi

  • Illegitimate Child   Bagian 98: Salah Sandera

    Hastuti terlempar menghantam dinding. Surtini menjerit kaget. Tenaga laki-laki dan perempuan secara normal jelas memiliki perbedaan signifikan. Beno tentu bisa dengan mudah membanting putrinya."Mbak Tuti!"Surtini menghambur ke arah Hastuti, mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun, baru berhasil menghentikan pendarahan di kening sang kakak, tubuhnya sudah ditarik dengan kasar. Beno mencengkeram kuat lengan Surtini dan menyeretnya paksa."Tunjukan di mana uang yang disimpan Rukmini! Atau kamu akan kujual!" desis Beno tajam di telinga Surtini.Brak!Pintu dibuka paksa dari luar. Lima petugas berseragam merangsek masuk. Beno mengumpat, lalu mencengkeram lengan Surtini dengan lebih kuat. Kuku-kukunya yang panjang dan kehitaman menggores luka di kulit gadis itu."Saudara Beno, menyerahlah! Anda sudah terkepung!" seru salah seorang polisi.Bukannya takut, Beno malah terbahak-bahak. Para polisi mengarahkan moncong senjata, memberikan ancaman. Namun, hal tersebut tidak juga menyurutkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status