"Argggh!"
Erangan menyayat membuat Rukmini yang tengah mengaduk-aduk adonan bakwan tersentak. Gerakan tangannya terhenti sejenak. Dia mengerutkan kening, juga menajamkan pendengaran.
"Argggh! Ugh! Saya mohon Anda harus lari! Lari!"
Kebingungan Rukmini berubah menjadi kecemasan. Dia bisa mengenali jelas suara yang tengah menjerit-jerit itu, Surtini. Rukmini melepaskan sendok pengaduk adonan bakwa, lalu mengelap tangan dengan cepat.
"Argggh! Lari!" Teriakan Surtini kembali terdengar.
Rukmini bergegas menuju kamar. Pintu hampir saja dibantingnya. Kecemasan semakin bertambah saat melihat Surtini bergerak-gerak gelisah di kasur dengan daster basah oleh keringat. Gadis itu tampak memegangi perut sambil terus mengerang.
"Ya ampun, Surti! Kamu kenapa, Nak! Nyebut, Surti! Nyebut!" jerit Rukmini panik.
Dia duduk di tepian tempat tidur sembari terus memanggil Surtini. Namun, gadis itu tidak juga membuka mata, malah mengerang lebih keras. Napasnya terlihat berat, seolah sedang sekarang. Rukmini menyentuh kening Surtini, tetapi suhu tubuhnya normal saja.
"Surti! Surti, bangun, Nak."
Rukmini menepuk pelan pipi Surtini. Satu tepukan tak ada reaksi apa pun. Dia terpaksa menepuk sedikit lebih keras. Surtini tersentak, langsung bangkit dan duduk secara mendadak.
"Kodok kejepit pintu!" jerit Rukmini refleks.
Namun, seruan latahnya tidak juga membangunkan Surtini. Gadis itu malah terlihat panik. Dia menggeleng cepat seolah dalam keadaan sadar padahal dengan mata terpejam.
"Tidak! Saya mohon Anda larilah!" seru Surtini sambil mencengkram lengan kanannya.
Air mata mulai menuruni pipi gadis itu. Surtini terisak-isak sembari memohon agar seseorang yang diajaknya bicara cepat lari. Rukmini pun menjadi semakin cemas.
"Surti! Surti! Nyebut, Nak! Bangun!"
Surtini masih tak sadar juga. Rukmini terpaksa melakukan tindakan lebih ekstrim. Dia mengambil cangkir di meja dan memercikkan ke wajah Surtini, membuat gadis itu terbatuk.
"Uhuk! Ugghhh ...."
Surtini perlahan membuka mata. Melihat wajah cemas Rukmini, tangisnya malah menjadi kencang. Dia memeluk tubuh sang ibu tiri dengan erat.
Rukmini mengusap-usap punggung Surtini dengan lembut. Gadis itu mulai tenang, hanya tertinggal sedikit isakan dan suara ingus yang disedot. Setelah tangis Surtini benar-benar reda, Rukmini menatap lembut tepat di manik mata putrinya.
"Kamu kenapa, Sur? Emak takut sekali tadi. Ada yang sakit?"
Surtini menggeleng. Dia menyeka kasar sisa-sisa air mata di pipi.
"Surti mimpi buruk, Mak. Mimpinya aneh."
Rukmini mengerutkan kening.
"Mimpi aneh?"
"Iya, Mak. Surti ketemu orang ganteng banget, Mak. Terus, kami dikelilingi banyak orang yang badannya gede dan mukanya serem. Perut Surti rasanya sakit, ternyata ketusuk pisau. Surti jatuh, Mak, ditangkap sama orang ganteng itu. Surti suruh dia melarikan diri, tapi dia enggak mau. Pas kami mau dikeroyok dan Surti kena tembak, Emak ngebangunin."
Rukmini mengelus kepala Surtini dengan lembut.
"Itu cuma mimpi, semoga anak Emak selalu sehat dan selamat, jauh dari marabahaya."
"Tapi, mimpinya kok seperti nyata, ya, Mak. Surti juga ngerasa kenal sama orang ganteng itu."
"Kamu, kan, emang jelalatan, makanya sampai kebawa mimpi. Susah, sih, kalo anak pelakor, enggak bisa liat cowok ganteng pasti ngiler," celetuk Hastuti yang tiba-tiba menangkring di depan pintu dengan tangan menyilang di depan dada.
Senyuman sinis tak lepas dari bibirnya. Mata Surtini langsung berkaca-kaca. Bukannya merasa iba, Hastuti malah tertawa sinis.
"Mau Nangeees? Cewek murahan, ya, emang suka sok lemah biar dibela, kan, ya?"
"Tuti!"
"Kenapa, Mak? Ada yang salah sama kata-kataku? Bener, 'kan? Cewek murahan emang suka sok lemah. Kayak lagak ibunya dia dulu pas nuduh Emak yang enggak-enggak biar Bapak berpaling," cerocos Hastuti hampir tanpa jeda.
Pecahlah tangis Surtini. Rasa bersalah yang menggayuti hati membuat air mata tak henti menuruni pipi. Meskipun ibu kandungnyalah yang telah berbuat jahat, dia sadar juga menjadi luka hati bagi Rukmini.
Merawat anak pelakor dengan wajah mirip si pelakor tentu tidak mudah. Surtini tahu itu, sehingga kata-kata Hastuti menjadi hantaman keras untuk mentalnya.
"Tuti, keluar!" seru Rukmini.
"Ck! Emak susah dibilangin! Bela terus itu si anak haram!" umpatnya sebelum keluar dari kamar.
"Anak itu! Ugh!"
Rukmini menekan kening yang mendadak berdenyut. Melihat sang ibu tiri tampak kesakitan, Surtini seketika menghentikan tangisnya. Dia cepat-cepat mengusap bekas air mata, lalu mengusap punggung Rukmini dengan lembut.
"Enggak apa-apa, Mak. Jangan marah, nanti tensi Emak naik."
Rukmini mengatur napas sejenak. Perlahan, denyut di kepalanya berkurang. Sementara itu, Surtini melihat ke arah jam dinding. Dia seketika melompat dari tempat tidur.
"Waduh! Sudah jam segini! Surti kesiangan! Emak pasti repot kerja sendirian. maaf, ya, Mak!" serunya sambil melangkah cepat ke arah pintu kamar.
Rukmini ikut turun dari kasur dan menahan langka Surtini. "Lho, mau ke mana kamu, Sur?" tanyanya.
"Mandi, Mak, biar bisa bantu-bantu," sahut Surtini.
"Hari ini, Emak cuma bikin pesanan Pak Aris, enggak terlalu repot. Kamu istirahat aja dulu."
Surtini menggeleng cepat.
"Enggak bisa gitu dong, Mak. Surti harus bantu Emak."
Rukmini melotot. Surtini seketika mengkerut. Dia yang tadi bersikeras hendak mandi, kembali ke tempat tidur.
"Nah, sekarang istirahat!" titah Rukmini.
"Kalau bantu buat masak makan siang ...."
"Surti ...."
"Iya, Mak, iya, Surti istirahat."
"Kamu seminggu ini belajar keras untuk ujian, makanya capek badan capek pikiran. Akhirnya, sampai mimpi buruk yang aneh-aneh. Istirahatlah yang bener!"
"Iya, Mak."
Rukmini tersenyum hangat. Dia mengusap kepala Surtini sebelum ke luar kamar. Adonan bakwan di dapur telah menunggunya.
***
"Aduh, gimana, Mak?"
Surtini bolak-balik keluar masuk rumah. Tangannya menenteng sepatu. Rukmini yang baru selesai menyapukan bedak di wajah menggeleng-gelengkan kepala.
"Gimana apanya? Cepatlah kamu pakai sepatu sana! Kok malah mondar-mandir tidak jelas!"
"Surti gugup, Mak. Bagaimana kalo enggak lulus? Atau nilainya jelek? Apa enggak usah ke sekolah aja, ya?"
Rukmini menepuk kening sendiri.
"Ya ampun, Surti, Surti. Kamu itu belajarnya rajin, pas mengerjakan ujian juga kamu bilang tidak kesulitan. Jadi, tenang saja."
"Tapi, Mak ... kalo misalnya Surti enggak lulus? Aduh! Jangan sampai Emak malu!"
Rukmini mengusap kepala Surtini dan bergumam lembut, "Selama kamu menjadi anak yang baik, Emak tetap bangga. Tapi, Emak yakin kamu lulus dengan nilai yang bagus."
"Doain, ya, Mak."
"Pasti Emak doain. Itu sepatu cepat dipakai, nanti kita terlambat!" perintah Rukmini, lalu menyampirkan tali tas di bahu.
Surtini berpose hormat, lalu bergegas ke teras dan memasang sepatu. Rukmini terkekeh melihat tingkahnya. Meskipun masih wajar bocah berusia 12 tahun bertingkah seperti itu, tetapi tampak sedikit lucu jika mengingat badan Surtini yang begitu bongsor.
Setelah memastikan penampilannya sudah rapi, Rukmini ikut keluar dan mengunci pintu. Tak lama kemudian, mereka pun berangkat ke sekolah Surtini. Hari itu akan ada pembagian rapor.
Sesampainya di sekolah, Surtini langsung mengajak sang ibu ke kelas. Ruangan persegi yang cukup luas itu sudah terisi oleh para wali murid. Tak lama kemudian, acara pembagian rapor dimulai.
Kegiatan diawali dengan sambutan dari wali kelas. Beliau memberikan sedikit petuah untuk para murid. Oleh karena akan diskusi dengan orang tua, siswi dan siswa diminta menunggu di luar.
Satu persatu wali murid akan dipanggil berdasarkan nomor absen anaknya. Surtini kembali gelisah. Dia mondar-mandir tidak jelas di koridor. Tepukan di bahu membuatnya hampir saja pingsan.
"Ish! Bagus, ngagetin aja!" sungutnya saat mengetahui Bagus yang menepuk bahunya.
Anak laki-laki itu menyengir lebar, lalu menyodorkan satu cup es krim.
"Nih, biar kamu lebih tenang."
Meskipun kesal, Surtini tetap menerima es krim yang disodorkan. Akhirnya, dua anak itu makan es krim sambil duduk di selasar.
"Orang tua siswi Surtini!"
Suara wali kelas terdengar sampai ke luar ruangan, membuat Surtini menelan ludah berkali-kali. Es krim yang tadinya begitu manis mendadak terasa hambar.
***"Sur? Surti?"Bagus menepuk-nepuk pundak Surtini. Namun, gadis itu tak menyahut. Dia asyik menggigiti sendok es krim."Surti!" panggil Bagus dengan suara lebih keras.Surtini tersentak. Dia refleks melemparkan cup es krim dan mendarat tepat di wajah Bagus. Bukannya minta maaf, gadis itu malah mendelik."Kena karma, kan, kamu. Suka ngagetin sih," omelnya.Untunglah, Bagus bukan teman yang mudah emosian. Dia malah terkekeh sambil membersihkan wajah dari lelehan es krim."Bukannya ngagetin, Sur. Kamunya yang suka ngelamun. Hati-hati loh, entar kesambet lagi, kita semua repot.""Bukan ngelamun, aku tuh lagi cemas, Gus, takut nilaiku jelek. Aku enggak mau bikin Emak malu."Surtini memilin-milin ujung rok merahnya. Bagus lagi-lagi terkekeh. Gadis itu memajukan bibirnya."Kalo yang rajin kayak kamu nilainya jelek, aku pasti merah semua."Surtini mencubit lengan Bagus dengan sadis. Anak laki-laki itu hanya bisa meri
Rukmini menggigit ujung kuku. Dia terus mengeluarkan ponsel, lalu menyimpannya lagi di saku. Setelah mondar-mandir hampir sepuluh kali, Rukmini kembali mengambil ponsel. "Semoga Bu Amira bisa membantu," doanya lirih saat menghubungi Amira. Namun, tiga panggilan tak mendapat jawaban. Keberanian Rukmini menyusut. Akhirnya, dia kembali ke dapur untuk menggarap kue dan berpura-pura ceria agar Surtini tidak curiga. "Mak, soal hutang Bapak ...." Brak! Surtini tersentak. Dia tak menyangka kata-katanya membuat Rukmini sampai menjatuhkan pengaduk adonan kue. Lantai menjadi sedikit kotor. "Kamu tidak usah pikirkan itu, ya. Kamu ini masih kecil, jangan banyak pikiran!" "Tapi, Mak ...." "Sudah, sudah, mending bantu Emak lanjut bikin kuenya!" "Iya, Mak." Rukmini memungut kembali pengaduk adonan kue, lalu mencucinya. Sementara Surtini membersihkan lantai dari ceceran adonan. Setelah itu, mereka pun sibuk membuat kue. Tepat saat kue telah dibungkus rapi, ponsel di saku Rukmini berdering. J
Surtini merinding. Dia tanpa sadar merapatkan jaket. Entah kenapa ruangan tersebut mendadak terasa dingin seperti hawa kulkas ketika dibuka. Keheningan sesaat yang membekukan. "Anda bisa kembali bertugas, Pak Rivan." Suara dingin Mirna memecahkan keheningan. Surtini sempat tersentak. Untung saja, dia bisa menahan diri, sehingga tidak meloncat ke belakang dengan tiba-tiba. "Baik, Bu." Rivan menoleh kepada Surtini. "Tugas saya terkait kamu sudah selesai. Selanjutnya, kamu akan ada di bawah bimbingan Bu Mirna." Surtini sempat termangu cukup lama sebelum menyahut, "Baik, Pak. Terima kasih." Rivan hanya mengangguk kecil. Dia berpamitan dengan Mirna, lalu keluar dari ruangan. Surtini mengiringi kepergian laki-laki itu dengan sorot mata takut-takut. Meskipun Rivan juga membuatnya takut, ditinggalkan bersama wanita asing berwajah datar tentu lebih mengancam. "Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan lebih dulu!"
"Tut, kenapa Surti belum pulang, ya?"Rukmini mendesah berat beberapa kali. Dia sedari tadi mondar-mandir di ruang tamu. Hastuti mengangkat bahu."Keasyikan main kali, Bu?" sahutnya malas, seolah benar-benar tidak tahu.Akting Hastuti benar-benar hampir sempurna. Sorot mata cuek seperti biasa, juga tak ada perubahan sedikit pun dari raut wajahnya. Dia asyik bermain ponsel, seolah tak ada urusan dengan hilangnya Surtini, padahal gadis itu sudah berbuat jahat untuk menyingkirkan sang adik.Rukmini menggigit ujung kuku."Biasanya kalau main paling cuma sebentar," gumamnya semakin resah."Mana aku tau, Mak. Mungkin aja mainnya hari ini asyik banget, 'kan? Nanti juga pulang palingan kalo lapar," sinis Hastuti.Rukmini menghela napas berat. Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi mencari Surtini. Namun, baru saja membuka pintu, Matanya menangkap selembar amplop putih di meja teras, tepatnya di bawah asbak."Ini apa?"
Barang-barang di tas Surtini hanya sedikit. Penggeledahan tak memakan waktu lama. Pelayan yang memeriksa menggeleng pelan, menandakan dia tak menemukan cincin. "Berarti, Surtini bersih. Sekarang, kita akan lanjut kepada yang lain," putus Mirna. "Hah? Surti benar-benar bersih, Bu?" pekik Sari tanpa sadar. Mirna yang tadinya hendak melangkah ke luar kamar menghentikan langkah. Dia berbalik. Sari menelan ludah menyadari kecerobohannya. Sorot mata dingin Mirna menelisik tajam. "Apa tadi yang kamu katakan, Sari?" Sari cepat memperbaiki raut wajahnya. Dia tiba-tiba saja berekspresi seperti penuh haru. "Saya senang Surti benar-benar tidak terlibat dalam kasus ini, Bum Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kami harus bersikap nanti jika dia benar-benar pelakunya," kilahnya. "Oh begitu." Meskipun kata-katanya seperti percaya, tetapi Mirna mengucapkannya dengan nada sarkastik. "Baiklah, kita lanjutkan ke kamar lain– tunggu!"
Amira mondar-mandir di ruang rawat inap suaminya. Pikirannya masih dihantui firasat buruk. Laporan Rehan bahwa keluarga Surtini baik-baik saja tidak cukup menenangkan. Sebenarnya, Amira juga menelepon Rukmini beberapa kali, tetapi tidak diangkat. Kadang, Hasuti yang menerima panggilan. Gadis itu mengatakan ibunya mandi, atau sedang pergi dan ketinggalan ponsel. "Aduh, kenapa susah dihubungi, ya?" gumam Amira resah. Dia dan sang suami memang tengah berada jauh dari keluarga Surtini. Dokter menyarankan Aris untuk dirawat di Singapura. Oleh karena itu, di Negeri Merlion inilah mereka kini berada. Melihat tingkah galau sang istri, Aris yang sedari tadi menikmati semangkuk bubur terpaksa menghentikan sarapannya. "Kenapa, Ma? Dari tadi mondar-mandir terus?" celetuknya. "Masih kepikiran sama Bu Rukmini, Pa. Firasat Mama tuh enggak enak banget. Kok, kayaknya ada yang salah gitu," cerocos Amira. Dia mengempaskan tubuh di sofa. Rupanya,
Kini, pintu kamar terbuka sempurna. Surtini terperangah. Bibirnya tak henti berdecak kagum, sampai-sampai harus dicubit oleh Tanti."Yang sopan, Surti," tegur Tanti.Surtini menyengir lebar."Maaf, Bu, maaf."Tak salah Surtini terpesona. Kamar sang nona memang sangat indah dan megah. Ruangan luas yang mirip dengan kamar bangsawan Eropa tempo dulu, lengkap dengan ranjang ukuran king size, sofa, dan meja perjamuan. Dinding dan jendelanya penuh dengan ukiran yang estetik nan elegan. Surtini merasa sedang memasuki negeri dongeng.Sementara itu, sang nona duduk di meja perjamuan dengan membelakangi pintu. Rambut halus bergelombang sepinggangnya tertiup semilir angin dari jendela. Jemari yang lentik membolak-balik lembaran buku di meja."Selamat pagi, Non. Hari ini, saya membawa pelayan baru yang akan melayani Non Eka," ucap Tanti sambil membungkukkan badan.
Gayatri terus mengomel. Sikap Eka tak berubah. Dia masih saja bertingkah menyebalkan. Sementara Jihan berkata-kata manis, seolah menenangkan, padahal jika ditelaah justru terasa semakin menjelekkan Eka. Surtini meremas jemari. Dia harus sekuat tenaga menahan diri agar tetap diam. Gadis itu ingin sekali mengungkapkan kebenaran, tetapi rasa patuh kepada Eka menahannya. "Sepertinya, kamu perlu tambahan pelajaran etika! Aku akan mengirim guru etika yang baru," putus Gayatri akhirnya. "Tidak perlu membuang uang Anda, Nyonya Besar. Guru etika hanya sia-sia." "Kamu harus nurut apa kata Oma, Eka," bujuk Jihan dengan raut wajah sok keibuan, padahal senyuman puas terukir samar di sudut bibirnya. "Memukul kaki pelayan hingga pincang sebelah," celetuk Eka tiba-tiba. Gayatri mengerutkan kening. Dia mungkin tak mengerti arah pembicaraan Eka. Namun, si menantu yang berdiri di sebelahnya tampak menelan ludah. "Menyiram pelayan yang c