Share

Bab 3 : Ancaman yang Menyakitkan!

***

Seperti biasa, setiap pagi aku akan menyiapkan sarapan untuk keluargaku. Menyiapkan pakaian dan semua kebutuhan mereka. 

Aku tak tahu, apa yang kulakukan itu cukup atau tidak bagi mereka. Tapi yang penting aku tetap berusaha memenuhi tangung jawabku sebagai istri dan seorang ibu.

Memang beberapa hal yang terjadi tadi malam sungguh membuat perasaanku kacau. Mood pagiku benar-benar buruk karena hal itu.

"Sayang? Kok melamun?"aku terperanjat saat mendengar suara dan seseorang yang menepuk bahuku.

Aku tersadar bahwa nasi goreng yang aku masak hampir saja gosong karena terlalu banyak melamun.

"Kamu, kenapa?"aku menoleh ke kiri. Ya, aku menemukan suamiku mas Yusuf yang bertanya dengan suara lembut padaku. Apa dia sama sekali tidak memiliki perasaan bersalah karena menutupi sesuatu hal yang besar dariku.

"Tidak ada apa-apa."jawabku singkat. Dan mengangkat nasi goreng lalu menyajikannya di meja. Aku melongos melewati mas Yusuf begitu saja. Ntahlah melihat dirinya hatiku sedikit terluka.

Mungkin aku hanya harus menunggu luka hati terluka lebih lebar. Jika suatu saat aku di campakan dari keluarga ini.

"Alya.., sarapan nya sayang!" setengah berteriak aku memanggil putriku.

Tak lama suara pintu kamarnya terdengar, dan kulihat dia menuruni tangga. "Pagi Mama!"ucapnya ceria. 

Ya, persis sekali. Sifat putriku menurun dari suamiku. Tapi kenapa harus ada dua sifat yang tak baik, terus menyakiti hatiku dan mereka sama sekali tak merasa bersalah.

"Sayang, pakaikan dasinya?"aku menoleh dan terkejut saat melihat suamiku sudah berdiri di sampingku.

Dia tersenyum sambil memengang dasi di tangan kanannya. Kebiasaannya sejak 3 tahun yang lalu dia selalu memintaku memakaikannya dasi.

Yang bisa aku lakukan hanya menurut dan membantunya. Aku memakaikan dasinya. Namun dalam hati aku merasa, "Mungkin suatu saat akan datang wanita lain yang membantumu, mas. Dan kamu tak akan lagi membutuhkan aku."batinku lirih. Kesedihan memang menguasai hatiku saat ini.

Aku merasa hari ini aku akan mengalami kejadian yang sangat buruk dalam hidupku.Aku tak tahu apa itu. Yang pasti aku hanya bisa berdoa kepada sang kuasa, semoga apapun ujian yang dia berikan padaku dia juga memberikan aku kekuatan lebih untuk menghadapi semua ini.

Suami dan Putriku sedang menikmati makanan yang aku masak. Seperti  biasa mereka memakannya dengan lahap. Sedang aku? Yang bisa aku lakukan hanya melamun menatap mereka dalam diam. Menikmati setiap momen hangat bersama mereka. Lagi-lagi perasaanku gelisah.

"Sayang, mas berangkat dulu ya."tanpa kusadari mereka sudah selesai menyantap makanan mereka dengan lahap.

Aku tersenyum dan hanya diam tanpa mengatakan apapun. "Mama, Alya sekolah dulu ya."pamit Alya dengan senyum polosnya. Aku tak menyangka jika anak sepolos Alya bisa melontarkan pertanyaan seperti itu.

Aku yakin pasti ada hal yang telah memperngaruhi pikirannya. Itu past! Tapi aku tidak tahu, siapa dan mengapa mereka mempengaruhi pikiran putri kecilku.

Aliya mengulurkan tangannya mencoba mengapai tanganku dan mengecupnya. Aku berjongkok dan mengusap kepalanya, mencium pipi cabinya.

"Belajar yang rajin, sayang."ucapku membuat Alya tersenyum ceria. "Siyap, mama!"

"Alya, kamu ke mobil duluan. Papa mau ngomong sama mama dulu, ya."tiba-tiba mas Yusuf meminta Alya keluar lebih dulu. Aku tak menyadari jika mas Yusuf terus memperhatikanku dengan mata indahnya.

"Oke, Pa!"Alya berlari kecil keluar dari rumah. Mataku dan Mas Yusuf bersitatap sejenak.

Aku lebih dulu memutuskan pandangan itu. 

Ntah mengapa melihat matanya aku menjadi semakin sakit. Terlebih ternyata aku mengetahui dia bertelepon mesra dengan seorang perempuan yang tidak aku ketahui.

Aku ingin beranjak pergi membersihkan meja makan namun, aku merasakan tangan Mas Yusuf menahan ku. "Kamu kenapa? Dari tadi aku memperhatikanmu dan kamu selalu melamun? 

Dia menariku pelan hingga kami jadi berhadapan. Kepalaku tertunduk tak berani menatapnya. "Ada masalah, hmm...?" tanyanya.

Aku hanya menggeleng kepala. "Enggak."jawabku singkat.

Tangan Mas Yusuf kini berpindah menangkup pipiku dengan kedua tangannya. Membuatku mendongak dan mau tak mau menatapnya. "Kalau ada masalah cerita sama, mas? Kamu istriku, apapun masalah yang kamu hadapi aku pasti siap membantu."ucapnya.

Hatiku sakit mendengar itu. Istri? Masalah? bukankah dia yang menyembunyikan sebuah hal besar dariku. Aku menatapnya dan berkata, "Mas, apa kamu tidak merasa menyembunyikan sesuatu dariku?"

Dia terdiam, bisa dengan jelas aku lihat raut wajahnya berubah tegang. Ahh... kenapa aku menanyakannya. Sudah jelas jawabannya akan menyakiti hatiku. Memang wanita itu mahkluk yang bodoh. Dia akan mempertanyakan hal yang pasti menyakiti hatinya hanya untuk mencari sebuah kepastian.

"Apa maksudmu? ak-aku tidak menyembunyikan apapun."dia tergagap pertanda Mas Yusuf gugup karena jelas dia menyembunyikan sesuatu.

"Sudahlah, lupakan saja."ucapku mencium tanganya dan beranjak pergi ke mencuci piring. Berlama-lama dengannya saat ini membuat hatiku sesak.

"Aku pamit. Assalamualaiku."katanya terdengar pelan seperti gumaman lirih.

"Waalaikumsalam."

****

Siang harinya aku berniat menjemput Alya ke sekolahnya. Jadwal praktekku yang sudah habis membuatku bisa pulang lebih awal karena pasien tak terlalu banyak.

Aku memarkikan mobilku di halaman sekolah nya yang cukup luas. Ingin keluar dari mobil, akhh...aku lupa melepas seragam dokterku. Setelah melepas jas putih khas dokter itu, aku keluar dan memasuki sekolah Alya.

Mataku pergi berkeliling menatap seolah elit, megah itu. Aku tak menyangka anakku akan bersekolah di tempat mewah ini.

Semua bukan mauku tapi mau keluarga besar Mas Yusuf.

Mereka bilang keluarga dari marga 'Khaidar' tak boleh sekolah di tempat biasa karena akan mencoreng nama baik keluarga mereka yang terkenal. Aku sama sekali tak peduli semua itu, apa sih arti sebuah nama. Toh, gelar tertinggi adalah Alm.

"MAMA?!"aku mendengar suara teriakan putriku. Aku menoleh ke belakang dan terlihat Alya yang berlari ke arahku dengan tasnya yang terhentak karena berlari.

"Sayang?" aku berjongkok dan langsung memeluknya.

"Mama di sini juga? Papa juga jempu Alya." katanya membuat ku mengernyit. Mas Yusuf di sini? Memang sih aku tak bertanya lebih dulu apakah dia menjemput Alya atau tidak. Tapi tak kusangka dia juga ada di sini.

"Di mana papa, sayang?"tanya ku melirik sekitar dan tak kutemukan Mas Yusuf.

"Hmmm.. Papa sama bunda!" deg, bunda? Nafasku tercekat mendengar panggilan itu. Aku meneguk salivaku gugup.. Tiba-tiba perasaan sesak mengahantam hatiku.

Aku berusaha positiv mungkiin itu gurunya. Bukan nya hal biasa seorang guru di panggil bunda. "Bunda?" Alya mengagguk.

"Iya, bunda. Guru Alya, yang bakalan jadi bunda Alya. Namanya bunda Syifa, dia bisa kasih Alya adik, maa!"Lututku lemas, kepalaku terasa pusing. 

Nafasku berubah cepat tak beraturan.

"Ya Allah, ujian ini kah yang kau berikan padaku."batinku lirih.

Air mataku mulai tergenang. Terlebih melihat wajah polos putriku yang tersenyum dengan gembira setelah mengatakan hal itu. Tidak tahu kah dia, jika ucapanya itu membuat hancur hati mamanya.

"Ma-mana orangnya?" tanyaku dengan suara bergetar. Sungguh aku ingin menangis, tapi tak boleh. Aku tak boleh menujukan air mataku pada orang lain.

Cukup hanya aku dan Tuhan yang tahu.

"Di sana. Di taman belakang sekolah."tujuk Alya ke belakang kelasnya. Aku tersenyum masam, "Bawa mama kesana, ya?"pintaku padanya.

"Okey!"serunya semangat. Membuatku bertambah sakit.

Alya mengengam tanganku dengan tangan mungilnya, dia menariku ke belakang sekolahnya. Aku hanya bisa menatap sendu tubuh Alya yang berjalan mengiringku. "Nak, kamu beneran mengingkan gurumu menjadi bundamu?"tanyaku sekali lagi.

Alya berkata sambil tetap berjalan, "Iya, maa. Alya ingin seorang adik. Adik yang lucu yang bisa menemani Alya main. Bunda Syifa bisa kasih Alya adik kalau nikah sama papa,kan?"aku diam tak menjawab. Setetes air mata mengalir begitu saja.

drrrttt...

drrrrtttt...

Kurasakan ponselku bergetar dari saku gamis ku. Aku menahan tangan Alya membuatnya berhenti sejenak. Mengambil ponsel dan membuka pesan itu.

Jantungku berdetak sangat kencang membaca pesan itu. Seolah pukulan bertubi-tubi mengahantam hatiku tanpa ampun dan belas kasihan.

Kenapa takdir mempermainkanku begitu kejam. Pesan ini sangat menyakitkan ingin rasanya aku menyerah saja.

Privat Number

Jika kamu tidak bisa membuat Yusuf bahagia, maka biarkan dia bahagia dengan wanita lain. Jangan menghalanginya atau kamu akan tahu akibatnya.

***

#Besambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status