“Kenapa nggak jadi ke Singapur?”
Raj berdiri bersedekap, di samping ranjang pasien yang digunakan sang istri. Menahan secuil rasa kesal, karena kedatangan Byakta dan Yasmen untuk menjenguk bayi yang baru saja dilahirkan oleh Mai. Dari sikapnya saja, Raj dapat melihat jika kedua orang yang baru saja datang itu, tidak tampak seperti sepasang suami istri.
Raj pun dapat melihat segurat kepalsuan, dalam senyum yang disematkan Byakta ketika mengunjunginya. Pria itu, pasti masih menyimpan rasa untuk Mai, tapi dengan terpaksa harus memendamnya dalam-dalam.
Akan tetapi, satu hal yang masih belum bisa dicerna oleh otak Raj. Kenapa Byakta mau menikahi Yasmen? Kenapa, pria itu justru tidak maju untuk memperjuangkan Mai dahulu kala?
Di sinilah letak kecurigaan Raj, yang membuatnya tidak bisa berpikir positif dengan Byakta.
“Ya, nggak jadi aja,” jawab Yasmen tidak ingin kekisruhan rumah tangganya di dengar oleh orang lain. Mengingat, Pras sudah mewanti-wanti agar semua hal terkait rumah tangga mereka, tidak boleh diketahui oleh orang luar. Cukup menjadi konsumsi Yasmen dan Byakta, kecuali ada hal besar yang sudah tidak bisa lagi mereka handle berdua.
“Ya, nggak jadi itu kenapa?” tuntut Raj semakin curiga.
“Mbak!” Yasmen merungut lalu beranjak dari sofa untuk menghampiri Mai. Namun, langkah Yasmen bergeser menuju boks transparan, yang berisi seorang bayi cantik yang sedang tertidur lelap. “Bilangin Mas Raj, nggak usah kepo sama urusan orang.”
“Heh!” Mai menegur Yasmen dengan ketus. Sesungguhnya, hati Mai merasa tidak nyaman dengan kehadiran Byakta saat ini. Meskipun mereka sudah menjadi keluarga, tapi rasa yang terjalin cukup lama di hati Mai akan kembali bergejolak jika bertemu seperti sekarang. Hany bergejolak, bukan berarti Mai masih menginginkan atau mencintai pria itu seperti dahulu kala. Mai hanya merasa geregetan, sebal dan ingin melempar Byakta yang justru berani menikah dengan Yasmen, dan bukan dirinya. “Kalau orang yang lebih tua tanya itu dijawab! Kalau nggak mau jawab, mending pergi dari sini.”
Yasmen mendesis dengan geligi yang merapat kesal. Meskipun begitu, Yasmen mana berani melawan Mai. “Aku, kan, ke sini mau jenguk Baby Rara,” ujarnya melunak sembari mengalihkan topik pembicaraan. Yasmen memang tidak menyukai dimusuhi oleh keluarga sendiri. “Moga tahun depan, aku juga bisa dapat baby yang lucu, terus banyaaak! Iya, kan, Mas By?”
Byakta tertawa garing menanggapi Yasmen. Jika saja ia memiliki keberanian, Byakta dan Mai pasti sudah bersanding di pelaminan sejak dulu. Bukan itu saja, mereka berdua pasti sudah memiliki bayi yang sangat menggemaskan saat ini.
“Yaa, kita berdoa aja.” Akhirnya, hanya jawaban diplomatis yang bisa diberikan oleh Byakta, yang masih bertahan duduk di sofa. Ada rasa canggung yang menahan kedua kakinya, untuk tidak menyusul Yasmen yang tampak terpana dengan putri cantik Mai.
“Memangnya, semalam sempat malam pertama?” celetuk Raj begitu saja.
“Ya sudahlah!” timpal Yasmen cepat dengan intonasi yang terdengar begitu sewot. Jangan sampai, orang lain tahu jika Yasmen dan Byakta sama sekali belum menyatu, apalagi bersentuhan. Bahkan, ketika jalan berdua sambil berdampingan, Byakta sama sekali tidak berinisiatif untuk menggandeng tangannya.
“Papi!” hardik Mai dengan mendelikkan kedua matanya. Suaminya itu, terkadang memang tidak bisa mengontrol mulutnya. Mai sangat mengerti, jika masih ada secerca rasa cemburu di hati Raj. Karena itulah, sedari tadi sambutan Raj sangatlah tidak ramah pada Yasmen maupun Byakta. Raj cenderung datar, dan menahan sesuatu agar tidak “menyerang” Byakta.
Raj segera memasang senyum hangatnya ketika menatap sang istri. Duduk di samping Mai, dan dengan sengaja mengusap puncak kepala istrinya di depan Byakta. Setidaknya, Byakta harus sadar jika Mai saat ini merupakan milik Raj seutuhnya, dan sudah tidak bisa diganggu gugat.
“Ngapain tanya-tanya gituan?” tambah Mai.
“Tarik napas,” titah Raj pada sang istri. “Kamu itu habis melahirkan, nggak usah tegang-tegang.”
Sudut bibir Byakta tertarik kecil, menatap pemandangan yang ada di depan mata. Berandaipun, rasanya percuma karena waktu tidak akan bisa kembali berputar kebelakang. Menyesal, juga tiada guna karena hanya menambah rasa sakit belaka.
“Ayo, Yas.” Sampai akhirnya, Byakta memutuskan untuk tidak berlama-lama menjenguk Mai dan bayinya. Melihat wanita itu sehat serta bayinya, hal tersebut sudah cukup membuat hati Byakta lega. Meskipun, masih ada rasa tidak ikhlas ketika melihat Mai berada di pelukan Raj. “Mbak Mai harus istirahat. Lebih baik kita pulang.”
“Pulang?” Padahal, Yasmen belum menggendong bayi cantik yang masih terlelap dalam buaian. “Aku mau gendong Baby Rara dulu. Boleh, Mbak?” tanyanya meminta izin terlebih dahulu pada sang empunya. Jika tidak, bisa habis Yasmen terkena ceramah dari kakak sepupunya itu.
“Nggak boleh,” elak Mai tidak pernah berbasa-basi. “Rara masih kecil, baru lahir. Jadi nggak boleh digendong sembarang orang.”
“Aku, kan, Onty-nya,” sanggah Yasmen tidak terima jika diperlakukan bak orang lain. “Bukan sembarang orang.”
“Nggak, BO-LEH!” sorot mata Mai sudah terhunus tajam pada Yasmen. “Mending kamu pulang, entar kalau sudah besar, baru boleh gendong.”
“Mas Raaaj—”
“Pulang.” Raj juga setuju dengan ucapan sang istri. Lebih baik sepasang suami istri pulang saja, daripada suasana di kamar mereka terasa canggung. Mungkin tidak bagi Yasmen yang memang tidak mengetahui kisang cinta yang pernah terjadi di antara Mai dan Byakta. Namun, bagaimana dengan mereka bertiga?
“Sebentar—”
“Selamat siang,” sapaan asing tersebut tiba-tiba kembali memutus ucapan Yasmen. Seorang pria bersama seorang anak kecil, sudah berdiri di bibir pintu dengan memasang senyum hangatnya.
Raj bergegas berdiri, lalu menghampiri pria itu. Mereka saling sapa dengan akrab, dan Raj segera mempersilakan pria itu untuk masuk lalu duduk sejajar dengan Byakta. Tidak lupa, Raj memperkenalkan Byakta pada pria itu. Pun dengan Yasmen yang sudah diusir sebelumnya oleh May.
Pria yang sedari tadi menatap Yasmen dengan rasa penasaran itu, dengan sigap berdiri dan mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri lebih dulu. “Endy … Endy Hasan.”
“Jangan bilang, malam ini Mas By mau tidur di sofa lagi.”Sungguh, bukan seperti ini bayang pernikahan yang ada di kepala Yasmen. Bukan ingin membandingkan, tapi Yasmen melihat kehidupan pernikahan seluruh keluarga besarnya sangatlah bahagia. Dari Viona, Pras, maupun Bira yang merupakan ayah Yasmen sendiri. Belum lagi, kehidupan kedua sepupunya yang sudah lebih dulu menikah, yaitu Qai dan Mai. Mereka sungguh terlihat amat bahagia dan mesra, di mana pun berada.Byakta yang baru saja keluar dari kamar mandi, berdiam diri sejenak setelah menutup pintu. Ia memandang Yasmen yang duduk di tepi ranjang, dengan menggunakan hotpants dan tanktop. Gadis itu menatap cemberut, dengan tangan bersedekap rapat di bawah dada.“Yas—”“Tidur di ranjang,” potong Yasmen tidak ingin mendengar alasan apapun dari mulut Byakta. Setidaknya, hubungan mereka akan maju satu langkah jika keduanya sudah tidur di ranjang yang sama. Walaupun, tidak ada yang keduanya lakukan selain tidur. Paling tidak, Yasmen bisa mem
Yasmen membuka mata dan mendapati Byakta tidak berada di sampingnya, memeluknya. Melihat jendela kamar yang masih tampak gelap, Yasmen pun membalik tubuh untuk melihat jam digital yang berada di nakas. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah lima pagi. Itu artinya, pagi ini Yasmen dan Byakta akan memulai rutinitas baru di Casteel High sebagai sepasang suami istri.Kira-kira, apa yang akan dipikirkan karyawan kantor jika melihat mereka berdua langsung masuk bekerja, padahal baru saja melangsungkan pernikahan yang sangat mewah. Para karyawan di perusahaan, pasti akan bergosip tentang mereka berdua.Kalau sudah begini, Yasmen merasa bodoh sendiri karena keputusan yang diambilnya ketika tengah marah dan ngambek dengan Byakta.Namun, di sisi lain Yasmen kembali teringat dengan kejadian tadi malam. Akhirnya, hubungan mereka mengalami sedikit kemajuan. Karena inisiatifnya, akhirnya ciuman pertama itu sukses mendarat dengan sempurna di bibir Yasmen malam tadi.Ternyata, rasanya begitu …
“Pagi Papi.”Bira hanya melirik datar, pada sapaan Yasmen yang terlihat semringah dengan sorot mata yang berbinar-binar. Detik selanjutnya, tatapan Bira beralih pada Byakta yang tidak menampilkan ekpresi berbeda dari biasanya. Semuanya terlihat sama, dengan senyum dan anggukan formal.“Pagi Pak Bira,” sapa Byakta menyusul ucapan Yasmen.Bira balas mengangguk hanya pada Byakta. “Pagi.”“Sapaan aku, kok, nggak dibalas, Pi?” protes Yasmen lalu berdiri ditengah-tengah Bira dan Byakta yang tengah menunggu lift. Sementara karyawan lain yang sudah, dan tengah menuju lift tersebut segera beralih ke lift yang berbeda.“Saya bukan papi kamu kalau di sini!” Mata Bira membola lebar sambil menghardik pelan putri kesayangannya. Bagaimanapun juga, Bira harus bisa menjaga wibawanya selama berada di perusahaan.Meskipun gosip nepotisme di keluarga Sagara santer terdengar di telinga, tapi bukan berarti mereka pilih kasih dalam mempekerjakan seseorang. Baik Pras maupun Bira, tetap memperlakukan dan men
Karena sikap supel dan ramahnya, Yasmen tidak perlu menunggu lama untuk bisa akrab dengan rekan satu divisinya. Meskipun, masih ada yang bersikap sungkan karena Yasmen merupakan anak dari presiden direktur yang menjabat di Casteel High saat ini. Mereka harus lebih menjaga lisannya, jika hendak bergosip seperti biasa.“Ini berkas lamaran yang masuk sampai kemarin. Itu berarti, dari jumat, sabtu, sama minggu,” ujar Ratna, senior wanita yang baru saja meletakkan setumpuk amplop cokelat di meja Yasmen. Kemudian, ia mengambil sebuah pulpen di meja Yasmen dan menulis sesuatu pada tumpukan amplop yang paling atas. “Dan ini, e-mail divisi HRD dan passwordnya,” lanjutnya menunjuk sesuatu yang baru saja ia tulis.Yasmen yang masih bingung dengan tugasnya, hanya mengangguk pelan. Pandangannya tertuju pada tumpukan amplop yang tingginya melebihi mesin printer yang ada di mejanya. Entah apa yang harus Yasmen lakukan pada tumpukan berkas lamaran itu nantinya. Ia hanya menunggu instruksi terlebih da
“Kenapa mas By itu tambah cakep aja, sih!”Kalimat yang diikuti tawa oleh dua wanita itu, membuat Yasmen tidak jadi keluar dari bilik toilet. Jam pulang kantor sudah berakhir dari setengah jam yang lalu, tapi Yasmen harus menunggu Byakta yang masih menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu. Sementara menunggu, Yasmen menyempatkan diri menjelajahi Casteel High dengan seksama dan berakhir di toilet lantai lobi.“Cakep, tapi suami orang buat apa?” sahut wanita yang suaranya terdengar cempreng. “Apalagi menantunya pak bos besar, mana berani kita nyikut.”Tawa itu kembali menguar, disertai suara bilik pintu toilet yang tertutup tepat di samping tempat Yasmen berada.“Tapi, Ris, gue heran aja, lamarannya sama siapa, terus nikahnya sama siapa,” lanjut si Cempreng kembali bergosip dari bilik di samping Yasmen. “Kasian aja sama pacarnya, udah ngapa-ngapain bareng, eh, putus!”Wanita yang dipanggil Ris itu pun menghela dengan suara yang panjang. “Gue lebih kasian sama istrinya. Besoknya mau ni
Sejak sore tadi, Yasmen hanya membisu dan tidak bersikap seperti biasanya pada Byakta. Tidak ada senyum, tatapan ramah serta manja, apalagi sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Yasmen bungkam, sebagai bentuk protes karena Byakta sudah membohonginya. Pria itu masih saja berhubungan dengan Raya, bahkan sehari sebelum mereka menikah.Kalau memang Byakta tidak ingin menikah dengan Yasmen, seharusnya pria itu tinggal menolaknya saja. Tidak perlu mengiyakan, tapi ujung-ujungnya hanya membuat Yasmen menderita batin. Tadinya, Yasmen mengira Raya merupakan masa lalu yang tidak lagi bertukar kabar dan hanya sekedar menyisakan sebuah rasa di hati Byakta. Namun, dugaan Yasmen salah.Byakta bahkan masih bertemu dan menjalin hubungan dengan Raya, setelah pria itu setuju untuk menikah dengan Yasmen. Lantas, jika sudah begini akankah Yasmen bisa bertahta di hati Byakta?Ternyata, pernikahan yang ada di pikiran Yasmen, tidak seindah yang selama ini ia lihat di keluarga besarnya. Atau, hanya pernika
Melihat pintu balkon yang terbuka, Susi yang tadinya hendak menuju kamar utama langsung membelokkan langkahnya. Di luar sana, ia melihat Byakta berdiri sambil bersedekap seperti sedang melamunkan sesuatu. “Maaf, Mas,” tegur Susi berada di bibir pintu dan tidak melihat Yasmen ada di area balkon. Mungkin saja, Yasmen masih berada di kamar untuk mempersiapkan diri pergi ke kantor. “Sarapannya sudah siap.” Seketika itu juga Byakta membalik tubuh, dan tersenyum kecil. Ada banyak hal yang berputar di kepala Byakta tentang pernikahannya dengan Yasmen. Apalagi, saat Yasmen mengutarakan keinginannya untuk bercerai malam tadi. Byakta tidak bisa membayangkan, bagaimana kedua orangtuanya akan murka jika Byakta benar-benar menceraikan Yasmen. Orangtua Byakta terutama papanya, pasti akan kehilangan muka di depan Pras. Namun, bertahan dengan Yasmen yang terlalu bersikap kekanakan ternyata mampu membuat Byakta mengelus dada. Gadis itu tidak pernah berpikir terlebih dahulu jika melakukan sesuatu, da
Langkah kaki Yasmen teranyun gontai. Terus memasuki kediaman Sagara lebih dalam, kemudian berbelok ke kamar Mai. Untuk sementara waktu, Mai memang akan tinggal di kediaman Sagara karena masih belum mengerti dengan semua hal terkait bayinya. Karena itulah, Mai yang tidak pergi ke kantor hari itu tiba-tiba ingin pergi ke kediaman Sagara untuk menengok keponakan barunya. Begitu Yasmen membuka pintu kamar tanpa mengetuk lebih dulu, semua mata orang yang berada di dalam sana langsung tertuju ke arahnya. “Ngapain ke sini?” pertanyaan yang terdengar galak itu langsung dimuntahkan oleh Mai. “Bukannya kamu harusnya di kantor? Pasti bolos kerja, kan?” tebak Mai dengan telak. “Ssstt!” Ingin rasanya Sinar menepuk mulut Mai, andai putrinya itu duduk di sampingnya saat ini. Namun, karena ia baru saja bersantai di sofa setelah meletakkan sang cucu di boks bayi, maka Sinar hanya bisa mendesis untuk menghardik putrinya itu. “Nggak ngantor, Yas?” tanya Sinar melihat langkah lesu Yasmen menuju boks