"Sakit karena kehancuran sebuah hubungan itu, selalu berdampak buruk kepada yang mengalaminya. Jangankan yang berkali-kali, yang sekali saja bisa membuatmu kehilangan kewarasan. Saya lebih suka memulai hal baru, dengan orang baru. Kita bukan sedang ulangan, maka dari itu tak ada kata remedial dalam sebuah percintaan. Baik kamu, atau saya. Kita cuma punya dua pilihan. Memulai yang baru, atau tetap di sini dan merasakan sakit itu sampai akhir." - Dari Dinah, untuk Arga.
Ketika kamu jatuh cinta, lantas menduakannya. Kamu harus memilih yang kedua, sebab jika benar kamu mencintai yang pertama. Maka cinta kedua tak akan pernah hadir sebagai luka. - In Relationship.
***
Beberapa kali manik mata Dinah menatap tak tenang keluar jendela. Helaan napas penenang, seolah tak memberikan kesan apa pun bagi Dinah. Karena pada kenyataannya, Dinah masih sama. Masih risau, khawatir, juga takut dengan alasan tak tentu."Tenang, Din. Kamu dari tadi mondar-mandir terus. Enggak capek? Kakak aja liatnya pusing, loh," tegur Alya--kakak iparnya.Cukup bosan melihat apa yang Dinah lakukan sejak tadi.Wanita dewasa itu sibuk menyuapi gadis kecil, yang kini asik menikmati apel dalam gendongan ibunya. Menggigit di mana saja, asal bisa dirasa manis. Lucu dan sangat menggemaskan, itu jika saja Dinah tak sedang mengatur degupan jantungnya sendiri.Mengikuti saran kakak iparnya Dinah perlahan berangsur tenang. Setidaknya, ia tak berjalan hilir mudik di depan pintu kamar hotelnya, atau menatap resah keluar jendela.Tepat saat Dinah akan mendudukkan diri di samping Alya, seseorang jus
Seorang gadis mengembuskan napas kasar sambil menendang kecil kerikil di depannya. Semua hanya untuk mengurangi rasa bosan, sebab menunggu bukanlah hal yang menyenangkan. Sejak tadi yang ditunggu belum datang juga, membuat si gadis ingin beranjak saja jika tak ingat sudah terlanjur mengiyakan dan menyanggupi.Membosankan memang, tapi kalau berkaitan dengan makhluk yang satu itu. Sebisa mungkin rasa bosan dihempas jauh-jauh. Sebagian orang akan berkata, gadis ini terlalu memegang teguh janji sederhananya, tapi perlu diketahui. Ia bukan gadis yang suka menjilat perkataannya sendiri. Selagi masih bisa ditepati, maka akan ia lakukan."Dinah!" Seseorang menyerukan namanya dari jauh. Yup! Maidinah Hafidzah namanya. Salah satu siswi setingkat SMA, dan sekarang berada di jenjang kedua sebelum ia lulus dari instansi tersebut."Din, maaf lama," kata seorang remaja laki-laki dari arah belakang sambil mengatur napasnya supaya
Tristan terus menyeret gadis itu hingga ke area parkiran. Tatapan dari orang-orang yang berada di dalam mall yang memandang aneh ke arah mereka berdua, sama sekali tak mengusik atensi Tristan. Ia hanya berjalan dengan wajah datarnya."Ouch! Ikh ... Om, lepasin!" Dinah menyentak tangan Tristan kasar.Pegangannya terlepas, Dinah masih mengaduh kesakitan. Tepat di tempat Tristan mencengkramnya tadi sudah memerah. Gadis itu semakin meringis, cewek cantik kok malah diseret-seret kayak domba?"Om tuh apa-apaan, sih?! Sakit tahu, enggak, sih?!" bentak Dinah kesal."Enggak!" jawab Tristan cuek. Dinah menatap tak percaya pria di depannya ini.Dinah berjalan menjauh dari pria itu, "sinting!" umpatnya dengan suara yang masih dapat Tristan dengarkan.Tristan memutar malas bola matanya. "Ikut saya! Ada yang mau bertemu dengan kamu!" ajaknya."Enggak peduli!" bala
Malam ini Tristan terlihat sibuk mengajak dua keponakannya bermain. Ada Tsania---putri dari kakak pertamanya, Kiandra. Serta Angga yang merupakan putra dari Kanindra, kakak keduanya.Tristan memang tipe lelaki yang sangat suka anak kecil. Dia bahkan bisa seharian penuh bermain, jika kedua keponakannya ini berkunjung. Caranya berbicara pun akan berubah, bukan nada datar atau dingin yang keluar. Justru hangat dan menenangkan yang akan membuat anak-anak nyaman di dekatnya.Sesekali Tristan akan menggelitik Tsania atau Angga, hingga tawa kedua balita itu menggema di ruang tamu. Usia kedua balita itu pun juga tak terlalu jauh. Hanya terpaut satu tahu saja. Angga empat tahun, sedangkan Tsania tiga tahun. Yah, Kanindra lebih dulu mendapatkan anak daripada kakak tertua mereka."Tristan," panggil Kiandra dengan nada tegas, tapi tak menutupi tatapan hangatnya pada sang adik.Pria itu berbalik, lalu mengangkat salah
Dinah berdiri di dekat trealis pembatas rooftop. Ia memutuskan pergi ke tempat tertinggi di sekolahnya seorang diri, mungkin menunggu sampai waktu pelajaran datang. Saat ini ia butuh waktu untuk sendiri. Gadis itu sama sekali tak menceritakan apa pun pada Nancy dan Arsyana yang sibuk bertanya padanya tadi. Ya, keduanya sempat melihat Dinah keluar dari UKS. Lalu disusul Yuna serta Arga yang terus memanggil namanya di belakang. Beruntung hari ini para guru sedang rapat. Jadi tak ada kegiatan apa pun, mungkin mereka sedang membahas ulangan yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Dinah tak begitu peduli. Seceria apa pun dirinya, ia tetaplah seorang remaja biasa. Bisa merasakan hati, meskipun beberapa orang menganggap perasaannya hanya sekadar cinta monyet. Toh, ia merasa sudah cukup dewasa untuk menjalin sebuah hubungan. 18 tahun bukan usia anak-anak lagi, kan? Air mata Dinah sudah enggan untuk mengalir. Bahkan ia bisa merasakan bengkak b
Jafran sudah mulai bertugas seperti biasa, jadi sudah tentu kesibukannya kembali lagi. Sekarang jika harus ke sekolah, Dinah tak bisa meminta abangnya itu untuk mengantar. Ia merasa kasihan kepada Jafran, pria itu perlu memutar arah jika mengantar adiknya terlebih dahulu.Terhitung, sudah hampir seminggu sejak Tristan mengungkapkan perasaannya pada Dinah, dan semenjak itu pula Dinah berhenti membalas pesan atau mengangkat telepon dari Arga serta Yuna. Terlebih Nancy dan Arsyana juga telah mengetahuinya. Pasti akan melarang keras Dinah untuk tak berhubungan dulu dengan dua orang itu. Lebih baik jika sekarang Dinah fokus pada dirinya dan Tristan saja.Gadis kembaran Arga itu merasa amat malu pada Dinah. Yuna bahkan tak punya cukup keberanian untuk kembali bergabung dengan mereka bertiga. Padahal Dinah sudah tak membahasnya lagi.Namun, kalian tahu seperti apa perempuan, 'kan? Mereka memaafkan segala kesalahanmu, tapi percaya
Nancy sudah pulang lebih dulu, lalu Jifran dan Arsyana juga menyusul. Tinggal lah Tristan serta Dinah yang masih ingin jalan-jalan. Kata Tristan, keberangkatannya mungkin minggu-minggu ini. Jadi sebelum pergi, pria itu ingin menghabiskan banyak waktu yang berharga dengan Dinah. Tristan terkekeh ketika melihat ekspresi merengut Dinah. Gadis itu tak pernah bisa memasukan bola basket ke dalam ring. Lelah bermain, Dinah mengajaknya untuk membeli ice cream, atau memesan cotton candy. Alasannya, sih, karena Tristan tak bisa makan makanan pedas. Ya jadi yang manis-manis saja. Saat Dinah sedang menikmati cotton candy miliknyanya sembari berjalan. Tanpa sengaja kaki gadis itu tersandung sesuatu, yang nyaris saja membuatnya terjerembab mencium lantai. Beruntung Tristan sigap menangkapnya dari belakang, dengan menangkup pinggang kecilnya. Tristan menarik tubuh Dinah, lalu memutar gadis itu hingga berhadapan dengan dirinya
Hari ini, mungkin menjadi salah satu hari yang tidak ingin Dinah hadapi dalam hidupnya. Terang saja, orang yang saat ini mulai Dinah sayangi, malah harus pergi jauh dan entah kapan akan kembali. Ada perasaan tak rela di hati gadis itu untuk melepas Tristan, meskipun status di antara mereka berdua belum resmi berpacaran. Damn! Dengan sedikit bermalas-malasan, Dinah bangun dan bersiap. Ia akan mengantar keberangkatan Tristan sebentar lagi. Bagaimanapun, Dinah tak boleh tampil seperti gembel. Sejak kemarin wajah Dinah terlihat begitu muram. Tristan yang menjemputnya, sedangkan Jafran serta orang tua mereka berdua sudah berangkat lebih dulu ke pangkalan udara militer Indonesia. Entah mengapa, hatinya kian sesak saja mengingat Tristan yang sebentar lagi tak berada di sampingnya beberapa waktu ke depan. Dinah yang baru saja akan memakai flatshoes -nya, ditahan oleh tangan kekar Tris