Share

Ingat Aku, Suamiku!
Ingat Aku, Suamiku!
Author: Aleena

Prolog

"Antara dicampakkan dan tidak dipedulikan, ada hal lain yang nyatanya jauh lebih menyakitkan, yaitu ... dilupakan."

(Humaira Seza)

"Aira!"

Terdengar panggilan dari arah ruang tamu membuatku buru-buru mematikan keran air setelah puas memuntahkan seluruh makanan yang sempat masuk ke lambungku. Kubasuh wajah agar tidak tampak kusut sebelum akhirnya mengeringkannya dengan handuk yang tersampir di atas gantungan.

"Biar Bibi aja, Non!" Bi Rumi menahanku yang hendak beranjak. "Non Aira kan habis muntah-muntah. Biar Bibi aja yang nemuin Tuan."

"Nggak papa kok, Bi. Bibi di sini aja ngelanjutin motong sayurnya. Biar Mas Hamish jadi urusan Aira." Aku tersenyum kepadanya, menunjukkan bahwa aku baik-baik saja.

"Tapi, Non, di luar ada ...."

Sebelum Bi Rumi melanjutkan kalimatnya, aku langsung menyela. Aku tahu ke mana arah pembicaraan perempuan paruh baya itu. "Nggak papa kok, Bi. Tenang aja, ya!"

Aku meninggalkan Bi Rumi, berjalan sedikit cepat menuju ruang tamu di mana lelaki yang sejak tadi memanggil namaku berada, lalu berhenti tepat di sampingnya duduk.

"Ada apa, Mas?"

Semua mata tertuju padaku. Ada sebanyak lima orang termasuk lelaki yang berstatus sebagai "majikanku". Beberapa di antaranya memandangku dengan tatapan yang tak bisa kudefinisikan. Segera kutundukkan pandangan, memilih menekuri lantai daripada membalas tatapan semua orang di sana.

"Buatkan minum untuk mereka berempat. Juga kudapan yang biasanya kamu bikin. Sofie, kamu mau minum apa?"

Kualihkan pandangan yang sejak tadi menunduk ke arah perempuan yang dipanggil Sofie. Wanita cantik berlesung pipi dengan rambut bergelombang hitam lebat tersenyum padaku.

Dari raut wajah, Sofie tampak tidak enak mengatakannya, tetapi kemudian bibirnya berkata, "Air putih saja. Air putih bagus untuk kesehatan. Iya, kan?"

"Baiklah. Kamu suka samosa? Samosa bikinan Aira sangat enak. Kamu bakal ketagihan kalau sudah mencicipinya."

Aku tersenyum tipis mendengar pujian itu. Walaupun saat berkata tanpa memandangku, paling tidak dia mulai mengakui kelebihanku dalam hal memasak.

"Kalau kami mah apa aja yang dibikin Mbak Aira selalu suka," seloroh salah satu di antara para pria—teman Mas Hamish—yang langsung ditanggapi dengan anggukan yang lain.

Namun, berbeda dengan Sofie.

"Tapi, Mas, aku nggak suka makan gorengan. Aku takut gendut dan jerawatan. Lagian itu makanan nggak baik buat kesehatan. Aku nggak mau sakit, apalagi sebentar lagi kita tunangan. Iya, kan?"

Entah disengaja atau tidak, kalimat itu seharusnya tidak perlu aku dengar. Sayangnya, posisiku saat ini membuatku terpaksa mendengar semuanya karena masih menunggu kejelasan perintah.

Pria itu tersenyum. Sebuah senyuman manis nan menawan. Senyuman yang sudah lama tak pernah kulihat. "Bikinkan mereka jus buah. Untuk aku dan Sofi cukup air putih."

Aku mengangguk patuh, gegas berlalu dari sana. Tepat ketika kakiku melewati belakang pilar-pilar pembatas antara ruang tamu dengan bagian dalam rumah, suara Mas Hamish terdengar lagi. "Kamu gendut pun masih cantik. Aku akan tetap menikahimu."

Kalimat itu .... Ya, kalimat yang terdengar manis itu nyatanya cukup membuat hatiku terluka. Seperti ada sembilu menyayat perih. Begitu pedih menghantam langsung tepat di dada. Tanpa sadar air mata menetes di pipi. Kuhela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya.

"Ayo, Aira! Kamu bisa. Kamu pasti bisa."

Berkali-kali bibir ini menyemangati diri, berusaha menguatkan hati agar sanggup menjalani semua. Takdir ternyata begitu mudah dijungkirbalikkan dalam sekejab mata. Dan semuanya telah terjadi padaku. Pada keluarga kecilku.

Kuseret kaki yang tiba-tiba malas beranjak untuk menuju pantri dapur guna membuatkan minum sebagai jamuan para tamu yang sudah menunggu. Hanya butuh waktu tak lebih dari sepuluh menit, tiga gelas jus alpukat dan dua gelas air putih tersaji di atas nampan. Lekas kuayunkan langkah untuk kembali ke ruang tamu demi menyuguhkan minuman yang baru selesai kubuat.

Setelah meletakkan minuman di atas meja, aku memilih hengkang. Sembari berjalan, aku melirik mereka berdua yang tengah tertawa lepas, tampak ceria. Terlihat sorot mata lelaki itu berbinar bahagia. Aku ikut senang melihatnya. Namun, tidak benar jika saat ini hatiku baik-baik saja. Senyum menawan yang sebulan lalu terukir hanya untukku, kini berpindah pada sosok cantik yang telah menarik hatinya.

Kuremas ujung gamisku, menahan hati yang lara akan sebuah penantian nan tak kunjung ada kepastian. Segera berlalu dari sana, kutulikan telinga agar tidak lagi mendengar senda gurau mereka yang mampu menyakiti perasaanku.

Hingga saat malam tiba, ketika tubuh ini mulai lelah dan ingin mengistirahatkan diri, suara ketukan pintu kamar membuatku urung memejamkan mata. Menyambar kerudung instan dan mengenakannya, aku beranjak dari pembaringan lalu turun dari ranjang untuk segera membuka pintu.

"Mas ... Hamish?" Bibirku berkata lirih, terkejut melihat kedatangan lelaki itu malam-malam begini ke kamarku. Wajahnya masih dingin, selalu tanpa ekspresi ketika berhadapan denganku.

Tanpa peringatan, dia tiba-tiba meraih tanganku yang berbalut baju lengan panjang. Aku sedikit tersentak dengan perlakuannya yang aneh. Namun, kemudian lelaki itu meletakkan sebuah salep luka di atas telapak tanganku yang terbuka. "Kemarin aku melihat tanganmu terkena minyak panas. Kebetulan tadi siang aku mampir ke apotik dan membeli ini. Aku harap lukamu bisa segera sembuh."

Aku memandang salep luka pemberiannya dengan tatapan nanar. "Hai, Tuan, bukan tanganku yang sakit, melainkan hatiku." Namun, aku hanya sanggup mengucapkan dalam hati. Kedua sudut bibirku lantas tertarik melengkung ke atas setelah menerimanya. "Terima kasih," kataku.

Dia hanya menjawab dengan anggukan, kemudian beranjak pergi begitu saja. Tanpa sadar air mataku menetes kembali. Hanya perhatian kecil yang diberikannya membuat hatiku trenyuh. Ada semacam oase yang tiba-tiba mengalir pada perasaanku yang nyaris meranggas. Kupandang punggungnya yang telah menjauh dan makin lama menghilang dari balik dinding.

Kami bagaikan orang asing yang sekadar mengenal dan jarang bertegur sapa. Tidak ada rasa sayang, apalagi cinta. Ada dinding pembatas menjulang di antara kami yang tak sanggup kuhancurkan. Dengan sisa-sisa tenaga, aku berusaha meraih dan menggapainya ... sendiri.

Sambil menatap bayangannya pergi, dalam diam batinku bicara, "Antara dicampakkan dan tak dipedulikan ada hal yang nyatanya jauh lebih menyakitkan, yaitu ... dilupakan."

Namaku Humaira Sheza. Dan dalam kisahku ini, kutulis sebagai catatan kecil saksi bagaimana perjuanganku dalam merebut cinta suamiku kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status