Share

Bab 01- Berita Baik dan Buruk

"Selamat, ya, Bunda. Kehamilannya sudah memasuki usia empat minggu."

"Sungguh, Dok?"

Dokter wanita itu mengangguk. "Sekali lagi selamat, ya?"

Aku menutup mulut yang terbuka lantaran begitu terkejut dengan hasil yang ada. Bagiku itu bukan lagi berita baik, melainkan sangat membahagiakan. Sudah lima tahun lamanya aku dan Mas Hamish menunggu kabar ini. Tak pernah menyerah Mas Hamish memberiku dukungan untuk menjalani program kehamilan walaupun Ibu mertua mulai ragu akan kesuburanku. Dan setelah lima tahun menanti dengan sabar, semua ini bukan lagi mimpi.

"Masya Allah." Aku menyeka air mata yang tiba-tiba menitik karena haru. Tak henti-henti bibir ini mengucap syukur atas anugerah yang Tuhan limpahkan kepadaku dan keluarga. "Terima kasih, Dok."

"Sama-sama, Bunda. Jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan rutin setiap satu bulan sekali. Jangan terlalu banyak beraktivitas, istirahat yang cukup karena kandungan masih terlalu lemah. Sekali lagi, selamat, ya? Sampaikan salam saya kepada Pak Hamish."

dr. Ami, usianya sudah mencapai lima puluh tahun. Aku menghormati beliau layaknya ibu sendiri. Beliau begitu ramah. Kami sudah seperti keluarga. Mungkin karena aku termasuk pasien yang menjalani program hamil tanpa kenal lelah sehingga hubungan kami menjadi teramat dekat.

"Iya, Dok. Mas Hamish pasti sangat senang mendengarnya." Aku mengusap perutku yang masih rata. Rasa haru itu belum sepenuhnya lenyap. Tak ada frasa yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Bagaimanapun, aku adalah seorang wanita yang telah lama menanti kehidupan lain bersemayam dalam rahimku, dan kini Tuhan telah mengabulkan doa-doaku.

Baru kali ini Mas Hamish tidak bisa mengantarku periksa. Biasanya dia paling bersemangat. Harapannya tak pernah putus untuk mendapatkan keturunan dariku. Namun hari ini, dia ada urusan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Aku memakluminya. Dia pekerja keras dan merupakan suami penyayang serta bertanggung jawab. Aku begitu bersyukur menjadi istrinya.

Usai melakukan konseling terkait masalah kehamilan dengan dr. Ami, aku pamit undur diri. Beliau mengantarku sampai ke ambang pintu. Baru saja beberapa langkah kaki ini terayun, sebuah panggilan dari Reno--asisten Mas Hamish--menghentikan jalanku.

Merogoh smartphone yang berada di dalam tas bahu, aku segera menjawab telepon tersebut. "Assalamualaikum?"

Entah terlalu panik atau lupa, tanpa menjawab salamku Reno langsung mengutarakan maksudnya.

"Mbak Aira, Pak Hamish kecelakaan."

"A-pa? Kecelakaan?" Detak jantungku seketika berdegup lebih cepat. Keringat dingin tiba-tiba keluar membasahi kening. "Kamu jangan bercanda, Reno!"

"Mbak Aira kemari saja. Aku kirimkan alamat rumah sakitnya--"

Kepalaku tiba-tiba pusing. Mataku berkunang-kunang. Telinga berdengung, tak sanggup mendengar kalimat selanjutnya yang Reno ucapkan. Semuanya gelap. Aku ... tak mengingat apa-apa.

***

Kelopak mataku mengerjap setelah mencium bau minyak kayu putih. Sepertinya ada yang sengaja mengusapkan dekat rongga hidungku. Rasa pening membuat keningku mengernyit. Pandangan pertama tertuju pada langit-langit ... rumah sakit.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Hingga ingatanku tertuju pada telepon dari Reno yang mengabarkan kecelakaan itu, mataku melebar. Bibirku tak kuasa menahan teriakan. "Mas Hamish!"

Napasku tiba-tiba tersengal. Aku harus segera pergi menemui suamiku.

"Sykurlah Bu Aira sudah siuman?"

Aku baru menyadari ada orang lain di ruangan itu. Suster wanita menghampiriku dengan memasang wajah ramah.

"Suster, maaf sudah merepotkan. Tapi saya harus segera pergi."

Perawat wanita itu tersenyum, membantuku turun dari brankar. "Kondisi Ibu masih sangat lemah. Apakah ibu kemari sendiri?"

"Iya. Tapi saya sudah lebih baik, Sus. Terima kasih atas bantuannya."

"Jika masih pusing, sebaiknya Bu Aira beristirahat dulu. Akan sangat bahaya jika dipaksa pulang."

"Sudah lebih baik, Sus. Terima kasih atas perhatiannya."

Aku pamit undur diri setelah meyakinkan suster perawat akan kondisiku. Aku sudah tidak bisa menunggu lama karena ingin segera mengetahui kondisi Mas Hamish.

Menuju ke rumah sakit sesuai dengan pesan yang dikirimkan Reno pada ponselku, aku berharap kecelakaan yang dialami Mas Hamish tidak terlalu parah. Aku memiliki kabar baik untuknya. Pasti dia sangat senang mendengar berita ini.

Mas Hamish, tunggu kedatanganku!

Sekitar dua puluh menit perjalanan, aku membelokkan mobil memasuki parkiran rumah sakit. Perasaan gugup jelas melanda. Harapan dan doa-doa tak henti-hentinya aku panjatkan. Semoga suamiku baik-baik saja.

Langkahku percepat sembari menghubungi Reno. Dia mengatakan jika Mas Hamish berada di ruang operasi. Hatiku semakin kalut. Separah apa sampai-sampai melakukan operasi secepat ini.

Aku melihat di depan ruang tindakan sudah berdiri kedua mertuaku. Mereka menatapku yang baru datang dengan pandangan sayu. Gurat kekhawatiran tampak jelas terlihat pada wajah tua mereka.

"Assalamualaikum, Ayah, Ibu." Aku menyalami keduanya. "Bagaimana kondisi Mas Hamish?"

Aku tak sabar mengetahui keadaan suamiku. Kemelut di hati sejak tadi menginginkan sebuah kejelasan akan kondisi lelaki yang lima tahun hidup bersamaku.

"Dokter belum keluar sejak tadi." Ibu berkata lirih. Matanya berembun. Pun dengan Ayah. Pria tua yang masih tampak gagah itu terlihat khawatir dengan kondisi putranya.

Pandanganku mengarah pada lampu emergency yang terlihat menyala merah. Belum ada tanda-tanda operasi selesai. Kami menunggu dengan perasaan cemas.

Mas Hamish, semoga Tuhan melindungimu.

Detik demi detik, menit ke menit terasa berjalan lebih lama. Atmosfer rumah sakit yang senyap membuat kami larut dengan pikiran masing-masing. Aku usap kembali perutku. Aku berharap anakku tidak sampai kehilangan seorang ayah saat terlahir ke dunia nanti.

Hingga pintu ruang operasi terbuka, kami beranjak dari posisi duduk. Ayah maju lebih dulu kemudian disusul aku dan Ibu.

"Dokter, bagaimana kondisi putraku?"

Dokter menatap kami bertiga secara bergantian. Terdengar helaan napas berat dari bibir yang masih tertutup masker medis. "Operasi berjalan dengan baik. Kita tunggu perkembangannya setelah pasien sadar. Untuk saat ini hanya itu yang bisa saya sampaikan. Saya permisi dulu."

Kami mengangguk lemah hampir bersamaan, lantas membiarkan dokter menjauh dari tempat kami berdiri.

***

Seperti apa yang dokter katakan, kami akan mendapatkan informasi tentang perkembangan Mas Hamish setelah lelaki itu sadar. Kami tetap sabar menunggu, meskipun sampai hari ketujuh, Mas Hamish belum juga membuka mata.

"Aira, makan dulu. Biar Ibu yang menjaga Hamish." Ibu menepuk bahuku.

Aku mengalihkan pandangan dari mata yang tertutup itu. Entah kapan Mas Hamish akan sadar. Kami semua menantikan itu. Rasanya sudah tidak sabar aku ingin memberitahu kehamilanku kepadanya, lalu mengabarkan berita ini bersama kepada kedua mertuaku. Benar sekali, sampai detik ini tiada yang mengetahui bahwa aku sedang mengandung. Aku hanya ingin Mas Hamish menjadi orang pertama yang mengetahuinya.

"Iya, Bu. Aira makan dulu."

Aku beranjak kemudian, dan posisiku langsung digantikan oleh Ibu. Aku memang enggan menjauh dari Mas Hamish sejak pertama kali dia dinyatakan koma. Aku ingin menjadi orang pertama yang dilihatnya saat mata itu terbuka. Namun, sampai detik ini keinginanku nyatanya tak kunjung terlaksana.

"Bubur ayamnya satu ya, Pak."

"Oh, iya, Neng. Sekalian minumnya?"

"Air mineral saja."

Aku duduk pada salah satu bangku stan penjual makanan di kantin rumah sakit. Terdapat meja persegi panjang berlapis formika dengan beberapa lemari-lemari otomat yang berisi makanan dan minuman dalam kemasan hampa udara di sepanjang dinding. Sembari menunggu pesanan selesai disiapkan, aku membaca pesan dari Reno terkait laporan penjualan minguan Coffe Shop milik Mas Hamish.

Lima menit berlalu, semangkuk bubur ayam dengan toping lengkap sudah tersaji di meja. Tak lupa juga air mineral sebagai pelega dahaga. Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai bubur ayam. Namun, semenjak Mas Hamish sering memintaku membuatkan bubur ayam untuk sarapan, aku jadi mulai terbiasa memakannya. Kuaduk topingnya agar bumbu bercampur, lalu menyuapkan dalam mulut. Bubur ini rasanya lebih hambar meskipun sempat aku tambah dengan kecap. Bukan ada yang salah dengan cita rasanya, melainkan lidahku yang akhir-akhir ini tak bisa menikmati semua masakan yang ada. Kondisi Mas Hamish yang tidak ada kemajuan membuat gairah hidupku memburuk.

Aku tidak sanggup menghabiskan bubur itu sehingga hanya memakannya separuh. Lambungku tidak bisa dipaksa menelan semuanya. Kondisi ini sudah berlanjut seminggu terakhir sejak kecelakaan yang menimpa suamiku.

Aku beranjak dari duduk, lantas membayar tagihan ke kasir.

"Maaf, saya tidak menghabiskan makanannya," ucapku  sambil menyerahkan kartu flash untuk membayar. "Rasanya enak, hanya perut saya yang bermasalah."

Mbak kasir tersenyum, mengembalikan kartu tersebut kepadaku. "Nggak papa, Bu. Terima kasih sudah pesan di sini."

“Sama-sama.” Aku mengangguk setelah menyimpan kembali kartu pembayaranku.

Melangkah menjauh meninggalkan area kantin, aku melewati koridor untuk kembali ke ruang perawatan Mas Hamish. Tidak mungkin meminta mertuaku yang sudah sepuh berlama-lama menggantikan tugasku menjaga putranya. Hingga sampailah tepat di depan pintu di mana ruangan yang menjadi tujuanku, langkahku terhenti.

Pintu dibiarkan dalam kondisi terbuka. Ada dokter dan seorang perawat berdiri di sana. Jantungku tiba-tiba berdegup lebih kencang tanpa peringatan. Ibu mertua pun berdiri menghalangi pandanganku dari apa yang terjadi. Semua orang sedang berdiri mengelilingi Mas Hamish.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku menguatkan diri untuk masuk.

"Assalamualaikum," ucapku memberi salam yang langsung mengalihkan perhatian semua orang sehingga menoleh padaku. Tampak di sana ibu mertuaku tersenyum, lantas memanggilku untuk ikut bergabung.

"Aira, kemari! Sini!"

Aku masih bingung dengan apa yang terjadi. Kupaksa diri ini untuk mendekat, mengikuti instruksi Ibu. "Apa yang terjadi--" Kalimatku terputus saat mataku melihat ke arah Mas Hamish. Lelaki itu sudah sadarkan diri. Aku segera menutup mulutku yang terbuka karena syok. Mataku berkaca-kaca. "Mas Hamish--"

"Dia sudah sadar. Dokter masih memeriksanya."

Aku menganguk. Tanganku digandeng oleh Ibu mertua. Rasanya hari ini seperti mimpi. Mata yang sejak seminggu lalu menutup, kini mau membuka untuk melihat dunia kembali.

"Syukurlah! Sepertinya penglihatan Pak Hamish tidak bermasalah. Semuanya baik," ucap Dokter yang semakin membuatku tak henti-henti mengucap syukur. Aku tidak sabar menunjukkan kepada suamiku tentang berita kehamilanku yang selama lima tahun ini kami nanti-nantikan.

Kini pandangan mata Mas Hamish tertuju ke arah kami. Oh, tidak. Bukan ke arah kami, melainkan ke arah Ibu.

"Ibu!" Dia memanggil Ibu dengan suara lirih juga sedikit serak. Ibu melepas tanganku lalu mendekat ke sisi kanan ranjang Mas Hamish. Aku melihat mata Ibu berkaca-kaca. Sama sepertiku, begitu terharu dengan keajaiban yang baru saja dipertunjukkan Tuhan di depan mata kami.

"Hamish, kamu sudah sadar, Nak!" Telapak tangan tua itu mengusap kepala Mas Hamish penuh sayang. "Kamu tahu, Aira tidak pernah letih menungguimu setiap hari."

"Aira?" Kening Mas Hamish mengernyit. Perasaanku mendadak tidak enak. "Aira siapa?"

Ibu menatap ke arahku, lalu beralih kepada dokter seakan meminta jawaban. "Aira itu istrimu. Bagaimana kamu bisa bertanya begitu?"

Aku hanya diam. Tubuhku membeku di tempat. Suaraku pun mendadak tak bisa dikeluarkan. Kupandang wajah lelaki yang begitu kurindukan. Namun, apa yang kudengar dari mulutnya sungguh di luar dugaan. “Ibu, jangan membuatku semakin bingung. Aku harus segera keluar dari sini. Sofie menungguku!"

"So-fie?" kataku lirih. Air mataku tiba-tiba menetes di pipi.

Apa yang sebenarnya terjadi?

"Hamish, mengapa kamu menanyakan Sofie?" tanya Ibu mertua. Beliau tampak ikut bingung dengan perkataan Mas Hamish.

"Mengapa Ibu bertanya lagi. Tentu saja karena Hamish mau menahan Sofie pergi. Hamish mau nikahin Sofie sebelum dia melanjutkan studinya ke luar negeri."

“A-pa?”

Mas Hamish sedang bercanda, bukan?

Sofie siapa?

Sungguh, duniaku terasa hancur saat itu juga. Perasaanku kacau-balau. Mas Hamish yang kukenal begitu mencintaiku justru mengatakan ingin menikahi perempuan lain di depan mataku sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status