Share

Part 6

last update Last Updated: 2022-07-19 19:02:13

Ini uangku, Mas

Part 6 (kedatangan ibuku) 

 

"Eh, Bu Besan, ayo masuk. Ima! Bikinin teh hangat untuk Ibunya Mita!"

 

Idih, ibu mertua terdengar sangaaaat baik. Oke mertua, aku tahu baiknya pasti ada mau. Kutes dulu ah, pura-pura tak dengar kalau ibuku datang.

 

"Iya, Bu!" Kali ini suara Ima terdengar baik. Seperti penjahat insaf saja. Mulut pun bersih dari kata sindiran.

 

"Bu Ros apa kabar? Sehat, Bu?" Terdengar suara ibuku menyapa ibu mertua. Itu lah ibu, suara tenang dan selalu ramah.

 

"Alhamdulillah, Bu Eli, Bu Eli sendirian saja?"

 

"Tadinya sama Papanya Mita, tapi karena Papanya ke notaris, makanya saya sendirian, Bu."

 

"Notaris? Wah, sudah pensiun tetap sibuk ya, Bu."

 

"Ya, karena ada yang diurus, Bu. Oh ya, Mita dan Tia mana, Bu?"

 

"Oh ada, Mita jam segini mah tidur siang, kalau Tia bermain. Sebentar saya panggilkan, Bu."

 

Aku pura-pura berbaring tidur. Tak lama kemudian, terdengar pintu kamarku berderit ada yang masuk.

 

"Mit! Mita! Bangun, ada Ibumu, Nak." teriak ibu membangunkan.

 

'Nak', tumben ibu mertua memanggilku dengan sebutan itu. Biasanya 'tukang pelit' atau semacamnya. Oke ibu mertua, mari kita bersandiwara. Aku yakin ibuku pasti bawa banyak buah tangan seperti biasa. Tentu saja, aku anak satu-satunya.

 

"Mmmk, iya, Bu," sahutku pura-pura terbangun. Lalu aku bangkit dari tempat tidur ingin ke luar. Tapi ....

 

"Tunggu! Jangan pakai baju itu ke luar, pakai baju gamis tadi," bisik ibu tegas karena aku memakai daster yang banyak tambalnya. Seperti ban bocor saja.

 

"Nggak usah, Bu, ini saja seperti biasa," sanggahku.

 

Lalu ibu mencengkram lenganku. "Kamu mau seperti ini dilihat ibumu? Jangan gara-gara kamu aku dan ibumu perang. Atau kamu mau menjanda gara-gara ibumu marah?" Ini ancaman yang sering kudengar setiap kali ibuku berkunjung. Dulu aku takut karena mas Aga akan menceraikanku. Lagian ibuku pernah bilang dosa melawan suami selagi tidak menentang agama. Sepertinya sekarang aku nyerah untuk bersabar.

 

"Bu, aku tak mau pura-pura lagi, bohong dilarang agama," sanggahku.

 

"Bohong untuk kebaikan tak masalah, tua-tua  gini aku masih ngerti, jangan sok mengajari!" 

 

"Mita! Mita! Ini Ibu, Nak." Ibuku berteriak dari luar. Kusepai tangan ibu mertua lalu melangkah keluar kamar. Aku yakin ibu mertua memendam marah sebesar rumah.

 

"Mita! Mita!" Suara ibu mertua terdengar marah tapi ditekan agar ibuku tak dengar. Aku tak peduli, dengan daster seadanya yang sering kupakai harian, tetap melangkah menemui ibuku. Capek pura-pura terus.

 

"Ibu." Kucium punggung tangan ibu. Lalu ibu memelukku.

 

"Gimana kabarmu, Nak? Kenapa jarang kunjungi Ibu lagi, di rumah kami kesepian, apa lagi Ayahmu, setiap kali beli marbak mesir, selalu nyebut namamu."

 

"Ayah masih ingat makanan kesukaan Mita ya, Bu."

 

"Tentu dong, kamu putri kami satu-satunya." Ibu mencubit hidungku. Aku merasa seperti anak kecil. Itu lah ibu dan Ayah, namun aku juga harus tetap bertanggung jawab, pilihanku menikah dengan mas Aga akan kutanggung konsekwensinya. Mungkin ini efek ayah mengajariku tanggung jawab dari kecil. 

 

Kami duduk. Ibu mertua juga ikut duduk beserta Ima di ruang tamu ini. Kulihat ibuku bawa dua kotak donat, beras sekarung besar, mie instan dua kardus, telur, gula, satu kantong belum tahu isinya dan rantang makanan tingkat tiga.

 

"Ini Ibu semua yang bawa?" Kupegang rantang itu karena penasaran apa isinya.

 

"Iya, coba buka," ucap ibu. Dan mata ibu mertua serta Ima juga tertuju pada rantang itu. 

 

Kubuka rantang itu. "Waaah, ada rendang ayam, rendang daging dan sosis goreng kesukaan Tia."

 

Senangnya, untuk tiga hari ke depan tak perlu masak. 

 

"Ini juga ada sosis mentah, masukin ke kulkas, Mit." Ibu menyodorkan satu kantong  kresek. Tapi tangan Ima lebih dulu menggapai kantong itu.

 

"Biar kutarok di kulkas, Bu, duduk saja bersama Mita melepas kangen," ucap Ima di sela senyum. Ibuku membalas mengangguk sambil tersenyum juga. Lalu Ima ke dapur membawa sekantong sosis itu.

 

"Banyak sekali bawaan Ibu Eli, rendangnya juga wangi, bikin perut lapar," ucap ibu mertua. Padahal barusan sudah makan.

 

"Ini sengaja saya buat banyak, biar semuanya bisa menyicipinya, Bu Ros."

 

"Iya, terima kasih, ya, Bu Eli."

 

"Ayah mana, Bu?" Kulihat ayah tak ikut serta.

 

"Ayahmu ke notaris ngurus jual beli tanah."

 

"Mau jual tanah, ya, Bu?" sahut ibu mertua. Matanya membulat.

 

"Iya, Bu Ros, tanah kami ada dua kavling dekat persimpangan sebelum pasar pagi, satu kavling dijual, uangnya rencana untuk membangun rumah buat Mita."

 

"A-apa? Bangun rumah? tapi di sini sudah enak kok, Bu, kenapa tak beli mobil saja?" ucap ibu mertua tergagap. 

 

"Terserah Mita saja, nanti mau beli mobil atau bangun rumah, toh uang hasil jual tanah sudah diperuntukkan buat Mita," jelas ibuku.

 

"Rumah aja, Bu, aku juga ingin mandiri," jawabku menyanggah ide ibu mertua. Siapa juga yang sudi tinggal di sini. Sudah cukup bagiku delama itu tersiksa. Sekarang lah kesempatanku selagi tak minta ke orang tua, tapi diberi.

 

"Mita ..., rumah ini cukup besar, lagian Ibu sendirian merasa kesepian tak ada kamu dan Tia."

 

Cuih! Sok manis. Barusan tadi menyindirku dengan anak kesayangannya tentang aku hanya numpang tinggal di rumah ini. 

 

"Bukankah ada Ima dan Mimi, Bu." Ibuku menjawab sebelum itu kusebut.

 

"Iya sih, Bu, tapi kemungkinan Ima akan ikut suaminya ke luar daerah, kalau ada Tia cucu kesayangan saya, rumah ini terasa damai."

 

Sandiwara apa lagi ini? Cucu kesayangan, makan ayam bakar tak ingat anakku. Bohong.

 

Akan tetapi sepertinya aku ingin memberi mertua dan adik iparku pelajaran. Aku akan menerima uang dari ayah, aku yakin mereka pasti bersikap baik. Akan kubuktikan pradugaku ini.

 

"Assalamu'alaikumm. Oma!" Tia datang langsung berlari memeluk ibuku.

 

"Cucu Oma dari mana?"

 

"Beli ayam bakar," jawab Tia memperlihatkan kantong di tangannya.

 

"Iya, Bu Eli, Tia suka ayam bakar, kalau tak pakai ayam susah sekali makannya," timpa ibu mertua.

 

"Nggak kok, Nek, selama ini makan dengan tempe pun tak masalah, lagian tadi Nenek sudah makan ayam bakar tak berbagi denganku," jawab Tia jujur. Ibuku langsung menatap dengan alis bertaut.

 

"Hay Tia, ini ada sosis kesukaan kamu loh." Tiba-tiba Ima muncul dan langsung menarik tangan Tia.

 

"Nanti Bi, aku la ...." Tia tak bisa menolak saat Ima menariknya ke dapur.

 

Ibuku terdiam terpana. Mungkin mencerna apa yang diucapkan Tia.

 

"Tadi beli ayam bakar tapi Tia tak ada di rumah, saya kira ia sudah makan, Bu Eli," poles ibu mertua.

 

"Oooh, iya iya, Bu Ros," jawab ibu berusaha tersenyum.

 

Oke, kali ini kubiarkan ibu mertua menang di depan ibuku. Bukan tanpa sebab, aku ingin melihat reaksi mereka seandainya ibuku sudah pulang. 

 

Rantang makanan yang dibawa ibuku kuhidangkan. Aku ingin makan bersama ibu. Dan ternyata Ima, Mimi dan ibu mertua juga ikut makan, padahal mereka baru saja selesai makan. 

 

"Rendangnya enak," ucap Ima mengambil dua rendang potong sekaligus.

 

"Iya, enak sekali, Bunda, padahal kita sudah makan," sambung Mimi juga makan dengan dua potong rendang sekaligus. Tentu ia meniru bundanya.

 

Ibuku melihatnya. Tapi kali ini ibu seperti tak suka cara Ima kurang tata krama. Makan seperti rakus meskipun ada tamu.

 

"Lain kali bikinin lagi ya, Bu Eli, enak sekali," pinta ibu mertua.

 

"InsyaAllah, Bu," jawab ibuku, lalu kami beradu pandang sesaat. Entah apa yang dipikirkan ibuku.

 

Selesai makan siang, kubawa piring ke dapur. Kali ini Ima mencuci piring tanpa disuruh, biasanya ia jarang mencuci piring. Tumben. Sementara itu, ibuku sedang duduk bersama Tia di ruang tamu.

 

Aku melangkah ingin ke ruang tamu, tapi tiba-tiba ibu mertua menahan tanganku.

 

"Beliin jeruk ke warung, setelah itu bikin jus jeruk, kamu mau menjamu ibumu dengan teh hangat saja? Sekalian beli peyek kacang," titah ibu mertua sambil menyodorkan uang dua puluh ribu.

 

Tumben, biasanya tak pernah kasih uang kalau ke warung. Kuterima uang itu, lagian aku juga ingin melihat ibuku senang sesekali berkunjung.

 

"Bu, aku ke warung sebentar," ucapku minta izin ke ibuku.

 

"Ngapain ke warung? Duduk sama Ibu di sini, Mit," jawab ibuku.

 

"Saya minta belikan obat sakit kepala, Bu Eli," timpa ibu mertua.

 

"Oooh," jawab ibuku, lalu mengobrol lagi dengan Tia.

 

Ada rasa aneh tapi kuabaikan. Yang penting ibuku dijamu dengan baik.

 

Setelah membeli sekatong jeruk dan sebungkus peyek kacang, aku langsung bergegas pulang. Biasanya mengobrol sebentar dengan ibu-ibu yang ada di warung sekedar bergaul agar tak sombong. 

 

Saat jalan menuju pulang, kulihat Tia juga melangkah ke warung.

 

"Ngapain Tia?" tanyaku menghentikan langkah saat kami hampir berselisih jalan.

 

"Nenek minta beliin sabun cuci piring, Ma."

 

"Loh, bukannya masih banyak?" Tentu saja aku tahu, mencuci tugas rutinku setiap hari.

 

"Nggak tau, Ma, tapi Nenek yang nyuruh."

 

Perasaanku tidak enak. Ibu mertua seperti mencoba membuatku dan Tia ke luar dari rumah. Sepertinya ibu mertua ingin bicara sesuatu dengan ibuku tanpa aku ketahui.

 

"Ayo pulang, sabunnya masih banyak."

 

Kupercepat langkah. Rasa penasaran ingin segera tahu. Apa maksud ibu mertua menyuruhku dan Tia ke warung dengan urusan yang tak begitu penting. Sampai depan rumah, kuminta putriku agar melangkah pelan agar tak terdengar kalau kami sudah kembali. Rencanaku ingin mendengar apa yang ingin dibicarakan ibu mertua ke ibuku.

 

"Untuk apa uang sebanyak itu, Bu?" Terdengar suara ibuku bertanya. Posisiku dan Tia ada di balik dinding dekat jendela kaca.

 

"Untuk beli baju daster Mita, selama ini ia terlalu berhemat, Ibu lihat sendiri dasternya, tak layak pakai, aku malu tetangga bergunjing seakan-akan Putraku tak mampu belikan daster, jika aku yang mengolah gaji anakku, sudah kubelikan ia baju bagus, tapi Bu Eli tau sendiri, yang berhak mengolah gaji putraku ya Mita istrinya."

 

Jadi ini alasan aku disuruh ke warung? Ibu mertua ada maunya. Pinjam uang, aku tak yakin uang itu untuk beli baju dasterku.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si mita ini dungu nya melebihi binatang.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ini Uangku, Mas!   Part 62 Ending

    Ini uangku, MasPart 62 ( ending )Sulit kuungkapkan kata-kata betapa terkejutnya aku dengan lamaran ini. Istri mantan suamiku ingin melamarku? Ide gila macam apa yang ada dipikiran Bulbul dan mas Aga. "Ini pasti lelucon. Bul, kamu sadar dengan maksud kedatanganmu?" Kuulangi bertanya.Bulbul menatap mas Aga sebentar. Mas Aga justru menatapku. Netranya membicarakan betapa ia menginkanku lagi jadi istrinya. Namun, tidak di diriku."Aku sadar, Kak. Kita berbagi suami, dan ini juga banyak terjadi di luar sana.""Aku akan berusaha adil, Mit," ucap mas Aga. Tak ada rasa bersalah dan ia berucap seperti seorang lelaki yang kuharapkan lagi seperti dulu. Justru dengan keadaan seperti ini membuatku semakin tak suka.Di cerbung yang kutulis. Ada beberapa kisah pelakor dengan judul 'Anaknya mirip suamiku' dan 'Acara di rumah ibumu'. Di sana kutulis ada yang terinspirasi dari kisah nyata. Tapi itu hanya cerita yang kugabung dari beberapa kisah. Intinya aku tak suka jika berbagi suami walaupun buka

  • Ini Uangku, Mas!   Part 61 Lamaran

    Ini uangku, MasPart 61 ( lamaran )"Dasar si Aga, siang hari mabuk, apa nggak punya malu," cerocos Ibu sambil meletakan secangkir kopi."Sudah, Bu, yang penting sekarang sudah aman," kata ayah."Iya, tapi tetap aja bukan contoh yang baik, lah mabuk terlihat Tia, apa dia nggak mikir, bodoh dipelihara.""Sst!" Ayah menempelkan telunjuk depan bibir menyuruh ibu diam. "Ada Tia, Bu, kasihan," ucap ayah melirik Tia yang sedang duduk di sampingku. Tentu kami menyimak obrolan ibu dan ayah.Kulihat Tia, ia seperti memikirkan sesuatu, pasti tentang papanya. Seharusnya ia tak melihat mas Aga mabuk. Dan ini pertama kalinya kulihat mantan suami seperti itu. Apakah karena ada masalah. Setahuku ia bukan tipe lelaki peminum alkohol.Mungkinkah tentang pelet itu benar? Kasihan Bulbul. Ia masuk ke keluarga yang salah. Seandainya sikap Ima dan ibunya berubah, aku yakin Bulbul bahagia bersama mas Aga. "Ma, jadi orang mabuk seperti Papa itu ya?" tanya Tia."Ya, tapi nggak usah dipikirkan," jawabku. "K

  • Ini Uangku, Mas!   Part 60 Kesadaran Dalam Musibah

    Ini uangku, MasPart 60 ( kesadaran dalam musibah )Pov BulbulDulu, aku tak peduli dengan kata cinta. Tujuan menikah dengan mas Aga sekedar ingin punya keturunan. Hidup sebatang kara. Berjuang sendiri agar dihargai. Dari kecil hinaan terus kuterima dengan sakit hati. Orang tuaku selalu mengajarkan, 'buktikan kamu sukses dengan pikiran, jika fisik yang kamu sesali berarti kamu membenci pemberian Tuhan', itulah yang selalu kutanamkan. Hingga menata hati tak akan pernah mencintai lelaki mana pun."Mas, ayo pulang." Kutarik tangan mas Aga. Ia masih suamiku, jika pernikahan ini karena pengaruh pelet, itu bukan salahnya."Bul, itu Mita kan?" Mas Aga menunjuk kak Mita. Bau minuman alkohol menyengat dari mulutnya. Dulu aku tidak cemburu karena aku tahu mereka sudah bercerai. Kak Mita tidak pernah menunjukan ingin rujuk. Itulah kenapa aku bisa menerima dengan akal sehat. Namun, kali ini aku cemburu. Aku tak rela melihat suamiku masih mengharapkan mantan istrinya. Apakah 'cinta' tak pernah b

  • Ini Uangku, Mas!   Part 59 Kacau

    Ini uangku, MasPart 59 ( kacau )Pov Aga_2Apa yang terjadi padaku? Kenapa Bulbul? Ah! Aku bingung. Rasa ingin jauh darinya. Kok mendadak rasaku bisa berubah dengan sekejap. Rasa cinta dan menggebu berubah seiring melihatnya tampak beda hari ini."Bu, Ima, ada apa dengan Mas Aga? Kenapa ia terlihat aneh hari ini?" Bulbul bertanya seolah ia istriku. Maksudku istri yang kucinta. Ah! Aku sulit menjelaskanya."Bulbul, mungkin Aga kurang enak badan," jawab ibu."Ibu, i-ini kenapa? Aku aku ...." "Sudahlah, Mas, ayo duduk dulu." Ima menarik tanganku."Ima, kenapa temanmu sekamar denganku?" bisiku saat melangkah ke kursi."Bulbul istrimu, Mas," jawab Ima juga berbisik."Nggak mungkin! Tapi bukan yang itu!" ucapku lantang karena tak menerima semua ini. Aku tak ingin menikahi Bulbul, lagian bukan Bulbul yang ini yang ingin kujadikan istri."Kecilkan suaramu, Mas." Ima berbisik menekan suara agar tak didengar Bulbul. "Apa yang tidak mungkin, Mas Aga?" tanya Bulbul. Kupalingkan ke belakang,

  • Ini Uangku, Mas!   Part 58 Astagfirullahalaziim

    Ini uangku, MasPart 58 ( pov Aga : Astagfirullah'alaziim! )Pov Aga"Mita! Tunggu dulu, aku belum selsai ngomong!"Mita terus melangkah memasuki pagar rumahnya."Mita! Atau seperempat aja bagianku! Aku butuh buat membahagiakan Bulbul, Mita!""Jangan teriak-teriak!" bentak Mita tanpa menoleh padaku."Maka dengarin, bukan pergi gitu aja.""Brisik!" Prak!Pintu dihempaskannya ditutup."Mita! Mita!"Ia tak peduli dengan panggilanku. Justru hempasan pintu yang kudapat seiring bentakannya. Dasar maruk!"Mita!"Sekencang apa pun aku memanggilnya, tetap saja ia tak peduli. Padahal sudah kuberi ide bagus agar kita sama-sama adil dalam memiliki Tia. Tanpa aku Tia belum tentu bisa ada di dunia ini, bibitku hebat bisa mempunyai anak berbakat. Seharusnya Mita menyadari itu.Kemana lagi kucari uang biar bisa beli mobil. Bulbul pasti senang jika aku juga mampu. Dengan gajiku tak akan cukup. Lagian ibu dan Ima juga harus kubiayai, belum lagi makan Mimi juga banyak. Ima dan Mimi sama banyak makanny

  • Ini Uangku, Mas!   Part 57 Bicara Pikirkan Dulu

    Ini uangku, MasPart 57 ( bicara dipikirkan dulu )Aku tak ingin masuk ke lubang yang sama. Bertahun-tahun sudah cukup bagiku mengenal ibu mantan mertua dan Ima, apa lagi mantan suamiku. Jika ia mengakui dosanya, itu bukan urusanku karena yang diperbuat itu lah yang dipetik.Hanya prihatin. Aku tak ingin ikut campur dengan urusan yang bukan urusanku. Jika pernikahan mas Aga dengan Bulbul di luar kesadaran mas Aga, yang patut dipersalahkan adalah ibunya dan adiknya. "Mita.""Astagfirullah'alaziim." Aku mengucap terkejut. Tiba-tiba pundakku ditepuk ibu dari belakang."Melamun aja, mikirin apa?" "Oh, nggak, nggak ada, Bu," jawabku lalu pura-pura sibuk melihat layar ponsel. "Kamu tu lahir dari rahim Ibu, kamu sedang bohong, pura-pura, sedih, atau menyembunyikan sesuatu, Ibu pasti tau."Tuh kan, sudah berusaha menghindari, tetap saja ibu tahu. Sebenarnya malas bicara jujur. Ujung-ujungnya aku pasti kena semprot jika membahas tentang keluarga mantan suamiku."Ya udah, tapi ingat, serapi

  • Ini Uangku, Mas!   Part 56 Sedih lihat anak

    Ini uangku, MasPart 56 ( pov bu Ros: aku yang lebih tersiksa melihat penderitaan anak-anaku )Melangkah pulang dengan hati kecewa. Mita menolak rujuk dengan Aga. Apakah sesulit itu baginya memaafkan yang terjadi? Atau aku yang tak menyadari penderitaanya selama ini?Di mana-mana, menantu yang kerjakan semua pekerjaan rumah suatu hal yang biasa. Itu gunanya ia tinggal di rumah. Tapi kenapa Mita seperti aku memperbudaknya? Apakah karena selama ini Ima juga ikut adil dalam memerintah? Kuakui, Ima punya sifat semena-mena akibat kumanjakan. Dulu saja aku hampir sakit saat Mita terusir dan aku lah yang mengerjakan semuanya. Apakah aku salah mendidik anak?"Ibu dari mana? Lihat Ima belum berhenti menangis seperti anak kecil, telingaku sakit!" Bulbul berdiri berkacak pinggang. Aku baru masuk langsung disambut dengan omongan tak enak. Ia berlagak seolah nyonya besar dan aku pembantunya."Itu aja kamu sewot," jawabku berusaha mengabaikanya."Lah iya lah aku sewot, Ima sangat berisik! Aku ing

  • Ini Uangku, Mas!   Part 55 Maaf?

    Ini uangku, MasPart 55 ( maaf )"Jangan menangis, Ma," ucap Tia menatapku.Aku duduk menyeka air mata. Rasa khawatir, takut jauh dari putriku. "Nak, jika suatu saat kamu tak nyaman bersama Mama, bicara lah." Kubelai pipi Tia."Mama bicara apa sih? Justru aku takut membebani Mama, aku hanya ingin Mama, aku juga sayang Papa, tapi kenyamananku bersama Mama."Ya Allah, terima kasih tidak menjauhkanku dari putriku. Hamba mohon, jangan pernah pisahkan kami. Tapi seandainya maut memisahkan, biarkan putriku di tangan orang yang tepat hingga hidupnya tak teraniaya. Pengalaman berumah tangga dan tinggal di rumah mertua sudah cukup memberiku pelajaran tentang hidup sesungguhnya.Jika dulu aku berpikir logis. Cinta tak cukup membuat bahagia, lingkungan saling menghargai itu penting. Seandainya sudah menjadi seorang ibu, tak ada yang lebih penting dari anak. Mantan suami ada, tapi mantan anak tidak akan pernah ada. Satu hal yang kuabaikan, firasat orang tua itu benar. "Mita! Mit!"Ibu memanggil

  • Ini Uangku, Mas!   Part 54 Muak

    Ini uangku, MasPart 54 ( pov Aga: aku muak dibilang anak durhaka!)"Kok diam, Bu? Ada apa dengan tiga hari lagi?" tanyaku lagi karena belum dijawab."Oh, itu, Ga, tiga hari lagi Ibu berencana mengadakan syukuran buat pernikahan kalian," jawab ibu."Iya, Mas, warga sini juga harus tau kalau kamu bukan suami Mbak Mita lagi, tapi suami Bulbul," ucap Ima."Tapi aku tak punya uang buat acara syukuran, Ibu tau itu kan?"Buat apa mengadakan acara syukuran jika yang datang dikasih makan angin. Aku tak yakin Bulbul mau, uangnya banyak terpakai."Nanti kita bicarakan lagi ke Bulbul, mana tau ia mau.""Jangan, Bu, aku tak enak dengan Bulbul, pasti ia marah dan aku nggak mau ia malah minta cerai, aku cinta Bulbul, Bu."Jujur dan terbuka lebih baik. Biar hati merasa lega. Lagian yang memperkenalkan Bulbul adalah Ima. "Mas Aga! Kok malah lemah gitu? Jadi laki ya harus tegas, lawan rasa lemahmu."Ima ngomong aja yang bisa. Apa ia merasakan yang kurasakan? Hati ini betul-betul terpaut pada Bulbul.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status