Kali ini Gina benar-benar menangis di hadapan Endra. Air mata yang sedari tadi ditahannya kini jatuh tanpa bisa dihalangi lagi. “Kenapa kamu bicara seolah-olah aku selalu punya niatan buruk untukmu dan keluargamu?”Isakan pedih itu Gina keluarkan tanpa pengahalang, ia lampiaskan semuanya di depan Endra. “Aku nggak pernah menuntut kamu buat perlakukan aku sebagai seorang istri. Aku nggak pernah minta kamu buat turuti semua keinginanku segaimana suami lain berlaku seperti itu ke istrinya. Satu-satunya yang kuminta tanpa izin darimu adalah kehangatan keluargamu. Maaf kalau aku lancang dan kamu kurang berkenan dengan itu, Mas.”Gina semakin terisak karenanya. Ia menunduk, sekali lagi tak berani menatap sang suami.“Setelah ini, aku janji nggak akan kunjungi mereka selama itu bukan darurat. Aku janji akan sedikit menghindar dari Mama, Papa dan juga Anna kalau itu yang kamu mau. Setelah ini, aku harap nggak ada lagi hal-hal negatif yang kamu pikirkan tentang aku yang dekat dengan keluargamu
“Maaf…”Tampaknya keterdiam Gina membuat Darren tidak nyaman, jadi ia mengucapkan kata maaf itu dengan harapan Gina akan memaklumi perkataannya.“Bagaimana pun, alasan kita berpisah dulu bukan karena udah nggak saling cinta. Maaf, karena harus tinggalkan kamu dan nggak bisa temani kamu saat kamu sedang berduka.”Iya, Darren adalah mantan pacar Gina 4 tahun lalu, tepatnya ketika ia masih mengenyam pendidikan sarjana. Mereka terpaksa berpisah karena Darren mendapatkan beasiswa magisternya ke luar negeri, sementara Gina sendiri tidak bisa berada dalam hubungan jarak jauh.Komunikasi masih sering mereka lakukan. Namun ketika kedua orang tua dan kakak Gina meninggal, Gina menghilang bak ditelan bumi. Darren sama sekali tidak bisa menghubungi Gina meski ia sudah bertanya hampir pada semua orang yang Gina kenal.“Itu sudah lama, Kak. Sekarang, aku baik-baik aja. Nggak perlu minta maaf,” tutur Gina. Ia tidak ingin menggali luka lama yang sudah ia kubur dalam-dalam. Lagipula, sekarang sudah ad
Pagi ini Gina memutuskan untuk kembali memasakkan sarapan untuk Endra terlepas dari sang suami yang sebenarnya tidak meminta. Hanya saja, aneh rasanya jika kebiasaan yang hampir tiga tahun ia lakukan harus tiba-tiba dihentikan.Yang berbeda kali ini adalah Gina tidak menunggu Endra di meja makan, melainkan langsung kembali ke kamar dan akan berdiam di sana sampai Endra benar-benar pergi untuk bekerja. Entah kenapa perasaannya sering memburuk akhir-akhir ini, berakhir dengan memutuskan untuk sedikit mengurangi interaksi dengan sang suami agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kandungannya sudah memasuki bulan terakhir, ia tidak ingin terjadi apa-apa pada anaknya.Endra masih belum turun dari lantai atas, jadi Gina memutuskan untuk pergi ke kamar andai saja suara ketukan pintu tidak terdengar.Ketika membukanya, ia terkejut karena menemukan Irma bersama dengan wanita paruh baya yang memasang senyum ramah padanya.“Mama?”“Nah, Bi Asih. Ini menantu saya yang saya ceritakan.”“
Tanpa bicara lagi Endra memasuki area jemuran yang sebetulnya berupa halaman kecil dengan tembok tinggi sebagai pembatasnya. Itu masih termasuk ke dalam rumahnya. Dulu ia berencana menjadikannya kolam ikan tapi urung ketika Irma melarangnya.“A-aku belum sempat beli yang baru.”“Yang mana yang rusak?”Gina terdiam sebentar, ia terlalu terkejut dengan sikap Endra. “I-ini. Kalau ditimpa jemuran yang masih basah dan berat, tumpuannya makin lebar.”“Mana lagi?”“Penyangga yang bagian ini dan ini lepas.”“Ini masih bisa dibetulkan,” ujarnya.Lantas Endra kembali masuk ke dalam untuk membawa beberapa peralatannya.Beberapa saat kemudian, keduanya disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Endra yang sibuk dengan perbaikan jemurannya, dan Gina yang tengah mencuci piring.“Andhika sudah ditangkap, tapi dia belum mau mengaku.”Gina terdiam sebentar sebelum kembali melanjutkan kegiatannya. “Dulu, Andhika bukan orang yang sering lari dari tanggung jawab. Mungkin ada hal yang buat dia jadi seperti
Siang hari yang buruk. Gina menyesali keputusannya untuk mengikuti Irma yang mengajaknya untuk pergi ke kantor Endra. Jika saja tadi ia menolak dengan memberikan alasan yang logis, mungkin saat ini ia tidak akan berada di sini; di depan pintu ruangan Endra dan menyaksikan sang suami yang tengah memeluk wanita lain; wanita yang faktanya merupakan mantan kekasih Endra dan masih sangat dicintai hingga detik ini.Sementara itu, Irma belum juga kembali dari mengambil ponselnya yang tertinggal di mobil. Namun sekretaris Endra yang memang ruangannya terletak di sebrang ruangan Endra dan menyaksikan kejadian itu hanya bisa menunduk, turut merasa sedih atas apa yang Gina alami. Ia tidak tahu bahwa kejadiannya akan seperti ini. Pikirnya, mungkin perempuan tadi hanya salah satu klien yang ingin berkonsultasi.“Bu Gina,” panggilnya.Yang dipanggil hanya bergeming. Terus menatap ke objek yang masih dalam posisi sama sedari tadi.“Bu Gina, saya &ndash
Gina tak menyangka bahwa menangis semalaman bisa sangat menguras emosi dan tenaganya. Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, tapi tubuhnya benar-benar lemas dan tak sanggup untuk sekadar berdiri dan mengambil air di dapur. Alhasil meskipun sudah bangun sedari subuh, ia hanya bisa berdiam diri di atas pembaringan sembari memikirkan hal-hal yang belakangan ini terjadi.ART yang Irma bawa sebelumnya sudah mulai bekerja sejak kemarin. Jadi ia tidak khawatir mengenai pekerjaan rumah karena sekarang sudah ada yang meng-handle-nya.Larut dalam lamunan, Gina sedikit terlonjak ketika ponselnya bergetar dan berdering di samping kepalanya. Dengan tak minat ia melihat si penelepon; tidak dikenal.“Halo.”“Gina?”Suaranya tidak asing, tapi Gina tetap bertanya karena sudah tak sanggup lagi untuk berpikir. “Maaf, siapa?”“Darren. Apa suaraku nggak familiar?”“Hah?&rdq
Jalan-jalan sore adalah kegiatan rutin yang Gina lakukan sejak seminggu yang lalu. Begitu pun dengan sore ini. Dengan ditemani Bi Asih, Gina menghabiskan waktu sorenya untuk berjalan-jalan sembari berbincang dan sesekali tertawa karena gurauan ART-nya itu.Sayangnya senyum itu tidak bertahan lama. Karena ketika ia sampai di rumah dan menemukan sepatu wanita yang jelas bukan miliknya di depan pintu, perasaannya langsung kacau tak karuan. Tanpa pikir panjang Gina langsung masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Bi Asih yang sama bingungnya.Di sana; di ruang tamu, wanita yang jelas Gina kenali tengah berdiri membelakanginya dan terlihat sudah akan pergi, begitu juga dengan sang suami. Namun ketika wanita itu berbalik, rautnya terlihat terkejut menemukan Gina yang sedang menatap mereka dengan tatapan yang sarat akan rasa kecewa.“Gi-gina…” gumam Safira.Iya, orang itu adalah Safira. Entah apa yang wanita itu lakukan di rumahnya, yang jelas Gina
Ketika malam tiba dan Endra belum kunjung pulang, biasanya Gina akan menunggu di sofa ruang tengah dengan gelisah, berkali-kali mengecek jam sembari dilanda rasa bimbang apakah harus menghubungi sang suami atau jangan.Tapi malam ini, ia tidak melakukan itu semua. Raganya benar-benar letih, pun pikirannya yang tak kalah kacau. Beberapa jam lalu ia menelepon Darren untuk menanyakan di mana lelaki itu memesan makanan yang pernah dikirim untuknya, karena demi apapun Gina ingin sekali memakannya. Namun setelah makanan itu datang dan Gina lahap, perasaannya tak kunjung membaik. Ia sendiri tidak tahu apa yang ia rasakan.Larut dalam lamunan, tepat pada jam 2 lewat 35 menit dini hari, pintu kamarnya tiba-tiba diketuk dan ia terkejut setengah mati. Ia tidak yakin itu maling atau orang yang berniat mencelakainya, sebab penjagaan di komplek yang ia tinggali terbilang sangat ketat.Sadar siapa yang mengetuk, Gina segera membenahi posisinya seolah tengah tertidur. Dan benar saja, tak lama orang i