Endra hampir terlonjak dari tempat duduknya ketika mendengar panggilan lirih itu. Terlalu larut dalam lamunan membuat Endra luput akan kesadaran sang istri.
“Gi-gina?”
“Air…” lirihnya lagi.
Lekas-lekas Endra menekan tombol di atas kepala ranjang sebelum membantu sang istri untuk minum melalui botol yang telah diberi sedotan. Irma sudah menyiapkan semuanya, omong-omong.
Setelah selesai minum, Gina kembali ke posisinya tadi dan memejamkan matanya untuk beberapa saat. Efek bius masih melekat padanya, alhasil kepalanya sedikit pusing dan ia merasa bahwa tubuhnya tengah melayang-layang di udara.
“Ada lagi yang kamu butuhin?”
Gina hanya menggeleng lemah. Tak lama kemudian dokter datang dan langsung memeriksa keadaan Gina yang masih seperti orang linglung.
Setelah selesai, dokter itu mengernyit melihat Endra yang terlihat pucat. Jadi ia berkata, “Pak, sebaiknya Anda istirahat. Jangan terlalu khawatir, sekarang keadaan Bu Gina sudah be
Irma sungguh tidak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi pada anak dan menantunya pagi ini? Ketika ia datang, keduanya hanya saling berdiam diri, terlihat canggung dan sedikit kikuk.Jadi setelah bertanya pada Gina tentang bagaimana keadaannya, dan memastikan semuanya baik, Irma mulai menelisik gerak-gerik kedua anak itu.“Kenapa? Kalian bertengkar?” tanya Irma to the point.Pertanyaan itu langsung dijawab gelengan oleh keduanya.“Jangan bohong. Pasti kalian bertengkar soal malam itu, kan?” tanyanya lagi. “Endra, Gina marah, kan, sama kamu gara-gara malam itu? Sudah Mama bilang kamu itu keterlaluan, seharusnya kamu –“Usapan tangan sang suami pada punggungnya membuat kalimat Irma terhenti seketika. Ia menoleh pada Ardi yang duduk di sampingnya. Suaminya itu memberi kode padanya untuk tak melanjutkan ucapannya yang terkesan mencampuri urusan rumah tangga sang anak. Beruntung Irma adalah tipe yang penurut.“Maaf, Mama nggak bermaksud mencampuri urusan rumah tangga kalian. Mama hanya kha
Gina menatap Endra yang tengah berdiri membelakanginya sembari berbicara melalui telepon di dekat jendela ruangan yang mereka tempati. Suaminya itu tiba-tiba mendapat telepon sesaat sebelum pembicaraan mereka dimulai.Sebetulnya Gina paham apa yang akan Endra bicarakan. Ia hanya belum sanggup untuk kembali menampung semua beban hidupnya di saat-saat yang tak memungkinkan seperti ini. Bahkan segala bentuk perhatian dan perubahan sikap yang Endra tunjukkan padanya sama sekali tak sampai ke dalam hatinya. Ia tahu Endra hanya merasa bersalah, bukan menyesal apalagi merasa khawatir layaknya suami lain ketika istrinya yang tengah hamil berada dalam situasi berbahaya.Gina tahu. Tapi, biarkan ia untuk menikmati perhatian Endra yang masih palsu ini.“Maaf, barusan ada telepon dari kantor.”Anggukan Gina berikan sembari tersenyum tipis. “Diselesaikan saja dulu, Mas.”“Sudah selesai,” jawab Endra. “Bisa kita mulai bicara?”Gina tak memberikan jawaban, sekadar menggeleng atau mengangguk pun tak
“M-mas, a-aku –““Nggak apa-apa, santai saja. Maaf juga kalau aku lancang.”Kedua suster tadi sudah pergi beberapa menit lalu. Dan mereka yang tinggal bertiga di dalam ruangan itu, termasuk bayinya, hanya bisa berdehem canggung atas yang tengah terjadi.Sekadar info, kegiatan tadi masih berlangsung. Dan Gina luar biasa gugup dibuatnya.“Kayaknya udah cukup, Mas, ASI-nya udah keluar sedikit.”Endra seolah tersadarkan dari lamunannya, jadi ia sedikit terkejut. “O-oh, iya.”Pompa ASI itu Endra lepaskan dari payudara sang istri. Lantas ia menaruhnya di atas meja sesuai dengan instruksi suster tadi.Benar saja, kini anaknya tidak lagi menolak disusuinya. Bahkan mata anak itu terbuka, tanpa menangis atau merengek. Hanya diam menatap Gina meskipun Gina tahu penglihatan mata anaknya belum berfungsi normal.Mata Gina berkaca-kaca, menatap sang buah hati yang selama ini ia perjuangkan keberadaan dan kesehatannya. Bahkan setelah semua yang dilakukan Endra, setelah semua pesakitannya baik secara
“Nggak apa-apa, kok, Pak. Pengaruh bius dan obat pereda sakitnya sudah hilang, jadi rasa sakitnya sangat terasa. Setelah ini, ibu makan, lalu diminum lagi obatnya, ya, Bu. Nanti akan dibantu oleh suster.”Endra mengucapkan terima kasih pada dokter itu, kemudian kembali duduk di samping ranjang dan menatap Gina sebentar sebelum berinisiatif untuk menyodorkan air mineral pada sang istri.“Minum dulu.”Gina menurut lalu kembali merebahkan dirinya. Ia menatap Endra dengan sendu seolah merasa bersalah. “Maaf jadi repotin Mas.”Entah mengapa hati Endra terasa diremas ketika mendengarnya. “Aku nggak merasa direpotin.”Senyuman tipis Gina selalu Endra lihat akhir-akhir ini. Ia jadi penasaran, sebenarnya apa yang tengah dipikirkan Gina ketika tersenyum dengan cara seperti itu?Tak lama suster datang, memberikan makan malam untuk Gina lengkap dengan obat yang sudah disiapkan.Setelah semua s
Gina masih menunggu hal yang akan Endra lakukan setelahnya. Karena sedari tadi sang suami masih diam, mematung sembari menggenggam sepasang baju yang akan dikenakannya.Akhirnya Gina sadar bahwa ia terlalu lancang mengatakan hal itu. Mungkin saat ini Endra tengah memikirkan sesuatu seperti betapa menjijikannya ia karena meminta hal seperti itu pada lelaki yang tak peduli padanya.“Maaf, Mas, aku lancang, aku –“Ucapannya terhenti ketika Endra tiba-tiba berjalan ke arahnya dan memeluk tubuhnya yang masih setengah berbaring di tempat tidur. Gina jelas terkejut, namun rasa haru dan sedih lebih mendominasi ketika dengan jelas ia bisa merasakan kehangatan yang menjalar pada tubuhnya.Maka dari itu ia langsung membalas pelukan sang suami. Pelukan pertama yang mereka lakukan tanpa paksaan keadaan, tanpa sandiwara yang biasa mereka lakukan. Meski Gina terkesan mengemis untuk mendapatkan ini, tapi sejatinya ia telah kehilangan harga dirinya dari semenjak Endra sering memperlakukannya dengan se
“Sudah?” tanya Endra dari luar.“Sudah, Mas.”Endra kembali masuk dan membantu Gina untuk kembali berjalan ke tempat tidur. Tubuh istrinya itu terbilang cukup kecil untuk seseorang yang baru saja melahirkan. Jadi Endra tak merasa kesulitan sedikit pun untuk memapahnya, bahkan untuk menggendongnya pun Endra rasa masih bisa ia lakukan.“Aku mau lanjut kerja, tinggal sedikit lagi. Habis itu aku kupasin buah buat kamu.”“Makasih, Mas.”Senyum manis Gina yang jarang ia lihat kini terpampang jelas di hadapannya. Sangat manis dan cantik. Endra tidak munafik, ia juga lelaki normal yang punya ketertarikan pada keindahan lawan jenis.“Sama-sama.”***Beberapa hari berlalu dan Gina beserta anaknya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Raut kebahagiaan tercetak jelas di wajah keluarganya, apalagi Anna yang tak henti memekik setiap melihat sang keponakan yang sangat lucu.“Adudududuhhh… Ponakannya aunty…”“Udah, dong. Dia takut sama kamu.”Ujaran ketus dari sang kakak tak kalah dibalas ketu
Tepat satu bulan usia Raka sekarang. Selama itu pula sikap Endra menjadi sedikit lebih baik terhadap Gina. Ya, hanya sedikit. Sebab bayang-bayang Safira masih ada di antara mereka. Bahkan baru-baru ini mereka berdebat hanya karena Endra masih kekeh untuk membantu Safira membebaskan Andhika dari penjara.“Mas, sarapan dulu.”Endra tampaknya masih marah. Ia menghiraukan ucapan Gina dan hanya berlalu begitu saja menuju kamar yang Gina tempati untuk menemui anaknya.Tak apa. Sudah Gina duga bahwa sikap Endra memang berubah karena adanya Raka, dan itu pun memang diperuntukkan untuk Raka. Bukan untuknya. Meski memang ia sempat berharap bahwa rumah tangga mereka akan membaik, apalagi ketika mengingat Endra pernah bersikap lembut padanya walau hanya beberapa kali.Jadi ketika Endra keluar dari kamarnya dan berjalan menuju pintu keluar untuk bekerja, ia memilih untuk diam, tak lagi menawari Endra untuk makan bersamanya seperti yang sering mereka lakukan dalam satu bulan belakangan ini. Sikap h
“Maaf, Fir, aku betul-betul mentok dan nggak bisa lagi bantu kamu. Aku cuma bisa kenalkan pengacara buat bantu Andika, selain dari itu aku nggak bisa apa-apa lagi.” “Nggak apa-apa, Ndra, aku paham. Maaf banget ya selama ini aku repotin kamu terus.” Endra menggeleng, menyangkal yang diucapkan sang mantan kekasih. “Nggak sama sekali. Santai aja.” Saat ini mereka tengah berada di sebuah restoran dekat kantor Endra. Mereka menyempatkan diri untuk bertemu sebentar di jam makan siang. “Aku nggak bisa lama-lama, Fir. Habis ini ada meeting sama karyawan.” Lantas setelah berpamitan, Endra segera beranjak dari sana, meninggalkan Safira yang kembali memakan makanannya sembari memikirkan tentang Andika. Tanpa tahu bahwa sedari tadi diam-diam seseorang berusaha mengambil foto dan video mereka. *** Seperti yang sudah direncanakan, foto dan video Safira dan Endra yang tengah makan siang bersama tadi sudah masuk ke ponsel Gina