Seperti yang sudah-sudah, malam itu aku menemani Asep mempersiapkan diri untuk ulangan matematika besok. Walaupun bukan guru matematika, kalau hanya mengajar materi matematika untuk anak SD saja tentu aku bisa.
Satu jam lebih Asep belajar bersamaku. Kulihat dia sudah mulai mengantuk. Aku pun menutup materi matematika malam itu. Lalu, berpamitan pada Asep dan tak lupa mengingatkan anak itu agar tidak tidur terlalu malam.
“Bram, tunggu sebentar!”
Abi memanggilku—ah, kukira beliau sudah tidur—persis sebelum Asep menutup pintu depan.
“Ini, simpanlah.” Laki-laki itu mengulurkan selembar amplop putih padaku. “Jangan dilihat jumlahnya yang nggak seberapa. Semoga bisa sedikit menambah ongkos kuliahmu. Kebetulan Abi ada sedikit rezeki. Lagipula, selama ini kamu selalu mengajari Asep sehingga nilainya bagus-bagus. Coba kalau memanggil guru privat dari sekolah, pasti mahal bayarannya.”
“Ah, nggak usah, Abi. Dari dulu, saya ikhlas kok menemani Asep belajar,” tolakku halus.
Memang saat ini aku sedang sangat membutuhkan uang, tetapi aku harus menahan diri untuk tak menerimanya. Malu rasanya menerima honor segala. Bantuanku yang tak seberapa itu, belum sebanding dengan kebaikan keluarga Abi selama ini.
“Kamu jangan menolak rezeki, Bram. Ayo, ambillah! Abi ikhlas.”
Aku menghela napas. Dengan haru, kuterima amplop itu. Dalam hati aku sangat bersyukur. Saat sedang membutuhkan uang seperti ini, Allah mengirimnya melalui tangan Abi. Kurasa mataku berkaca-kaca jika Abi melihatnya.
“Terima kasih banyak, Abi,” ucapku, bingung berbasa-basi seperti apa lagi.
Abi mengangguk dan tersenyum.
Kugenggam amplop yang cukup tebal berisi lembaran uang pemberian abinya Elis ke rumah indekosku. Tak sanggup kutahan air mata yang tiba-tiba menetes karena membayangkan diriku yang beberapa saat lalu masih bingung akan nasib kuliahku besok dan seterusnya.
“Alhamdulillah, ya Allah,” ucapku penuh syukur.
Di rumah, kulihat Fajrin sudah tertidur. Kusimpan baik-baik amplop itu dalam lemari. Lalu, beranjak ke meja belajar. Kuputuskan untuk membalas surat dari Umak.
Assalamualaikum.
Umak, alhamdulillah, keadaan Bram baik-baik saja. Bram mengerti kondisi Umak selama ini. Bram akan mengikuti saran Umak untuk kuliah sambil bekerja. Insya Allah, Bram akan mulai mencari pekerjaan.
Bram mohon, jangan Umak jual sawah peninggalan Ayah. Bagaimanapun, itu harta kita yang sangat membantu semenjak Ayah tiada. Jika sawah almarhum Ayah kita jual, keadaan kita akan makin susah. Giliran Bram yang bekerja sekarang, agar Bram tidak selalu merepotkan Umak.
Umak, tetaplah berusaha memajukan warung kita, agar adik-adik bisa terus sekolah. Insya Allah, setelah Bram selesai kuliah nanti, Bram yang akan bekerja untuk Umak.
Umak, nasihat Umak akan selalu Bram ingat. Semoga Umak dan adik-adik selalu sehat, dan Allah memudahkan semua urusan kita. Aamiin ....
Wassalamualaikum.
Kulipat surat itu.
Selesai menulis untuk Umak, aku merasa mulai dapat berpikir sedikit jernih. Aku bangkit untuk mempersiapkan curriculum vitae dan surat lamaran pekerjaan. Ya, aku harus segera mendapatkan pekerjaan.
Ketika kantuk mulai menyerang, aku merebahkan punggung di sebelah Fajrin yang sedari tadi sudah memeluk guling.
Tengah malam, tiba-tiba aku terbangun. Kulihat Fajrin terisak dalam doanya setelah bertahajud. Tubuhku bergetar melihat kesungguhannya beribadah. Aku pun bangkit dan pergi ke belakang untuk mengambil air wudhu. Lalu, kukenakan sarung, baju koko dan peci putih. Aku sholat di sebelah Fajrin.
Tenteram dan sejuk sekali hati ini. Luar biasa ketenangan yang kudapatkan. Di rokaat kedua, air mataku mulai menetes. Setelah salam, aku pun menangis deras, teringat Umak yang membanting tulang untuk memperjuangkan hidup kami sepeninggal Ayah. Ya, seharusnya sejak dulu aku bekerja. Sudah seharusnya aku membantu Ibu mencari nafkah.
Tanpa kusadari, sejak tadi ternyata Fajrin memerhatikanku.
“Ente lagi ada masalah?"
Lagi-lagi aku tersenyum dipaksakan. “Ah, nggak ada. Aku nggak apa-apa.”
“Ane ini sahabat ente. Kalau ada masalah, ceritalah. Mungkin ane bisa bantu. Ane tahu, ente lagi punya masalah keuangan, kan?”
Aku terkejut. Entah dari mana Fajrin mengetahuinya. Aku diam saja.
“Udah, nggak usah mikir ane tau darimana.” Fajrin menepuk bahuku, seolah bisa membaca jalan pikiranku. “Ente bisa pake duit ane dulu buat bayar kuliah. Nanti kalau ente udah ada duit, ente kan tinggal bayar? Kapan aja juga boleh,"
“Kamu baca surat ibuku yang di meja itu, kan?”
“Sori. Tadi nggak sengaja kebaca waktu ane pinjam meja belajar ente.” Ungkap Fajrin hati-hati.
Aku menghela napas.
“Thanks, Sob. Tapi, mulai besok, aku mau cari kerjaan. Jadi, kamu nggak perlu pinjeman aku uang dulu. Aku masih punya uang, cukup buat makan dan ongkos untuk nyari kerjaan." Ucapku.
“Tapi ente tetep lanjut kuliah, kan?”
“Nanti aku atur jadwalnya. Kuliah sambil kerja.” Jawabku. Yakin.
Fajrin mengangguk. Dia senang melihat semangatku.
Setelah itu, kami mengambil Al Qur’an masing-masing. Sudah lama rasanya kami tidak mengaji bersama. Selama ini aku cuek melihat Fajrin tahajjud dan mengaji. Untuk malam ini, aku merasa sangat damai mengikuti kebiasaannya. Kuharap tidak hanya malam ini, melainkan malam-malam berikutnya.
Oh, ya. Aku harus istirahat juga. Besok, aku harus mencari pekerjaan.
Harus!
Putih-hitam adalah warna yang melekat di tubuhku saat ini. Baju putih, celana panjang hitam, disempurnakan oleh sepatu pantovel hitam yang disemir hingga berkilau. Aku mengikuti saran Fajrin pagi tadi. Katanya, ‘seragam’ model begini umum dikenakan sebagai identitas pemburu pekerjaan.Hari ini aku bertekad harus ada pekerjaan sampingan yang kudapat. Dari informasi yang kuperoleh di kampus, jika sulit menemukan pekerjaan dengan jam kerja malam hari dan terpaksa harus bekerja dari pagi hingga sore, aku tetap bisa kuliah pada hari Sabtu-Minggu. Konsekuensinya, aku harus pindah kelas. Bukan masalah besar bagiku, yang terpenting aku tetap terus kuliah.Seperti biasa, cuaca terik menjadi sahabat setia sejak menjalani awal hari di kampus. Aku tak peduli, terus berjalan membawa map berisi dokumen di tangan, mengitari Pamulang dan mengarah ke Ciputat. Lelah mulai menghinggapiku. Kini aku terdampar di Pasar Jumat, Lebak Bulus. Sejauh ini, aku tak menemukan lowongan p
Masih di tempat yang sama, keesokan harinya.Kulihat langit tampak mendung dan mulai gelap. Ketika akhirnya hujan deras mengguyur, aku mengikuti orang-orang yang berlarian mencari tempat berteduh. Sebuah halte tak jauh dari sini, tampaknya menjadi satu-satunya tujuan kami.Aku berdiri seolah terpaku menghadap jalan yang basah oleh rinai hujan. Punggung dan kakiku masih terasa sakit. Semalam, di antara nyeri yang belum mau pergi, aku kembali menulis CV dan surat lamaran pekerjaan. Namun, sepertinya hari ini pun aku tak bisa berbuat banyak. Fajrin memang membantuku mencarikan iklan lowongan kerja di koran-koran, tetapi lokasinya selalu tak terjangkau. Jika aku tetap nekat mencoba, rasanya itu hanya akan menambah kesusahanku.“Bram!”Seseorang menepuk bagian belakang bahuku. Aku menoleh cepat ke arahnya.“Lho, Pak Tris?” seruku riang begitu mengetahui orang di belakangku. Kugenggam erat dan kucium tangannya dengan hormat. &ldqu
Ini sudah hari Minggu. Masih satu hari sebelum memenuhi undangan Pak Tris, yakni mengantarkan berkas lamaran pekerjaan untuk menjadi guru kesenian di SMU Insan Kamil. Aku gelisah dan mondar-mandir di teras. Masih ragu, apakah aku yakin telah menerima tawaran Pak Tris? Apakah tidak lebih baik jika kuurungkan saja dan mencari pekerjaan lain?Menjadi guru di SMU Insan Kamil. Siswa-siswanya yang terkenal badung, suka tawuran serta berlabel anak buangan dari sekolah lain menjadi pertimbanganku. Mengenai penyampaian materi seni itu sendiri pun—walaupun aku menguasai musik berikut teorinya dan bisa melukis—tetap akan menjadi tantangan bagiku. Bisa jadi siswa-siswi SMU itu justru tidak menganggapku sama sekali, bahkan melawanku, setelah tahu bahwa guru kesenian mereka yang baru ‘hanyalah’ seorang anak muda sepertiku.Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Menolak tawaran itu?Gelisahku seorang diri di teras ternyata mengundang perhatian orang lain m
Elis meminjamkan buku-bukunya padaku. Kubawa semuanya ke kamar agar bisa membacanya kapan saja. Tak kusangka, ternyata Fajrin sudah tiba lebih dulu di rumah dan kini sedang rebah di lantai sambil mendengarkan radio bututnya.“Wiuh, yang habis nganter yayang ke pasar!” ledeknya sambil mesem. “Kira-kira, ada kabar baik apa, yaa ...?””Apa sih, pengen tahu aja urusan orang,” gubrisku sambil duduk di bawah pintu. Kulepaskan lelah yang tak seberapa. Kuletakkan buku-buku yang kubawa, kusandarkan punggung, dan mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Perhatikanku kini tertuju pada gitar yang kupajang di sudut kamar, benda yang pada setiap dawainya sering kumainkan nada pelipur gundah atau—sebaliknya—sebagai penanda tengah bahagia. Ah, kali ini aku sedang tidak ada niat memetiknya.”Buku apaan, Sob?” Fajrin bangkit dari tidur-tidurannya, mengambil salah satu buku di dekatku, dan membukanya.&
Tidak terlalu sulit menemukan ruang guru di seantero bangunan bertingkat ini. Aku sudah hampir sampai, ketika sosok Pak Tris tertangkap pandanganku tengah berdiri di depan sebuah ruangan. Rupanya beliau sengaja menunggu kedatanganku.”Bram! Alhamdulillaah, Bapak kira kamu nggak jadi datang!”Aku mengangguk sopan dan mencium tangannya, persis seperti saat masih menjadi muridnya dulu. Ah, sampai kapan pun, Pak Tris memang akan selalu menjadi guruku. “Ayo masuk, Bram,” diajaknya aku ke ruangan guru. Setelah memperkenalkanku sebentar kepada beberapa guru di sana, Pak Tris mengajakku ke ruangannya sendiri. Dia langsung memeriksa map berisi CV dan surat permohonan mengajar yang kuajukan.”Berkas lamaranmu Bapak terima, ya, walaupun ini sebenarnya hanya formalitas saja.” Pak Tris tersenyum senang. “Oh ya, hari ini bapak kepala sekolah berhalangan da
Sejenak, gelak tawa menyebalkan itu sirna mendengar nada tinggi yang keluar dari mulutku. Ternyata reaksi itu cuma hiburan semata bagiku. Seolah mewakili aspirasi teman-temannya, salah satu dari mereka tiba-tiba berdiri—pelajar laki-laki, masih dengan tas sekolah yang terselempang di bahunya—dan maju ke depan kelas. Tubuhnya ceking, wajahnya tirus. Bahkan, kacamata model bundar yang dikenakannya sama sekali tidak memberi kesan berisi pada wajahnya.”Gue nggak mau belajar kalau gurunya keliatan nggak punya pengalaman. Dan malah keliatan nggak berkualitas!” ceracaunya. Lalu, mengeloyor meninggalkan kelas begitu saja.Kucoba menahan emosi walaupun terkejut melihat sikap siswa tadi. Satu per satu, tanpa dikomando siswa-siwi yang masih tinggal di kelas pun berdiri dan berjalan acuh tak acuh melewatiku. Beberapa dari mereka bahkan meninggalkan kelas sambil melirik ke arahku dengan tatapan mengejek. Tak satu pun dari mereka yang kepergiannya bisa
Hiruk-pikuk kembali kudengar dari luar. Gerutuan keras huuuu, disusul teriakan lantang petugas piket yang seolah tak bosan-bosannya menegakkan aturan di sekolah ini, mengiringi satu per satu siswa-siswiku yang beberapa saat lalu meninggalkan kelas, kembali masuk ke ruangan. Kuhitung satu per satu kepala yang kembali ke bangku masing-masing. Tiga puluh empat orang. Kulirik list siswa di tanganku. Total siswaku seharusnya 35 orang. Dengan langkah pelan dan dagu yang sedikit terangkat, aku memastikan keberadaan mereka. Ternyata seluruh siswaku sudah di sini kecuali pemuda berkacamata bertubuh ceking yang mengawali ‘pemberontakan’ seisi kelas terhadapku tadi. Ya, aku pastikan, anak itu saja yang belum kembali ke kelas ini.Ah, aku tak akan peduli padanya. Tiga puluh empat orang siswa di depanku inilah yang terpenting saat ini, tak peduli sesinis apa pun tampang mereka. Ingatanku melayang pada materi yang kupelajari dari buku-buku pedagogis yang dipin
“Selamat siang, Pak Bram,” selarik senyum dan kalimat sapa yang menyejukkan menyambutku di ruang guru, setelah beberapa lama suasana kelas yang hampir mirip neraka tadi seolah memanggangku.“Selamat siang, Bu,” balasku tak kalah sopan.Dia guru piket yang tadi menggiring siswa-siswiku kembali ke kelas. Ah, akhirnya kami bertemu dalam suasana yang normal, setelah dua-tiga kali aku hanya melihatnya berteriak-teriak gusar.“Saya Bu Veni.” Katanya memperkenalkan diri. “Selamat datang di sekolah kita. Ini meja kerja Pak Bram. Silakan, selamat bertugas.”Dia menunjukkanku sebuah meja yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Meja yang besar dan rapi. Kursi yang disediakan pun tampak sangat nyaman. Sayang belum saatnya menikmati empuknya kursi itu, karena sorot mataku menangkap bahwa ruang guru mulai ramai. Hanya seorang guru berpakaian olahraga yang masih berdiri di pintu masuk, tengah menggoda beberapa sisw