Share

3. Terima Kasih, Sahabat

Seperti yang sudah-sudah, malam itu aku menemani Asep mempersiapkan diri untuk ulangan matematika besok. Walaupun bukan guru matematika, kalau hanya mengajar materi matematika untuk anak SD saja tentu aku bisa.

Satu jam lebih Asep belajar bersamaku. Kulihat dia sudah mulai mengantuk. Aku pun menutup materi matematika malam itu. Lalu, berpamitan pada Asep dan tak lupa mengingatkan anak itu agar tidak tidur terlalu malam.

“Bram, tunggu sebentar!”

Abi memanggilku—ah, kukira beliau sudah tidur—persis sebelum Asep menutup pintu depan.

“Ini, simpanlah.” Laki-laki itu mengulurkan selembar amplop putih padaku. “Jangan dilihat jumlahnya yang nggak seberapa. Semoga bisa sedikit menambah ongkos kuliahmu. Kebetulan Abi ada sedikit rezeki. Lagipula, selama ini kamu selalu mengajari Asep sehingga nilainya bagus-bagus. Coba kalau memanggil guru privat dari sekolah, pasti mahal bayarannya.”

“Ah, nggak usah, Abi. Dari dulu, saya ikhlas kok menemani Asep belajar,” tolakku halus.

Memang saat ini aku sedang sangat membutuhkan uang, tetapi aku harus menahan diri untuk tak menerimanya. Malu rasanya menerima honor segala. Bantuanku yang tak seberapa itu, belum sebanding dengan kebaikan keluarga Abi selama ini.

“Kamu jangan menolak rezeki, Bram. Ayo, ambillah! Abi ikhlas.”

Aku menghela napas. Dengan haru, kuterima amplop itu. Dalam hati aku sangat bersyukur. Saat sedang membutuhkan uang seperti ini, Allah mengirimnya melalui tangan Abi. Kurasa mataku berkaca-kaca jika Abi melihatnya.

“Terima kasih banyak, Abi,” ucapku, bingung berbasa-basi seperti apa lagi.

Abi mengangguk dan tersenyum.

Kugenggam amplop yang cukup tebal berisi lembaran uang pemberian abinya Elis ke rumah indekosku. Tak sanggup kutahan air mata yang tiba-tiba menetes karena membayangkan diriku yang beberapa saat lalu masih bingung akan nasib kuliahku besok dan seterusnya.

“Alhamdulillah, ya Allah,” ucapku penuh syukur.

Di rumah, kulihat Fajrin sudah tertidur. Kusimpan baik-baik amplop itu dalam lemari. Lalu, beranjak ke meja belajar. Kuputuskan untuk membalas surat dari Umak.

Assalamualaikum.

Umak, alhamdulillah, keadaan Bram baik-baik saja. Bram mengerti kondisi Umak selama ini. Bram akan mengikuti saran Umak untuk kuliah sambil bekerja. Insya Allah, Bram akan mulai mencari pekerjaan.

Bram mohon, jangan Umak jual sawah peninggalan Ayah. Bagaimanapun, itu harta kita yang sangat membantu semenjak Ayah tiada. Jika sawah almarhum Ayah kita jual, keadaan kita akan makin susah. Giliran Bram yang bekerja sekarang, agar Bram tidak selalu merepotkan Umak.

Umak, tetaplah berusaha memajukan warung kita, agar adik-adik bisa terus sekolah. Insya Allah, setelah Bram selesai kuliah nanti, Bram yang akan bekerja untuk Umak.

Umak, nasihat Umak akan selalu Bram ingat. Semoga Umak dan adik-adik selalu sehat, dan Allah memudahkan semua urusan kita. Aamiin ....

Wassalamualaikum.

Kulipat surat itu.

Selesai menulis untuk Umak, aku merasa mulai dapat berpikir sedikit jernih. Aku bangkit untuk mempersiapkan curriculum vitae dan surat lamaran pekerjaan. Ya, aku harus segera mendapatkan pekerjaan.

Ketika kantuk mulai menyerang, aku merebahkan punggung di sebelah Fajrin yang sedari tadi sudah memeluk guling.

Tengah malam, tiba-tiba aku terbangun. Kulihat Fajrin terisak dalam doanya setelah bertahajud. Tubuhku bergetar melihat kesungguhannya beribadah. Aku pun bangkit dan pergi ke belakang untuk mengambil air wudhu. Lalu, kukenakan sarung, baju koko dan peci putih. Aku sholat di sebelah Fajrin.

Tenteram dan sejuk sekali hati ini. Luar biasa ketenangan yang kudapatkan. Di rokaat kedua, air mataku mulai menetes. Setelah salam, aku pun menangis deras, teringat Umak yang membanting tulang untuk memperjuangkan hidup kami sepeninggal Ayah. Ya, seharusnya sejak dulu aku bekerja. Sudah seharusnya aku membantu Ibu mencari nafkah.

Tanpa kusadari, sejak tadi ternyata Fajrin memerhatikanku.

“Ente lagi ada masalah?"

Lagi-lagi aku tersenyum dipaksakan. “Ah, nggak ada. Aku nggak apa-apa.”

“Ane ini sahabat ente. Kalau ada masalah, ceritalah. Mungkin ane bisa bantu. Ane tahu, ente lagi punya masalah keuangan, kan?”

Aku terkejut. Entah dari mana Fajrin mengetahuinya. Aku diam saja.

“Udah, nggak usah mikir ane tau darimana.” Fajrin menepuk bahuku, seolah bisa membaca jalan pikiranku. “Ente bisa pake duit ane dulu buat bayar kuliah. Nanti kalau ente udah ada duit, ente kan tinggal bayar? Kapan aja juga boleh,"

“Kamu baca surat ibuku yang di meja itu, kan?”

“Sori. Tadi nggak sengaja kebaca waktu ane pinjam meja belajar ente.” Ungkap Fajrin hati-hati.

Aku menghela napas.

Thanks, Sob. Tapi, mulai besok, aku mau cari kerjaan. Jadi, kamu nggak perlu pinjeman aku uang dulu. Aku masih punya uang, cukup buat makan dan ongkos untuk nyari kerjaan." Ucapku.

“Tapi ente tetep lanjut kuliah, kan?”

“Nanti aku atur jadwalnya. Kuliah sambil kerja.” Jawabku. Yakin.

Fajrin mengangguk. Dia senang melihat semangatku.

Setelah itu, kami mengambil Al Qur’an masing-masing. Sudah lama rasanya kami tidak mengaji bersama. Selama ini aku cuek melihat Fajrin tahajjud dan mengaji. Untuk malam ini, aku merasa sangat damai mengikuti kebiasaannya. Kuharap tidak hanya malam ini, melainkan malam-malam berikutnya.

Oh, ya. Aku harus istirahat juga. Besok, aku harus mencari pekerjaan.

Harus!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
Fajrin sahabat baik,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status