Share

7. Mengajar di Hari Pertama

Elis meminjamkan buku-bukunya padaku. Kubawa semuanya ke kamar agar bisa membacanya kapan saja. Tak kusangka, ternyata Fajrin sudah tiba lebih dulu di rumah dan kini sedang rebah di lantai sambil mendengarkan radio bututnya.

“Wiuh, yang habis nganter yayang ke pasar!” ledeknya sambil mesem. “Kira-kira, ada kabar baik apa, yaa ...?”

”Apa sih, pengen tahu aja urusan orang,” gubrisku sambil duduk di bawah pintu. Kulepaskan lelah yang tak seberapa. Kuletakkan buku-buku yang kubawa, kusandarkan punggung, dan mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Perhatikanku kini tertuju pada gitar yang kupajang di sudut kamar, benda yang pada setiap dawainya sering kumainkan nada pelipur gundah atau—sebaliknya—sebagai penanda tengah bahagia. Ah, kali ini aku sedang tidak ada niat memetiknya.

 ”Buku apaan, Sob?” Fajrin bangkit dari tidur-tidurannya, mengambil salah satu buku di dekatku, dan membukanya.

 ”Macam-macam. Ada tentang tips mengajar, psikologi pendidikan, problem solving,” jawabku. “Pokoknya pedagogislah. Dipinjemin sama Elis.”

”Jadi, udah mantep nih nerima tawaran ngajar?”

”Aku mau coba dulu, Sob,”

Kuambil pula salah satu buku dan kubuka lembar-lembar pertamanya. Saat melirik Fajrin, kulihat dia pun asyik menyimak bacaan barunya. Sahabatku ini memang tertarik pada berbagai jenis bacaan, tak terkecuali buku dengan tema seperti ini. Tak heran di sela-sela keseriusan kami melahap buku masing-masing, kadang-kadang terlontar diskusi kecil yang tanpa kusadari memberi masukan berupa ‘makanan sehat’ ke otakku, berkaitan dengan persiapan mengajar besok.

Alhamdulillaah, that’s the friends are for! Aku, Fajrin, dan Elis tentunya.

***

Malam ini aku benar-benar tak dapat memejamkan mata.

Seperti apa rasanya berdiri di hadapan puluhan murid? Bagaimana caranya nanti memperkenalkan diri dan menjelaskan materi? Ah, belum-belum aku sudah deg-degan begini. Ketakutan dan kecemasanku ini luar biasa rasanya. Apalagi, jika mengingat reputasi para siswa di tempatku mengajar nanti.

Ah, tunggu! Apakah memang sudah separah itu akhlak siswa-siswi SMU sekarang? Lalu, apakah mereka harus selalu jadi ‘anak manis’, sementara aku sendiri sempat menjalani masa remaja dengan sepenggal catatan buruk? Dulu, tidak sekali-dua kali aku membuat guru-guruku geram. Ya, sifatku keras kepala. Sikap ini semata-mata adalah perwujudan kecewa dan marahku pada Ayah yang telah memasukkanku ke sekolah berasrama yang penuh aturan ketat dengan banyak kegiatan yang menjenuhkan.

Pulang sekolah, kami hanya bisa istirahat sebentar. Selepas ashar kami harus mengikuti pelajaran tambahan bahasa Inggris dan bahasa Arab. Usai sholat maghrib, kami wajib mengikuti pengajian, sedangkan setelah isya harus menyetor hafalan vocabulary bahasa Inggris dan bahasa Arab kepada pengurus asrama sebanyak 10 kata. Karena merasa isi kepalaku nyaris meledak gara-gara tuntutan rutinitas yang menurutku seakan tidak mengenal jeda, aku sering melawan kakak pembina dan guru-guru yang dikenal sangat disegani.

Beberapa tahun kemudian, kini, tiba-tiba saja aku harus berhadapan dengan hal-hal buruk yang kulakukan di masa lalu. Apa ini yang segelintir orang bilang ‘hukum karma’—maksudku, semacam hukum sebab-akibat—untukku?

Jangan-jangan, malah lebih buruk dari itu?

***

Waktu seakan tidak mau berkompromi. Tiba-tiba saja, pagi sudah menjelang.

Melihat kekurangsiapanku sejak kemarin, pagi itu juga Fajrin menawarkan celana panjang, kemeja kotak-kotak, dan ikat pinggang miliknya untuk kukenakan. Selain itu, Fajrin pun menyodorkan sepatu kulitnya. Suka atau tidak suka, aku merasa harus menerima tawaran baiknya. Lagipula, memang tidak ada pakaian yang lebih baik selain yang sudah sering kukenakan untuk pergi kuliah. Lucu rasanya setelah semua yang dipinjamkan Fajrin melekat di tubuhku. Saat aku berkaca sekali lagi, Fajrin tertawa terbahak-bahak.

”Sukses, yaaa, Pak Guru!” ledeknya.

Huh! Aku memprotes dalam hati. Tentu saja aku tidak langsung mengajar pagi-pagi begini. Aku akan kuliah dulu seperti biasa, barulah sehabis zuhur nanti bersiap ke tempat Pak Tris: SMU Insan Kamil.

Diam-diam, aku meniti jalan di depan rumah Elis. Aku tak mau Elis melihatku dengan gaya berpakaian seperti ini, takut tiba-tiba dia menertawakanku. Ketika kulihat motor yang biasa Elis kendarai masih terparkir di teras rumahnya, aku mempercepat langkah.

 ”Hey! A Bram!”

Terlambat. Itu suara Elis! Sepertinya mata Elis menangkap bayanganku. Aku berhenti dan menahan napas. Pasrah dan bersiap-siap menerima apa pun ekspresi keterkejutan Elis saat mengomentari penampilanku saat ini.

”Si Aa, meuni ganteng pisan euy! Kalau pakai pakaian seperti ini, A Bram nggak kayak anak band lagi, deh. Keren! Udah kayak pak dosen aja!” ucap Elis, tak kuduga sama sekali.

”Ah, Elis bisa aja,” di antara irama degup jantungku, aku tersenyum mendengar pujiannya yang terdengar spontan dan tulus. “Kamu yakin, Lis?”

”Elis serius kok, A. Ya sudah, mendingan sekarang Aa berangkat, nanti kesiangan lagi. Jangan lupa baca bismillah, A. Ingat, ini hari pertama mengajar. Jadi, harus memberi kesan istimewa di depan murid-murid nanti.”

Aku mengangguk. Kubalas senyum Elis. Lalu, bergegas melanjutkan perjalanan. 

****

Lepas zuhur, begitu tunai empat rokaat sholat di masjid kampus, tujuanku satu: ke halte bus yang akan membawaku bertemu Pak Tris dan para calon anak didikku nanti.

 Deg!

 Hatiku terus memanjat doa. Tiba-tiba gugupku makin menjadi saat kendaraan umum yang kutumpangi berhenti tepat di depan sebuah bangunan bertingkat nan mentereng. SMU Insan Kamil. Sepasang kakiku sedikit gemetar melihat dua orang petugas keamanan berjaga-jaga dengan sikap siaga di sudut gerbang. Menyadari bahwa langkah ini tak mungkin surut lagi, aku menerobos maju. Nyaris bersisian dengan sepasang siswa yang meniti jalan ke arah pintu masuk. 

 Sesaat, kaki ini berhenti bergerak. Beberapa raut wajah belia melirikku dengan mimik bertanya-tanya. Dengan kepala sedikit tertunduk, langkahku kembali menerobos kerumunan kecil siswa-siswi yang berhamburan di halaman sekolah. Sekilas, dapat kusimpulkan bahwa mereka cantik-cantik dan tampan-tampan. Sepertinya benar ..., ini bukan sekadar sekolah dengan reputasi siswa yang kurang baik, tetapi sekaligus kumpulan anak-anak orang berada.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ar_key
sampai disini aku bacanya thor ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status