Share

6. Aku Pasti Bisa

Ini sudah hari Minggu. Masih satu hari sebelum memenuhi undangan Pak Tris, yakni mengantarkan berkas lamaran pekerjaan untuk menjadi guru kesenian di SMU Insan Kamil. Aku gelisah dan mondar-mandir di teras. Masih ragu, apakah aku yakin telah menerima tawaran Pak Tris? Apakah tidak lebih baik jika kuurungkan saja dan mencari pekerjaan lain?

Menjadi guru di SMU Insan Kamil. Siswa-siswanya yang terkenal badung, suka tawuran serta berlabel anak buangan dari sekolah lain menjadi pertimbanganku. Mengenai penyampaian materi seni itu sendiri pun—walaupun aku menguasai musik berikut teorinya dan bisa melukis—tetap akan menjadi tantangan bagiku. Bisa jadi siswa-siswi SMU itu justru tidak menganggapku sama sekali, bahkan melawanku, setelah tahu bahwa guru kesenian mereka yang baru ‘hanyalah’ seorang anak muda sepertiku.

Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Menolak tawaran itu?

Gelisahku seorang diri di teras ternyata mengundang perhatian orang lain mendekatiku. Aku melihat kedatangan umi Elis yang tampak rapi dan aku pun berdiri menyambutnya.

“Bram, hari ini kamu nggak ke mana-mana? Bisa tolong temani Elis ke pasar? Persediaan di warung sudah banyak yang habis,” tegurnya. “Umi sibuk, Abi juga pergi dari pagi belum pulang. Kasihan kalau Elis ke pasar sendirian.”

“Oh, boleh, Bu. Nanti Bram yang antar Elis.”

Umi tersenyum lega. Dia menungguku mengunci pintu rumah indekos dan meletakkan anak kuncinya di atas pintu agar Fajrin tetap bisa masuk sekembalinya dia nanti, entah dari mana. Kulihat Elis sudah menunggu di dekat motor matic-nya. Dia tersenyum melihat kedatanganku bersama uminya.

“Berangkat sekarang?" tanyaku sambil menerima helm yang diberikan Elis.

Elis mengangguk. Dia duduk manis mengurai kakinya di boncengan belakang. Aku merasa sedikit gugup harus berboncengan motor dengan Elis.

Gadis di belakangku menyebut rute ke pasar Ciputat. Kulajukan motor dengan kecepatan sedang menuju jalan besar. Saat mengamati arah belakang melalui kaca spion, aku melihat jilbab lebar Elis berkibar diterpa angin.

“Elis dengar, Aa mau ngajar, ya?" Elis bertanya dengan suara agak keras, mengimbangi suara angin di sekitar kami.

Dari mana dia tahu?

Fajrin. Tidak salah lagi. Sahabatku itu adalah yang pertama tahu rencanaku.

“Iya, Lis. Tapi yah, gitu, kata Fajrin siswa-siswa di sana nakal-nakal.”

“Nggak masalah kan, A? Elis kira, tantangan menjadi guru itu bukan pada kehebatan dia menguasai teori yang akan diajarkan, melainkan bagaimana memahami sikap siswa dan cara menghadapinya.”

“Ya. Kamu bener, Lis.” Aku sepakat mendengar pendapatnya. “Tadinya Aa mau menolak tawaran itu.”

“Elis punya banyak buku seputar profesi guru, loh, Aa. Siapa tau Aa butuh? Dulu kan, Elis juga pengen jadi guru? Eeh, malah masuk jurusan lain,"

Kudengar Elis tertawa. Aku sendiri tersenyum.

Sekilas obrolan yang agak fokus dengannya membuat perjalanan kami tak terasa. Pasar Ciputat sudah di depan mata. Setelah memarkir motor, kutemani Elis menuju grosir langganan orang tuanya. Dengan sabar, aku menunggu hingga pegawai grosir itu selesai melayani pesanan barang pada daftar belanjaan Elis.

“Sudah semua?”

“Sudah, Aa. Eh, kita makan bakso dulu, yuk?”

Sungguh, aku tak terbiasa seperti ini. Naik motor berdua dengan seorang gadis, dilanjutkan dengan berjalan berduaan. Apalagi, setelah itu makan bareng. Bukan sok suci, tetapi karena selama ini aku tak pernah terpikirkan yang semacam ini. Fokusku hanya pada satu hal—kuliahku—sehingga aku tak pernah membayangkan hal-hal semacam ini. Namun, aku pun bukan seperti Fajrin, yang menjauhkan diri dari perempuan karena benar-benar menjaga hatinya dengan segenap keimanan sampai kelak dia benar-benar siap berumah tangga.

Aku tak bisa menolak tawaran Elis.

Walaupun agak canggung, aku harus bersikap biasa. Menikmati seporsi bakso raksasa, duduk berhadapan dengannya di gerai yang tidak terlalu besar. Cuaca yang cukup terik membuat Elis berkali-kali menyeka peluh di wajahnya dengan tisu.

“Pakai tisu, Aa,” katanya, tersenyum geli melihatku hampir selalu mengipas-ngipaskan tangan karena kegerahan. Diulurkannya beberapa lembar tisu untukku. Aku menerimanya dengan canggung, tidak menyangka bahwa Elis memerhatikanku sejak tadi.

“Elis senang Aa mau mengajar. Buktikan pada Elis, bahwa Aa bisa menaklukkan siswa-siswa bandel itu. Dan membagi ilmu yang Aa punya pada mereka.” Elis menyemangatiku.

Dukungan Elis membuatku mantap menerima tawaran Pak Tris. Sekilas, aku mencuri pandang padanya. Dalam jarak yang lumayan dekat seperti ini, terlihat jelas bahwa Elis memang sangat cantik. Rona kemerahan begitu nyata pada pipinya yang putih bersih.

Masya Allah! Ternyata rona kemerahan di wajahnya itu karena Elis tersipu mendapatiku tengah memandanginya. Sekarang, dia menunduk.

Aku sendiri tidak bisa membayangkan seperti apa warna wajahku sekarang.

“Ya udah, A, kita pulang sekarang, yuk? Takut nanti hujan gede,” ajak Elis, mengakhiri kegilaanku.

“Ini, Lis, bayar baksonya pake uang Aa.”   

“Jangan, Aa. Kan Aa udah bantuin Elis belanja? Elis aja yang bayar, ya,” tolaknya halus. Lalu, mendahuluiku menuju kasir.

Aku pun mempersilakannya berjalan duluan keluar dari gerai bakso, kembali ke toko grosir tempat kami menitipkan belanjaan. Kubawakan barang-barang dagangan yang dibeli Elis tadi. Dia membantuku, sekadar membawakan barang-barang yang ringan, dan berjalan pelan di sisiku. Beberapa pasang mata melirik kami sambil senyum-senyum. Sesekali Elis mengangguk ramah pada beberapa orang yang kami lewati. Mungkin orang-orang itu juga kenalan orang tuanya.

Elis membantuku menata barang belanjaan di motor. Aku tersenyum-senyum sendiri, membayangkan betapa susahnya Elis duduk di jok belakang nanti karena motornya kini penuh barang.

“Ampuuun, kita udah kayak suami-istri abis belanja, ya, Lis,” cetusku spontan. “Eh, ehm, maksud Aa ... maksud Aa, nggak sampe kayak gitu juga kali, ya,”

Elis tidak tertawa mendengar kegugupanku. Kalaupun tertawa geli, pasti karena kebodohanku tadi. Ya, aku baru saja mengatakan hal yang paling bodoh. Aneh. Memalukan rasanya. Sungguh. Namun, kulihat wajah Elis memerah. Terlihat jelas dia tersenyum menyembunyikan ketersipuannya.

Ya, entah kenapa aku mendapatkan ketenangan yang berbeda di dekat Elis. Perasaan apa ini? Oh, tidak! Sekali lagi tidak karena yang harus kupikirkan sekarang adalah besok siang sepulang kuliah aku harus menemui Pak Tris.

Aku yakin, aku pasti bisa!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status