Share

BAB 2. Rahasia Umum

Keadaan kampus siang ini sangat cerah dan panas dengan awan yang terlihat seperti es krim vanila berkumpul menjadi satu. Bagaimana bisa kota Bandung, yang terkenal dingin, mempunyai panas semenyengat ini? Salah satu alasanku memilih universitas di daerah Bandung adalah untuk menghindari panasnya Jakarta, dan tentu saja mengikuti Saras. Aku dan Saras mempunyai mimpi bersama yaitu mempunyai studio game yang keren. Kebetulan universitas yang kami pilih mempunyai jurusan game yang cukup terkenal. Benar-benar menarik perhatian kami berdua.

“Es krim vanila pasti enak nih dimakan siang-siang begini,” seruku membayangkan bagaimana es krim vanila dapat memanjakan lidah dan kerongkonganku yang menderita akibat serangan panas siang hari. Tapi, ngomong-ngomong kemana si Saras, ya? dicariin dari tadi enggak ketemu. Aku mengedarkan pandanganku mencari Saras. Namun, yang kutemukan adalah seorang perempuan cantik berkulit sawo matang, berpakaian hitam-hitam dari atas sampai bawah dengan pita merah di lengan sebelah kiri menandakan ia adalah seorang senior, rambut panjang hitam nan ikal sepunggung, berjalan menghampiriku.

“Raditya Abimanyu,” celetuknya membaca papan namaku yang menggantung dengan bebas di depan dada. “Lo kenapa kayak kucing hilang gitu sih celingak-celinguk. Enggak ke kantin? Waktu istirahat keburu habis lho,” kini ia menatap lurus ke mataku, tepat sasaran.

“Iya, Teh. Saya sebenarnya juga lagi nyari kantinnya dimana. Ketinggalan rombongan tadi,” kataku setengah berbohong sambil memasang senyum kuda, karena tujuan sebenarnya adalah mengajak Saras makan siang bersama. Aku yakin dia sedang terjebak di suatu tempat. Entah karena kecerobohannya atau ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

“Yaudah, ayok bareng. Gue juga mau ke kantin sebelum penuh sama mahasiswa baru. Oh hmm mungkin udah penuh sekarang,” serunya sambil melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Lalu berjalan mendahuluiku dan melambaikan tangan seolah mengajak untuk mengikutinya menuju kantin.

“Kar! Sekar, sini!” Salah satu senior yang duduk di salah satu meja kantin yang panjang, terdiri dari delapan kursi dengan dua kursi yang masih kosong, memanggil sang senior cantik yang mengajakku ke kantin bersama. Oh, namanya Sekar. Nama yang… anggun. Sekar merespon panggilan temannya dengan lambaian tangan.

“Duduk sini aja, Kar. Meja lain udah penuh soalnya.” Sekar yang ditawari duduk di salah satu bangku yang kosong, dan tentu saja aku yang mendengar percakapan tersebut, secara otomatis mengedarkan pandangan ke penjuru kantin. Hmmm memang sudah tidak ada lagi bangku kosong. Semuanya terisi penuh dengan para mahasiswa baru dan para senior.

“Oi, maba! lo bisa ikut gabung sama kita. Daripada makan berdiri,” sahut sang senior menyadari kebingunganku untuk memutuskan dimana akan duduk. Sekar menepuk pundakku dan memberikan gestur untuk segera duduk bersama teman-temannya. Tadinya, aku sungkan karena aku terlalu mencolok, satu-satunya junior yang berada diantara senior, menggunakan atribut ospek pula. Tapi rasa sungkanku mendadak hilang ketika salah satu senior berkata, “mood-nya Brian lagi jelek banget ya? Seharian ini cuma motret sama nyebat.” Oke, nice timing. Aku bisa mengorek informasi tentang Brian dari para senior ini.

Punteun, Teh. Ngomong-ngomong tentang kang Brian, dia senior yang tadi megang kamera kan, Teh? Rambut sebahu dan dikuncir?” tanyaku memulai percakapan.

“uuuuu ada yang tertarik sama Brian nih, tapi sayang banget Brian straight,” celetuk salah satu senior yang mengundang tawa satu meja.

“Tapi karena lo tampan dan diomongin seluruh senior perempuan pagi ini, gue akan kasih info yang lo mau. Jadi, Raditya Abimanyu, lo mau tau apa soal Brian?” celetuk Sekar yang membuatku memperoleh info bahwa aku sudah menjadi bahan omongan seluruh senior perempuan pagi ini secara tidak langsung. Tentu saja aku tidak kaget, karena sudah dari dulu kejadian yang sama terus berulang. Awal masuk sekolah, jadi bahan omongan karena terlalu tampan, lalu secara tidak langsung menjadi populer padahal aku tidak melakukan apapun. “Lo pasti pernah menyelamatkan negara ya di kehidupan sebelumnya? Makanya hidup lo adem-adem aja sekarang,” begitu kata Saras yang menjadi saksi kehidupanku sejak kecil.

“Semuanya, Teh. Semua yang teteh tau tentang kang Brian,” pintaku, disusul dengan para senior yang saling bertatapan dan mengangguk berbarengan tanpa aba-aba.

“Oke. Sebenarnya ini sudah jadi rahasia umum satu fakultas. Namanya Febrian Bayu Aji, panggilannya Brian. Dia anak tunggal. Anak BEM bagian publikasi dan dokumentasi. Brian terkenal kejam, mau cewek atau cowok ga ada yang berani macam-macam. Dia juga raja tega. Dia ga akan segan nolak cewek-cewek yang nembak dia, tapi dia straight, alias normal, alias masih suka cewek. Mantan pacarnya dulu manis banget. Menurut gosip sih, mereka putus dua tahun lalu karena LDR Bandung-Jepang setelah pacaran 3 tahun. Sebentar kayaknya gue masih inget akun media sosialnya,” jelas Sekar yang sekarang sibuk mengetik di ponselnya, mencari media sosial mantan pacar Brian, lalu tak lama menunjukkannya padaku.

Aku mengangguk sembari mencerna informasi yang diberikan Sekar. Sekarang tanganku sibuk men-scroll sosial media mantan pacar Brian. For God's sake! Kenapa mirip Saras ya? Perawakannya, vibes-nya, semua mirip Saras. Aku terdiam memandangi foto yang ada di depan mataku. Mencerna, mencari pembenaran, bahwa yang ada di foto itu benar-benar mirip Saras.

“Brian termasuk cowok yang akan bucin sama pasangannya kalau beneran sayang. Tapi setelah putus, rekor pacarannya benar-benar singkat. Bayangin aja, hubungan macam apa yang berlangsung hanya satu jam? Gila. Oiya, Brian juga jarang banget senyum. Pokoknya yang bisa bikin dia senyum dengan tulus patut dikasih penghargaan,” sahut Sekar melanjutkan sambil menyeruput es teh manis di depannya, yang tak lama menyadari bahwa aku terdiam memandangi foto mantan pacar Brian.

“Dit, lo gapapa? Kok tiba-tiba diem gitu sih? Kenapa? lo kenal sama mantan pacarnya Brian?” sahut Sekar yang tiba-tiba menyenggol lenganku dan memberondongiku dengan pertanyaan.

“Teteh-teteh, makasih banget nih informasinya. Saya izin ke perpus dulu. Tadi lupa sempet disuruh sama senior cowok yang disana buat ambil bukunya dia,” jelasku yang tentu saja bohong, sambil menunjuk senior cowok tidak dikenal dikejauhan. Aku harus menemukan Saras dan memberitahunya tentang informasi berharga yang aku peroleh ini. Duh, Saras kemana ya? Jam istirahat sudah mau habis dan kami belum sempat makan apapun.

Di depanku saat ini ada salah satu penjual es krim yang tempatnya selalu ramai oleh mahasiswa. “Hmm, gue beli es krim dulu deh baru nyari Saras. Anak itu seneng banget tiba-tiba hilang deh,” gerutuku sambil melangkahkan kaki ke tempat penjual es krim.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status