Keadaan kampus siang ini sangat cerah dan panas dengan awan yang terlihat seperti es krim vanila berkumpul menjadi satu. Bagaimana bisa kota Bandung, yang terkenal dingin, mempunyai panas semenyengat ini? Salah satu alasanku memilih universitas di daerah Bandung adalah untuk menghindari panasnya Jakarta, dan tentu saja mengikuti Saras. Aku dan Saras mempunyai mimpi bersama yaitu mempunyai studio game yang keren. Kebetulan universitas yang kami pilih mempunyai jurusan game yang cukup terkenal. Benar-benar menarik perhatian kami berdua.
“Es krim vanila pasti enak nih dimakan siang-siang begini,” seruku membayangkan bagaimana es krim vanila dapat memanjakan lidah dan kerongkonganku yang menderita akibat serangan panas siang hari. Tapi, ngomong-ngomong kemana si Saras, ya? dicariin dari tadi enggak ketemu. Aku mengedarkan pandanganku mencari Saras. Namun, yang kutemukan adalah seorang perempuan cantik berkulit sawo matang, berpakaian hitam-hitam dari atas sampai bawah dengan pita merah di lengan sebelah kiri menandakan ia adalah seorang senior, rambut panjang hitam nan ikal sepunggung, berjalan menghampiriku.
“Raditya Abimanyu,” celetuknya membaca papan namaku yang menggantung dengan bebas di depan dada. “Lo kenapa kayak kucing hilang gitu sih celingak-celinguk. Enggak ke kantin? Waktu istirahat keburu habis lho,” kini ia menatap lurus ke mataku, tepat sasaran.
“Iya, Teh. Saya sebenarnya juga lagi nyari kantinnya dimana. Ketinggalan rombongan tadi,” kataku setengah berbohong sambil memasang senyum kuda, karena tujuan sebenarnya adalah mengajak Saras makan siang bersama. Aku yakin dia sedang terjebak di suatu tempat. Entah karena kecerobohannya atau ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
“Yaudah, ayok bareng. Gue juga mau ke kantin sebelum penuh sama mahasiswa baru. Oh hmm mungkin udah penuh sekarang,” serunya sambil melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Lalu berjalan mendahuluiku dan melambaikan tangan seolah mengajak untuk mengikutinya menuju kantin.
“Kar! Sekar, sini!” Salah satu senior yang duduk di salah satu meja kantin yang panjang, terdiri dari delapan kursi dengan dua kursi yang masih kosong, memanggil sang senior cantik yang mengajakku ke kantin bersama. Oh, namanya Sekar. Nama yang… anggun. Sekar merespon panggilan temannya dengan lambaian tangan.
“Duduk sini aja, Kar. Meja lain udah penuh soalnya.” Sekar yang ditawari duduk di salah satu bangku yang kosong, dan tentu saja aku yang mendengar percakapan tersebut, secara otomatis mengedarkan pandangan ke penjuru kantin. Hmmm memang sudah tidak ada lagi bangku kosong. Semuanya terisi penuh dengan para mahasiswa baru dan para senior.
“Oi, maba! lo bisa ikut gabung sama kita. Daripada makan berdiri,” sahut sang senior menyadari kebingunganku untuk memutuskan dimana akan duduk. Sekar menepuk pundakku dan memberikan gestur untuk segera duduk bersama teman-temannya. Tadinya, aku sungkan karena aku terlalu mencolok, satu-satunya junior yang berada diantara senior, menggunakan atribut ospek pula. Tapi rasa sungkanku mendadak hilang ketika salah satu senior berkata, “mood-nya Brian lagi jelek banget ya? Seharian ini cuma motret sama nyebat.” Oke, nice timing. Aku bisa mengorek informasi tentang Brian dari para senior ini.
“Punteun, Teh. Ngomong-ngomong tentang kang Brian, dia senior yang tadi megang kamera kan, Teh? Rambut sebahu dan dikuncir?” tanyaku memulai percakapan.
“uuuuu ada yang tertarik sama Brian nih, tapi sayang banget Brian straight,” celetuk salah satu senior yang mengundang tawa satu meja.
“Tapi karena lo tampan dan diomongin seluruh senior perempuan pagi ini, gue akan kasih info yang lo mau. Jadi, Raditya Abimanyu, lo mau tau apa soal Brian?” celetuk Sekar yang membuatku memperoleh info bahwa aku sudah menjadi bahan omongan seluruh senior perempuan pagi ini secara tidak langsung. Tentu saja aku tidak kaget, karena sudah dari dulu kejadian yang sama terus berulang. Awal masuk sekolah, jadi bahan omongan karena terlalu tampan, lalu secara tidak langsung menjadi populer padahal aku tidak melakukan apapun. “Lo pasti pernah menyelamatkan negara ya di kehidupan sebelumnya? Makanya hidup lo adem-adem aja sekarang,” begitu kata Saras yang menjadi saksi kehidupanku sejak kecil.
“Semuanya, Teh. Semua yang teteh tau tentang kang Brian,” pintaku, disusul dengan para senior yang saling bertatapan dan mengangguk berbarengan tanpa aba-aba.
“Oke. Sebenarnya ini sudah jadi rahasia umum satu fakultas. Namanya Febrian Bayu Aji, panggilannya Brian. Dia anak tunggal. Anak BEM bagian publikasi dan dokumentasi. Brian terkenal kejam, mau cewek atau cowok ga ada yang berani macam-macam. Dia juga raja tega. Dia ga akan segan nolak cewek-cewek yang nembak dia, tapi dia straight, alias normal, alias masih suka cewek. Mantan pacarnya dulu manis banget. Menurut gosip sih, mereka putus dua tahun lalu karena LDR Bandung-Jepang setelah pacaran 3 tahun. Sebentar kayaknya gue masih inget akun media sosialnya,” jelas Sekar yang sekarang sibuk mengetik di ponselnya, mencari media sosial mantan pacar Brian, lalu tak lama menunjukkannya padaku.
Aku mengangguk sembari mencerna informasi yang diberikan Sekar. Sekarang tanganku sibuk men-scroll sosial media mantan pacar Brian. For God's sake! Kenapa mirip Saras ya? Perawakannya, vibes-nya, semua mirip Saras. Aku terdiam memandangi foto yang ada di depan mataku. Mencerna, mencari pembenaran, bahwa yang ada di foto itu benar-benar mirip Saras.
“Brian termasuk cowok yang akan bucin sama pasangannya kalau beneran sayang. Tapi setelah putus, rekor pacarannya benar-benar singkat. Bayangin aja, hubungan macam apa yang berlangsung hanya satu jam? Gila. Oiya, Brian juga jarang banget senyum. Pokoknya yang bisa bikin dia senyum dengan tulus patut dikasih penghargaan,” sahut Sekar melanjutkan sambil menyeruput es teh manis di depannya, yang tak lama menyadari bahwa aku terdiam memandangi foto mantan pacar Brian.
“Dit, lo gapapa? Kok tiba-tiba diem gitu sih? Kenapa? lo kenal sama mantan pacarnya Brian?” sahut Sekar yang tiba-tiba menyenggol lenganku dan memberondongiku dengan pertanyaan.
“Teteh-teteh, makasih banget nih informasinya. Saya izin ke perpus dulu. Tadi lupa sempet disuruh sama senior cowok yang disana buat ambil bukunya dia,” jelasku yang tentu saja bohong, sambil menunjuk senior cowok tidak dikenal dikejauhan. Aku harus menemukan Saras dan memberitahunya tentang informasi berharga yang aku peroleh ini. Duh, Saras kemana ya? Jam istirahat sudah mau habis dan kami belum sempat makan apapun.
Di depanku saat ini ada salah satu penjual es krim yang tempatnya selalu ramai oleh mahasiswa. “Hmm, gue beli es krim dulu deh baru nyari Saras. Anak itu seneng banget tiba-tiba hilang deh,” gerutuku sambil melangkahkan kaki ke tempat penjual es krim.
Saras, Radit, dan Brian menikmati waktu mereka di pameran fotografi, memandangi beragam foto yang dipotret oleh anggota UKM Fotografi. Setiap foto memiliki makna yang berbeda. Brian mengajak Radit dan Saras berkeliling. Lelaki itu menjelaskan beberapa makna dari foto-foto yang ada di pameran tersebut. Salah satunya adalah foto yang Brian potret saat awal masa orientasi Saras dan Radit. Saras mengingat pemandangan yang ada di foto itu. Foto langit biru yang sempat ia puja sebagai mahakarya saat masa orientasi dulu. Langit yang terbelah menjadi dua kubu, langit biru dan awan putih yang enggan membaur, terpisah membentuk satu garis vertikal di langit pagi yang cerah. Langit yang menjadi saksi bisu bagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Brian. “Gue sangat terkesima pada pemandangan langit pagi saat masa orientasi angkatan lo beberapa bulan yang lalu, Ras. Karena, tepat di hari sebelumnya gue mengalami hari yang berat ditambah dengan kurang tidur. Langit pagi hari
“Kalian berdua, ikut gue,” titah sang senior tampan. Setelah bertukar pandang satu sama lain, Radit dan Saras mau tak mau mengikuti setiap langkah Brian dalam diam. Dua sahabat itu berkomunikasi dengan pandangan dan isyarat tubuh mereka. ‘Brian mau bawa kita kemana?’ tanya Radit dengan isyarat tubuhnya. ‘Nggak tahu. Udah ikut aja,’ balas Saras. Sepanjang perjalanan mereka mengikuti Brian, mereka melihat sekelilingnya. Koridor kosong dengan lampu yang dimatikan—gelap. Tidak ada tanda-tanda adanya pameran disana. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari pintu masuk utama. Itu pun sudah terlihat samar-samar. Saras mendekatkan dirinya pada Radit, ia tidak suka koridor gelap. Kegelapan ruangan apapun tidak masalah bagi gadis itu, namun tidak dengan koridor gelap. Baginya, koridor gelap siap menelannya dalam kegelapan, layaknya tersesat di dalam terowongan gelap tanpa cahaya dan tak berujung. Radit menggenggam tangan Saras, menenangkannya.
‘Saraswati Mahiswaraaaa…’ Radit meneriakkan nama Saras sesaat setelah teleponnya diangkat oleh gadis pemilik mata bulan setengah lingkaran itu. ‘Gue mau ke pameran fotografi nih. Lo ikut nggak?’ tanyanya. “Ikut dong. Gue lagi siap-siap nih.” ‘Loh lo dapet undangan pamerannya dari mana? Pameran itu, nggak bisa sembarang orang bisa hadir. Harus yang punya undangan khusus atau pakai jalur orang dalam, kayak gue.’ “Hah? Masa iya sih? Gue tahu tentang pameran itu dari Brian. Tadi siang, dia bilang kalau gue free malam ini, gue bisa datang ke pamerannya UKM Fotografi. Gue kira pamerannya buat umum.” Tangan Saras sibuk memilah-milah pakaian yang akan ia gunakan untuk menghadiri pameran fotografi sambil berbicara dengan Radit via telepon yang diloadspeaker. ‘Brian?’ sahut Radit penuh curiga. Ia masih belum percaya sepenuhnya dengan senior berwajah tampan itu. “Iya, Brian. Lo lupa? Dia ‘kan
Saras berada di kantin pagi-pagi sekali. Ia menyukai suasanya kantin kampusnya yang semi-outdoor, khususnya pada pagi hari. Udara sejuk dari pepohonan dekat kantin akan menyapanya dengan lembut. Ia merasa damai dalam pelukan udara pagi yang dengan hangat menyambutnya. Pak Nanang adalah satu-satunya orang yang bisa Saras ajak obrol di kantin saat pagi hari. Beliau akan membuatkan teh manis hangat kesukaan Saras agar gadis itu dapat menikmati paginya. “Biasa ya, Pak.” “Siap, Neng.” Begitulah bentuk kode antara Saras dan Pak Nanang bila ingin memesan sesuatu yang biasa ia pesan. Memang tidak ada yang spesial, tapi hal tersebut merupakan bentuk penjelasan bahwa mereka adalah orang yang saling mengenal. Pagi itu, Saras memutuskan untuk mengerjakan tugasnya yang kemarin baru saja mendapatkan persetujuan dari dosen untuk melanjutkan ke tahap final. Ia dapat lebih fokus jika mengerjakan tugas di kantin saat pagi hari, karena suasananya yang sejuk dan
Jika bisa mengumpamakan hubungan Nara dan Brian, mereka tidak terpisahkan seperti; bunga dan kupu-kupu, pensil dan kertas, laut dan bulan. Mereka mempunyai tujuan yang sama dan bertahun-tahun berpegang pada tujuan tersebut untuk mengingatkan mereka saat lelah. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari kelulusan SMA kami, menciptakan satu langkah lebih dekat untuk meraih mimpi bagi Nara dan Brian. Dunia yang mereka impikan perlahan terlihat. Aku bisa melihat bagaimana tekad mereka semakin kuat. Nara dan Brian adalah sepasang insan yang menginginkan dunia menjadi tempat yang layak untuk ditinggali. Namun, takdir berkata lain. Kami, yang saat itu akan menjalani awal semester 2 perkulihan, dihantam peristiwa paling menyakitkan bagi hidup kami. Bahkan, kami tidak tahu bagaimana caranya bangkit kembali setelahnya. Nara mengalami kecelakaan pesawat dan tidak terselamatkan. Saat itu, ia kembali ke Jepang setelah menghabiskan liburan semesternya di Indonesia. Aku dan Brian mengetahui
Kencan Nara dan Brian yang aku rencanakan saat itu adalah makan malam di kafe favorit mereka dengan live music, yang diadakan pada malam minggu. Walaupun Nara adalah anak konglomerat, ia tidak terlalu suka makan di tempat-temat mahal dan berkelas. Ia lebih memilih berada di kafe kecil yang mempunyai daya tarik sendiri, nyaman, dan sederhana. Aku dan Nara memutuskan untuk mengadakan malam pernyataan cinta di salah satu kafe bernuansa kayu favorit mereka, dengan live music. Kafe tersebut berada di dataran tinggi—merupakan tempat yang pas agar mereka juga dapat menikmati pemandangan kota yang berkerlap-kerlip seperti bintang saat malam hari sembari menikmati live music yang menemani mereka. Brian, yang juga menyukai bermusik, terkadang memainkan lagu-lagu yang kami sukai dengan gitarnya di atas panggung live music. Nara sangat menyukai Brian dengan gitar. Di matanya, hanya Brian yang terlihat keren dengan gitar. Saat hari-H, Nara dan Brian da