Aku, Radit, dan Sekar menghabiskan hari terakhir ospek dengan hangout bersama di restoran ramen. Siapa sangka restoran ini mempunyai banyak boardgame. Alhasil, kami bermain sampai makan malam tiba. Sebenarnya aku sedikit kecewa. Ekspektasiku untuk bertemu Brian hari ini sirna. Kunciran pita merah yang aku anggap sebagai jimat keberuntungan, kali ini tidak berfungsi. Hmm, kalau dipikir-pikir berfungsi sedikit, sih. Aku bisa mendapatkan info tentang kecerobohan Brian di balik kesan seramnya.
Makan malam pun tiba. Aku, yang sudah tidak mempunyai ekspektasi apapun lagi, akhirnya memesan kembali Ramen Katsu untuk makan malam. Sekarang aku tahu mengapa Brian sangat menyukai menu ramen ini. Setelah aku bandingkan dengan ramen milik Sekar dan
Hallo! Jika kalian menyukai part ini, silahkan pertimbangkan untuk memberikan vote dan rating^^ Thank youuu!!!
Sejak kejadian di restoran ramen satu minggu yang lalu, aku dan Radit menjalani hari-hari kami sebagai mahasiswa resmi dengan tenang. Benar-benar tenang. Saking tenangnya, kami tidak bertemu lagi dengan Sekar dan Brian. Namun, pernah sekali aku melihat mereka berdua berjalan dengan arah yang berlawanan tanpa bertegur sapa, seakan tak pernah mengenal. Apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu? Hal ini sangat mengusikku. Aku memutuskan untuk bertanya pada Radit. Namun, ia juga tidak mendapatkan petunjuk apapun. Bahkan sangat sulit untuk menyapa Sekar, seakan sang pemilik rambut ikal nan indah itu menghindar dari Radit. Aku pun merasa hampa. Tidak melihat Brian selama satu minggu penuh rasanya seperti satu tahun. Hari kamis ini, kelasku berlangsung seharian. Rasanya benar-benar melelahkan. Tadinya aku ingin mengajak Radit untuk mencari cemilan-cemilan baru di minimarket fakultas. Tapi, aku baru sadar kalau kelasnya hari ini hanya berlangsung setengah hari. Akhirnya aku memutusk
Jantung Saras berdebar dengan cepat seperti habis lari maraton. Ia berkali-kali melihat arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Pukul 18:30. Ia datang 30 menit lebih awal di warung sushi yang berada di depan kampus, tempat ia dan Sekar akan bertemu. Kakinya bergerak gelisah. Ia benar-benar penasaran hal apa yang ingin Sekar bagikan padanya. Entah soal Brian atau bukan, yang jelas Saras benar-benar merasa bersemangat dan sedikit ada campuran rasa penasaran dan gelisah. Mengetahui fakta bahwa Sekar memutuskan untuk terbuka pada dirinya, walau hanya sedikit, membuatnya merasakan berbagai macam perasaan dalam waktu yang bersamaan. Saras melihat Sekar berlari dari kejauhan. Gerimis mengiringi langkah tiap langkah larinya. “Udah lama nunggu, Ras? Maaf nih agak telat.” Sekar duduk di bangku tepat menghadap Saras, lalu meletakkan tasnya di atas meja. Tangannya terangkat menggapai tiap helai rambut i
Sebuah ruangan yang menyimpan kegelapan di pagi hari. Pada tirai yang hanya terbuka setengah, mempersilahkan sinar matahari masuk melalui celah-celahnya. Di sudut meja belajar sang pemilik kamar, terpampang dengan rapi sebuah foto kelulusan SMA dua sejoli yang memiliki hati satu sama lain, tersenyum sumringah dan saling membagi peluk dengan menggunakan toga, dibingkai sedemikian rupa dengan catatan kecil yang sengaja ditempelkan pada bingkai kacanya. “Satu langkah lagi menuju mimpi kita! -Brian & Nara.” Begitu isi catatan kecil tersebut dengan tulisan tangan indah bertinta hitam yang berhiaskan satu hati kecil di akhir kalimat. Sepasang kaki berjalan pelan menuju sudut meja belajar, menggapai foto berbingkai tersebut dengan hati-hati seakan merupakan benda yang paling rapuh di dunia. “Selamat pagi, Nara,” ucap sang pemilik kamar. Ucapan selamat pagi yang
Hari ini kelas Radit dan Saras hanya setengah hari. Setelah selesai kelas, mereka langsung meluncur ke kost Radit. Menurut Saras, kost Radit adalah tempat yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah rumit, karena kost Radit mempunyai halaman outdoor yang sangat luas dengan gazebo-gazebo kecil bernuansa kayu. Gazebo-gazebo kecil—yang terletak di lantai 4—tersebut digunakan penghuni kost untuk berdiskusi atau mengerjakan tugas. “Dit, makin lama gue makin nggak tahan deh. Pertanyaan Sekar bikin gue gelisah. Kalau seandainya ternyata gue punya saudara kembar, gimana? Tapi, Mama Dru nggak pernah cerita sama sekali soal itu.” Saras berjalan mondar-mandir gelisah. “Ya mungkin memang ada yang mirip aja sama lo di lingkar pertemanan mereka. Kita ‘kan nggak tau, Ras.” Radit, yang duduk di bangku gazebo, mengangkat bahunya dan mulai menyebutkan beberapa kemungkinan. “Yang mengganjal adalah lo juga pernah bilang kalau gue mirip sama mantannya Brian. Siapa nama
‘Apa yang kamu rasakan ketika jatuh cinta?’ Hmm. Kalau aku, aku akan menjadi sangat bersemangat. Semua yang aku lihat tentangnya menjadi lebih indah. Segala hal tentangnya, bahkan yang terkecil sekalipun, menjadi sangat spesial. Seperti sebuah sponge, aku akan menyerap energi yang ia keluarkan. Sebagian dari dirinya, merasuk dan menyatu dengan diriku. Semua yang ia lakukan akan mempengaruhi perasaanku dalam melakukan berbagai hal. Tapi, pernah tidak terpikirkan olehmu mengapa cinta yang sederhana bisa berubah menjadi rumit? Padahal dari sudut pandang cinta semuanya serba merah muda. Serba cerah tanpa kelabu. Sejak kapan warnanya berubah menjadi seperti awan yang mendung? Aku bertanya pada Radit mengenai kegelisahanku ini. “Dit, sejak kapan ya cinta yang harusnya sederhana mendadak menjadi rumit?” Gelak tawa Radit menggema di seluruh kantin semi-outdoor siang itu, membuat banyak pasang mata menoleh ke arah kami. Aku menyentil jidat Radit, me
Salah satu cara membasmi waktu yang paling tepat ketika menunggu untuk menonton film di bioskop adalah bermain di pusat permainan. Di Mall dekat Universitas Siliwangi, kampus Saras dan Radit, juga Brian dan Sekar, mempunyai pusat permainan bernama Game Zone yang selalu ramai dikunjungi mahasiswa maupun anak-anak disaat weekday dan weekend. Game Zone juga merupakan tempat dimana Saras dan Radit mengumpulkan banyak tiket permainan yang nantinya akan mereka tukarkan menjadi berbagai barang. Saat ini, mereka sedang mengumpulkan tiket untuk menukarkannya dengan joystick terbaru. Saras tidak menyangka ia akan mendatangi pusat permainan ini bersama Brian, laki-laki yang sudah merebut hatinya sejak hari pertama masa orientasi. Dua pasang kaki melangkah dengan cepat menuju pusat permainan dan berhenti di tempat penukaran tiket. Di sini, mereka akan menukarkan uang mereka menjadi sebuah kartu yang dapat digunakan untuk mengakses seluruh per
Malam yang dipenuhi bintang menjadi penutup hari yang pas bagi Saras. Di titik ini Saras merasa bahwa ia dapat dengan mudah melupakan bagaimana Brian dan Sekar menyeretnya ke dalam masalah ‘internal’ mereka. Selama ia dapat menyaksikan secara langsung layer diri Brian yang terkupas satu demi satu, ia tidak keberatan. Setelah makan malam di kedai ramen, Brian bersiap untuk mengantar Saras ke kost gadis itu. Pemuda itu meminjamkan jaket hitam kulitnya kepada sang gadis karena malam semakin larut bersamaan dengan udara yang semakin dingin. Saras tidak mengenakan pakaian yang hangat karena ia kira ia hanya akan meminum cokelat panas di kedai kopi lalu pulang. Jaket hitam kulit milik Brian tampak kebesaran di tubuh Saras yang mungil. Brian memberikan helm cadangan pada Saras, menaiki motor besarnya, lalu menepuk jok belakang mempersilahkan gadis itu untuk duduk di belakangnya. Saras menaiki motor tersebut dengan hati-hati. Setelah Brian memastikan Saras duduk dengan aman, ia mena
Kegelapan kamar kost, berdesain minimalis dengan nuansa putih gading, menyelimuti Saras yang terkapar lelah di atas ranjangnya. Ia menatap langit-langit kamarnya yang terbuat dari kaca—menatap langit malam cerah berhias bintang. Kamarnya berada di lantai paling atas bagunan kost elit khusus perempuan. Gadis itu membiarkan ranjang miliknya menopang tubuh lelah dan perasaan campur aduk yang ada di dalam dirinya. Pandangan gadis itu menerawang. Seulas senyum tipis terukir di wajahnya. Jaket kulit hitam milik Brian masih, dengan nyaman, menyelimuti tubuhnya. Ia senang, sangat senang, sekaligus takut. Ia takut yang terjadi padanya hanyalah mimpi singkat yang akan terlupakan begitu saja. Ia takut kalau Brian akan menganggap hal yang terjadi pada mereka berdua adalah hal sepele yang akan tergantikan oleh memori baru yang lebih berharga. Ia takut terlupakan. Mendadak ingatan soal kisah cintanya dahulu menyergapnya dan berusaha menenggelamkannya dalam memori yang sangat ingin Saras l