Hari ini Mika mendekam di kamarnya lebih lama. Ia sedang berpikir, merenungkan banyak hal. Siapa orang yang hari itu menyelinap masuk dan dari mana Tami mendapat pisau. Kedua pertanyaan itu merupakan teka-teki baru yang menambah beban pikirannya.
Jika orang yang menyelinap dan keberadaan pisau saling berhubungan, apa tujuannya? Bukankah jika ingin menyelamatkan cukup dengan memotong talinya. Jika Orang itu bisa menyelinap masuk, artinya ia juga punya waktu untuk membebaskan Tami tanpa meninggalkan pisaunya.Satu lagi, pisau baru dengan pisau yang digunakan untuk membunuh Jovita memiliki warna, merek, dan bentuk yang sama. Jadi, apa artinya Jovita dibunuh oleh pihak yang sama?Kepala Mika mulai terasa sakit. Semakin lama berpikir, bukannya pertanyaan-pertanyaan itu terjawab justru semakin bertambah. Semalam Mika tidur tidak sampai satu jam. Apa yang terjadi pada Tami selalu membayanginya. Kembali lagi dan lagi. Harusnya saat itu ia tidak lengah. HaMika berada di anak tangga teratas ketika melihat Rania membekap mulut Adien sementara satu tangannya yang lain mengacungkan pecahan kaca di depan mata Adien. Jaraknya dengan pecahan kaca sangat dekat sehingga dapat melukai Adien kapan pun jika wanita itu sembarang bergerak. Mika berlari turun. Ia menguatkan pijakan kakinya yang masih terasa kebas agar tidak jatuh. “Rania, turunkan kacanya! Apa yang terjadi? Kenapa sampai seperti ini?” Tatapan Mika terkunci pada pecahan kaca yang ada di tangan Rania. Itu pecahan kaca semalam. Pecahan kaca yang Mika berikan padanya. Jika pecahan kaca itu sampai digunakan Rania untuk melukai orang lain, entah berapa banyak rasa bersalah yang harus ia tanggung. "Mika, jangan salah paham. Aku berbuat seperti ini bukan tanpa sebab." "Aku tahu, aku tahu." Mika mengangguk. "Kamu bukan tipe orang yang tidak masuk akal dalam bertindak. Aku tahu. Jadi, turunkan dulu pecahan kacanya.
Bersama dengan masuknya tawaran untuk bergabung dalam acara sebagai penerima undangan, Orang itu juga menawarkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang akan membuat para penerima undangan berpikir ratusan kali sebelum menolak. Jovita ditawari sebagai fokus utama acara dan alamat IP pembenci yang berada di dekatnya. Tami ditawari identitas Isamu dan entah berapa banyak lagi. Isamu ditawari kesempatan untuk bertemu dengan Jovita dan membalas kekalahannya. Mika tidak ditawari tapi menawarkan. Sementara Adien ditawari informasi melalui sebuah artikel. Ralat! Dua artikel. “Artikel apa?” Mika masih tidak mengerti apa hubungan semua ini dengan artikel yang Adien maksud. Apa isi artikel dan siapa saja yang terlibat. “Di mana artikelnya?” Rania terlihat marah. “Di mana kamu simpan!” tambahnya membentak. “Artikelnya ... artikelnya tertinggal di rumah. Enggak sempat kubawa.” Adien menangis lagi
Rania telah mengangkat pecahan kaca yang ada di tangannya setinggi bahu dan hanya perlu menghunusnya untuk menjatuhkan satu korban di depannya. Tapi bukannya mengayunkan pecahan kaca sesuai rencananya, Rania justru hanya diam. Tidak lama kemudian air matanya menetes. Kenapa begitu sulit. Kenapa tidak semudah yang ada di dalam kepalanya. Kenapa orang lain bisa tapi ia tidak. Apa tekadnya kurang, apa keberaniannya hilang? Tidakkah untuk menjadi seorang pembunuh hanya butuh keinginan, kesempatan, dan senjata? Bukankah ia memiliki semua itu? Kalau begitu apa yang kurang? “Untuk seseorang yang membawa senjata di dalam, saya sarankan agar segera menyerah. Buang senjata dan lepaskan sandera!” Tiba-tiba suara tidak dikenal yang berasal dari luar berbicara lantang dengan menggunakan pengeras suara. Mengetahui akhirnya tim selamat telah tiba, Mika merasa sangat bersyukur. Separuh bebannya seperti terangkat. “Semua sudah berakhi
Setelah Rania digiring untuk diamankan dan Adien mendapat pengobatan, Mika kembali untuk melihat bagaimana polisi bekerja. Mika secara kooperatif memberi keterangan mengenai segala hal yang ia alami. Mika juga mengakui perbuatannya memindahkan mayat Jovita beserta alasannya. Semua barang bukti yang Mika simpan diserahkan pada Ketua tim. "Sudah, kamu istirahat saja. Buat apa ikut sibuk?" Laisa yang sejak tadi mengekor berkomentar. "Tunggu!" Mika menghentikan seorang petugas yang baru keluar dari kamar Tami. "Undangan yang ada di atas meja sudah kalian ambil?" "Undangan? Undangan apa?" Petugas yang ditanya balik bertanya. "Undangan yang covernya tebal, hitam, tulisannya warna emas," jelas Mika. Si petugas mengingat sebentar, melihat lagi barang-barang yang ada dalam kotak, kemudian menggeleng. Mika berterima kasih dan mempersilakan si petugas melanjutkan tugasnya. Sebenarnya tidak ada yang serius
“Sudah pulang?” Ibu Mika terlihat berseri begitu anaknya sampai di rumah. Laisa dan Razan yang ikut masuk mengantar Mika, menyapa singkat dengan anggukan dan senyum. Begitu Mika melihat wajah wanita yang sudah melahirkannya, ia langsung memeluk ibunya erat. Wajahnya, aroma tubuhnya, kehangatannya, Mika tidak lagi mampu berpura-pura kuat. Air matanya mengalir tanpa meminta persetujuannya. Melihat Mika tiba-tiba menangis, membuat Laisa terenyuh sekaligus merasa bersalah. Seandainya mereka bisa datang lebih cepat, seandainya ia menolak ide Mika sejak awal, Mika tidak perlu melewati kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Seandainya sesuatu yang buruk menimpa Mika, Laisa tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Tidak akan pernah. “Kenapa? Proses perekaman acaranya enggak berjalan baik?” tanya ibu Mika curiga. Mika melepaskan pelukannya, menghapus air matanya, dan menggeleng. Sebelum berangkat, Mika telah m
Sebulan kemudian Kame.Lia Diamond mengumumkan tiga desain terbaru mereka. Sebenarnya belum terlalu lama sejak terakhir kali Kame.Lia Diamond mengeluarkan produk baru mereka yang kemudian diikut sertakan dalam pameran. Mika sendiri tidak merencanakan apa-apa sampai sebuah keinginan tiba-tiba muncul. Saat peluncuran produk baru, Mika bercerita mengenai inspirasinya. Pertemuan kembali dengan seseorang yang ia benci karena perbuatannya di masa lalu. Saat bertemu sebenarnya kebenciannya tidak begitu besar, tapi Mika yang ingin kebencian itu terus tumbuh. Karena dengan begitu apa yang telah orang itu lakukan akan terbalas. Setidaknya terbalas dengan kebencian yang tetap ia simpan. “J.” Mika menunjukkan sebuah liontin yang mirip huruf J. Sebenarnya tidak begitu menyerupai huruf J. “J bukan berarti jahat, tapi inisial sebuah nama.” Para tamu tertawa kecil. Mika cukup ahli dalam mencair suasana. Liontin yang Mika tunjukk
Mika sengaja memilih waktu yang tepat untuk meneliti kembali kasus undangan. Sebulan lalu, beberapa jam setelah Mika pulang kepolisian mengumumkan kasus ke publik. Jumlah korban yang jatuh tidak memungkinkan pihak kepolisian untuk terus menutupi kasus tersebut. Media akan segera tahu dan masyarakat akan bertanya-tanya. Kepolisian memilih menjelaskan lebih dulu untuk menghindari beredarnya kabar-kabar yang tidak benar. Kepolisian tidak membuka identitas korban untuk umum sehingga Mika dapat terhindar dari keributan-keributan yang tidak ia harapkan. Orang tuanya jelas tahu karena beberapa kali polisi datang untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas. Dan karenanya keluarga Mika menjadi lebih protektif padanya. Perlahan, setelah keadaan mereda dan ia berhasil menata lagi perasaannya, Mika putuskan untuk memulai. Sangat tidak mungkin berhenti pada sesuatu yang belum selesai. Mika mengunjungi makam Isamu di sore hari saat kegiatannya kosong
“Kamu yakin mau ke sana?” Laisa bertanya untuk ke sekian kalinya. Mika mengangguk. Ia sekarang bukan lagi Mika yang dulu. Hal-hal mengenai masalah sepele di masa lalu tidak akan mampu mempengaruhinya. “Omong-omong kenapa kamu hanya mengantar dan menunggu di mobil? Berencana melamar jadi sopir pribadiku?” Laisa berdecih. Penampilannya terlalu keren untuk menjadi seorang sopir. “Aku hanya enggak suka berurusan dengan hal-hal mengenai air mata dan perasaan. Enggak bisa di logika. Semua ilmu yang kupelajari rasanya jadi enggak guna.” Tempat terakhir yang Mika datangi adalah rumah Jovita. Mika sampai ketika ayah dan ibu Jovita bertengkar. Keduanya bertengkar hebat. Mika tidak tahu apa yang melatar belakangi pertengkaran itu, ia hanya berharap mereka tidak sedang melampiaskan kesedihan dan perasaan kehilangan mereka satu sama lain. Mika berencana membatalkan kunjungannya ketika mendengar ayah Jovita memben