Share

Nomor telepon

"Oh, shit!" Early menggerutu kesal. Ares selalu mengabaikan panggilan telepon darinya.

"Are you oke?" tanya Nella menyorot kamera pada Early.

Early berpaling menatap sahabat disampingnya sedang menyeruput jus pome kesukaan dengan satu tangan menyiku di atas meja, memegang kamera. "Yeah," sahut Early menghembus napas kecil.

"Sungguh?" tanyanya lagi melihat raut suram temannya.

Early meraih sedotan meminum milkshake strawberry. "Yep, i'm oke," jawab Early lemah.

"Woo ... tapi aku tidak yakin. Sangat jelas terjadi sesuatu padamu?" cecar Lina sahabat Early satu lagi.

"Apa maksudmu?" Early memasang wajah pura-pura bingung, masih tidak ingin bicara.

Nella menghembus napas. Menaruh kamera aktif di atas meja. Meraih satu spring roll keju ia asyik mengunyah dan menyimak percakapan kedua temannya.

"Kamu menghubungi seseorang lebih dari tiga puluh menit yang lalu dengan menggigit ujung kuku. Dari gelagat kamu saja sudah sangat terlihat kalau kamu ingin sekali bicara dengan seseorang di seberang sana. Aku simpulkan saat ini hatimu tidak dalam keadaan baik-baik saja. See, aku benar, 'kan?" jelas Lina, jari gadis itu bergerak sesuai irama nada bicara.

"Hah, kamu pandai membuka mata," kata Early sembari mengeluh. "Aku dijodohkan. Kalian tahu, sejak awal aku sudah menolak hubungan ini, tapi pria ini sangat ingin berdampingan denganku." Early berbohong.

Lina dan Nella saling lirik seolah melakukan telepati.

"Yah, seperti yang kalian lihat sehari-hari. Banyak pria tampan bertahta selalu berusaha mendapatkan hatiku. Aku terlalu cantik untuk mudah dimenangkan," imbuh adik Cherry sangat berlebihan.

Lina dan Nella tahu alias telah terbiasa melihat banyak pria di kampus mengejar Early sampai hilang akal. Lina akui Early sangat cantik memiliki tubuh ramping ideal dan satu lagi dia putri satu-satunya keluarga Thomas. Beruntung sekali terlahir menjadi Early Thomas. Meskipun terlihat sempurna, ada sifat Early yang tidak disukai banyak teman.

Yah, tidak ada manusia yang sempurna. Sifat sombong, sok mengatur, selalu benar acapkali dijumpai. Banyak teman lebih baik menghindar dari pada mencari masalah dengan Early. Oleh karena itu, Early hanya memiliki dua teman, tak kurang-tak juga bertambah.

Sahabat Early Nella mengerut alis dalam ingin memastikan sesuatu. Ambil kamera mengarahkan tepat pada wajah Early lalu bertanya. "Kalau seperti itu, kenapa dia tidak menjawab panggilan darimu?"

Wajah Early tampak kesal menghadap ke kamera. "Seperti yang aku bilang tadi. Pria ini sangat ingin berdampingan denganku. Aku ingin bicara baik-baik padanya. Tapi ini selalu terjadi, pria itu selalu menghindar. Hah, dia tipe pria menyebalkan. Aku tak suka pria pemaksa seperti itu."

Helaan napas Early meluncur berat layaknya seseorang sangat frustrasi.

Lina sahabat Early manggut-manggut. Ucapan Early cukup masuk di akal. "Kamu tidak coba datang ke kantornya?" saran Lina jengkel juga mendengar sifat ingin menang sendiri pria itu.

Eh, kalau dipikir-pikir sifat Early dan pria itu sama. Jodoh memang menarik. Nella berbisik dalam hati.

"Sudah tempo hari, pria itu membawa diriku ke tempat makan sangat romantis. Pria itu sangat ingin meraih cinta dan hatiku."

Siluet dirinya dan Ares makan berdua di cafe biasa muncul dalam benak.

Plop.

Jari telunjuk bercat kuku pink pastel Early memecahkan gelembung kenangan buruk di atas kepala. Meraup napas lebih rakus, lalu menghembuskan secara kasar. Ingatan makan siang bersama Ares sama sekali tidak menyenangkan. Ares bahkan tidak menyentuh makanan yang telah dipesan. Pria menyebalkan dan pujaan hatinya itu terlalu sibuk dengan ponsel dan sambungan telepon masalah pekerjaan.

"Bagaimana tampilan pria itu?"

Bola mata Early memutar ke atas tampak berpikir keras. "Yah, dia pria lumayan kaya. Tapi tidak sebanding dengan harta papaku. Ukuran tampang menurutku lumayan. Mmm ... kira-kira nilai pria itu 65 mungkin." Early mengerling jijik.

Ya ampun, bayangan siapa yang sedang di bicarakan Early.

Lina melongo tak percaya. "Holy moly... dijodohkan dengan pria bukan standarmu. Ibumu sangat tidak kompeten memilih calon menantu."

Kedua kepala temannya menggeleng pias, memasang raut sedih merasa iba untuk nasib sial Early.

Nella memasang raut sedih. "How pitty you are?" ucapnya turut berduka cita.

Early mendengus, ikut menampilkan wajah tersiksa. Ia tertawa puas dalam hati. Sang ibu justru sangat tahu tipenya. Dan Ares bukanlah pria seburuk itu untuk digosipkan apalagi direndahkan. Early terlalu gengsi jika ada seorang yang menolaknya. Di sekolah ataupun kampus putri keluarga Thomas itu selalu menjadi incaran para lelaki untuk dijadikan teman kencan.

Tentu saja Early menolak jika lelaki yang mendekatinya hanya pemilik toko pinggir jalan. Sadisnya Early juga mengatakan 'level kita berbeda, menurutku kamu seperti tukang sampah. Mengais rezeki dari energi bau busuk'.

Kejam dan tak bermoral julukan Early selalu melekat sampai sekarang. Seluruh teman-teman Early hanya tahu kalau Early adalah putri semata wayang dari keluarga Thomas. Mereka tak pernah tahu kakak Early. Saat sang ayah meninggal Early masuk ke sekolah favorit. Sedang Cherry, gadis itu melanjutkan sekolah di tempat biasa. Jika seorang teman berkunjung ke rumah Early tak segan mengatakan Cherry adalah anak pembantu.

****

Ares tersenyum kecil mengingat kejadian tadi siang. Ia sengaja menunggu Cherry keluar kamar mandi dan duduk di sofa kecil samping jendela ruang pribadi. Yah ini kali pertama, ia membiarkan perempuan masuk ke area pribadinya. Setiap harinya ada office boy yang bertugas membersihkan. Ares tak mengizinkan office girl masuk sekadar merapikan barang. Ares selalu ingin menghindar dari komentar netizen.

Ares Allan jauh dari kata gosip. Pria itu selalu aman menjalin hubungan dengan lawan jenis tanpa adanya gosip berlebih. Setelah hubungan berakhir pun tidaak ada berita heboh. Hanya selentingan kilat lalu menguap begitu saja.

Sekretaris dan Chef laki-laki. Sifat Ares berbeda dari sang ayah, ia tak ingin memiliki sekretaris perempuan. Menurutnya perempuan lebih menggunakan perasaan dari pada berpikir. Ares sangat menghindari konflik internal. Si tampan tak ingin konsentrasinya terganggu hanya kerena masalah sepele.

Memilih sekretaris laki-laki, kala Ares selalu berpergian dinas kemanapun. Ares merasa akan aman jika memang harus satu ruang inap dengan sang sekretaris. Dan Chef pribadi. Ares tidak terlalu suka bicara berulang kali. Tak ingin bersusah payah mengingatkan seseorang untuk menyiapkan kopi untuknya. Ares juga lebih sering makan di kantor dari pada harus keluar. Ares selalu ingin memanjakan lidah dengan hidangan juga minuman sesuai selera pria itu.

Telinga si tampan mendengar seseorang keluar kamar mandi Ares sengaja masih berdiam diri. Bunyi kotak obat terbuka dan tak lama ia bisa melihat gadis itu berbalik menatap penuh antisipasi. Si papa tampan sempat tak mengerti arti tatapan waspada si gadis. Terlebih dirinya bukan hantu sampai si gadis tak bisa melihatnya sedang duduk dekat jendela.

Melihat gadis itu berbalik. Ares berdiri berniat mendekat. Geli itu muncul saat Ares melihat wajah pucat cemas si gadis.

"Sial, apa yang aku pikirkan?" kata si gadis sangat jelas masuk ke dalam gendang telinga Ares.

"Beritahu aku, apa yang kamu pikirkan?" Ares berjalan mendekat, gadis itu berbalik menatapnya was-was. "Cepat beritahu aku?" perintah si bos mutlak, angkat sudut bibir mengulas senyum mengerikan.

"Pe-perih luka ini sangat perih," menunjukkan sikut yang terluka. Jelas pita suaranya terdengar putus-putus.

Ares melirik ke arah sikut Cherry, tak peduli debaran jantung si gadis, ia melangkah semakin mendekat. Tangan Ares terulur, Cherry menutup mata. Sayang sekali tepat saat si gadis menutup mata Ares tersenyum lebar, oh sangat tampan. Tangan ares meraih plaster dalam kotak menempelkan benda berwarna cokelat tersebut pada sikut Cherry.

Gadis manis membuka mata, melirik ke arah sikut sudah terbalut plaster. Iris cokelat Cherry melirik Ares. Kelopak hitam bos tampan menyipit memberi tatapan layak mangsa menemukan target. Dua langkah maju hampir menghimpit Cherry.

"Mundur," kata Cherry tangan gadis itu lebih dulu menahan gerak tubuh Ares.

"Kamu memberi perintah padaku."

Hell, dia memang menyebalkan.

"Kamu selalu seperti ini?" tanya Cherry suaranya kesal, kilat mata si gadis seolah menantang Ares.

"Kamu juga selalu seperti itu," jawab Ares kalem.

"Seperti itu!" Cherry membeo.

"Nadamu ketus, tatapan tidak ramah, bicara bohong, takut padaku dan sekarang berani memerintah." Baritone si tampan tak lebih mengalun datar.

Cherry meneguk saliva payah. Tiba-tiba momen pertama kali mereka bertemu muncul. Bukan salah Cherry sepenuhnya, melainkan sifat bossy pria ini yang meminta sikap antisipasi membara. Tatapan mereka kembali terpaut manik hitam pekat milik Ares tak mampu membuat manik cokelat Cherry berpaling ke lain arah. Ia menunduk menetralkan udara dalam paru-paru.

Apa aku harus minta maaf. Tapi itu sudah berlalu, kenapa harus dibahas sekarang. Demi Tuhan aku di sini untuk bekerja.

"Bagus kamu malah melamun?"

Cherry angkat wajah. "Aku ... bisa saya bekerja, Tuan?"

"Kamu bekerja untukku."

"Kamu ingin menjebakku?"

"Itu pendapatmu. Aku memang butuh seseorang merapikan tempat pribadiku."

Ares melipir dari depan Cherry. Si gadis bernapas lega menyentuh dada. "Bersihkan ruangan ini setiap hari. Jangan sampai ada debu tertinggal sedikit pun."

"Aku kira pekerjaanku sama dengan petugas kebersihan lainnya."

"Jangan kerjakan apapun selain dari yang aku perintahkan. Kamu bekerja di sini, di ruangan ini. Jangan berani melanggar, aku tak segan memberi kamu hukuman, mengerti!"

"Aku ...."

"Bersihkan."

Perintah Ares tak mau dengar alasan Cherry ia keluar ruangan. Cherry bergegas membersihkan ruangan.

"Ok," sahut Cherry meski itu sangat terlambat.

***

Wajah Ares masih berbinar senang. Alis si tampan berkerut. Senyum manisnya luntur. Satu hal yang membuat hati Ares penasaran, di mana gadis itu tinggal? Jika dugaan Ares terbukti benar Cherry adalah anak pertama keluarga Thomas. Lalu pernyataan Tante Merlin yang mengatakan putri pertama keluarga tersebut sudah bertunangan masih menjadi misteri.

Isi kepala Ares sejenak memutar ulang kejadian saat hujan. Pria yang sedang bersama Cherry saat itu menarik koper hitam besar. Cherry terlihat sedih sempat menangis dalam pelukan si pria. Atau gadis itu hamil. Secara otomatis pria itu membawa Cherry untuk hidup bersama. Ah, tidak mungkin jika memang gadis itu hamil, seharusnya Cherry memilih beristirahat bukan bekerja hampir mustahil tapi dapat terjadi.

Terjadi.

Mendadak Ares sadar. Apa yang bisa dilakukan sepasang kekasih saat berdua di apartemen. Apa mereka juga satu tempat tidur?

"Triple shit!" Ares bergegas mencari nomor telepon Cherry, yang bodohnya ia lupa menyimpan.

****

Cherry menguap. Ia baru saja pulang dan menutup pintu apartemen. "Uh ... aku sangat lelah," keluhnya menuju dapur ambil gelas dan botol dari lemari es, ia melepas dahaga.

Dari dapur ia langsung masuk kamar. Si gadis merentangkan tangan melempar tubuh lelah ke atas ranjang. Tersenyum senang akhirnya ia mendapatkan pekerjaan. Tubuhnya bangkit melangkah ke arah balkon kamar membuka kaca tersebut ia menyapa langit.

"Terima kasih Tuhan, hari ini dan pekerjaan sederhana itu sangat berarti untukku."

Cherry meneteskan air mata. Berdoa dalam hati semoga pekerjaan ini bisa bertahan lama. Tidak seperti pekerjaan sebelumnya gadis itu selalu was-was dengan putus kontrak. Hhmm ... bicara tempat kerja dulu Cherry jadi rindu kedai tersebut. Ada beberapa teman yang telah menjadi karyawan tetap di sana. Jika ada waktu diakhir pekan mungkin ia akan berkunjung, sedikit bernostalgia. Ia rasa ide itu bukan ide buruk.

Cherry menutup jendela. Masuk kamar mandi lalu membersihkan diri. Tak butuh waktu lama, tubuh si gadis merasa lebih segar, memilih memakai piyama motif bunga matahari, Cherry menepuk jidat lupa belum mengabari sang adik. Buka tas si gadis ambil ponsel, dan benar ada lima pesan serta tiga panggilan tak terjawab dari si adik. Cherry membaca pesan tersebut, lalu mengirim pesan balasan.

Sembari menunggu ia membawa ponsel keluar kamar. Cherry melangkah ke dapur. Menaruh ponsel di atas meja makan, ia buka lemari kaca ambil mie instan Korea Hot chicken ramen buldak cheese kesukaan Cherry. Rebus air, Cherry menyiapkan topping sosis jumbo di potong menjadi empat bagian panjang serta telur. Malam ini Cherry terlalu lelah untuk memasak. Ia putuskan hanya ingin makan mie instan.

Cherry buka segel bumbu tuang dalam piring keramik, aroma bumbu mie menggoda melambai memanggil cacing dalam perut si gadis berkumpul. Selagi menunggu mie matang Cherry menggoreng sosis. Mie dan sosis telah matang si gadis meraih chopstick "Wah ... sangat nikmat," puji si gadis seolah tak pernah makan mie.

Ponselnya bergetar, Leon menghubungi lewat video call. Cherry tersenyum tanpa buang waktu ia angkat panggilan tersebut. Wajah tampan Leon terlihat lelah juga sebuah bantal.

"Hai, kamu sudah sampai?" tanya Cherry. Leon memberi kabar jika ia pergi lebih cepat dari jadwal.

"Seperti yang kamu lihat. Bagaimana pekerjaan kakak?" melipat satu tangan di belakang kepala.

"Lancar. Kamu sudah makan?" mengumbar senyum senang dan tertular pada sang adik.

Leon menggeleng. "Nanti saja."

Cherry menyimpan sosis dalam pipi. "Jangan telat makan. Kamu juga terlihat sangat lelah. Kamu bisa sakit di sana."

Leon terkekeh. "Iya, aku sudah pesan."

Kamera belakang ponsel Leon hidupkan menampilkan sekretaris Leon membawa box pizza lalu mengganti lagi kamera depan. "Kakak mau?" tawar Leon angkat satu slice pizza lalu menggigit.

Cherry menggeleng. "Tidak, aku memang ingin mie, telur dan sosis."

"Baiklah, aku tutup dulu teleponnya."

Kepala Cherry terangguk. "Makan yang banyak, jaga kesehatanmu."

"Kakak juga jaga kesehatan, jangan selalu isi perut dengan mi instan!" seru Leon.

Cherry tertawa. Ibu jari Cherry mengacung bergerak lucu depan kamera. Sambungan terputus si gadis melanjutkan acara makan malam sampai tak tersisa.

Tuk. Bunyi gelas terbentur meja kaca nyaring terdengar.

"Ah ... kenyang."

Desah nikmat Cherry menepuk-nepuk perutnya lalu berdiri membawa piring dan gelas kotor ke wastafel.

"Selesai," ucapnya senang.

Ambil ponsel di atas meja Cherry keluar dapur, langsung masuk kamar. Matikan lampu, naik ranjang dan ....

Cherry mengerang jengkel ponselnya kembali bergetar.

"Nomor siapa?" cicit Cherry menatap layar ponsel.

Nomor tak dikenal tertera pada layar, melipat bibir tipis ia ragu untuk menjawab. Ibu jari Cherry menggeser pelan tombol hijau pada layar. Menempelkan benda pipih canggih ke daun telinga, detik itu juga iris Cherry melebar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status