Share

Dewi Fortuna

Cherry menarik napas dalam lalu menghembuskan secara perlahan. Mengayun kaki masuk ke dalam gedung perusahaan penuh percaya diri. Manik cokelat cherry berpendar kagum, perusahaan ini tak jauh beda dari milik mendiang sang ayah. Cherry menghela napas kecil ini memang sudah takdirnya. Tak bisa bekerja di perusahaan sang ayah, walau sekadar menjadi buruh upah harian. Sudahlah bukan berarti ia putus asa.

"Semangat Cherry kamu pasti bisa. Yah, semangat."

Cherry mengepalkan tangan ke udara. Berdeham saat beberapa mata tertuju padanya.

Semakin dekat meja resepsionis, jantung gadis manis semakin berdegub keras. "Permisi," sapa Cherry pada wanita cantik di balik meja resepsionis yang diharuskan ramah pada setiap tamu.

Wanita itu berdiri lalu mengulum senyum tipis menyambut ramah. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Kemarin aku dapat info kalau di perusahaan ini sedang buka lowongan pekerjaan. Aku datang untuk melamar," ucap Cherry halus.

Resepsionis mengerut dahi dalam, lantaran bingung. "Maaf nona. Saya rasa informasi yang anda terima salah. Perusahaan ini tidak membuka lowongan kerja."

"Hah," Cherry terkejut. "Benarkah? Tidak ada lowongan apapun?"

Resepsionis hampir menjawab, mulutnya kembali tertutup saat melihat bos tampan berdiri tepat di belakang gadis pelamar kerja.

"Ada, di sini ada lowongan."

Suara baritone dan sosok tampan dari balik punggung gadis manis menarik perhatian banyak orang.

Tubuh Cherry sedikit berputar, menatap pria di belakangnya. Seketika Cherry berbinar senang, beranggapan harapan untuk bekerja masih ada. "Kamu juga ingin melamar?" kata Cherry menatap Ares.

Resepsionis itu menutup mulut tak percaya. Ia memberi salam hormat pada bos tampan. Kepala Ares terangguk samar.

Tangan papa tampan masuk dalam kantong celana, lantas mendengus kecil. Bagaimana bisa gadis ini tidak mengenalinya atau memang gadis ini pandai berakting.

"Menurutmu?" tanya Ares kemudian.

"Pasti melamar," balas Cherry pelan.

Ares menarik napas. "Yakin kamu tidak mengenali aku?"

Cherry mengerut alis dalam. Kepalanya miring, gadis manis mencoba ingat-ingat. "Apa kita kenal?" Jari telunjuknya menggaruk pelipis.

"Ah, maaf aku, Tuan. Apa kita saling kenal? Aku rasa, aku tidak punya kenalan laki-laki, selain adik dan teman kerja dulu." Gadis manis menggeleng bingung.

"Aku memang bukan teman atau rekan kerjamu dulu," sahut Ares masih kalem.

Percakapan aneh mereka di dengar banyak orang. Para karyawati yang melihat ikut gemas. Bos mereka tidak pernah seramah ini pada orang lain. Sepertinya gadis itu juga tak kenal akrab dengan si bos tampan. Terlebih sikap Cherry dinilai sangat tidak sopan. Para lambe turah beraksi, berkumpul mencari informasi apa yang terjadi antara bos tampan mereka dengan gadis salah alamat pencari kerja itu.

Mendadak lobi luas perusahaan dipenuhi para pekerja wanita. Jika ada berita kesurupan massal di sekolah, mungkin sebentar lagi akan ada berita sesak napas massal yang melibatkan perusahaan Ares.

"Kamar mandi,"

Belum lagi bisa bernapas lega, suara baritone Ares mengudara layaknya bom atom menghantam Hiroshima dan Nagasaki membuat hati karyawati hancur. Secara gamblang Ares menyebut satu kata tempat cukup membuat jantung para medusa berhenti berdegup.

"Kamar mandi!" salah seorang heboh.

Duaar.

Serempak para karyawati meremas dada masing-masing.

Ares tak peduli. Biarkan gosip laknat tentang dirinya semakin merajalela.

"Kamar mandi."

Ulang Cherry memasang wajah super konyol.

Kepala Cherry yang sedikit lama loading masih berusaha mengingat-ingat. Tring...seperti terkena sihir tongkat ajaib mimi peri Cherry ingat kejadian malam itu.

"Oh my gosh, kamu ... kamu ...."

Suaranya halus putus-putus, lalu membekap mulut dengan kedua tangan. Gadis manis pelamar kerja sangat terkejut. Tubuhnya berputar, membelakangi Ares. Menatap canggung resepsionis di sana ia bersuara rendah.

"Kau benar nona, di sini tak ada lowongan. Aku permisi," pelan berbisik.

Tangan Ares kelewat gesit menyentuh kerah Cherry. "Kita lanjutkan, yang kemarin belum tuntas."

Tangan Ares cepat bergerak turun menggenggam telapak tangan Cherry. Memaksa... mmm lebih tepatnya menyeret gadis itu mengikuti langkahnya sampai ruang kantor.

Tubuh Cherry membeku. "Eh...hah...apa kata pria berengsek ini."

Sial. Kenapa kakinya begitu luwes terus mengikuti langkah lebar pria ini!

Ya Tuhan, tolong aku.

Saatnya lambe turah menunjukkan lidah tajam.

"Astaga mereka main di kamar mandi." Salah satu karyawan memekik tak percaya.

"Si bos suka di kamar mandi."

"Jantungku, my lord kenapa harus di kamar mandi?" pemuja bos tampan nyaris terkena serangan jantung.

"Wow, impresif kamar mandi itu menggairahkan."

"Hei, coba kalian perhatikan. Kenapa gadis itu terlihat ketakutan juga tidak mengenali bos tampan kita?" salah satu dari karyawati bertanya melihat gelagat aneh si gadis salah alamat.

"Yeah kau benar, jangan-jangan bos tampan kita menutup mata gadis itu. Oh holy moly, my boss melakukan BDSM. Bos tampan kita sangat menggemaskan," jawaban konyol medusa lain terdengar.

"Kamu sudah gila?" seru sebelahnya.

"Tentu, karena bos."

"Dan parahnya ini masih pagi. Bos tampan kita bilang ingin melanjutkan, hik ... hik ...."

Berlalu dari sana nangis di pojokan.

"Ya Tuhan, ternyata bos tampan kita benar-benar sesuatu. Wajah menawan, bertahta dan bergairah. Hah, membayangkan itu tubuhku ikut panas," tambah lagi salah satunya bergelagat centil.

"Beruntung sekali gadis itu."

Jangan salahkan mereka berpikir jauh. Status single parent bos tampan kerap kali membuat mereka berpikir yang tidak-tidak. Seorang pria dewasa dan seorang gadis di kamar mandi? Tentu saja, bayangan nakal langsung menyambar otak. Sebagai salah satu tempat sakral penuh gairah sekaligus mendebarkan.

"Hei, hei, tunggu hei, hei...." Ares tak peduli protes.

Sampai ruang kantor Ares menyuruh Cherry duduk di sofa panjang.

Cherry duduk cukup canggung dan kaku. Jantung Cherry berdebar jutaan kali lipat.

Selamatkah dirinya?

Cherry masih menunggu kepastian. Manik cokelat Cherry mengedar, menelisik ruang kerja. Wah, ini sangat besar. Diam-diam sangat mengagumi.

Danā€”oh tidak, bagaimana jika dia melakukan hal aneh padaku. Ya Tuhan, aku harus bagaimana?

"Berikan berkas itu padaku."

Suara Ares terdengar mengambang memecah lamunan si gadis. "Hah, apa?"

Ares menarik napas, ia harus sabar. "Berikan berkas itu padaku." Perintahnya lagi.

"Oh, iya ini!"

Tangan Cherry terulur memberi berkas lamaran kerja pada Ares. "Tapi resepsionis di bawah tadi bilang, di sini tidak ada lowongan apapun. Untuk apa membacanya, padahal aku mengirim email tadi malam juga ...."

"Sudah aku baca," Ares menyela cepat.

"Eh, benarkah? Apa dibalas? Aku belum buka email dan ...."

Lagi-lagi Cherry membekap mulut menyadari sesuatu yang membuatnya terkejut tak percaya. "Kamu ... kamu bos di perusahaan ini?"

Ares tak menjawab, ia berjalan mendekati meja. Menekan tombol loudspeaker lalu nomor bagian penerimaan karyawan.

"Bagian office girl, bagaimana?'

"Heh, apa?"

"Bagaimana kamu mau?"

Cherry tersenyum senang. "Artinya aku diterima?"

"Siapa namamu?"

"Cherry."

Dahi Ares berkedut tipis, manik hitamnya menyorot si gadis datar. "Uh-oh, maksudku Qyana. Yah, Qyana Thomas."

"Cherry?"

"Mmm ... itu nama panggilan. Tapi tunggu apa aku benar-benar diterima kerja?"

Lagi-lagi Ares tak menjawab. Pria itu duduk di kursi kerja. Buka laptop Ares tampak sibuk dan serius. Cherry mencebik pelan tak mendapat jawaban. Tak lama pria tua seseorang datang. Pria tua itu sempat lirik pandang ke arah Cherry. Merasa aneh baru kali ini ada perempuan masuk ruang kerja bos besar. Padahal dulu selama menjalin hubungan Ares menyuruh kekasihnya untuk bertemu di luar jam kerja.

****

Cherry menatap tampilan diri pada cermin toilet. Si gadis telah berganti baju petugas cleaning service. Ia tersenyum berterima kasih pada Tuhan untuk keberuntungan hari ini. Semoga ia dapat bertahan, bisa menabung dan pergi mencari tempat kost sendiri.

Pintu terbuka seorang karyawati masuk. Memasang wajah angkuh mendekati Cherry. "Kamu gadis tadi pagi? Pencari kerja salah alamat?" katanya melipat tangan depan dada.

"Aku tidak salah alamat, buktinya diterima."

Cherry merentangkan tangan. Bermaksud menunjukkan pakaian petugas kebersihan telah melekat di tubuhnya.

"Apa yang terjadi antara kamu dan bos tampan?" si Karyawati memberi tatapan tajam pada Cherry.

"Aku tidak....eh," Cherry mengernyit jijik.

Tiba-tiba perut mulas karyawati itu tak dapat di tahan. Ia panik menyentuh bokong, menoleh pada Cherry. "Kamu masih berhutang penjelasan padaku," ancamnya, si karyawati tergopoh-gopoh membuka salah satu pintu di sana.

Cherry menatap heran. "Memang apa yang harus aku jelaskan." Katanya meninggalkan kamar mandi.

Cherry menaruh pakaian di loker. Sebelum bekerja ia disuruh menemui Tuan Billie pria tua bagian kepegawaian.

"Permisi," Cherry mengetuk pintu sopan. Mendengar kata sapa masuk dari dalam si gadis membuka pintu.

"Cherry kamu bertugas membersihkan ruang Tuan Ares. Ini kartu karyawan untuk sementara. Kartumu akan selesai siang atau sore nanti." Katanya sangat ramah.

Cherry menerima kartu tersebut. "Terima kasih," si gadis mengulum senyum.

"Selamat datang dan selamat bekerja," kata Tuan Billie yang Cherry taksir berusia 40 sampai 45 tahun.

Cherry memberi senyum. "Aku permisi," pergi berlalu dari bagian kepegawaian, menuju ruang si bos tampan.

Cherry melangkah pasti menuju ruang kerja bos tampan. Banyak pegawai menatap aneh pada Cherry. Gadis itu tak ambil pusing. Menekan tombol lift lalu masuk. Langkah kecil Cherry sampai di depan pintu hitam dan tinggi ruang kerja yang tadi pagi ia masuki, Cherry tak langsung mengetuk. Ia bermeditasi lebih dulu mengisi paru-paru. Belum sampai siku jari punggung si gadis mengetuk pintu suara penghuni dalam ruangan lebih dulu menyapa. Cherry masuk, melangkah ragu-ragu ia sengaja tak menutup pintu.

"Pintu."

Kepala Ares mengendik pada pintu terbuka lebar.

Cherry menoleh ke belakang. "Oh, ruangan ini tiba-tiba pengab," kata Cherry beralasan, mengibas-ngibas tangan pada wajah.

Kedua tangan Ares terjalin di atas meja. Ia menyorot si gadis untuk segera lakukan perintahnya. Cherry salah tingkah. Kenapa ia jadi takut pada orang ini? Melipat bibir si gadis menutup pintu lalu mendekati meja Ares.

"Kopi," Ares selalu ambigu.

"Hah,"

"Perlu aku ulangi," satu alis Ares terangkat.

Belum ada lima menit rasanya tangan Cherry gatal ingin menjambak rambutnya. "Mmm...tidak perlu. Oke. Kopi pahit atau manis?" sadar ia telah tidak sopan Cherry mengulang pertanyaan.

"Anda mau kopi pahit atau manis Tuan?"

"Sedang saja. Kau tahu pantry dilantai ini?" Kata Ares. Cherry menggeleng cepat. "Keluar dari ruang ini lalu ke kanan."

"Baik Tuan, tunggu sebentar."

Cherry hampir membuka pintu.

"Gadis itu tidak sadar kalau manisnya sudah menempel padanya," gumam Ares sangat kecil.

"Anda mengatakan sesuatu?" Cherry memastikan.

"Waktumu tidak lebih dari lima menit," sahut Ares menyela cepat.

Cherry terkejut. Langsung menutup pintu dan berlari ke arah pantry. Lantai 20 adalah lantai istimewa, hanya ada dua ruang kerja dan satu pantry khusus. Satu sangat besar dan satu lagi sedang. Ruang sedang ditempati Tuan Luke sekretaris Ares. Ruang kerja besar ekstra luas untuk si bos papa muda tampan. Dan pantry dihuni oleh Chef tampan Eric. Para pegawai di sana menyebut lantai 20 sebagai nirwana floor, yang berarti lantai surga berpenghuni tiga dewa tampan.

Sampai pantry Cherry bertemu chef Eric. Cherry terdiam, oh ia terpesona. Pria itu memberi senyum menyambut kedatangan Cherry.

"Hai," sapa Eric.

"Hai," Cherry melangkah masuk. "Tuan di sana minta buatkan kopi," suara Cherry terdengar putus-putus.

Eric terkekeh bahkan nama pun gadis ini tidak ingat atau memang tidak tahu.

Celaka, pria ini punya senyum maut. Lihat saja rona merah menjalar sepanjang pipi si gadis. Bisa-bisa gadis ini jatuh cinta pada chef muda tampan.

Eric melambai tangan depan Cherry. "Hei, jangan melamun."

Cherry tersedot ke alam nyata. Ia mengerjab mata. "A...ah iya eh, tidak. Aduh apa ya?" Cherry tak menemukan alasan. "Ah, kopi!" seketika ia ingat tujuan datang ke pantry.

"Ajari aku buat kopi," tambahnya canggung.

"Kemari." Dua jari Eric bergerak memanggil Cherry untuk mendekat. Eric mengajarkan Cherry cara menggunakan mesin penggiling kopi. "Siapa namamu?"

"Cherry,"

Eric terangguk. "Namamu manis persis seperti pemiliknya."

"Aku memberimu gaji bukan untuk merayu." Suara baritone super ketus menyebalkan dari balik punggung membuat mereka menoleh bersamaan. Ares berdiri di mulut pintu. Menyilang tangan depan dada, pria itu memasang raut muram. Hanya beberapa detik, sebelum Ares beranjak ia melirik dingin seolah memberi peringatan tegas pada Eric.

Eric dan Cherry saling berpandangan. "Dia pria labil jangan terlalu ambil hati." Eric berucap jenaka dan mereka sedikit tertawa.

Cherry mulai meracik kopi menambahkan takaran gula sesuai perintah Eric. "Wah, harum sekali." Aroma kopi bercampur air panas sangat menyegarkan hidung.

"Mau coba?" tawar Eric. Chef tampan itu memang terkenal mudah akrab.

"Apa boleh?"

"Boleh. Ares tidak akan memotong gajimu hanya untuk menyeruput kopi," lagi-lagi mengumbar guyonan ringan.

Mereka terkekeh lalu Cherry bergerak meraih nampan, "Mungkin nanti," balas si gadis menaruh cangkir di atas nampan.

"Aku pergi dulu." Cherry keluar pantry.

Cherry menghela napas lalu membuka pintu. Netra si gadis mendapati kegiatan si bos sedang sibuk mencari sesuatu di rak buku. Cherry menaruh cangkir di atas meja coklat kerja si bos.

Ares menoleh, "Kemari bantu aku,"

"Anda sedang mencari buku?"

"Bukan, aku cari sinyal," sahut Ares melucu.

Cih, untung saja dia bos...

"Jangan diam saja," ketus Ares lagi.

"Bantu aku cari buku berjudul Sugar and Luvtuber," imbuhnya lagi.

....yah, dia memang bosmu Cherry.

"Baik Tuan," sahut si gadis sangat halus. Berbeda dengan isi hatinya mendumel, kesal, menggerutu.

Cherry mendekati rak buku bagian pojok. Ada banyak buku berjajar rapi di sana. Dari mulai buku akutansi, bisnis ekonomi, cerita horor, sosial dan masih banyak lagi. Manik si gadis teliti mencari judul buku yang disebut si bos.

"Hhmmm .... di sini tidak ada," gumamnya mencari buku. Iris Cherry menjelajah barisan buku sangat teliti. Ia menengadah, "Atau di atas ya!" Manik si gadis berkeliling menelisik isi ruangan. Ada satu bangku tak terpakai. Mendorong bangku beroda, Cherry melepas sepatu dan naik ke atasnya.

"Hah, berhasil. Ini dia." Cherry senang bisa menemukan buku tersebut.

"Kamu belum ada satu jam bekerja. Jika terjadi sesuatu tidak akan ada pengobatan," Ares memperingati.

Cherry tak ambil peduli. Baru saja si bos tampan bicara. Bangku tersebut sudah lebih dulu mengabulkan.

"Aaa ... akh ...."

"Hei, hati-ha ... ti," Ares menghembus napas kecil. "Hah, dasar ceroboh!"

Cherry lebih dulu terjatuh tanpa bisa dicegah. Ares mengayun kaki mendekat. "Kamu tak apa?" Ares berjongkok depan Cherry.

Cherry mengusap-usap sikut berusaha menahan perih lalu menggeleng dua kali.

"Aku tak apa."

Ares melihat luka lecet pada sikut Cherry. "Sikut kamu terluka. Bersihkan itu di kamar mandi pribadiku. Kotak obat ada di atas meja samping kamar mandi."

Ares membantu Cherry berdiri. Gadis itu langsung diajak masuk ke dalam ruang pribadi super elegan. Hidung Cherry benar-benar dimanjakan aroma kopi dan mint. Kesan maskulin dan segar langsung tertanam dibenak si gadis.

"Di sana, masuk saja," tunjuk Ares pada satu pintu berwarna silver.

Cherry melangkah masuk. Menutup pintu kamar mandi segera bersihkan luka. Ia menatap cermin bersyukur mendapat bos ketus tapi baik. Tidak seperti di novel-novel yang ia baca. Semua serba arogan dan hyper.

"Ya Tuhan," Cherry memekik.

Tiba-tiba Cherry merasa merinding. Mereka hanya berdua di ruang besar ini. Iris si cantik mengedar menatap perlengkapan kamar mandi. Kepala si gadis menggeleng keras, berusaha membuang jauh-jauh siluet menakutkan. Keluar kamar mandi ia meraih kotak obat.

Manik cokelat Cherry menangkap sebuah ranjang besar di belakang tubuh dari pantulan cermin besar di hadapan. Tubuh Cherry berputar cepat mengabsen satu per satu barisan furniture mewah dalam ruang pribadi si bos. Yah super mewah. Alih-alih menatap sudut ruang, isi kepala Cherry terus memproduksi bayangan menakutkan.

Si gadis keringat dingin. Meneguk liur susah lalu memutar tubuh dan menunduk. Telapak tangan Cherry tampak gemetar lalu mengerat pada sisi meja. "Sial, apa yang kupikirkan?"

"Beri tahu aku, apa yang kamu pikirkan?" secepat itu juga Cherry angkat kepala.

Ia terkesiap mendapati manik hitam si bos menyorot padanya melalui cermin, dengan senyum iblis di bibir dan Cherry bisa merasakan debaran jantungnya berolah raga lebih cepat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status