Share

bab 2

Ipar-Ipar Serakah

Bab 2

Pukul lima sore, aku dan Mas Samsul telah sampai di rumah bapak. Setelah mengucapkan salam, kami pun masuk. Ternyata semua sudah berkumpul, hanya tinggal aku dan suamiku saja. Tatapan sinis dari para adik suamiku beserta istri mereka menyambut kami. Aku dan Mas Samsul memcium punggung tangan bapak dan mamak. Tak lupa kami juga menyalami semua orang yang ada di sana satu persatu, meski sikap mereka sama sekali tak bersahabat dan tatapannya tidak enak dipandang mata.

"Cih! Sudah kayak ratu dan Raja saja datang terlambat, bikin orang menunggu saja. Memangnya kalian pikir kalian itu siapa, kami itu orang sibuk! Nggak kayak kalian pengangguran!" sinis Desrina mulai memercikan api pertengkaran.

"Jalanan macet, Sri. Lagi pula, kedatangan kami ke sini karena diundang oleh bapak. Kalau tidak, aku pun tidak sudi untuk bertemu denganmu!" ucapku tak kalah sinisnya.

"Halah, alesan!" celetuk Aulia ketus turut menimpali.

"Kamu nggak usah ikut-ikutan, Lia. Kamu itu menantu paling muda dan paling bontot pula! Jangan bersikap kurang ajar sama aku!" sentakku sinis.

Capek rasanya menanggapi sikap Desrina dan juga Aulia yang selalu saja merasa iri padaku. Mereka selalu menganggap aku bagaikan musuh bebuyutan yang harus dibasmi. Heran saja, padahal posisinya pun sama sepertiku, hanya menantu. Ditambah lagi, suaminya yang bernama Joko itu merupakan adik suamiku. Otomatis, mereka lebih muda dari aku dan juga Mas Samsul. Suamiku adalah anak tertua dari tiga bersaudara yang kesemuanya adalah laki-laki. Mas Samsul punya dua adik yaitu Joko dan Ardi si bungsu yang juga telah memiliki istri bernama Aulia asal Lampung.

Sri dan Aulia berdecak tak suka saat aku melawan ucapan mereka. Kedua istri adik iparku itu memang sangat kompak dalam memusuhiku.

"Sudah, sudah! Bapak meminta kalian semua berkumpul di sini bukan untuk melihat kalian bertengkar!" sentak Bapak mertuaku melerai.

"Kamu juga, Rindu! Sebagai menantu tertua itu seharusnya kamu tahu diri di mana posisimu. Selalu saja kalau datang pasti membuat onar!" omel lelaki berumur lima puluh enam tahun itu padaku.

Aku hanya diam saja, malas untuk menjawabnya. Selalu saja seperti itu, mereka yang membuat masalah tapi aku yang selalu kena imbasnya. Sikap pilih kasih kedua mertuaku itu memang sudah ketara sejak dulu. Namun, jika aku mengatakannya pasti mereka tidak akan terima meski faktanya memang seperti itu.

Mas Samsul menarikku duduk di kursi sebelahnya, menggenggam tangan kananku erat-erat. Aku tahu ia sedang berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak akibat ulah kedua adik ipar nggak ada akhlak itu.

"Sebelumnya bapak sama ibu sudah berunding, kami sepakat untuk membagi warisan sekarang juga, mumpung kami masih hidup dan belum pikun," ucap bapak mertua membuka pembicaraan.

"Kemarin Ardi telepon mamak, katanya Lia minta beli mobil. Jadi Ardi meminta bagiannya untuk dibagi secepatnya, karena itu mamak meminta bapak untuk mengumpulkan kalian semua di sini supaya bisa mendengarkan bagian kalian masing-masing," timpal ibu mertua.

'Jadi, bapak dan mamak mau membagi warisan karena itu. Ya ampun, Liä memang dari dulu nggak pernah berubah. Selalu saja meminta sesuatu yang di luar batas kemampuan suaminya. Kasihan bapak dan mamak,' batinku.

Namun, aku masih mencoba menahan untuk tidak bicara terlebih dahulu. Ingin tahu, sampai mana kedua mertuaku itu akan menuruti kemauan menantu kesayangan mereka.

"Untuk Samsul, kamu akan dapat bagian seperempat dari rumah ini. Sisanya bagian Joko sekaligus kebun jati yang ada di sebelah rumah Lek Warkem. Sementata Ardi akan mendapatkan semua sawah, kebun akasia, dan juga kebun sengon yang ada di sepanjang jalan menuju ke arah desa sebelah.

"Keputusan ini mutlak dan tidak boleh ada yang mengganggu gugat. Mulai besok, bapak akan mengurus semuanya ke notaris. Jika semua surat menyurat telah selesai, terserah kalian mau diapakan harta itu. Untuk masa tua bapak dan Mamak, kami memutuskan untuk ikut bersama Samsul. Karena dia anak tertua, maka sudah kewajibannya untuk mengurus kami saat kami sudah tidak bisa apa-apa!" putus bapak mertua seenaknya.

Dapat aku lihat, senyum kemenangan terukir di wajah semua ipar-iparku beserta istrinya dan juga ibu mertuaku.

Astaga! Pembagian warisan model apa begini. Suamiku anak tertua hanya mendapatkan lima ubin dari luas rumah yang sebesar dua puluh ubin. Sedangkan kedua adik suamiku mendapat bagian jauh yang lebih besar. Joko total tanah yang ia dapat sebanyak dua hektar lima belas ubin, sedangkan Ardi mendapat tujuh hektar tanah.

Apa adil begitu? Suamiku benar-benar dianak tirikan oleh kedua orang tuanya. Aku lihat Mas Samsul hanya diam menunduk, belum ada tanda-tanda perlawanan atau keberatan darinya. Aku jadi geram sendiri.

Bukan aku bermaksud serakah akan harta warisan suamiku. Hanya saja, entah kenapa aku merasa tidak terima suamiku diperlakukan seperti itu oleh keluarganya sendiri.

Bayangkan, selama ini setiap kali panen. Aku dan Mas Samsul hanya di jatah dua sampai tiga liter beras. Padahal, suamiku lah yang menggarap semuanya. Sementara adik-adiknya yang hanya terima beres masing-masing mendapatkan sepuluh karung gabah.

Tidak hanya itu, setiap kali kami semua berkumpul di rumah mertua. Aku dan Mas Samsul selalu dijadikan pembantu, sementara mereka hanya ongkang-ongkang kaki. Dan bodohnya suamiku mau saja di perintah ini dan itu oleh istri-istri adiknya. Serta masih banyak lagi perlakuan tidak adil yang aku dan suamiku terima selama ini.

Entah hati suamiku itu terbuat dari apa, mau saja dibodoh-bodohi oleh mereka. Aku benar-benar emosi setiap mengingatnya.

"Pak, kenapa bagiannya Mas Samsul nggak sekalian aja kasih ke Mas Ardi. Toh, Mas Samsul juga sudah punya rumah sendiri. Jadi aku rasa mereka tidak membutuhkan bagian rumah ini," ujar Aulia dengan kurang ajarnya.

Seketika amarahku langsung memuncak, aku benar-benar sudah tidak bisa bersabar lagi.

"Lia! Jangan kurang ajar kamu! Kamu itu tidak berhak mengatur dan ikut campur soal harta warisan suami. Kita ini hanya menantu, jadi sudah sewajarnya kita ikuti apa kata suami. Lagi pula, warisan yang bapak berikan pada kamu jauh lebih besar dari pada yang diterima oleh suamiku. Dasar kamu tidak tau malu!" hardikku penuh emosi.

"Heh, biang kerok! Apa yang dikatakan oleh Lia itu benar adanya, aku juga nggak sudi berbagi denganmu. Kalau nanti yang lima ubi itu dipotong, otomatis rumah ini harus di renovasi ulang, dong. Buang-buang duit aja!" Sri tiba-tiba menyahut sembari mendorong bahuku hingga aku tersurut beberapa langkah ke belakang.

Jelas aku tidak terima, baru saja aku ingin membalas perlakuannya, tiba-tiba suara seseorang menghentikanku.

"Diam!!!" teriak Mas Samsul membuatku urung membalas pada Sri.

Mas Samsul berdiri, lalu menunjuk ke arah mereka berdua dengan sorot mata penuh amarah. Napasnya pun terlihat semakin memburu tanda emosinya sudah sampai ke ubun-ubun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status