Kejadian sore itu, masih terngiang diingatan Ardi. Bagaimana tidak? tubuh Laras, jatuh tepat di atas tubuhnya. Yang membuatnya tak bisa lupa, Laras dalam keadaan bugil!
Mata liar Ardi menangkap dua gundukan daging yang putih mulus dan montok, menempel tepat di dadanya.Bukannya, cepat bangun, Laras justru memeluk Ardi, saking takutnya pada kecoa yang ada di kamar mandi. Rambut panjang Laras masih masih, dan berbusa. Menyebabkan, lantai pun ikut basah dan akhirnya menjadi licin.Imbasnya, pas Laras mau berdiri bukannya berdiri dengan tegak, malah kepleset dan lagi-lagi, Ardi harus menangkap tubuh Laras yang hampir limbung."Ah, sialan! kenapa juga aku ingat terus!" gerutu Ardi dan memuku pelanl kepalanya sendiri.Segera disambarnya, jaket kulitnya, "lebih baik aku ke rumah Lukman aja," Ardi segera pergi tanpa berpamitan pada ibu mertua dan adik iparnya.Mendengar suara deru motor besar milik Ardi, Ibu mertuanya langsung keluar, dan memanggilnya."Ardi, coba kau tengok ke kantor Puspa. jemputlah, karena jam segini kok belum pulang juga.""Iya, Mah," jawab Ardi sambil lalu.Laras memandang kakak iparnya berlalu dari teras rumah, lewat jendela kamarnya. Dirinya tak berani bertemu apa lagi menatap wajah kakak iparnya itu. Kejadian tadi sore membuatnya sangat malu, Dengan terseok-seok akhirnya dirinya mampu berdiri dan segera masuk ke dalam kamarnya. Sempat tanpa sengaja tangan Ardi memegang pantat polosnya.Karena spontan membantunya untuk berdiri, sepertinya tak mungkin memegangi tangan Laras yang sibuk menutupi dadanya yang terbuka.Laras tersenyum, konyol sekali, wajah Ardi terlihat merah, tatapannya tak bisa Laras lupakan, tak sadar ada rasa bahagia atas kejadian tersebut.Untung saja, kejadian tersebut, tak diketahui oleh Mamanya.."Laras! ngapain kamu? dari tadi ngerem aja di kamar!""Iya, Mah., Badan Laras sakit semua, nih lagi rebahan." seru Laras dari kamar."Sudah makan?""Sudah, Mah!"Suasana kembali sepi. Sepertinya Mamanya kembali lagi ke kamarnya.Laras menatap dirinya dalam cermin. Teringat kalau kakaknya, Puspa belum juga pulang. Dilihatnya jam di dinding, sudah menunjukkan pukul sembilan malam.***Dari jauh, Ardi menatap dua pasangan yang baru saja keluar dari sebuah mobil yang terparkir di depan kantor Puspa.Begitu Mesranya mereka. Ardi hanya diam, saja. Tidak mendekat ataupun melabrak kelakuan istrinya itu.keduanya masuk bersama ke dalam kantor, dalam senyum yang sumringah.Pelan Ardi, meninggalkan tempat tersebut. Deru motornya melengking menembus jalanan ibu kota.Dalam sebuah ruangan kantor, tampak Puspa sedang menerima sebuah amplop berwarna cokelat."Ini, yang aku janjikan, ingat, yah, aku tak memberimu imbalan, ini murni dari aku pribadi,"Puspa tersenyum dan duduk di samping bosnya tersebut."Ok, nanti aku ganti, deh.""Ini bukan hutang, ah, kamu ini." Denny menjawil ujung hidung Puspa.Wanita berkulit putih bersih itu, tertawa renyah, memperlihatkan giginya yang putih dan rapi."Ah, kau masih cantik.saja dengan senyum dan tawamu yang menawan itu, pantas saja aku tak bisa berpaling darimu, Puspa.""Ah, masa sih?""Jangan meledekku, Puspa."Puspa langsung menghentikan tawa dan senyum, kini berganti dengan tatapan manjanya."Sudahlah, kita di kantor, aku khawatir ada yang dengar dan tahu tentang ini semua." Deny segera menepis wajah Puspa."Apa aku antar kau ....""Tidak, aku telepon suamiku saja, aku tadi sudah janji minta di jemput.""Aku cemburu pada suamimu, Puspa. mengapa juga kau menikah dengannya?*"Sudahlah, kalau aku tak menikah, kedokku akan ketahuan ibuku. Aku masih menghormati beliau, sebagai wanita yang melahirkanku."Puspa mencoba menghubungi Ardi, tapi ponselnya tak juga aktif.Hampir 15 menit berkali-kali, panggilan tak terjawab."Sudahlah, ayo, aku antar kau pulang."Puspa akhirnya menurut saja, karena memang sudah larut malam.Pas di lobbi, ada dua karyawan menatap Puspa dan bos mereka saat mereka dengan berjalan saling bergandengan.***Puspa sampai juga di rumahnya, Tampak sang ibu memperhatikan tingkah anaknya dari jendela ruang tamu. Alibi sudah terpampang di depan mata ibunya, Anaknya selingkuh. Puspa tak menyadari dirinya sedang diawasi dari jauh.Puspa cuek saja melangkah masuk ke dalam rumah."Eh, Mama, belum tidur Mah?""Siapa dia? kau– selingkuh?""Ah, dia cuma teman dekat saja, Mah.""Sampai berciuman bibir, kau bilang teman biasa saja!"Plak! sebuah tamparan keras mengenai pipi sang anak."Dengar, Nak. sebejad-bejadnya mama,, tak mau berselingkuh!""Mengapa Mama menamparku!""Karena kau salah. Kurang apa lagi, Ardi. Dia rela tinggalkan segalanya untukmu. kau sia-sia kan!""Mah! mama tidak tahu rasa sakit aku Mah! kalau mama tahu, aku sudah tak disentuh sejak malam pertama yang terkutuk itu!""Cukup! jangan salahkan suamimu. Kau yang salah tak jaga kehormatanmu, untung saja suamimu tak tahu kalau kau mengugurkan kandunganmu!""Mah! aku tak mau mengikuti jejak mama, yang hanya pinjam uang hanya untuk melampiaskan hasrat judi mama!"Ibu Kartika terdiam melihat kata-kata anaknya dalam membabi buta. Memang dirinya bersalah. Hobinya berjudi, tak bisa ditinggalkan."Mama mau bilang apa lagi? memang aku muak dengan cara Mama. Apa Laras tahu, siapa Bapak kandungnya?"Plak! kembali tamparan itu, mendarat di pipi Puspa."Jangan pernah katakan itu lagi, kau akan tahu akibatnya!"Lagi-lagi, Puspa hanya mengelus pipi kirinya, yang dua kali mendapat tamparan dari mamanya.Beruntung, malam ini, rupanya, pertengkaran Mama dan Puspa, tak di dengar oleh Laras. Gadis cantik itu, sedang tertidur pulas dalam buaian mimpi indahnya.Ibu Kartika, terduduk lemas. Ingatannya kembali ke masa itu, di saat susah-susahnya mencari uang untuk hidupnya, karena sepeninggal suaminya tak ada yang bisa untuk bertahan hidup, jadilah ibu Kartika menjadi juru pijat di sebuah panti pijat.Lalu kemudian, terjadilah hal yang amat membuat dirinya trouma, dirinya menjadi korban pemerkosaan dari beberapa pelanggannya. Dirinya segera melaporkan hal tersebut pada pihak berwajib, namun apa? mereka anggap bahwa itu adalah bagian dari layanan pijat ++ yang saat itu ibu Kartika kerjakan. Sungguh sangat amat terhina, bukannya mendapat perlindungan, justru caci maki yang dia dapatkan.Brengsek lelaki itu, geram ibu Kartika masih teringat jelas wajah lelaki yang telah berbuat kurang ajar padanya. Yang masih sangat jelas teringat adalah tulisan sebuah tato di lengan lelaki itu, dan menamakan sama dengan Laras .Kali ini, cecunguk dari preman pasar itu membuat rencana yang sungguh buruk."Kita harus balas perbuatan ini, Sialan! aku dihinanya tanpa ampun!!""Benar , bos. mengapa kita nggak balas saja. lama-lama bikin enek tuh orang!"Bardi memukul meja di depannya. "Bawa perlengkapan, malam ini kita harus dapat apa yang kita mau! sepertinya banyak harta yang dia sembunyikan!""Siap bos!"Di malam itu, beberapa orang suruhan. Bardi termasuk dirinya masuk menyelinap ke dalam rumah Baskoro. Rumah yang tanpa penjaga itu, begitu gampang disantroni oleh kelompok Bardi yang kali ini membawa anak buahnya yang cukup banyak."Kau jaga bagian Utara, aku mau masuk dan mencari seseorang," bisik Bardi pelan pada anak buahnya. Mereka mengangguk pelan.Bardi mendekati kamar yang paling luas, di sana ada Kartika yang sedang tertidur pulas, tak menyadari kalau rumah besarnya sudah dalam kepungan kawanan perampok. Pelan Bardi masuk dan dengan insting malingnya sudah bisa menggasak beberapa uang dalam lemari.Sa
Deni menatap seorang wanita yang sedang berjalan menuju sebuah tempat, dia kenal betul dengan wanita itu, walaupun kini hanya berpakaian seadanya, tanpa ada riasan mikap yang tebal, pelan, Deni mengikuti wanita itu.Terus hingga pada ujung sebuah gang, wanita itu masuk ke dalamnya, rumah yang sangat sederhana, bahkan jauh dari kata sederhana tersebut.Saat wanita itu hendak membuka pintu reotnya, Deni memanggilnya."Mah .... mamah?!"Lastri mendengar suara itu, dan langsung berbalik badan, dilihatnya Deni dengan mata terbelalak. Penampilan Deni yang hampir saja ibunya tak mengenalinya."Siapa kamu?!' Lastri waspada."Mah, aku Deni mah." "Deni?! kau ..." Lastri terbengong melihat penampilan anaknya sekarang.Deni segera mendekati ibunya, dan memeluknya erat.Lastri sungguh shock menghadapi hal ini, mengapa disaat seperti ini dipertemukan lagi dengan anaknya, karena ulah Deni lah yang membuat dirinya dan suami harus kocar-kacir. "Kau ... bagaimana aku harus bersikap, aku membencimu ju
Deni mengikuti mobil yang membawa Puspa. Dirinya pun kaget dengan perubahan pada diri Puspa kekasihnya. Wajah dan tubuhnya sudah tak secantik dan seseksi dulu. Tapi Pri masih penasaran siapa yang membawa Puspa tersebut. Selama mengenal Puspa, hanya mendengar cerita dari Puspa saja tentang Mamanya yang dulu selalu meminta uang, sama sekali tak pernah bertemu dan mengenal mama dari kekasihnya ini.Pri mengendarai sebuah sepeda motor butut, dirinya berkali-kali kewalahan dalam mengejar laju mobil yang membawa Puspa. Sudah tiga kali Deni alias Pri harus berhenti untuk mengisi bensin, begitu juga motor yang selalu ngadat. Tapi lelaki itu tak menyerah, terus saja menguntit mobil tersebut. Bukan Deni bila hal lacak melacak saja tak bisa, walaupun kini dengan fasilitas seadanya, dia masih bisa mengejar mobil tersebut, walau terseok-seok. Roman-roman rute yang dilaluinya membuat dahinya berkerenyit? apakah ini menuju villa milik bos Baskoro? dugaan Pri tak salah lagi.Motor Pri mulai dat det d
Laras dan Ardi menceritakan keinginannya pada Heri, ajudan pribadi Baskoro yang sangat terpercaya. Dengan dibantiu Hamdan, mereka mempersiapkan semua keperluan pernikahan dari pendaftaran ke KUA, dan segala urusan.Baskoro dan Kartika mengurus rumah ngaji dengan sungguh-sungguh. Kini ijin dari sarana pendidikan ini pun sudah turun, dari RT dan kecamatan setempat, bahkan banyak warga yang tak mampu, menitipkan anaknya untuk menimba ilmu keagamaan di rumah ngaji. Baskoro pun merekrut beberapa guru agama dan beberapa guru dengan ilmu bidang pengetahuan yang lainnya.Kartika semakin memperhatikan keadaan Baskoro, rahasia kesehatan lelaki gaek itu kini menjadi tanggung jawabnya.Sejak kecelakaan yang mengakibatkan dirinya sakit berbulan-bulan, Baskoro di prediksikan oleh dokternya hanya punya kesempatan hidup beberapa bulan saja, klep jantung yang terpasang mulai bermasalah, napasnya gampang sesak, tubuhnya semakin melemah. Namun, keajaiban Tuhan memberikan pada Baskoro hingga dirinya masi
Kinasih mampu merekrut banyak pelanggannya lewat pijet plus-plusnya yang tak disengajanya. Dia kini bisa menghimpun banyak komunitas , banyak kenalan di tempat yang baru, identitasnya yang baru tak dikenal banyak orang. Dirinya kini dikenal dengan nama Lastri, janda tanpa anak yang masih menyiratkan kecantikannya walau dalam usia yang tak muda lagi."Saya ingin tahu, bang, memang villa itu milik siapa? tanya Lastri pura-pura tak tahu menahu tentang kepemilikan dari vila milk Baskoro tersebut."Itu dulu punya orang besar, yang katanya sekarang sudah insaf dan menjadikan villa itu jadi tempat ngaji.""Orang besar? pejabat kang? atau apa?""Kau banyak tanya sih!! yang aku tahu dulu dia punya banyak centeng yang bisa membungkam seluruh warga dengan uangnya paham!""Bungkam? untuk apa?" "Ya, untuk tidak membocorkan adanya vila tersebut. ah sudahlah , ayo pijat punggungku ini, jangan lupa pijat punya ku juga ya." jawil lelaki yang sudah bertelanjang dada itu pada dagu Lastri dengan manja.
Tangan Baskoro pelan mengusap rambut anaknya, Andai waktu bisa diputar pasti Baskoro akan mengambil Laras dari Kartika. Tapi semua sudah menjadi takdir yang kuasa. Juga Laras yang mencintai Ardi, dirinya sudah tak asing dengan lelaki macho itu, bahkan sudah pernah duel, jadi tahu kemampuan mading-masing. Kini Baskoro ingin menata hidupnya sebaik mungkin. Menjalin hubungan antara manusia sebaik mungkin, juga seimbang hubungan dengan sang maha pencipta."Ayah, apa sudah ayah pikirkan menikah dengan mama?"Baskoro mengangguk, "Aku butuh seseorang yang akan menjadi sahabat dan tumpuan anak perempuanku.""Jadi karena aku, bukan karena cinta?"Baskoro, mengangguk lagi," Aku sudah tua, tak butuh cinta di atas ranjang. begitu juga mama kamu, tak memikirkan hal berbau birahi."Laras memandang Ayahnya dengan tatapan syahdu."Mengapa kau tanyakan itu?'"Aku baru pertama mengenal ayah, yang aku tahu ayah adalah ....'"Preman? atau orang yang kejam? aku menyadari segalanya, saat nyawaku tinggal se