Hari selanjutnya giliran Hifa berjaga di poliklinik. Kebanyakan pasien yang datang adalah untuk mengambil obat, melakukan kontrol rutin, atau hanya untuk konsultasi beberapa penyakit. Karena mereka sudah memiliki surat ijin praktik, mereka turun langsung ke poli. Meja dokter dan tempat tidur pasien sudah tersedia di sana. Semestinya ini tidak akan sedramatis yang sudah mereka lalui di ruang rawat inap atau di IGD kemarin.
Hifa membuka lagi buku catatannya, mencoba menghapal beberapa dosis obat dan cara pemakaiannya. Bagaimanapun otaknya tidak seencer Ifan yang bisa langsung mengingat apapun ketika melihat buku kedokteran itu.
Mereka berada di ruangan yang berbeda. Koridor rumah sakit sudah dipadati pasien bahkan sebelum poliklinik ini di buka. Sebagian dari mereka adalah lansia yang diantar keluarganya untuk melakukan pemeriksaan. Hanya satu ibu-ibu berusia empat puluhan tahun datang duduk menyendiri di sudut koridor. Dia menunggu antrian.
“Halo, Hifa ya? Bisa tolong kamu anamnesis pasien saya dulu di poli?” Telepon seorang konsulen penyakit dalam yang baru dikenal Hifa saat visite pasien di bangsal. “Saya mungkin sekitar setengah jam lagi datang. Ban mobil saya bocor. Kamu bantu catat-catat dulu. Nanti saya koreksi ulang.”
“Siap, dok,” jawab Hifa.
“Oke, terima kasih ya,” ujar sang konsulen yang ramah itu.
Dengan sepenuh hati Hifa melayani pasienn yang datang ke poliklinik penyakit dalam itu. Dia selalu senang bekerja damai dan tenteram tanpa hiruk pikuk dan ketegangan seperti di IGD. Pasien pertama yang datang adalah ibu yang duduk sendirian di sudut kursi tadi.
Ibu itu mengeluh punggungnya sakit sejak beberapa minggu ini. Obat antinyeri sudah diminum dari puskesmasnya di kampung. Karena penyakitnya tak kunjung mereda, ibu ini akhirnya dirujuk ke rumah sakit ini untuk menemui spesialis. Hifa sempat melihat surat rujukan dari puskesmas yang juga nantinya akan menjadi puskesmas tempatnya menjalankan internship selama empat bulan selepas dari sini.
Hifa melakukan pemeriksaan fisik singkat dan tidak menemukan kelainan berarti pada ibu tadi selain otot sekitar punggungnya yang terasa kaku. Kemudian dia memperhatikan bahu ibu tadi. Ada flek hitam berukuran jarum pentul menyembul dari kulit kecokelatannya. Hifa mencatat hal tersebut walau tidak bertanya banyak.
“Apakah jika berdiri lama punggungnya jadi tambah sakit?” tanya Hifa sambil mencatat hasil anamnesis di rekam medis pasien.
Si ibu mengangguk.
“Baiklah, nanti saya laporkan hasil pemeriksaan saya ke dokter spesialisnya dulu ya. Sembari menunggu surat konsul, ibu bisa tunggu di depan,” ucap Hifa menyudahi pemeriksaan tersebut.
Ifan masuk ke tempatnya setelah Hifa selesai memeriksa lima pasien.
“Gantian ya?” ujar Hifa. “Kan aku sudah periksa lima pasien.”
Ifan mengambil map pasien tanpa menghiraukan permintaan Hifa.
“Hei, abis ini kamu ya,” pinta Hifa lagi.
“Kan dr. Ali nyuruh kamu,” jawab Ifan.
“Enak aja.” Kekesalan Hifa lekas menyulut. “Aku sudah periksa lima pasien. Kamu kan di poli umum gak ada pasien dari tadi. Bagi-bagi dong. Lagian dr. Ali kan minta kita berdua bukan cuman aku aja.”
Ifan mengangkat kedua bahunya dan berbalik pergi.
Walau bekerja di poliklinik terkesan damai, tapi di sana benar-benar melelahkan. Pasien dr. Ali sebagian besar hanya untuk melanjutkan obat. Dan beliau bahkan tak kunjung datang sampai tengah hari. Hari itu Hifa melewatkan makan siangnya bersama rombongan Gatta. Dia keki bukan main. Ifan sama sekali tidak peduli dengan banyaknya pasien yang ditangani Hifa ketimbang dirinya.
Pagi ini Hifa berangkat dengan sepeda baru yang dia beli di toko sepeda tak jauh dari rumah sakit. Dia bisa bangun agak siang dengan keberadaan benda ini. Silla dan Kai menyusulnya di belakang. Mereka bersama-sama naik sepeda ke rumah sakit. Sementara Nindi selalu diantar sepupunya ke rumah sakit. Dia tidak tinggal di kos-kosan seperti Silla dan Kai. Hifa masih belum tahu tentang Ifan. Dia selalu datang terlambat ke rumah sakit. Seperti kebiasaannya saat di kampus dulu. Mereka akan kembali berotasi ke bangsal hari ini. Hifa akan mengambil jagaan di bangsal anak dan maternitas, sementara Ifan yang mengambil di bangsal dewasa. Nindi dan dr. Stella akan berjaga malam hari ini. Aktivitas dan kesibukan mereka kian bertambah hari demi hari selama di sini. Bahkan hingga satu jam setelah pertukaranshiftIfan tak kunjung datang. Hal ini membuat Hifa harus berjaga di tiga bangsal sekaligus. Kegusarannya makin menjadi-jadi saat Ifan muncul tanpa mengatakan a
Di hari ketiga, Ifan kembali mengulang keterlambatannya. Namun kali ini Hifa tidak lagi memarahinya atau menegurnya di depan bangsal. Ifan mengamati sekeliling bangsal dan tidak menemukan keberadaan Hifa. Dia hendak melanjutkan kegiatan visit ke pasien di bangsal dewasa tersebut. Kecurigaannya terbesit ketika mendapati Hifa ternyata sudah menyelesaikan nyaris semua tugas visit yang semestinya dilakukan oleh Ifan. Bahkan Hifa sudah mengisi hasil pemeriksaan serta melaporkan kepada dokter penanggung jawab untuk konsultasi yang diperlukan. Ifan duduk mengamati setiap status pasien yang sudah terisi sempurna. Dia tidak perlu lagi melakukan visit harian. Akhirnya Hifa pun muncul dari koridor gedung sebelah. Dia melangkah tanpa melihat penampakan Ifan. Ifan yang melihat dokter perempuan itu segera mengejarnya. “Hifa! Tunggu!” Kali ini, Hifa dengan penuh kemenangan tidak menggubris panggilan Ifan. “Kamu sudah menyelesaikan visit pasien?” tanya
Setelah kasus yang terjadi itu, hubungan Hifa dengan Ifan makin menegang. Berhari-hari mereka nyaris tak berbicara. Hanya sekedar mengamprahkan instruksi atau pemberian terapi kepada pasien. Sisanya hanya dingin. Anehnya, Ifan tidak lagi terlambat seperti kemarin-kemarin. Dia rutin datang pagi untuk menyelesaikan pemeriksaannya. Seusai melakukan kunjungan pasien, Ifan seperti hilang ditelan bumi.Minggu ini mereka kembali berpindah siklus di IGD. Seperti biasa, segala permalahan medis bermuara di tempat itu. Dari pasien yang hanya mau ditensi rutin hingga pasien yang datang dalam keadaan kaku mayat.“Hifa,” panggil Kai yang tengah membereskan barang-barangnya. Mereka akan bertukar jaga lagi. “Kak Gatta cariin kamu di ruang tindakan.”Dengan cepat Hifa bergegas ke tempat tersebut. Seorang gadis kecil duduk tenang memainkan ponselnya dengan Gatta yang tengah menjahit betisnya. Luka robek tadi terlihat tidak lagi mengganggu si anak tersebut.
Minggu ini jadwal Hifa bersama Ifan di poliklinik. Mereka bisa mendapat liburan selama tiga hari setelah selama tiga minggu ini berkeliling bangsal dan IGD. Jadwal di poliklinik cenderung lebih ringan. Mereka hanya perlu melakukan pemeriksaan di poli umum untuk selanjutnya diarahkan ke poli spesialis. Kadang kala spesialis menitip pasien untuk ditangani seperti pada sebelum-sebelumnya.Hifa duduk menghitung berkas status yang dia dan Ifan sudah tangani. Mereka selalu melampaui batas maksimum dokter yang lain. Hifa menggeleng-geleng menggerutu.“Ifan, kamu pake jimat apa sih? Kok pasienmu selalu rame?” tandas Hifa.Ifan mengeluarkan bekal yang dibawanya entah dari mana dan mulai menyantapnya di hadapan Hifa. Dia mengiris potongan tahu yang tersaji di depannya dengan ukuran persegi. Lalu menancapkannya dengan garpu. Walau makanan tadi sudah dingin, bumbu kecap yang ditabur dengan wijen panggang itu terlihat menggiurkan.“Kamu tahu gak kala
Hifa tiba lebih awal dari biasanya. Di meja perawat sudah ada kerumunan perawat bisik-bisik menggosipkan sesuatu. Perawat-perawat ini selalu bisa mendapatkan kabar terbaru di mana pun mereka berada. Hifa ingat dengan istilah, dinding rumah sakit ini pun bisa mendengar bisikan paling halus. Dengan cepat Hifa menghampiri pusat keributan tadi.“Ada apa?” tanya Hifa heran.“Dr. Kai dipukul keluarga pasien.”“Kok bisa?”“Iya, dokter gak denger ya? Katanya karena obat yang dikasih dr. Kai buat pasien itu jadi sesak napas.”Hifa sudah bisa membayangkan kejadian yang telah terjadi. Hal ini pasti membuat Kai terpukul. Hifa belum sempat berbincang dengan Kai sejak beberapa hari ini.“Jadi sekarang pasiennya gimana?” tanya Hifa.“Untung dr. Ifan cepat datang. Kalau gak, mungkin ibu itu udah….” Perawat tadi menarik garis bayangan di depan lehernya dengan ekspresi seram
Jam menunjukkan pukul 11.00. Hifa duduk di atas sepedanya menunggu kedatangan Ifan. Dia baru muncul semenit kemudian. Dan seperti janji Hifa, mereka beriringan menuju rumah makan dekat kantor dinas yang dimaksud. Ifan juga mengayuh sepeda dengan ukuran yang lebih besar.“Aku gak pernah melihatmu bawa sepeda?” tanya Hifa.“Aku baru bawa sepeda hari ini.”“Jadi kamu naik apa ke rumah sakit?”“Jalan kaki.”“Oh ya, memang kamu tinggal di mana?”“Gak jauh.” Ifan menjawab singkat.Hifa mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Mereka masuk ke pintu depan rumah makan yang bisa dikategorikan sebagai restoran itu. Tidak banyak anak muda di tempat ini. Rata-rata pengunjungnya adalah pegawai dari kantor dinas kependudukan di seberangnya. Sebagian lagi hanya orang-orang dari berbagai kalangan pengusaha. Sungguh nuansa yang amat tidak sesuai dengan mereka.Sepertinya hany
Liburan dua hari terasa sangat cepat bagi Hifa. Dia harus kembali masuk ke rutinitas awalnya di rumah sakit tersebut. Minggu ini adalah jadwal IGD. Dia sudah mempersiapkan catatan kecil yang diperlukan. Hifa tidak akan memberikan kesempatan dirinya diolok oleh Ifan lagi. Apapun caranya dia harus menunjukkan kalau dia adalah dokter yang berkompeten. Apalagi sekarang dia sudah tidak lagi di bawah pengawasan dr. Gatta.“Pagi dr. Hifa?” sapa seorang perawat muda di dekatnya.Hifa membalas dengan senyum ceria.“Sudah mandi lum, dok?” tanya perawat tadi usil.Hifa mengendus tubuhnya bingung.“Emang bau ya?”“Bukan gitu. Kalau gak mandi pasiennya bisa jadi rame. Masak gitu aja gak paham sih dok.”Hifa mengangguk-angguk mengerti. Selain mandi, dia juga sudah mempersiapkan penangkal yang lebih ampuh untuk dirinya dan juga Ifan.Ifan datang tak lama kemudian. Tepat dia hendak menginjakkan k
Ifan belum datang ke rumah sakit bahkan saat jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Jika memang Ifan sengaja terlambat bukan karena mengantar pasien kemarin, maka Hifa berikrar akan menyemprotkan cairan penangkal pasien itu lagi di badannya. Mata Hifa tak berhenti melihat jam yang tergantung di dinding.Sesekali Hifa ke halaman depan mencari sinyal di hapenya yang hingga saat ini belum mendapat sinyal. Bagaimana bisa kota ini tidak memiliki jaringan di zaman sekarang? Tapi kalaupun ada sinyal, Hifa juga tetap tidak sudi menghubungi Ifan. Hifa harus menghubungi mama yang sempat mengirim pesan padanya kemarin.“Hifa? Ifan belum balik ya?” Dr. Gatta masuk ke IGD dengan senyum menawan yang berserakan ke mana-mana. Para perawat segera berkumpul di meja pendaftaran sambil berbisik riang. Kedatangan Gatta memang selalu mengundang ketertarikan para wanita penghuni rumah sakit.“Sepertinya dia terlambat,” jawab Hifa seraya kembali ke ruang jaga di b