Tommy Justine selalu dianggap menantu sampah oleh keluarga sang istri. Bahkan, pekerjaannya pun diremehkan. Hanya saja, mereka tidak tahu juga Tommy memiliki sebuah rahasia. Dia bukanlah menantu sampah, melainkan menantu paling luar biasa yang keluarga mana pun inginkan......
View MorePRANGG!!
Suara benda pecah mengoyak keheningan rumah tua itu seperti petir membelah malam. Di dapur sempit yang hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung, Tommy Justine berdiri kaku dengan tangan masih terangkat, spons cuci piring jatuh ke lantai bersamaan dengan air sabun yang mengalir dari piring pecah yang berserakan. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar bukan karena dingin, melainkan oleh firasat buruk yang menyelinap diam-diam. Langkah cepat terdengar dari ruang tamu, lantai kayu tua berderit menyuarakan kemarahan yang akan datang sebelum suaranya sendiri terdengar. Sosok wanita setengah baya dengan wajah penuh amarah dan rambut tersanggul rapi muncul di ambang pintu dapur. Nathalia Lewis—ibu mertua Tommy, sekaligus duri dalam kehidupannya sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di rumah ini—menatapnya seperti serigala mencium darah. "TOMMY!" bentaknya, suaranya menggema seperti cambuk. Matanya menyala, tatapan menusuk seolah ingin menelanjangi harga diri seseorang. "Apa yang kamu lakukan, hah?! Astaga, kamu benar-benar—benar-benar—menantu paling sampah yang pernah hidup di kota Levin ini!" Tommy menunduk. Tenggorokannya tercekat. Ia tidak menjawab langsung, hanya melihat ke bawah, ke pecahan keramik putih bergaris biru yang dulunya piring utuh. Tangannya masih basah, sabun menetes di sela-sela jari. "Aku... aku nggak sengaja, Bu," ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. "Tanganku licin. Aku cuma sedang cuci piring bekas makan malam. Aku akan bersihkan semuanya." "Luar biasa..." Nathalia mendengus, suaranya tajam seperti sembilu. "Kamu tahu berapa harga piring itu, hah? Itu bukan piring sembarangan! Itu koleksi keramik edisi terbatas dari Elisa, sahabatku yang tinggal di Amerika! Kamu pikir semua barang di rumah ini bisa kamu perlakukan seenaknya, kayak di tempat pembuangan?!" Tommy masih menunduk. "Aku janji, Bu... kalau nanti aku dapat kerja, aku akan ganti. Aku akan—" "KERJA?" Nathalia tertawa keras dan penuh penghinaan. "Kamu? HA! Kerja apa? Paling banter jadi kuli angkut! Satu tahun kamu tinggal di sini, satu tahun penuh, dan belum sekalipun kamu bawa pulang satu lembar uang pun ke rumah ini! Yang kamu tahu cuma cuci piring, sapu rumah, makan tidur, dan merusak segala hal!" Tommy menggigit bibirnya. Tidak ada pembelaan. Tak ada yang bisa ia katakan tanpa membuat semuanya lebih buruk. Langkah lain terdengar dari tangga. Kali ini lebih ringan, cepat, dan cemas. Tiffany—istri Tommy—muncul dari balik ruang tengah. Rambut panjangnya sedikit berantakan, mata cemasnya memindai situasi, lalu menatap Tommy yang tampak seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri permen. "Ada apa sih, malam-malam ribut banget?" "Lihat sendiri!" Nathalia menunjuk dengan telunjuk gemetarnya ke arah pecahan piring. "Suamimu yang nggak berguna ini MEMECAHKAN koleksi keramikku yang paling mahal! Piring dari Elisa! Dan sekarang dia hanya bisa minta maaf sambil janji ganti—JANJI!—seolah dia tahu artinya tanggung jawab!" Tiffany menatap ibunya, lalu beralih ke Tommy. "Bu, ini cuma piring. Aku bisa belikan yang baru besok. Jangan terlalu—" "Cuma piring?! Tiffany, kamu pikir aku marah hanya karena piring? Ini tentang harga diri, tentang prinsip! Tentang betapa menyesalnya aku setiap hari melihat kamu menikah dengan makhluk sekelas dia! Kamu lulusan luar negeri, punya karier cemerlang di depanmu, dan kamu habiskan hidupmu bersama... pecundang seperti ini?!" Tommy mencoba bicara, tapi kata-katanya tertelan napas sendiri. "Aku akan lebih hati-hati... aku janji, Bu," katanya, nyaris tak terdengar. "SUDAH TERLAMBAT!" Nathalia berteriak. "Dengar, kalau saja ayahmu dan kakekmu dulu tidak memaksakan perjodohan ini—karena rasa kasihan bodoh mereka pada pria yatim piatu dengan asal-usul mencurigakan seperti kamu—aku tidak akan pernah izinkan kamu masuk ke rumah ini! Kamu bahkan bukan siapa-siapa! Tidak jelas siapa orang tuamu, tidak ada latar belakang, tidak ada nama!" Tommy merasakan perih yang aneh di dadanya. Rasa malu dan marah bertabrakan dalam diam. Tapi ia tetap diam. Seperti biasa. "Ibu, cukup!" Tiffany akhirnya bicara, suaranya meninggi. "Tommy memang dijodohkan oleh Kakek, tapi aku yang memutuskan untuk menikah dengannya. Aku percaya dia. Aku percaya Tuhan punya rencana. Aku percaya pada pilihan Kakek." Nathalia mendengus. "Kalau kamu percaya pada takdir, maka kamu juga harus terima akibatnya. Dan aku bersumpah, kalau satu kali lagi dia membuat masalah—SEKALI SAJA—aku sendiri yang akan menyeretnya keluar dari rumah ini seperti anjing jalanan!" Suasana mendadak membeku. Bahkan suara cicak pun seolah berhenti. Tiffany menatap Tommy, yang terlihat seperti orang yang baru saja kehilangan napas. Ada luka dalam di matanya yang tidak bisa dihapus dengan kata maaf. Gerald, ayah Tiffany, menghela napas pelan dari ruang tamu. Pria paruh baya itu tengah duduk membaca koran, dan meski terlihat tidak ikut campur, ia telah mendengar semuanya. Gerald adalah pria bijak, jauh lebih tenang dibanding istrinya. Ia mengenal Tommy dengan baik, dan lebih penting lagi—ia mengenal baik ayahnya sendiri, kakek Tiffany yang telah menjodohkan mereka. Tapi Gerald tahu, di rumah ini, suaranya seringkali tenggelam di bawah nada tinggi Nathalia. Bukan hanya itu,seberapapun Gerald mencoba menjadi penengah,dia tidak akan mampu melawan Nathalia. Istrinya sangat dominan dan hampir tidak bisa di kalahkan dalam perdebatan apapun. Yang mampu mengatasi nya hanyalah anaknya sendiri yaitu Tiffany. Namun malam itu, sebelum Gerald sempat bicara, sebuah suara lain memecah kebekuan: Tok... tok... tok... Tiga ketukan berat di pintu depan. Perlahan. Dalam. Menggema. Mereka semua menoleh. Bahkan Nathalia terdiam. "Siapa malam-malam begini?" gumamnya curiga. Gerald menurunkan korannya perlahan. Ia berdiri dari kursinya. " Biar aku yang buka." Tok! Tok! Tok! Ketukan itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras. Lebih mendesak. Seolah waktu ikut menahan napas. Dan ketika Gerald akhirnya membuka pintu... Ada seorang pria bertubuh besar berdiri di depan Gerald. "Siapa kalian? ada apa?"Pagi itu, aroma sarapan yang disiapkan Tommy memenuhi seisi rumah. Tommy dengan cekatan menata piring-piring di meja makan ketika Sabrina muncul dari kamarnya. Ia sudah rapi dengan pakaian kerjanya, sebuah blazer abu-abu gelap yang dipadukan dengan blus sutra berwarna krem, dan celana bahan yang presisi. Namun, yang membuat Tommy mengerutkan kening adalah koper berukuran sedang yang ia seret di belakangnya. "Sabrina? Mau ke mana kamu? Kenapa bawa koper?" tanya Tommy, tangannya berhenti sejenak di atas tumpukan roti panggang. Sabrina tersenyum tipis. "Selamat pagi, Tom. Ya, aku rasa sudah cukup tinggal di sini." Ia menghela napas ringan. "Keluargaku sudah memesan sebuah kamar di Golden Gate Hotel. Dan mulai hari ini, aku akan tinggal di sana." Mendengar nama Golden Gate Hotel, Tommy mengangguk mengerti. Ia tahu, sebagai keluarga terkaya nomor tiga di Highland, harga sebuah kamar di hotel bintang lima itu bukanlah masalah bagi keluarga Sabrina. Tommy juga tahu sedikit banyak tentang
Deru mesin halus BMW Seri 3 memecah keheningan sore di Levin, sebuah kota kecil yang tenang di pinggiran. Jalanan yang tadinya lebar dan ramai di pusat kota kini berganti menjadi jalanan aspal yang lebih sempit, diapit oleh rumah-rumah dengan halaman berumput dan pagar kayu sederhana. Ini adalah dunia yang sangat berbeda dari lanskap beton dan kaca tempat penthouse Tommy berada. Namun, bagi Tommy, suasana ini membawa kedamaian yang aneh, rasa 'pulang' yang tulus. Ini adalah dunia Tiffany, istrinya. Ia membelokkan mobil hitam metalik itu ke halaman sebuah rumah yang rapi dan bersahaja. Cat putihnya sedikit mengelupas di beberapa bagian, tetapi taman di depannya dirawat dengan cermat, penuh dengan bunga-bunga mawar dan melati yang sedang mekar. Ini adalah rumah keluarga Tiffany, tempat istrinya tumbuh dewasa. Tommy mematikan mesin. Sejenak ia hanya duduk di sana, memandangi teras tempat ia sering duduk berbincang dengan ayah mertuanya. Ia tidak melakukan ini untuk pamer. Ia melakukan
Mentari pagi baru saja merangkak naik, memandikan kota dengan cahaya keemasannya. Di ruang makan sebuah penthouse mewah yang menghadap ke lanskap kota, Tommy menyeruput kopi paginya. Aroma kopi arabika yang kental berpadu dengan keheningan yang menenangkan. Di seberang meja, istrinya, Tiffany , tersenyum sambil mengagumi kunci mobil baru yang tergeletak di samping piringnya."Kau benar-benar melakukannya," ujar Tiffany, matanya berbinar. "BMW Seri 5 ini... seperti mimpi."Tommy tersenyum. "Hanya yang terbaik untukmu, sayang. Lagipula, pramuniaga di sana sangat profesional. Pengalaman yang menyenangkan.""Lalu, apa rencanamu hari ini? Bukankah kau bilang akan membelikan mobil untuk Ayah?""Benar," kata Tommy sambil meletakkan cangkirnya. "Aku akan kembali ke area showroom itu. Ada urusan yang belum selesai." Ada kilatan samar di matanya yang tidak bisa dibaca Tiffany, perpaduan antara geli dan sebuah prinsip yang tak tergoyahkan.Beberapa jam kemudian, Tommy tiba di kawasan otomotif pr
Suasana makan malam terasa hangat malam itu, jauh berbeda dari biasanya. Nathalia, yang biasanya menunjukkan sikap ketus dan tak jarang melontarkan sindiran, kini tampak jauh lebih melunak. Tommy tahu betul sifat mertuanya; Nathalia adalah tipe wanita yang materialistis, dan "sentuhan uang" yang diberikannya mampu meluluhkan kekerasannya."Apakah Sabrina belum kembali dari Jowstone Group?" tanya Gerald, memecah keheningan yang nyaman."Belum, Ayah," jawab Tiffany. "Sabrina bilang dia akan lembur di hari pertamanya bekerja. Katanya banyak tugas yang harus dibenahi. Karena dia cukup baru di perusahaan itu, dia harus lebih ekstra bekerja agar semuanya stabil di awal."Nathalia menghela napas. "Aku pikir dengan status dari keluarga kaya Sabrina di Highland, dia tidak akan bekerja keras sama sekali." Ada nada kejutan dalam suaranya.Tiffany tersenyum tipis. "Bukankah dari dulu memang Sabrina sangat mandiri, Bu? Dia hampir tidak pernah mengandalkan kemampuan keluarganya dan selalu fokus pad
Mobil BMW Seri 7 yang emblemnya sudah diganti menjadi Seri 5 itu melaju mulus memasuki pekarangan rumah yang tidak terlalu luas. Tiffany, dengan senyum merekah, memarkirkan mobil. Rona bahagia tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Ia tak pernah menyangka, hadiah "kecil" yang ia berikan pada Tommy akan membawa dampak sebesar ini pada hubungan mereka, terutama pada pandangan keluarga terhadap Tommy.Suara deru mesin mobil yang asing segera menarik perhatian Nathalia dan Gerald. Mereka bergegas keluar, rasa penasaran tergambar jelas di wajah mereka. Siapa gerangan yang bertamu malam-malam begini? Mata mereka membulat saat melihat Tiffany yang turun dari kursi pengemudi BMW tersebut, diikuti Tommy yang tersenyum simpul."Ya ampun, Tiffany! Apa ini mobil barumu?!" seru Nathalia, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu yang meluap-luap.Tiffany mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Iya, Bu."Nathalia mendekat, matanya menelusuri setiap lekuk bodi mobil mewah itu. "Ya ampun... Jadi ini mobil direk
Tommy mematikan ponselnya dengan senyum tipis. Rencananya berjalan sempurna. Tiffany, yang awam soal kendaraan, pasti akan percaya bahwa BMW Seri 7 yang sudah disulapnya menjadi Seri 5 itu memang benar-benar Seri 5. Ia tahu Tiffany tak akan curiga, karena baginya, semua BMW terlihat mahal. Ia hanya ingin Tiffany merasa nyaman, bukan terbebani oleh harga sebuah mobil.Perjalanan Tommy terasa lebih ringan. Sebentar lagi, ia akan melihat ekspresi terkejut istrinya. Itu adalah hadiah kecil yang ia siapkan untuk sang istri yang selama ini selalu mendukungnya. Dalam hatinya, ia membayangkan bagaimana Tiffany akan merengek tentang betapa borosnya dia, tapi ia tahu itu hanya bentuk perhatian Tiffany.Setibanya di depan lobi Lewis Group, Tommy bersandar santai di pilar, sesekali menyeruput rokoknya. Tak lama, sosok Tiffany muncul dari pintu kaca, memancarkan aura profesionalisme yang selalu membuatnya bangga."Tom, apa kamu sudah memesan taksi untuk kita pulang?" t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments