“Ada dua ibu bersalin di IGD,” ujar dr. Gatta. “Sebaiknya kalian dampingi pasien yang sudah bukaan 4 itu.”
Hifa pun berlari ke arah ibu hamil tersebut. Dengan cepat melakukan pemeriksaan singkat. Kemudian mendorongnya masuk ke ruang VK[1]. Ada dua bidan yang bertugas saat itu. Mereka membantu ibu tadi mempersiapkan peralatan partus[2].
“Fan, cepat sini,” panggil Hifa kesal.
“Kenapa?” tanya Ifan.
Hifa memperlihatkan tangan bayi sudah muncul dari vulva. Semua tampak panik. Bidan muda di samping mereka diam tak mampu berkata-kata.
Ifan menatap datar. Seolah tidak terjadi apa-apa, dia mengambil sarung tangan obgyn dan segera mengambil tempat di dekat ibu yang tengah bersalin tersebut.
“Ibu Rina, ibu tenang dulu. Sekarang ibu jangan mengejan dulu. Tarik napas dalam, kumpulkan napasnya, lalu ketika sudah terasa nyeri sekali baru sama-sama ibu mengejan,” ucap Ifan seperti sudah sering menolong persalinan.
Hifa berdiri mengamati tindakan Ifan yang terlihat luwes itu. Dia tahu Ifan juga tidak pernah menolong persalinan seperti ini sebelumnya, tapi sikapnya yang tenang membuat dia terlihat sangat mahir. Ifan melakukan berbagai perasat yang nyaris sudah dilupakan Hifa. Dia melahirkan bahu sang bayi, kemudian membantu keluar kepala bayi mungil tadi.
Hifa ingat ini kasus kandungan yang cukup langka terjadi. Neglected Transverse Presentation hingga menyebabkan lengan bayi prolaps dan keluar dari vulva sebelum kepala bayi turun. Dia tahu jika bayi ini tidak segera ditindaklanjuti mungkin bisa meninggal di dalam rahim.
Sang ibu melepaskan erangan terkuatnya saat berhasil melahirkan kepala, badan, dan kaki bayi. Bayinya langsung menangis keras. Wajah bayi yang di detik awal sempat membiru berangsur-angsur memerah. Bidan segera menangkap bayi tersebut dan membersihkannya dengan kain kering. Hifa ingin bersorak lega. Dia bisa melihat wajah Ifan yang berpeluh menghela gembira. Hifa tahu dia juga sangat tegang saat melakukan tindakan tersebut.
Kini giliran Hifa yang bertugas melahirkan plasenta. Dia pernah melakukannya beberapa kali saat koas dulu. Semestinya ini tidak sesulit seperti yang dia bayangkan. Ilmu tentang penegangan tali pusat terkendali sudah di luar kepalanya. Ifan di depannya masih membantu melakukan masase uterus[3] di depannya. Sangking semangatnya dia melakukan pijat perut, air ketuban bercampur lendir darah yang masih berada di rongga rahim tersembur keluar. Cipratan tadi tepat membasahi seluruh lengan hingga kepala Hifa.
Seketika Hifa basah kuyub. Ifan melonjak kaget. Dia berhenti memijat rahim ibu tadi.
“Ifan!” Hifa menggertak Ifan kesal. Namun dia tidak bisa banyak berbuat karena tali pusat itu masih berada dalam genggangamnya. Setelah plasenta keluar seluruhnya, Hifa segera melakukan periksa dalam untuk memastikan tidak ada plasenta yang tersisa.
Plasenta keluar tanpa bersisa dan bayi juga sudah berada dalam pelukan sang ibu.
Selang beberapa waktu setelah bayi tersebut lahir, konsulen obgyn pun tiba. Dia berjalan tergesa-gesa ke arah ruangan pasien dan mendapati bayi yang dilahirkan ternyata dalam keadaan sehat. Dia menatap Hifa dan Ifan selama beberapa detik.
Hifa yang kumal itu menatapnya tegang. Mereka tidak tahu respon apa yang akan diberikan oleh konsulen itu.
“Ah, sudah ya? Baiklah, kalau begitu. Kalian bisa selesaikan, kan?” tanya dari balik masker bedahnya.
Hifa tidak segera menjawab sebab dia masih bingung apakah sang konsulen marah mereka mendahului pekerjaannya, atau justru jadi terbantu dengan adanya tindakan mereka. Dr. Gatta datang tak lama kemudian. Wajahnya menatap Hifa dan Ifan heran.
“Maaf, dok, saya tidak tahu jika mereka sudah menyelesaikan persalinan pasien ini,” kata Gatta menyusul sang konsulen.
“Oh, tidak apa-apa. Aku tadinya pikir proses persalinan seperti ini butuh pendampingan. Tapi kuliat semua aman-aman aja,” ucapnya.
Konsulen tadi segera memeriksa status pasien dan pergi tak lama kemudian. Kedua mata Hifa masih melotot ke arah Ifan. Ifan membalas tatapan tadi dengan kernyitan tanpa dosa. Dia meraih sehelai tisu dan menyerahkannya pada Hifa.
Hifa menepis tisu tadi masih kesal. “Kamu tuh kenapa sih? Gak waktu koas gak waktu iship, selalu aja bikin gara-gara.”
“Aku kan gak tahu air ketubannya bakal menyemprot gitu,” pungkas Ifan membela diri. “Lagian siapa suruh kepalamu deket-deket?”
Hifa tak menyambung perdebatan tadi. Dia tahu semua hanya akan membuat hatinya makin runyam. Lebih baik dia segera membersihkan diri sebelum dr. Gatta mencium bau anyir ini.
[1] VK (Verlos Kamer ) yang artinya ruang bersalin
[2] Partus : melahirkan secara normal
[3] Uterus : rahim
Hari selanjutnya giliran Hifa berjaga di poliklinik. Kebanyakan pasien yang datang adalah untuk mengambil obat, melakukan kontrol rutin, atau hanya untuk konsultasi beberapa penyakit. Karena mereka sudah memiliki surat ijin praktik, mereka turun langsung ke poli. Meja dokter dan tempat tidur pasien sudah tersedia di sana. Semestinya ini tidak akan sedramatis yang sudah mereka lalui di ruang rawat inap atau di IGD kemarin.Hifa membuka lagi buku catatannya, mencoba menghapal beberapa dosis obat dan cara pemakaiannya. Bagaimanapun otaknya tidak seencer Ifan yang bisa langsung mengingat apapun ketika melihat buku kedokteran itu.Mereka berada di ruangan yang berbeda. Koridor rumah sakit sudah dipadati pasien bahkan sebelum poliklinik ini di buka. Sebagian dari mereka adalah lansia yang diantar keluarganya untuk melakukan pemeriksaan. Hanya satu ibu-ibu berusia empat puluhan tahun datang duduk menyendiri di sudut koridor. Dia menunggu antrian.“Halo, Hifa ya?
Pagi ini Hifa berangkat dengan sepeda baru yang dia beli di toko sepeda tak jauh dari rumah sakit. Dia bisa bangun agak siang dengan keberadaan benda ini. Silla dan Kai menyusulnya di belakang. Mereka bersama-sama naik sepeda ke rumah sakit. Sementara Nindi selalu diantar sepupunya ke rumah sakit. Dia tidak tinggal di kos-kosan seperti Silla dan Kai. Hifa masih belum tahu tentang Ifan. Dia selalu datang terlambat ke rumah sakit. Seperti kebiasaannya saat di kampus dulu. Mereka akan kembali berotasi ke bangsal hari ini. Hifa akan mengambil jagaan di bangsal anak dan maternitas, sementara Ifan yang mengambil di bangsal dewasa. Nindi dan dr. Stella akan berjaga malam hari ini. Aktivitas dan kesibukan mereka kian bertambah hari demi hari selama di sini. Bahkan hingga satu jam setelah pertukaranshiftIfan tak kunjung datang. Hal ini membuat Hifa harus berjaga di tiga bangsal sekaligus. Kegusarannya makin menjadi-jadi saat Ifan muncul tanpa mengatakan a
Di hari ketiga, Ifan kembali mengulang keterlambatannya. Namun kali ini Hifa tidak lagi memarahinya atau menegurnya di depan bangsal. Ifan mengamati sekeliling bangsal dan tidak menemukan keberadaan Hifa. Dia hendak melanjutkan kegiatan visit ke pasien di bangsal dewasa tersebut. Kecurigaannya terbesit ketika mendapati Hifa ternyata sudah menyelesaikan nyaris semua tugas visit yang semestinya dilakukan oleh Ifan. Bahkan Hifa sudah mengisi hasil pemeriksaan serta melaporkan kepada dokter penanggung jawab untuk konsultasi yang diperlukan. Ifan duduk mengamati setiap status pasien yang sudah terisi sempurna. Dia tidak perlu lagi melakukan visit harian. Akhirnya Hifa pun muncul dari koridor gedung sebelah. Dia melangkah tanpa melihat penampakan Ifan. Ifan yang melihat dokter perempuan itu segera mengejarnya. “Hifa! Tunggu!” Kali ini, Hifa dengan penuh kemenangan tidak menggubris panggilan Ifan. “Kamu sudah menyelesaikan visit pasien?” tanya
Setelah kasus yang terjadi itu, hubungan Hifa dengan Ifan makin menegang. Berhari-hari mereka nyaris tak berbicara. Hanya sekedar mengamprahkan instruksi atau pemberian terapi kepada pasien. Sisanya hanya dingin. Anehnya, Ifan tidak lagi terlambat seperti kemarin-kemarin. Dia rutin datang pagi untuk menyelesaikan pemeriksaannya. Seusai melakukan kunjungan pasien, Ifan seperti hilang ditelan bumi.Minggu ini mereka kembali berpindah siklus di IGD. Seperti biasa, segala permalahan medis bermuara di tempat itu. Dari pasien yang hanya mau ditensi rutin hingga pasien yang datang dalam keadaan kaku mayat.“Hifa,” panggil Kai yang tengah membereskan barang-barangnya. Mereka akan bertukar jaga lagi. “Kak Gatta cariin kamu di ruang tindakan.”Dengan cepat Hifa bergegas ke tempat tersebut. Seorang gadis kecil duduk tenang memainkan ponselnya dengan Gatta yang tengah menjahit betisnya. Luka robek tadi terlihat tidak lagi mengganggu si anak tersebut.
Minggu ini jadwal Hifa bersama Ifan di poliklinik. Mereka bisa mendapat liburan selama tiga hari setelah selama tiga minggu ini berkeliling bangsal dan IGD. Jadwal di poliklinik cenderung lebih ringan. Mereka hanya perlu melakukan pemeriksaan di poli umum untuk selanjutnya diarahkan ke poli spesialis. Kadang kala spesialis menitip pasien untuk ditangani seperti pada sebelum-sebelumnya.Hifa duduk menghitung berkas status yang dia dan Ifan sudah tangani. Mereka selalu melampaui batas maksimum dokter yang lain. Hifa menggeleng-geleng menggerutu.“Ifan, kamu pake jimat apa sih? Kok pasienmu selalu rame?” tandas Hifa.Ifan mengeluarkan bekal yang dibawanya entah dari mana dan mulai menyantapnya di hadapan Hifa. Dia mengiris potongan tahu yang tersaji di depannya dengan ukuran persegi. Lalu menancapkannya dengan garpu. Walau makanan tadi sudah dingin, bumbu kecap yang ditabur dengan wijen panggang itu terlihat menggiurkan.“Kamu tahu gak kala
Hifa tiba lebih awal dari biasanya. Di meja perawat sudah ada kerumunan perawat bisik-bisik menggosipkan sesuatu. Perawat-perawat ini selalu bisa mendapatkan kabar terbaru di mana pun mereka berada. Hifa ingat dengan istilah, dinding rumah sakit ini pun bisa mendengar bisikan paling halus. Dengan cepat Hifa menghampiri pusat keributan tadi.“Ada apa?” tanya Hifa heran.“Dr. Kai dipukul keluarga pasien.”“Kok bisa?”“Iya, dokter gak denger ya? Katanya karena obat yang dikasih dr. Kai buat pasien itu jadi sesak napas.”Hifa sudah bisa membayangkan kejadian yang telah terjadi. Hal ini pasti membuat Kai terpukul. Hifa belum sempat berbincang dengan Kai sejak beberapa hari ini.“Jadi sekarang pasiennya gimana?” tanya Hifa.“Untung dr. Ifan cepat datang. Kalau gak, mungkin ibu itu udah….” Perawat tadi menarik garis bayangan di depan lehernya dengan ekspresi seram
Jam menunjukkan pukul 11.00. Hifa duduk di atas sepedanya menunggu kedatangan Ifan. Dia baru muncul semenit kemudian. Dan seperti janji Hifa, mereka beriringan menuju rumah makan dekat kantor dinas yang dimaksud. Ifan juga mengayuh sepeda dengan ukuran yang lebih besar.“Aku gak pernah melihatmu bawa sepeda?” tanya Hifa.“Aku baru bawa sepeda hari ini.”“Jadi kamu naik apa ke rumah sakit?”“Jalan kaki.”“Oh ya, memang kamu tinggal di mana?”“Gak jauh.” Ifan menjawab singkat.Hifa mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Mereka masuk ke pintu depan rumah makan yang bisa dikategorikan sebagai restoran itu. Tidak banyak anak muda di tempat ini. Rata-rata pengunjungnya adalah pegawai dari kantor dinas kependudukan di seberangnya. Sebagian lagi hanya orang-orang dari berbagai kalangan pengusaha. Sungguh nuansa yang amat tidak sesuai dengan mereka.Sepertinya hany
Liburan dua hari terasa sangat cepat bagi Hifa. Dia harus kembali masuk ke rutinitas awalnya di rumah sakit tersebut. Minggu ini adalah jadwal IGD. Dia sudah mempersiapkan catatan kecil yang diperlukan. Hifa tidak akan memberikan kesempatan dirinya diolok oleh Ifan lagi. Apapun caranya dia harus menunjukkan kalau dia adalah dokter yang berkompeten. Apalagi sekarang dia sudah tidak lagi di bawah pengawasan dr. Gatta.“Pagi dr. Hifa?” sapa seorang perawat muda di dekatnya.Hifa membalas dengan senyum ceria.“Sudah mandi lum, dok?” tanya perawat tadi usil.Hifa mengendus tubuhnya bingung.“Emang bau ya?”“Bukan gitu. Kalau gak mandi pasiennya bisa jadi rame. Masak gitu aja gak paham sih dok.”Hifa mengangguk-angguk mengerti. Selain mandi, dia juga sudah mempersiapkan penangkal yang lebih ampuh untuk dirinya dan juga Ifan.Ifan datang tak lama kemudian. Tepat dia hendak menginjakkan k