Menjadi wedding organizer berarti aku--Irene-- harus bisa menghadapi klien cerewet, ibu-ibu perfeksionis, sampai kejadian tak terduga dengan senyum manis dan sepatu hak tinggi. Tapi, tidak ada yang mempersiapkanku untuk Gasan Ishaaq, pria 32 tahun yang selalu membuatku.....
View More“Siapa tahu Mbak Irene mau ditikung sebelum ijab kabul.”
*** Aku berdiri di tengah-tengah ballroom yang luas, dikelilingi bunga-bunga segar yang dipilih dengan cermat untuk menghiasi setiap sudut. Warna-warna cerah mewarnai meja-meja bundar, sementara langit-langit dihiasi kerlap-kerlip lampu gantung kecil yang memberikan kesan romantis dan memikat. "Mbak Irene, bunga ini taruh di mana?" tanya salah satu pegawai. “Oh, bunga itu taruh di meja penerima tamu. Dan… tolong, pastikan nggak menutupi daftar tamu ya,” jawabku sambil menunjuk tempatnya. “Siap, Mbak Irene!” Aku Irene Handoyo, putri dari Pak Handoyo dan Bu Ramisha. Aku seorang wedding organizer sekaligus pemilik "Ever After Events", bisnis yang kutumbuhkan dari kecintaanku pada estetika dan perasaan bahagia di momen-momen besar kehidupan orang lain. Setiap bunga, setiap simpul pita, hingga pencahayaan—aku pilih dan atur dengan penuh perhatian. Bagiku, dekorasi bukan sekadar mempercantik ruangan. Mawar bukan cuma mawar—dia melambangkan cinta. Lily itu kesucian. Anggrek? Keanggunan yang tak berisik. Setiap kali aku merangkai pernikahan, aku ingin tamu yang datang tak cuma memuji keindahannya, tapi juga bisa merasa... sesuatu. Sesuatu yang membekas. Tapi, hari ini—di pernikahan Bagas dan Novita—ada sesuatu yang bikin suasana sedikit lain. Nia, asistenku yang selalu kepo, menghampiriku sambil senyum-senyum misterius. “Mbak, lihat, deh. Mas Gasan dateng. Itu lho, kakaknya Mas Bagas.” Aku menoleh sekilas ke arah pintu masuk ballroom. Seorang pria masuk, tinggi dan tegap, setelan jas biru tua membalut tubuhnya dengan pas. Gaya jalannya percaya diri, seperti seseorang yang terbiasa diperhatikan. Aku kembali ke clipboard. “Kenapa lo kasih tahu gue?” Nia terkikik. “Siapa tahu Mbak Irene mau ditikung sebelum ijab kabul.” Aku menyentil keningnya pelan. “Dasar, kerja yang bener!” Baru saja Nia menjauh, datanglah Pak Teguh—manajer Hotel Amalia—dengan gaya khasnya, rambut klimis, parfum mencolok, dan ya, buket bunga di tangan. Aku nyaris menghela napas dengan suara. Lagi? “Hai, Irene,” sapanya manis. “Aku bawain mawar merah. Katanya kamu suka, kan?” Dia menyodorkannya dengan bangga. "Simbol cintaku," tambahnya dengan nada dramatis. Oh, Tuhan. Ini sudah ketiga kalinya minggu ini. Bahkan, di pertemuan pertama, dia sudah bicara soal menikah. Serius. Apa karena aku single dan sibuk kerja, orang-orang pikir aku haus perhatian? “Maaf, Pak. Saya nggak tertarik. Permisi,” ujarku tegas. Kutinggalkan dia dengan bunga dan kebingungan di tangan. Aku menuju lorong samping ballroom, mengecek dekorasi ruang pengantin. Sepanjang lorong, suasana sedikit lebih tenang. Namun, langkahku terhenti ketika melihat sosok pria yang berdiri menyandar santai di dinding, seperti sedang menunggu seseorang. “Jadi perempuan, jangan terlalu angkuh, Mbak. Nanti jodohnya takut duluan,” katanya enteng, senyumnya penuh percaya diri. Matanya menyipit menatapku. Aku menoleh pelan. “Maaf?” Dia mendekat satu langkah. “Gasan. Gasan Ishaaq. Kakaknya mempelai pria. Baru aja lihat kamu tolak cowok bawa bunga. Sadis juga, ya.” Aku mengangkat alis, berusaha menahan diri. “Dan, apa itu ada hubungannya dengan Anda?” “Nggak juga. Cuma, penasaran. Perempuan secantik kamu, kok kayak benteng berlapis.” “Karena saya bukan tempat wisata yang bisa dikunjungi sembarangan,” balasku tajam. Dia tertawa kecil. “Galak juga, ya.” “Defensif,” koreksiku. “Karena saya kerja di tengah banyak laki-laki yang sok tahu.” Dia menyilangkan tangan, mengamatiku. “Pantes. Gayamu kayak nyetir rapat direksi.” Aku menatapnya datar. “Karena saya pemilik usaha ini. Kamu? Gayamu kayak CEO.” Dia nyengir. “Kebetulan, Aku adalah CEO Ishaaq Group.” Aku terdiam satu detik. Oke, tidak kusangka. Tapi, tetap saja. “Selamat, Tuan CEO. Tapi, jabatan itu nggak otomatis bikin opinimu valid buat saya.” Dia kembali tertawa. Aku mulai merasa geli sendiri. Pria ini jelas bukan tipikal cowok basa-basi. Tapi, entah kenapa aku tak bisa sepenuhnya ilfeel juga. “Kamu suka bunga?” tanyanya tiba-tiba. Aku sempat bingung, tapi menjawab, “Suka. Banget.” “Kalau aku bilang kamu mirip peony, kamu marah nggak?” Aku menyipitkan mata. “Tergantung. Maksudnya apa?” “Cantik, tapi hati-hati banget buka kelopak. Nggak semua orang bisa lihat sisi dalamnya.” Aku terdiam. Oke, ini mendekati pujian yang kupikirkan semalaman. Tapi, aku nggak mau kalah. “Dan kamu seperti duri mawar. Nempel terus di mana ada peluang, tapi menyakitkan kalau disentuh sembarangan.” Dia tersenyum lebar, lalu berkata pelan, “Fair enough.” Sebelum suasana makin absurd, aku melangkah pergi. Tapi, langkahku terhenti saat dia memanggil. “Irene.” Aku menoleh. “Mungkin kamu bener soal pagar tinggi. Tapi, kadang ada orang yang cukup sabar buat ketuk pintu, bukan dobrak.” Aku sempat terdiam, lalu berkata, “Semoga kamu sabar beneran. Karena pagar ini nggak pakai kunci duplikat.” Lalu, aku melanjutkan langkah. Entah kenapa, lorong yang sepi tadi terasa sedikit lebih hangat sekarang. Atau, mungkin karena pria menyebalkan yang—sialnya—membuat jantungku berdetak agak lebih cepat. *** Suara musik lembut mulai mengalun. Ballroom sudah penuh oleh tamu-tamu berpakaian elegan. Lampu digelapkan sedikit, menyisakan cahaya keemasan dari chandelier dan lilin-lilin di setiap meja. Aku berdiri di sisi ruangan, earpiece terpasang, clipboard di tangan, mata awas mengamati segala sudut. Pemandangan pengantin berjalan menuju pelaminan selalu jadi favoritku. Ada sesuatu yang magis saat dua orang berjalan berdampingan, siap memulai hidup bersama. “Lighting oke. Musik jalan. Catering on time. Alur masuk tamu clear,” kataku pada tim lewat earpiece. Semua di bawah kendali, persis seperti yang kurencanakan. Tapi, dari ujung mata, aku tahu seseorang sedang menatapku, lagi. Gasan. Dia berdiri dekat meja minuman, memegang segelas sparkling water, dan—astaga—masih dengan senyum menyebalkannya. Seperti dia tahu betul aku nggak bisa sepenuhnya mengabaikannya. Aku berpaling, pura-pura sibuk mencatat sesuatu. Tapi, tak lama kemudian, “Pemandangan dari sini bagus, ya?” tanyanya, tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. Aku menoleh cepat. “Maksudnya?” “Kamu yang lagi kerja dan fokus, juga tegas. Tapi, tetap kelihatan tenang.” Aku mendesah pelan. “Kalau kamu lagi bosan, di pojok sana ada photo booth. Bisa foto bareng balon sama kacamata lucu.” “Ah, tapi aku lebih suka interaksi manusia asli daripada properti pesta.” Dia bicara santai, tapi matanya mengunci padaku. Aku tak membalas. Cuma menatapnya sejenak, lalu kembali fokus ke keramaian. “Kalau kamu ikut ke aisle, bisa jadi bridesmaid paling galak di sejarah,” katanya lagi. “Dan, kamu bisa jadi tamu paling banyak omong,” balasku pelan. Dia tertawa. “Aku serius, lho. Kamu tipe orang yang, walau diam di pojok ruangan, tapi tetap paling nyala. Kelihatan beda.” Aku meliriknya. “Kamu selalu gombal begini ke semua orang?” “Nggak. Biasanya cuma ke klien investor dan," jedanya sambil melirikku, "perempuan yang menarik perhatianku.” Deg. Aku mengalihkan pandangan ke panggung. Bagas dan Novita sudah duduk di pelaminan. Semua berjalan lancar. Tapi, pikiranku sedikit teralihkan. Sial. Gasan melirikku. “Aku tahu kamu sibuk, tapi kalau nanti pesta selesai, apa boleh traktir kamu kopi? Teh, atau apa pun yang nggak ada hubungannya sama bunga?" Aku mengangkat alis. “Kenapa?” “Karena aku mau tahu kamu lebih dari sekadar wedding organizer galak yang suka marah kalau bunga dipindahin.” Aku menahan senyum. Hampir. “Nanti malam aku masih harus beresin rundown dan follow-up ke vendor. Nggak ada waktu buat teh.” “Besok?” “Besok ada dua meeting.” “Lusa?” Aku menatapnya penuh tanya. “Kamu selalu segigih ini, ya?” Dia mengangguk. “Kalau menurutku layak." Dan entah kenapa, aku nggak bisa membalas dengan sarkasme seperti biasa.Aku pulang dari kafe dengan langkah yang nggak bisa kutentukan, antara ringan karena bisa ngobrol tanpa drama, atau berat karena aku masih senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Sialan, Gasan! Kenapa dia bisa muncul lagi? Dan kenapa... kenapa dia bisa bikin jantungku jungkir balik kayak ini?Begitu sampai di parkiran apartemen, aku turun dari mobil sambil mendesah panjang. Angin malam Jakarta menyambutku, lengkap dengan klakson dan suara motor lewat kayak backsound sinetron.Naik lift, masuk lorong, dan begitu pintu apartemen terbuka, aroma mie instan menyambutku lebih dulu daripada suara manusia. Oke, berarti Pras di rumah. Dan kayaknya baru aja makan. Lagi.Aku lepas sepatu di depan pintu, naruh tas di meja, dan menjatuhkan tubuh ke sofa ruang tengah.Dari arah dapur, muncullah makhluk yang kusebut adik kandung. Dengan kaos oblong gambar dinosaurus dan sendok di tangan.“Oh, Kak Irene pulang!” serunya sok antusias. “Gue kira bakal nginep lagi kayak kemarin. Ternyata, jodoh nggak j
Dua hari kemudian, aku sudah kembali ke Jakarta. Kembali ke rutinitas. Pagi diisi dengan membalas email klien, siang sibuk dengan meeting online, malam? Nah, itu waktunya aku bersih-bersih rumah plus jadi bendahara dadakan buat bocah satu ini."Mbak! Pulsa gue abis. Sekalian dong, ShopeePay-nya top up juga. Ada diskon makanan, lumayan banget. Lo mau juga kan, makan hemat?"Aku menoleh tajam ke arah sumber suara. "Pras, lo tuh kuliah apa seminar nyari promo, sih?"Prasetyo—si adik laki-lakiku, mahasiswa semester enam jurusan komunikasi yang lebih sering jadi ahli strategi pengiritan, daripada ngerjain tugas—nyengir santai sambil duduk di sofa, kaus bolongnya makin memperjelas niat hidup santainya.Aku 3 bersaudara, adikku satunya lagi bernama Anggun, dia kerja di BUMN, bagian keuangan. Setidaknya, dia yang menemani ibu Ramisha dan Pak Handoyo di rumah. Pras sebenarnya juga tinggal di rumah, tetapi karena bocah itu kurang ajar, jadi dia sering nginap di apartemenku."Kan hidup udah susa
“Gue mau,” kataku cepat.“Apa lo bilang?” Gasan mengerjap, matanya melebar, lalu tangannya otomatis menggaruk kuping, seolah butuh konfirmasi ulang atas apa yang baru saja ia dengar.Aku tersenyum—manis sekali. Tanganku dengan lembut meraih tengkuknya, membelai rambutnya yang tersisir rapi seperti kebiasaan pria-perfeksionis-yang-nggak-tau-diri. Gerakanku pelan, seolah menyusun jebakan yang nyaris romantis.“Iya,” kataku pelan, tapi jelas. “Gue mau nikah sama lo.”Gasan terdiam, tubuhnya nyaris tak bergerak. Matanya memindai wajahku, mencari-cari tanda bahwa ini hanya lelucon sarkastis khas Irene Handoyo. Tapi, aku tak memberinya waktu lebih lama.Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya.Seketika, senyumku lenyap. Aku berdiri, menggenggam clutch satin hitam dengan penuh gaya, dan melangkah menjauh darinya. “Sayangnya,” kataku tajam, “gue lebih cinta diri gue sendiri daripada harus nikah sama lelaki sinting kayak lo!"Gasan masih terpaku, satu tangannya menyentuh pipi yang kini memera
Telah berlalu beberapa minggu sejak pertemuanku dengan pria menyebalkan itu. Kini, aku sudah berada di Bandung, di sebuah hotel ternama, untuk menangani acara pernikahan--Bimo dan Kiki-- dengan tema "Garden Party". Biasanya, aku akan sangat antusias dengan tema seperti ini. Bunga-bunga segar, lampu-lampu gantung kecil yang menyala redup saat malam tiba, dan dekorasi alami yang menyatu dengan alam—itu seperti panggung sempurna bagiku untuk berkarya.Sayangnya, cuaca Bandung yang tak bisa diajak kompromi memaksa kami memindahkan seluruh konsep ke area indoor. Tentu saja, ini bukan hal yang mudah karena pengerjaan waktu itu sudah hampir 60% disesuaikan untuk taman terbuka.“Kadang, yang kita rencanakan dengan sempurna bisa diacak-acak oleh hujan,” gumamku saat itu sambil menatap langit mendung dari balik jendela ballroom.Beruntung, klien kali ini adalah anak Bupati. Semua biaya ditanggung penuh oleh keluarga mereka. Jadi, penyesuaian ini meskipun rumit, tidak terlalu membebani. Lagipul
“Siapa tahu Mbak Irene mau ditikung sebelum ijab kabul.”***Aku berdiri di tengah-tengah ballroom yang luas, dikelilingi bunga-bunga segar yang dipilih dengan cermat untuk menghiasi setiap sudut. Warna-warna cerah mewarnai meja-meja bundar, sementara langit-langit dihiasi kerlap-kerlip lampu gantung kecil yang memberikan kesan romantis dan memikat."Mbak Irene, bunga ini taruh di mana?" tanya salah satu pegawai.“Oh, bunga itu taruh di meja penerima tamu. Dan… tolong, pastikan nggak menutupi daftar tamu ya,” jawabku sambil menunjuk tempatnya.“Siap, Mbak Irene!”Aku Irene Handoyo, putri dari Pak Handoyo dan Bu Ramisha. Aku seorang wedding organizer sekaligus pemilik "Ever After Events", bisnis yang kutumbuhkan dari kecintaanku pada estetika dan perasaan bahagia di momen-momen besar kehidupan orang lain. Setiap bunga, setiap simpul pita, hingga pencahayaan—aku pilih dan atur dengan penuh perhatian.Bagiku, dekorasi bukan sekadar mempercantik ruangan. Mawar bukan cuma mawar—dia melamba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments