Share

Pasien Spesial

Pagi ini Hifa berangkat dengan sepeda baru yang dia beli di toko sepeda tak jauh dari rumah sakit. Dia bisa bangun agak siang dengan keberadaan benda ini. Silla dan Kai menyusulnya di belakang. Mereka bersama-sama naik sepeda ke rumah sakit. Sementara Nindi selalu diantar sepupunya ke rumah sakit. Dia tidak tinggal di kos-kosan seperti Silla dan Kai. Hifa masih belum tahu tentang Ifan. Dia selalu datang terlambat ke rumah sakit. Seperti kebiasaannya saat di kampus dulu.

Mereka akan kembali berotasi ke bangsal hari ini. Hifa akan mengambil jagaan di bangsal anak dan maternitas, sementara Ifan yang mengambil di bangsal dewasa. Nindi dan dr. Stella akan berjaga malam hari ini. Aktivitas dan kesibukan mereka kian bertambah hari demi hari selama di sini.

Bahkan hingga satu jam setelah pertukaran shift Ifan tak kunjung datang. Hal ini membuat Hifa harus berjaga di tiga bangsal sekaligus. Kegusarannya makin menjadi-jadi saat Ifan muncul tanpa mengatakan apa pun dan langsung melakukan visite rutin. Hifa yang jengkel segera menghampirinya.

"Kamu tahu ini sudah jam berapa?" tanya Hifa dongkol.

Ifan melihat jam tangannya dan menjawab, "Delapan lewat sepuluh." Dia segera masuk ke kamar pertamanya membiarkan Hifa membuntutinya.

"Kamu terlambat satu jam sepuluh menit, IFAN!" Hifa menyalak sebal.

Pasien yang didatangi Ifan seketika terbangun dari tidur. Hifa langsung melayangkan pandangannya ke berkas status yang ada di tangannya. Ifan menahan tawa sambil segera menanyai keadaan bapak tua di depannya.

"Pagi Pak, saya Dokter Ifan, bagaimana keadaannya pagi ini pak? Apa ada keluhan?"

"Perut saya masih sering sakit, Dokter," ucap si bapak tua itu.

"Di bagian mana Pak yang sakit?"

Ifan langsung melakukan pemeriksaan ke bagian tubuh yang ditunjuk bapak tadi. Hifa di samping hanya bisa mematung tersipu menunggui Ifan selesai memeriksa pasien tadi.

"Hifa, bisa bantu tutup tirainya?" pinta Ifan dengan mengedipkan salah satu matanya.

Hifa menoleh ke kanan dan kiri mencari perawat. Tapi kemudian Hifa justru tersenyum hambar sambil berpura-pura sibuk. Dia tidak menggubris panggilan Ifan.

Haha... rasain, emang enak dikacangin! Hifa mengumpat dalam hati penuh kemenangan.

Ifan yang masih bersama bapak tua tadi saling memandang bingung. Akhirnya Ifan yang menutup tirai pembatas antara satu pasien dengan lainnya itu. Lalu, tanpa malu-malu si bapak segera membuka celananya.

"Maaf ya dok, tadi masih ada perawat yang perempuan itu. Saya jadi tidak enak mau bilang," kata si pasien. "Sebenarnya yang sakit di bagian bawah sini."

Ifan meraba bagian selangkangan bapak tadi dengan seksama. Kemudian meminta si bapak sedikit mengedan. Dari sana, Ifan bisa langsung mengidentifikasi kemungkinan diagnosisnya. Dia memberikan beberapa saran terapi sekaligus mencatat hasil pemeriksaannya.

Dia keluar dari ruangan tadi setelah beres melakukan beberapa pasien di kamar tersebut. Hifa di luar sudah menyambarnya lagi. Wajahnya masih cemberut karena kesal.

"Ifan!" seru Hifa lantang. "Kalau kamu terlambat lagi besok, aku akan laporkan ke kak Gatta."

Ifan berjalan tanpa mengacuhkan ancaman Hifa tadi. Hal tersebut membuat Hifa kian memanas.

Hal tersebut kembali terulang keesokan harinya. Ifan baru tiba di bangsal ranap bahkan lebih terlambat dari hari kemarin. Hal ini membuat Hifa akhirnya harus kembali melakukan kunjungan ke setiap bangsal yang menjadi tanggung jawab Ifan.

Hifa masuk ke ruang VIP di bangsal dewasa setelah melihat status pasien dengan diagnosis gastroenteritis akut. Setidaknya bukan diagnosis aneh yang membuatnya harus menengok lagi buku panduan klinisnya itu.

Seorang perempuan berusia 18 tahun duduk separuh berbaring dengan wajah menahan sakit. Meski masih tergeletak di atas ranjang, perempuan itu berdandan layaknya mau pergi kondangan. Bedak tebal melapisi seluruh wajahnya. Lipstiknya yang merah mencolok menyembunyikan rona asli bibirnya. Hal ini secara tidak langsung membuat Hifa sulit menilai status hemodinamiknya. Dia bahkan mewarnai kelopak matanya dengan corak pink keunguan. Garis alisnya terlukis dengan jelas.

Saat mendapati Hifa masuk ke ruangannya, pasien tersebut langsung bangkit dari tempat tidurnya. Tatapan yang awalnya tenang berubah menjadi sinis.

"Selamat pagi, Mbak Rani. Saya...." Ucapan Hifa langsung disela oleh pasien tadi.

"Di mana dokter Gatta, sus?"

Sus? Sebutan itu sering terucap oleh pasien terutama saat Hifa menjalani masa koasnya dulu. Walau itu bukan masalah buat Hifa, panggilan itu terdengar agak kurang tepat. Setidaknya butuh waktu lebih dari lima tahun baginya untuk menggenggam gelar dokter.

"Dokter Gatta sedang tidak bertugas hari ini, Mbak." Hifa nencoba memberikan pengertian dengan lebih pelan ke pasien perempuan itu. "Saya dokter Hifa, yang akan melayani mbak hari ini."

Perempuan dengan make up menor itu menggeleng kuat. Garis hitam yang mewarnai lipatan matanya luntur menodai bagian atas pipinya.

"Pokoknya saya maunya sama Dokter Gatta!" gertaknya lantang.

Hifa melangkah pelan mendekati pasien tadi dengan hati-hati.

Tepat sebelum Hifa mencapai ke sampingnya, perempuan muda itu sergap mengangkat tubuhnya dari ranjang. Kedua tangannya terangkat dan dia berlari ke sudut ruangan.

"Tenang, Mbak... Saya hanya akan memeriksa Mbak."

"Gak! Saya cuman mau sama Dokter Gatta! Dokter jangan macam-macam ya," jeritnya meledak-ledak.

Hifa mundur selangkah. Dia merasa dirinya seolah seekor harimau yang hendak menerkam anak kambing. Hifa menarik napas berusaha menenangkan perempuan tadi. Untungnya Ibu Gan, perawat senior di bangsal tersebut segera masuk menengahi persiteruan yang terjadi.

“Mbak Rani, Mbak duduk dulu. Ini dokter Hifa cuman mau melakukan pemeriksaan saja. Hari ini dokter kesayangan Mbak gak jaga. Jadi dr. Hifa yang menggantikannya,” terang Bu Gan. Dia menarik pasien tadi kembali ke atas ranjang. Memperbaiki infusnya yang sudah terlepas.

“Pokoknya saya gak mau diperiksa sama dia,” kata pasien tadi berkeras hati. “Auch! Sus, jangan kasar-kasar dong! Tangan saya kan sakit!”

Ibu yang yang hendak membersihkan tetesan darah yang sempat keluar dari tangan pasien pun hanya bisa mengangguk.

“Kalian ini gimana sih? Gak ada yang bener merawat saya. Saya ini masuk sini bayar lho,” makinya sewot. “Kalau gak bisa kerja bener saya adukan kalian semua. Masak saya minta diperiksa sama dr. Gatta aja gak dikasih.”

Ibu Gan yang juga tak berdaya dimarahi pasien hanya bisa merunduk diam. “Maaf Mbak jika pelayanan kami dirasa kurang baik.”

Mbak Rani melipat kedua tangannya. Aura kemarahan masih berkobar-kobar. Dia mengernyit ke arah Hifa yang masih mematung.

“Apapun yang terjadi, saya mau dokter Gatta datang ke sini!” kecamnya lagi. “Dan kamu!”

Telunjuk terarah langsung ke Hifa. “Kamu kan dokter magang itu? Kamu memangnya boleh periksa pasien? Kamu kan baru lulus. Ntar salah-salah saya malah tambah sakit.”

Napas Hifa semakin cepat. Tamparan keras tak berwujud menyulut amarahnya. Hifa menarik bibirnya untuk tetap bisa berbicara dengan halus kepada pasien tadi. “Mbak, kami di sini hanya menjalankan prosedur yang ada. Jika ada yang kurang berkenan kami minta maaf.”

“Udah, saya gak mau dengerin kamu di sini lama-lama. Keluar kamu!” bentaknya dengan keras.

"Oke oke... Saya keluar dari sini." Hifa meraih gagang pintu. Dia ingin menghilang dari makhluk super agresif di depannya ini secepat mungkin.

Sambil bersungut dia mendekati nurse station. Hifa mengupas lapisan putih yang menutupi permukaan label bagian di map pasien tersebut. Kemudian dia menulis 'pasien spesial' dengan spidol berwarna cokelat.

Ifan baru datang ke rumah sakit ketika Hifa tengah memisahkan pasien dengan label cokelat tadi ke tumpukan yang berbeda. Ifan yang datang tidak menggubris kegusaran tersebut.

"Ifan! Susah banget ya dateng lebih awal?" ujar Hifa.

"Udah ngadu ke Gatta?" tantang Ifan tak bersahabat.

Hifa yang masih menahan kejengkelannya menyerahkan status pasien yang berlabel cokelat tadi dengan sedikit menyentak. Kebiasaan mereka sejak zaman FK dulu adalah memberi penanda khusus untuk pasien-pasien yang rewel, resek, atau tidak kooperatif. Biasanya penamaan itu diperlukan untuk mempersiapkan mental petugas kesehatan yang melayaninya. Pasien label cokelat inilah seringkali dihindari oleh baik dokter ataupun perawat.

"Aku gak mau tau. Hari ini kamu pegang semua pasien cokelat di bangsal dewasa dan anak. Aku udah pisahin di sini."

Ifan melirik ke tumpukan berkas pasien yang dikategorikan sebagai pasien menyusahkan tersebut dengan tenang. Dia mulai melakukan kunjungan ke ruangan pasien tersebut satu per satu. Hifa sedikit mengintip saat Ifan akhirnya memasuki kamar pasien bernama Rani yang sempat bersitegang dengan dirinya tadi.

Selang beberapa menit, Ifan keluar dengan muka kelelahan.

"Dokter Ifan Ganteng!" panggil Rani dengan nada manja.

Ifan berbalik dengan pintu yang separuh terbuka. Hifa bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas dari tempat ini.

"Dokter jaga lagi gak besok? Kalau gak sama dokter Gatta, saya maunya sama dokter aja deh. Saya gak mau sama dokter perempuan yang tadi."

Dasar genit! Hifa menghujat dalam hati. Ibu Gan, perawat senior yang duduk di samping Hifa menggeleng-geleng kepalanya.

"Tenang dok. Pasien spesial harus diperlakukan secara spesial juga." Ibu Gan sepertinya tahu apa yang ada di benak Hifa. Dia tengah mempersiapkan yang infus set yang hendak dipasang ulang ke pasien tersebut. Hifa bisa melirik jarum salah satu abbocath[1] berukuran 16 Gauge di wadah pasien VIP itu.

"Ini buat pasien VIP itu, Bu?" tanya Hifa.

Ibu Gan hanya menyeringai tipis. Hifa sadar bukan hanya dirinya yang malas meladeni pasien-pasien bertingkah tidak sopan kepadanya. Para perawat juga kompak tidak menyukai pasien berlabel cokelat itu.

"Iya, biar sekalian ambil darah juga dok." Hifa mengulum senyum sambil mengangguk-angguk. Agak puas juga kalau bisa balas dendam tanpa perlu benar-benar turun tangan begini.

Ifan baru menginjakkan kakinya di bingkai pintu ketika si pasien kembali memanggilnya lagi.

"Dokter Ifan!" kicaunya nyaring seperti burung jalak minta kawin. "Dok, perut saya mules lagi dok."

Ifan berbalik kembali memasuki pintu yang sama. Di sinilah, Hifa bisa cekikikan melihat Ifan yang tengah melatih kesabarannya menghadapi pasien tersebut.

Sampai akhirnya Ibu Gan masuk dan menyelamatkannya. Ibu Gan sudah mempersiapkan senjata jitunya yang bisa membuat pasien itu sekalian meringkik kesakitan ketika jarum bemata besar itu ditusuk ke pembuluh darahnya.

Ifan lepas dari ruangan tadi dengan napas lega. Dia sempat melihat Hifa yang berdiri di ujung koridor menertawakannya. Ah, leganya bisa buat bocah tengil itu kesal. Lain kali Hifa akan menyerahkan seluruh pasien cokelat yang ada di rumah sakit ini untuk Ifan biar dia tahu rasa.

Meski begitu, selain pasien perempuan yang menyebalkan itu, Ifan bisa melalui setiap pasien dengan mulus. Hifa sedikit penasaran bagaimana Ifan bisa menghadapi pasien berlabel cokelat tadi tanpa banyak hambatan. Sepertinya faktor keberuntungan itu selalu berpihak pada Ifan.

[1] Abbocath: jarum infus

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status