Setelah memeriksa Baskoro, Kania kembali ke ruang kerjanya. Baru saja ia duduk, ponselnya bergetar—pesan dari ibunya.
“Kania, ibu butuh obat asma. Stok di rumah habis.”Kania menatap layar ponsel itu lama, sebelum akhirnya membalas pendek:“Iya.”Hanya tiga huruf, dingin dan tanpa basa-basi. Ia kemudian menaruh kembali ponselnya dan melanjutkan pekerjaannya.Tak berselang lama, ponselnya kembali berdering—kali ini bertubi-tubi. Pesan-pesan pendek dari Rafasya:“Kania, kamu udah makan?”“Jangan kecapekan, ya.”“Kamu pulang jam berapa? Aku nungguin.”Kania membaca pesan-pesan itu tanpa ekspresi. Tangannya sempat mengetik, lalu menghapus, sebelum akhirnya hanya membalas singkat:“Iya.”Hingga akhirnya, waktu praktiknya selesai. Kania pun berjalan menuju farmasi rumah sakit untuk menebus resep obat asma untuk ibunya. Setelah itu, ia langsung menyetir menuju rumah ibunya.Sampai di rumah itu—rumah masTanpa membuang waktu, Rafasya segera pergi. Ia tahu tak bisa hanya diam. Ia harus mencari bukti soal Siska. Ia tak mau rumah tangganya dengan Kania hancur karena fitnah.Sampai di kantor, ia melihat ayahnya, Pak Hengky, sedang berdiri di dekat meja kerjanya. Begitu melihat wajah Rafasya yang kusut, Pak Hengky langsung menegur.“Kenapa wajahmu masam begitu? Apa kamu baru saja bertengkar dengan Kania?” tanyanya.Rafasya menghela napas panjang. Ia pun menceritakan semuanya: tentang tuduhan Baskoro, tentang Siska yang mengaku hamil, juga tentang niatnya mencari bukti bahwa itu bukan anaknya.Pak Hengky terdiam beberapa saat, memerhatikan anaknya dengan tatapan dalam. “Kenapa kamu begitu yakin kalau Siska tidak mengandung anakmu, Rafa?”Rafasya menoleh, sorot matanya tajam. “Apa menurut Papa seleraku serendah itu? Melihat wajah Siska saja aku sudah tahu dia perempuan seperti apa!”Pak Hengky terkejut. Ia tahu persis, dulu Rafasya pern
Keesokan paginya, Kania bangun lebih awal meski hari itu ia tak ada jadwal praktek.Ia duduk di balkon apartemen, memandangi langit pagi yang perlahan berubah warna. Memiliki tempat tinggal sendiri, jauh dari caci maki dan tekanan, sejujurnya adalah impiannya sejak lama.Namun sikapnya masih tetap dingin. Hatinya belum siap untuk langsung berubah. Bahkan sebagai seorang istri, hari itu Kania tak melakukan apa pun—tak menyiapkan sarapan, tak menyiapkan baju untuk suaminya. Tapi Rafasya sama sekali tak mengeluh.Sebaliknya, Rafasya justru sibuk sendiri: membereskan rumah, menyapu, dan bahkan memasak sarapan sederhana. Suara sendok dan piring beradu terdengar dari dapur. Sesekali, Kania melirik ke arahnya, diam-diam menahan gejolak aneh di dadanya.Tak lama kemudian, Rafasya menghampiri balkon sambil membawa dua cangkir teh hangat.Ia duduk di samping Kania, lalu berkata dengan nada pelan, “Apa kita sewa asisten rumah tangga saja?”Kania meno
Setelah acara selesai, Rafasya dan Kania berjalan menghampiri Pak Hengky dan Bu Ria.Pak Hengky menepuk bahu Rafasya sambil tersenyum bangga. "Selamat, Nak. Tahun ini kamu benar-benar membuktikan kerja kerasmu. Papa bangga.""Terima kasih, Pa," jawab Rafasya sambil menunduk hormat.Tak lama, Siska dan ibunya, yang tak lain adalah ibu kandung Kania sendiri, juga ikut mendekat. Wajah mereka menyiratkan senyum yang sulit ditebak-antara pura-pura ramah dan penuh perhitungan."Selamat, Rafa," ucapnya, suaranya terdengar manis tapi dingin. "Acara malam ini bagus sekali meski ada satu yang agak berlebihan."Rafasya mengerutkan kening. "Apa maksud Ibu?"Bu Tari langsung menoleh ke arah Kania, lalu menatapnya dengan sinis. "Memuji Kania sampai seperti itu bisa-bisa dia jadi besar kepala dan lupa diri. Seharusnya kamu lebih hati-hati, Rafasya."Kania hanya terdiam, menahan perih di dadanya. Namun sebelum ia sempat berkata apa pun, Rafa
Kania sudah tampil dengan gaun elegan yang mereka pesan bersama Rafasya—warna dan detailnya tampak senada.Sudah tujuh tahun menikah, tapi ini pertama kalinya ia melihat Rafasya benar-benar mau mengenakan pakaian yang serasi dengannya.Mengapa penyesalan selalu datang terlambat?Mengapa Rafasya yang penuh perhatian ini tak pernah muncul saat cintanya dulu masih bermekaran?Sekarang, cintanya sudah layu—dan yang tersisa hanyalah sisa-sisa luka.Pak Hengky dan Bu Ria pun hadir di acara tersebut. Seperti biasa, mereka datang dengan mobil berbeda, lalu bertemu langsung di tempat acara yang sudah ramai dengan para tamu. Malam itu adalah acara tahunan—perayaan atas kesuksesan Rafasya, sesuatu yang selalu dihadiri keluarga.Kania memilih pamit sejenak ke kamar mandi. Rasanya terlalu sesak jika terus berhadapan dengan banyak orang; pikirannya sendiri saja sudah membuatnya pusing.Namun, ternyata Siska diam-diam mengikutinya.Di depan cermin, Kania baru selesai membasuh wajah ketika mendengar
Setelah Rafasya sedikit tenang, mereka perlahan kembali ke kamar rawat. Langkah mereka pelan, Kania masih menggenggam tangan Rafasya yang sesekali meringis menahan nyeri.Pak Hengky, yang sejak tadi menunggu dengan wajah penuh cemas, segera berdiri. Ia langsung menghubungi dokter Bagas yang selama ini menangani kondisi Rafasya. Tak lama kemudian, Nadira pun datang, membawa tasnya—siap membantu menangani dari sisi psikologi.Namun Rafasya benar-benar tak mau berpisah dari Kania. Tangannya mencengkeram erat lengan Kania, napasnya masih tersengal. Bahkan ketika dokter Bagas memeriksa tekanan darah dan denyut nadinya, Rafasya tetap memeluk tubuh Kania erat-erat, seolah ia akan kehilangan jika melepasnya barang sedetik.“Bagaimana, Rafa? Apakah kepalamu masih sangat sakit?” tanya dokter Bagas, suaranya tenang dan sabar.Rafasya hanya mengangguk lemah, matanya masih basah. “Sakit, sakit sekali, Dok … seperti ditusuk,” suaranya parau, gemetar.D
Hening.Kania memejamkan mata, sejenak merasakan degup jantung lelaki itu di punggungnya. Dulu, degup itu yang membuatnya yakin. Dulu, pelukan itu rumah paling aman baginya.Tapi sekarang pelukan itu justru terasa seperti rantai yang tak pernah ia minta.Perlahan, ia membuka mata, menatap pantulan dirinya di cermin: seorang wanita yang dulu penuh harapan kini hanya ada sisa-sisa ketabahan yang dipaksa tetap berdiri.“Kamu nggak ingat apa pun, Rafa,” bisik Kania pelan, suaranya serak.“Tapi aku, aku masih mengingat semuanya. Setiap kata. Setiap penghinaan. Setiap luka.”Pelukan Rafasya sedikit mengerat, tapi Kania tetap kaku di tempatnya.“Biarkan aku memperbaiki semuanya,” pinta Rafasya, suaranya penuh putus asa.Kania menarik napas, lalu perlahan berkata—dingin, tajam, nyaris tanpa perasaan.“Cinta itu, nggak seperti barang pecah belah, Rafa. Yang bisa direkatkan lagi lalu kembali utuh.”Ia meraih tangan Rafasya yang memeluknya, perlahan melepaskannya dari pinggangnya.“Apa pun yang