Selama tujuh tahun, Kania bertahan dalam belenggu pernikahannya dengan Rafasya. Pernikahan yang awalnya penuh harapan itu perlahan berubah menjadi penjara batin. Kania tak hanya menghadapi dinginnya sikap Rafasya, tetapi juga bayang-bayang pengkhianatan yang perlahan terkuak. Kecurigaannya terhadap kedekatan sang suami dengan kakak kandungnya sendiri diperparah oleh sikap iparnya yang mencurigakan. Ironisnya, ketika Kania mencari keadilan, ibunya dan mertuanya justru memihak Rafasya, seolah menutup mata atas luka yang ia rasakan. Di balik wajah manis keluarga besarnya, Kania merasakan tikaman yang tak kasat mata. Terpojok dan dikhianati oleh orang-orang terdekat, ia harus memilih: tetap bertahan demi nama keluarga atau melepaskan diri untuk menemukan kembali harga dirinya. Namun, ketika rahasia demi rahasia terungkap, Kania dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih pahit dari sekadar pengkhianatan. Bisakah ia bangkit dari keterpurukan, atau justru terperangkap dalam permainan licik orang-orang yang seharusnya menjadi sandarannya?
Lihat lebih banyakSore itu, langit berwarna keemasan. Di taman belakang rumah, keluarga Kania berkumpul di bawah pohon besar yang rindang. Meja panjang dipenuhi makanan kesukaan keluarga, dan di tengahnya ada dua kue kecil dengan lilin berbentuk angka 22.Kania menyalakan lilin itu dengan senyum lembut. "Selamat ulang tahun, Nayyara, Nazeera," ucapnya pelan, suaranya bergetar namun penuh kehangatan.Narendra dan Nayaka duduk di samping ibunya, masing-masing memegang bingkai foto si kembar. Rafasya merangkul Kania, menatapnya dengan pandangan yang menguatkan.Mereka tidak menangis kali ini. Mereka hanya tersenyum, mengenang tawa, cerita, dan doa yang tak pernah putus. Angin sore bertiup lembut, seolah membawa pesan dari kejauhan.Kania menatap lilin yang menyala itu. "Mama, Papa, dan kakak-kakakmu di sini bahagia jadi kalian juga harus bahagia di sana, ya."Mereka meniup lilin bersama-sama. Dan di langit, dua bintang mulai muncul lebih cepat dari biasanya, berkilau di antara warna senja.Bagi keluarga i
Lima tahun telah berlalu sejak tanah longsor itu merenggut semua harapan. Hari-hari penuh pencarian sudah lama berakhir, dan kabar resmi dari pihak berwenang hanya menyisakan satu kenyataan pahit: Nayara dan Nazeera dinyatakan meninggal dunia. Namun, di hati Kania, cinta kepada putri kembarnya tak pernah terkubur bersama waktu.Setiap tahun, di tanggal ulang tahun si kembar, ia selalu menyiapkan dua kue sederhana dengan lilin di atasnya. Di ruang tamu yang temaram, Kania duduk sendirian menatap nyala lilin itu, seolah dua cahaya kecil itu adalah Nayara dan Nazeera yang pulang sebentar untuk menemuinya.“Selamat ulang tahun, kedua putriku,” ucapnya pelan, suaranya bergetar, “Pasti sekarang kalian sudah tumbuh menjadi remaja cantik. Maaf, Nak. Mama belum bisa menemani kalian untuk saat ini. Tapi asal kalian tahu, cinta Mama tidak akan pernah mati.”Air matanya jatuh satu per satu, membasahi meja. Tangannya mengusap permukaan kue, seperti membelai rambut anak-anaknya.Nayaka, yang kini s
Langit di pegunungan itu diselimuti kabut tebal, hujan belum berhenti sejak tanah longsor pertama kali menghantam villa peninggalan orang tua Tante Vita. Bau lumpur basah bercampur kayu lapuk memenuhi udara.Rafasya berdiri di tepi jurang longsor bersama Nayaka dan Narendra. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya penuh tekad.“Kita tidak bisa menunggu. Setiap detik yang lewat bisa jadi perbedaan antara hidup dan mati,” katanya pada tim Basarnas.Seorang komandan tim Basarnas menatapnya serius. “Medan ini berbahaya. Longsor susulan bisa terjadi kapan saja. Tapi kalau kalian tetap mau turun gunakan ini.”Mereka memberikan tali pengaman, helm khusus, serta alat pendeteksi panas tubuh.Narendra memeriksa peta jalur longsor. “Pa, kalau dari arah sini kita bisa tembus ke sisa pondasi belakang villa. Mungkin mereka sempat mencari perlindungan di situ.”“Baik. Kita coba.” Rafasya mengangguk, suaranya tegas tapi hatinya digelayuti rasa takut.***Sementara itu, di rumah sakit, Kania duduk di ranja
Di ruang ICU rumah sakit, suasana mencekam. Detak monitor jantung Pak Hengky terdengar semakin lemah, dan setiap bunyinya membuat semua orang menahan napas. Rafasya berdiri di sisi ranjang, memegang tangan ayahnya yang dingin. Kania duduk di kursi, air matanya terus mengalir.Semua berharap keajaiban, tapi justru sebaliknya—kondisi Pak Hengky memburuk. Dengan napas tersengal-sengal, ia membuka matanya sebentar, menatap Rafasya dan Kania. Bibirnya bergetar, dan hanya satu kata yang berhasil keluar:“Maaf,”Air mata Rafasya pecah seketika. Kania menutup mulutnya, menahan isak. Tapi tak sampai hitungan detik, monitor itu mengeluarkan bunyi panjang yang menusuk telinga. Garis di layar menjadi lurus.Pak Hengky telah pergi… untuk selamanya.Tangis pecah di ruangan itu—bukan hanya karena kehilangan, tapi karena mereka baru saja kehilangan satu-satunya orang yang mungkin mengetahui keberadaan Nayara dan Nazeera. Harapan seakan runtuh dalam sekejap.Prosesi pemakaman berlangsung dalam kehenin
Perlahan, kelopak mata Risa dan Rosa mulai terbuka. Cahaya matahari yang menyusup lewat sela tirai tipis mengusik pandangan mereka. Kamar ini, asing. Langit-langitnya bukan yang biasa mereka lihat. Aroma udara pun berbeda. Begitu pula seprei dan selimut yang membalut tubuh mereka.Risa menggeliat pelan, lalu menoleh ke arah Rosa yang juga baru membuka mata.“Rosa … kita di mana?” bisik Risa pelan.Rosa mengernyit. “Aku, nggak tahu. Ini bukan kamar kita.”Keduanya bangkit pelan dari tempat tidur, tubuh terasa lemas seperti habis sakit berhari-hari. Mereka melangkah dengan kaki gemetar menuju jendela, menyingkap tirai—yang terlihat adalah kebun bunga luas, dipenuhi warna-warni mawar dan anggrek yang tertata rapi.Tepat di tengah pemandangan itu, duduk seorang wanita di kursi rotan. Ia sedang menyeruput teh, tampak tenang menatap taman seolah tak terjadi apa-apa. Wanita itu adalah bunda mereka—Tante Vita.Melihat si kembar muncul di ambang pintu kaca, Tante Vita bangkit berdiri dengan se
Langit mendung menyambut helikopter yang mendarat perlahan di atas tanah lapang pulau terpencil itu. Angin laut menerpa wajah Nayaka dan Rafasya begitu mereka turun. Detak jantung keduanya tak karuan, langkah kaki terburu-buru menuju titik koordinat yang dikirimkan oleh akun anonim itu.Sebelum keberangkatan, Rafasya sempat menitipkan Kania yang masih dirawat di ruang VVIP rumah sakit kepada orang-orang terdekat: Nadira, Bu Susi, Bu Ria, serta dua sahabat lamanya, Pak Burhan dan Pak Haikal. Kepada mereka, ia hanya mengatakan ini adalah urusan pekerjaan mendesak—sementara Nayaka akan ikut untuk “belajar”. Tak seorang pun mencurigai lebih.Sesampainya di lokasi, mereka berdiri terpaku di depan sebuah rumah kayu bergaya kolonial yang tampak tua namun masih terawat. Yang membuat bulu kuduk berdiri adalah kenyataan bahwa pintu rumah itu tidak dikunci.Rafasya dan Nayaka saling pandang, lalu masuk perlahan.Begitu mereka melewati ruang tamu yang lengang, pandangan Rafasya langsung tertumbuk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen