Selama tujuh tahun, Kania bertahan dalam belenggu pernikahannya dengan Rafasya. Pernikahan yang awalnya penuh harapan itu perlahan berubah menjadi penjara batin. Kania tak hanya menghadapi dinginnya sikap Rafasya, tetapi juga bayang-bayang pengkhianatan yang perlahan terkuak. Kecurigaannya terhadap kedekatan sang suami dengan kakak kandungnya sendiri diperparah oleh sikap iparnya yang mencurigakan. Ironisnya, ketika Kania mencari keadilan, ibunya dan mertuanya justru memihak Rafasya, seolah menutup mata atas luka yang ia rasakan. Di balik wajah manis keluarga besarnya, Kania merasakan tikaman yang tak kasat mata. Terpojok dan dikhianati oleh orang-orang terdekat, ia harus memilih: tetap bertahan demi nama keluarga atau melepaskan diri untuk menemukan kembali harga dirinya. Namun, ketika rahasia demi rahasia terungkap, Kania dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih pahit dari sekadar pengkhianatan. Bisakah ia bangkit dari keterpurukan, atau justru terperangkap dalam permainan licik orang-orang yang seharusnya menjadi sandarannya?
Lihat lebih banyakSetelah perbincangan yang membakar luka-luka lama, Kania hanya menghela napas. Dalam. Ia membuka laci kecil dekat meja, mengeluarkan kunci rumah, lalu meletakkannya di telapak tangan Rafasya. Langit desa masih berkabut ketika ia keluar dari rumah, mengenakan jaket tipis dan menenteng tas kecil berisi beberapa dokumen dan pakaian. Di pelataran rumah, mobil Rafasya sudah menunggu. Ia membuka pintu belakang, hendak masuk, tapi tatapannya tiba-tiba jatuh pada satu benda di dalam mobil. Sebuah tas kecil. Penuh debu. Tapi ia tahu betul apa isinya. Dengan perlahan, ia duduk di jok, mengambilnya. Tangannya gemetar saat membuka resleting dan menemukan baju bayi mungil itu kembali. Warna putih dengan motif awan kecil. Masih wangi sabun. Dan di bawahnya terselip foto USG terakhir—yang dulu ia sembunyikan dari Rafasya karena kecewa, karena lelah berharap. Rafasya yang melihat dari samping tak sanggup membuka suara. Kania menatap barang-barang itu lama. Wajahnya datar. Hampa. Lalu ia mem
Dua bulan telah berlalu. Dan selama itu pula, Rafasya hidup seperti bayangan—bergerak, bernapas, tetapi tanpa jiwa. Siang ia gunakan untuk bekerja, membenamkan diri dalam kesibukan yang tak lagi terasa berarti. Sedangkan malam ia habiskan untuk mencari. Menelusuri lorong-lorong kenangan yang ditinggalkan Kania. Mencari ke mana pun jejak itu mungkin tertinggal. Ia menghubungi semua teman Kania, menelusuri rumah sakit, toko langganannya, bahkan tempat-tempat yang paling sepele yang dulu sempat mereka datangi. Tapi hasilnya nihil. Ponsel Kania tetap mati. Tak ada jejak transaksi. Tak ada sinyal keberadaan. Seolah Kania benar-benar menghapus dirinya dari dunia Rafasya. Berulang kali ia mendatangi Nadira—sahabat Kania satu-satunya yang ia tahu bisa menjadi kunci. Tapi, Nadira tetap bungkam, atau tepatnya—terlalu marah untuk membuka suara. “Kalau kamu datang buat minta bantuan, kamu telat, Rafasya. Terlalu telat.” Dan yang paling menyakitkan adalah saat kembali ke rumah, ibunya—yang
Sudah tiga hari sejak Kania menghilang dari rumah sakit—tanpa suara, tanpa jejak, hanya meninggalkan secarik kertas kecil dengan tinta hitam yang mencabik diam, surat cerai. Tiga hari pula sejak Rafasya menemukannya di atas ranjang yang dingin dan kosong seperti hatinya. Kosong yang tak pernah ia sadari bisa terasa begitu menyiksa. Surat itu tak lebih dari selembar kertas tipis. Tapi saat Rafasya membacanya, rasanya seperti ada pisau yang perlahan-lahan mengiris dari dalam—bukan darah yang keluar, tapi penyesalan yang datangnya selalu terlambat. Dan selama tiga hari itu, Kania benar-benar lenyap. Tak ada pesan. Tak ada telepon. Tak ada kabar. Yang tersisa hanyalah bekas lekuk di bantal yang tak lagi hangat, dan aroma samar parfumnya yang mulai memudar di baju-baju yang masih tergantung seperti jiwanya yang sudah lama digantung dalam ketidakpedulian. Seperti biasa, Rafasya memakai topengnya. Ia tetap bekerja. Tetap menghadiri rapat. Tetap makan malam bersama ibunya yang terus berc
Langit pagi masih kelabu saat Kania membuka matanya perlahan. Aroma antiseptik, bunyi pelan mesin infus, dan dinginnya udara kamar rumah sakit menyambutnya seperti tamparan realita. Namun rasa nyeri di tubuhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan luka yang menganga di dadanya. Tubuhnya belum bisa banyak bergerak, tapi telinganya tajam menangkap suara-suara dari balik pintu. Ia tak sengaja menjadi saksi dari gunjingan yang selama ini mungkin hanya dibisikkan di belakangnya—dan kini diucapkan tanpa malu, di luar kamar tempat ia terbaring kehilangan. “Sudah tahu kandungan lemah, masih saja keras kepala. Gagal jaga anak sendiri. Pantes saja Rafa makin malas pulang.” Suara mertuanya, dingin dan tanpa empati. Setiap kata seolah mengiris kulit Kania pelan-pelan. “Dari awal aku udah bilang, Kania itu emosinya nggak stabil. Terlalu banyak drama. Mana bisa dia jadi ibu?” Ibunya. Suara yang dulu ia kenal sebagai pelindung, kini hanya jadi silet yang membelah dadanya. “Kalau nggak sanggup, me
Kania duduk di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya di cermin. Wajah yang dulu penuh harapan kini tampak lelah. Matanya yang dulu berbinar, kini hanya menyimpan kehampaan. Tujuh tahun menikah dengan Rafasya, ia telah melewati berbagai fase—dari bahagia, ragu, hingga tenggelam dalam ketidakpastian. Rafasya bukanlah suami yang kasar secara fisik, tetapi sikap dinginnya jauh lebih menyiksa. Sejak awal, pernikahan mereka diatur oleh keluarga. Kania menerima keputusan itu dengan harapan cinta bisa tumbuh seiring waktu. Namun, semakin lama, ia merasa seperti tamu di rumahnya sendiri. Dan kini, perasaannya semakin terkoyak. Kecurigaannya selama ini semakin menguat. Setiap kali ia mencoba berbicara, Rafasya selalu menghindar, sementara kakaknya, Siska, semakin sering berada di sisi suaminya dengan alasan yang sulit diterima. "Kania, jangan terlalu banyak berpikir buruk. Rafasya itu suamimu, dan Siska adalah kakakmu. Kamu harus percaya pada mereka," ujar ibunya suatu hari ketika Kania me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen