Istana Yang Ternoda

Istana Yang Ternoda

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-21
Oleh:  AgilRizkianiOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
5Bab
8Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Selama tujuh tahun, Kania bertahan dalam belenggu pernikahannya dengan Rafasya. Pernikahan yang awalnya penuh harapan itu perlahan berubah menjadi penjara batin. Kania tak hanya menghadapi dinginnya sikap Rafasya, tetapi juga bayang-bayang pengkhianatan yang perlahan terkuak. Kecurigaannya terhadap kedekatan sang suami dengan kakak kandungnya sendiri diperparah oleh sikap iparnya yang mencurigakan. Ironisnya, ketika Kania mencari keadilan, ibunya dan mertuanya justru memihak Rafasya, seolah menutup mata atas luka yang ia rasakan. Di balik wajah manis keluarga besarnya, Kania merasakan tikaman yang tak kasat mata. Terpojok dan dikhianati oleh orang-orang terdekat, ia harus memilih: tetap bertahan demi nama keluarga atau melepaskan diri untuk menemukan kembali harga dirinya. Namun, ketika rahasia demi rahasia terungkap, Kania dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih pahit dari sekadar pengkhianatan. Bisakah ia bangkit dari keterpurukan, atau justru terperangkap dalam permainan licik orang-orang yang seharusnya menjadi sandarannya?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Terbelenggu Kepalsuan

Kania duduk di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya di cermin. Wajah yang dulu penuh harapan kini tampak lelah. Matanya yang dulu berbinar, kini hanya menyimpan kehampaan. Tujuh tahun menikah dengan Rafasya, ia telah melewati berbagai fase—dari bahagia, ragu, hingga tenggelam dalam ketidakpastian.

Rafasya bukanlah suami yang kasar secara fisik, tetapi sikap dinginnya jauh lebih menyiksa. Sejak awal, pernikahan mereka diatur oleh keluarga. Kania menerima keputusan itu dengan harapan cinta bisa tumbuh seiring waktu. Namun, semakin lama, ia merasa seperti tamu di rumahnya sendiri.

Dan kini, perasaannya semakin terkoyak. Kecurigaannya selama ini semakin menguat. Setiap kali ia mencoba berbicara, Rafasya selalu menghindar, sementara kakaknya, Siska, semakin sering berada di sisi suaminya dengan alasan yang sulit diterima.

"Kania, jangan terlalu banyak berpikir buruk. Rafasya itu suamimu, dan Siska adalah kakakmu. Kamu harus percaya pada mereka," ujar ibunya suatu hari ketika Kania mencoba mengutarakan keresahannya.

"Tapi, Bu ... aku merasa ada yang tidak beres. Sikap mereka terlalu dekat, terlalu akrab untuk ukuran saudara ipar."

"Jangan memalukan keluarga!" bentak ibunya tajam. "Rumah tangga itu harus dijaga, jangan sembarangan menuduh tanpa bukti!"

Air mata Kania jatuh, bukan hanya karena ketidakpercayaan ibunya, tetapi juga karena rasa sakit yang semakin menyesakkan dada. Ia tidak memiliki bukti kuat, tetapi nalurinya berteriak bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.

Malam itu, Kania tidak bisa tidur. Ia menatap ranjang sebelah biasanya suaminya Rafasya yang tidur membelakanginya, seperti biasa. Sejak awal pernikahan mereka. Keheningan kamar mereka terasa lebih menusuk daripada kata-kata kasar. Ia merasa sendirian dalam pernikahan ini.

Di luar kamar, suara lirih percakapan terdengar samar. Kania bangkit perlahan, membuka pintu tanpa suara.

Kania menahan napas, tubuhnya bergetar saat melihat Siska berdiri di depan pintu. Suara mereka terlalu pelan untuk bisa ditangkap jelas, tetapi kedekatan itu sudah cukup membuat hatinya mencelos.

Ia tak berani melangkah lebih jauh. Kakinya terasa lemas, seakan sadar bahwa kebenaran yang akan ia hadapi jauh lebih menyakitkan dari dugaan awal. Dengan hati yang penuh keraguan, ia kembali ke  merebahkan diri di tempat tidur, tetapi pikirannya terus berputar.

Apakah ia hanya salah paham? Atau ini adalah bukti nyata dari semua kecurigaannya selama ini?

  ***

Pagi harinya, Kania duduk di meja makan seperti biasa. Siska duduk di samping Rafasya, menyuguhkan teh dengan senyum yang terlalu lembut. Seolah tak ada yang salah, seolah dunia Kania belum hancur semalam.

"Rafa, nanti malam ikut ya ke rumah Mama," suara Siska terdengar manja.

"Kalau sempat," jawab Rafasya dingin.

Kania mengepalkan tangannya di bawah meja. Tetapi sebelum ia sempat bicara, mertuanya menyambar:

“Kania, jangan cemberut begitu. Laki-laki bisa bosan kalau istrinya terlalu sensitif.”

Hatinya terasa ditampar. Selama ini, ia selalu diam demi menjaga keharmonisan semu. Tapi kini, luka-luka itu menuntut untuk didengar.

Kania terdiam. Ia sudah terbiasa dipersalahkan dalam banyak hal, tetapi kali ini, tuduhan itu terasa lebih menyakitkan.

Di sore hari, Kania memberanikan diri untuk mencari jawaban. Ia memutuskan untuk mengecek ponsel Rafasya. Biasanya, pria itu sangat berhati-hati, tetapi sore itu, ponselnya tergeletak di meja tanpa pengamanan.

Dengan tangan gemetar, Kania membukanya. Jantungnya berdegup kencang saat melihat riwayat pesan di aplikasi chat.

  Siska: Aku rindu .…

  Rafasya: Sabar, jangan terlalu mencolok. Aku akan cari waktu.

Dunia Kania seketika runtuh. Tangannya bergetar, pandangannya mengabur oleh air mata. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa ini hanya salah paham, tetapi kata-kata dalam pesan itu terlalu jelas.

Saat itulah, ia menyadari satu hal, ia tidak bisa terus bertahan dalam kebohongan ini. Ia harus melakukan sesuatu—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk harga dirinya yang telah diinjak-injak.

Namun, pertanyaannya sekarang adalah apakah ia cukup kuat untuk menghadapi semuanya?

Kania menutup ponsel Rafasya dengan tangan gemetar. Dadanya sesak, seperti ada sesuatu yang menghimpit hingga sulit bernapas. Kata-kata di layar tadi terus terngiang di kepalanya, mencabik-cabik harapan terakhir yang berusaha ia pertahankan.

 Ia ingin marah. Ingin berteriak. Ingin mengonfrontasi mereka saat itu juga. Tetapi saat ia melangkah keluar kamar, suara ibunya terdengar dari ruang tamu, memaksanya menghentikan langkah.

  "Apa pun yang terjadi, Kania harus tetap bertahan. Jangan sampai rumah tangganya hancur hanya karena perasaan," suara ibunya terdengar pelan, tetapi tajam.

  Kania mengintip dari balik pintu. Ibunya duduk di sofa, berbicara dengan mertuanya.

 "Anak saya terlalu banyak mengeluh," lanjut ibunya. "Dia harus lebih sabar. Suami itu pasti punya alasan kalau bersikap dingin. Perempuan harus tahu tempatnya."

 Kania merasa kepalanya berputar. Di saat ia mengira tak ada hal yang lebih menyakitkan dari pengkhianatan suaminya, ternyata ibunya sendiri justru berpihak pada Rafasya.

  "Jangan khawatir, Bu," suara mertuanya menyusul. "Kania itu istri yang baik. Saya yakin dia tidak akan macam-macam. Lagi pula, kita tidak ingin aib keluarga tersebar, bukan?"

  Aib keluarga?

Jadi, bagi mereka, kehancuran hatinya bukanlah masalah. Yang lebih penting adalah menjaga citra keluarga.

Kania menahan napas, matanya panas oleh air mata yang belum sempat jatuh. Selama ini, ia berpikir bahwa ibunya adalah satu-satunya tempat ia bersandar. Tetapi sekarang, ia menyadari bahwa ia benar-benar sendirian.

Malam itu, Kania duduk di sisi ranjang, menunggu Rafasya pulang. Tidak seperti biasanya, kali ini ia tidak ingin menghindar. Ia ingin mendengar langsung dari mulut pria itu.

Pintu kamar terbuka. Rafasya masuk dengan wajah lelah, seolah-olah hari itu bukanlah hari di mana ia telah menusuk hati istrinya dengan pengkhianatan.

"Kita perlu bicara," suara Kania bergetar, tetapi matanya tetap tajam.

Rafasya mengerutkan kening. "Nanti saja. Aku capek."

"Ini penting," Kania menahan dirinya agar tidak menangis. "Apa hubunganmu dengan kak Siska?"

Sejenak, keheningan memenuhi ruangan. Lalu, Rafasya menghela napas panjang.

"Kania, jangan mulai lagi."

"Aku tidak sedang menuduh tanpa alasan." Kania meraih ponsel di tangannya dan memperlihatkan layar yang masih menampilkan percakapan mereka. "Jelaskan ini padaku."

Ekspresi Rafasya berubah. Sekilas, ada keterkejutan di matanya, tetapi dengan cepat ia mengembalikan wajah tanpa ekspresinya.

"Kamu membaca pesanku?"

"Itu saja yang bisa kamu katakan?" suara Kania meninggi. "Setelah semua yang kulihat, setelah semua yang kurasakan selama ini ... kamu masih mau berbohong?"

Rafasya mengusap wajahnya dengan kasar. "Kania, kamu tidak mengerti. Ini bukan sesuatu yang bisa dijelaskan begitu saja."

"AKU ISTRIMU!" Kania akhirnya meledak. "Tujuh tahun aku diam. Aku sabar. Tapi hari ini, aku butuh jawaban. Aku butuh kejujuran. Aku sedang mengandung anakmu, Rafa!"

Ia memegang perutnya, berharap itu bisa mengetuk hati Rafasya.

Namun, pria itu hanya diam. Menatapnya sebentar, lalu berbalik dan keluar kamar—meninggalkan Kania berdiri dalam keterpurukan.

"Rafa!"

Ia mencoba mengejar. Tapi tiba-tiba rasa nyeri menjalar hebat dari perutnya.

"Aw!" Ia jatuh terduduk, tangannya mencengkeram perut. Pandangannya buram. Dunia di sekelilingnya mulai memudar.

Kania sempat melihat pantulan dirinya di cermin—seorang perempuan yang selama ini berjuang sendirian.

Dan kemudian … semuanya menjadi gelap.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
5 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status