LOGINSisa energi yang Brian tiba di apartemennya hanyalah satu persen.
Kepalanya kosong, otaknya seolah membeku. Dadanya panas dan sesak sekali, amarah yang keluar percuma ternyata terasa jauh lebih melelahkan.
Begitu pintu apartemen tertutup, lututnya melemah. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh juga.
Ironis.
Uangnya banyak. Hidupnya “sempurna” di mata orang.Tapi mengapa rasanya bahagia itu begitu jauh? Semua jalan tampak terasa buntu.Brian membaringkan diri tanpa mengganti pakaian. Ia memejamkan mata, berharap suasana hatinya akan membaik setelah bangun tidur.
***
Harapan kecil Brian pupus saat pagi tiba.
Suara berisik dari luar kamar membuatnya terbangun. Kepalanya berdenyut hebat karena masih terlalu dini baginya untuk bangun.
Brian menatap bayangannya di cermin.
Benar saja. Matanya bengkak, wajahnya pun terlihat menyedihkan.“Kayaknya lama-l
“Di… Brian udah bangun?” tanya Sabrina sambil mengeringkan rambutnya yang masih setengah basah.“Belum, Ma…” jawab Diana pelan.Sabrina berhenti melangkah. Alisnya berkerut.“Tumben banget. Biasanya jam segini dia udah bangun. Apa masih sakit ya?”Perasaan tidak enak tiba-tiba tebesit di benak Sabrina. Sabrina melangkah cepat menuju kamar Brian dan mengetuk pintunya.“Yan… Yan… Kamu masih sakit? Mau ke dokter aja hari ini?”Tak ada jawaban.“Yan…”Hening.Jantung Sabrina berdegup lebih cepat. Tangannya meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Terkunci.Sabrina berusaha berpikir positif kalau Brian sedang kelelahan, ia akan membangunkan Brian sekitar lima belas menit lagi.Akan tetapi, setelah lima belas menit pun Brian masih tidak keluar. Sabrina kemudian meminta bodyguard untuk membuka kamar Brian.Brian tertidur.“Yan…”Brian terbaring di atas ranjang, dengan pakaian yang sama seperti semalam. Rambutnya berantakan. Wajahnya pun pucat.“Lho… kok gak ganti baju? Yan, ayo bangun…
Sisa energi yang Brian tiba di apartemennya hanyalah satu persen.Kepalanya kosong, otaknya seolah membeku. Dadanya panas dan sesak sekali, amarah yang keluar percuma ternyata terasa jauh lebih melelahkan.Begitu pintu apartemen tertutup, lututnya melemah. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh juga.Ironis.Uangnya banyak. Hidupnya “sempurna” di mata orang.Tapi mengapa rasanya bahagia itu begitu jauh? Semua jalan tampak terasa buntu.Brian membaringkan diri tanpa mengganti pakaian. Ia memejamkan mata, berharap suasana hatinya akan membaik setelah bangun tidur.***Harapan kecil Brian pupus saat pagi tiba.Suara berisik dari luar kamar membuatnya terbangun. Kepalanya berdenyut hebat karena masih terlalu dini baginya untuk bangun.Brian menatap bayangannya di cermin.Benar saja. Matanya bengkak, wajahnya pun terlihat menyedihkan.“Kayaknya lama-l
Rasanya… benar-benar menyeramkan.Diana bisa merasakan kelelahan yang menyelimuti Brian hari ini. Tatapan pria itu kosong, rahangnya mengeras, nafasnya berat—setiap suara yang masuk ke telinganya adalah beban tambahan.Brian jelas tidak ingin diganggu. Tidak hari ini. Mungkin juga tidak besok.“Ma… k—kita pulang aja ya…” Diana memberanikan diri berbicara, suaranya pelan dan hati-hati. “Brian pasti capek. Dia pengen istirahat…”Sabrina justru tersenyum bangga dan menepuk tangan Diana lembut.“Di… kamu itu baik banget, pengertian,” ujarnya penuh penekanan. Lalu pandangannya beralih tajam ke Brian. “Tuh, lihat! Diana pengertian sama kamu. Apa sih kurangnya Diana? Mama udah bilang pengen nimang cucu! Kamu itu kenapa sih? Kenapa susah banget bikin orang tua senang?!”Brian tidak menjawab.Ia berbalik dan melangkah ke arah kamarnya, seperti yang s
Lagi-lagi pagi Brian hancur sebelum benar-benar dimulai.Dadanya masih sesak mengingat pertemuannya dengan Lalita kemarin—tatapan singkat yang bahkan tak sanggup ia ubah menjadi sapaan.Belum sempat luka itu mengering, hari ini semesta seolah sengaja menaburkan garam di atasnya.Sabrina dan Diana kembali ada di apartemennya. Di pagi hari.Sekali lagi, DI PAGI HARI.Rasanya benar-benar tidak ada ruang untuk bernafas.Pilates.Alasan yang sama. Lagi.Brian sudah tidak kuat untuk mengamuk. Tidak membanting pintu. Tidak melontarkan kata-kata tajam. Ia langsung mengabaikan sapaan selamat pagi mereka, berbalik masuk ke kamar, lalu mengunci pintu dengan damai.Di balik pintu, teriakan Sabrina masih terdengar. Marah. Kecewa. Mengungkit sikap tidak sopan, durhaka dan sejenisnya.Lagi-lagi, Brian tidak peduli.Tangannya bergetar saat meraih ponsel. Berusaha menghubungi ayahnya.[Halo, Yan…][Pa.] Suara Brian terdengar sangaatttt lelah.[Mama lagi-lagi masuk ke apartemen aku sembarangan. Dan se
“Saya udah ketuk pintu dari tadi, tapi bapak gak jawab-jawab…” ucap Moris sambil melangkah masuk.Ia kembali meletakkan beberapa dokumen di atas meja Brian. Namun, rasa penasaran Moris terlalu besar untuk ditahan. Tatapannya sempat melirik layar laptop Brian yang masih menyala.Menyadari itu, Brian langsung refleks menutup laptopnya. Ia pun gugup seolah baru saja tertangkap basah berbuat dosa.Ia meraih gelas air putih, meneguk isinya cepat-cepat, lalu berdehem—seolah baru saja tertangkap basah setelah melakukan kejahatan besar.Kali ini, Moris yang menghembuskan nafas kasar.“Samperin aja, pak, kalau kangen,” celetuk Moris santai. “Kebetulan orangnya lagi ada meeting di bawah.”Mata Brian membelalak.“Siapa? Siapa maksud kamu yang ada meeting di bawah?”“Bu Lalita ada di bawah. Tadi saya sempat ketemu dan basa-basi dikit,” lanjut Moris, je
Brian kembali pada rutinitas yang—anehnya—terasa asing. Ini adalah apartemen yang sudah lama ia tinggali, tapi… kini tidak terasa sama.Ia menatap kamarnya. Dulu, di jam ini, apartemennya sudah berisik. Lalita pasti menyiapkan sarapan.Saat keluar kamar, Lalita akan menyapa Brian dengan wajah kantuknya, “Aku lagi bikin roti panggang, kamu mau?”Brian hanya bisa menghela nafas berat karena tahu itu tidak akan terjadi lagi.Setidaknya, ia cukup puas karena ada satu hal yang sudah kembali normal: tidak ada Diana di apartemennya, dan tidak ada ibunya yang tiba-tiba muncul tanpa memberi kabar terlebih dulu. Setelah insiden di apartemen Darren, Brian akhirnya membuat kesepakatan yang nyaris seperti gencatan senjata dengan Sabrina.Brian diberi ruang.Ia boleh tetap tinggal sendiri, asal tidak kabur ke luar negeri lagi dan tetap berada dalam pengawasan.Jika harus memilih tinggal di rumah orang







