Laysa telah kembali dan segera menyerahkan minuman yang diteguk cepat oleh Gavin.
Anehnya, pria bertampren itu tiba-tiba melempar gelas ke lantai. Tatapan datarnya seakan meluapkan kekesalan.
"Kenapa Gavin mendadak berubah begini? Kesalahan apa yang kulakukan?" batin Laysa.
[ Kenapa kau melihatku begitu? ]
Laysa akhirnya menggunakan bahasa isyaratnya. Dia tidak sempat mengambil buku di atas tempat tidur. Toh, Gavin akhir-akhir ini mulai memahami ucapannya. Entah dari mana pria itu belajar....
“Apa yang kau lakukan kemarin dengan Xavier, apa dia menyentuhmu?” tanya Gavin pada akhirnya.
Meski Laysa berada di genggamannya, entah kenapa dia selalu mengingat perempuan ini sempat berada di kediaman Xavier. Ini bukan rasa cemburu. Ini seperti merasa tidak rela barangmu disentuh oleh orang lain.
Ya! Itu lebih tepat.
Gavin lalu menatap tajam perempuannya itu.
Tentu saja, Laysa langsung menggelengkan kepala. Dia benar-benar tidak berbuat apa-apa.
“Jangan membohongiku!” Suara Gavin mengeras, membuat Laysa tertunduk takut, “Apa kau pikir aku tidak melihatnya? Dia menggendongmu di tempat parkir dan kau menerima saja! Kenapa kau tidak menolak? Apa benar kau menyukainya?”
“Menyukainya?” Laysa kebingungan saat mendapat pertanyaan sensitif itu dari Gavin.
Dari mana dia bisa menyimpulkan hal itu hanya karena sebuah video?
Laysa menggelengkan kepala dengan cepat. Dia tidak ingin ada masalah lebih jauh dengan Gavin.
“Kau berbohong padaku lagi, Lays. Kau mengatakan sudah menyerahkan seluruh hidupmu padaku, tapi nyatanya itu hanya sebatas dalam tulisan tidak bergunamu itu. Apa aku harus menekankan lagi konsekuensi yang akan kau terima kalau bertentangan denganku, Lays?”
Laysa kembali menggelengkan kepalanya, dia ketakutan setengah mati saat Gavin muncul seperti iblis kasar yang tidak berperasaan begini.
Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah pria itu kemarin sudah baik-baik saja?
Laysa pun menangis seraya memundurkan langkah karena Gavin semakin menekannya dengan tatapan tajam.Dia sungguh takut dengan Gavin sekarang. Apa memang kehidupannya sudah di-setting seperti ini? Harus menerima segala ancaman, kekerasan, dan ketidak-adilan dalam hal apa pun?
“Hanya ada dua pilihan bagimu sekarang. Itu adalah tetap bersamaku, atau mati. Apa kau mengerti itu?”
Laysa terdiam dan terus menangis.
Kini, pandangannya bahkan berputar-putar. Seluruh pandangan Laysa akhirnya gelap.
Samar-samar, dia mendengar suara Gavin memanggil-manggil namanya.
Namun, dia tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya.
***
Ketika membuka kedua mata, Laysa berada di tempat tidur besarnya bersama dua orang di dekatnya. Dia melihat ada seorang wanita berpakaian putih yang mengenakan sebuah kaca mata. Wanita itu baru saja selesai memeriksa tubuh Laysa, lalu beranjak dari tempat tidur seraya merapikan alat medisnya.
Gavin sendiri tidak terlalu terkejut melihat Laysa siuman, sikap lelaki itu sangat dingin. Membuat Laysa semakin bersedih dengan keadaannya. Ternyata Gavin tidak merasa cemas sama sekali.
“Lalu bagaimana kesehatannya sekarang?” tanya Gavin.
“Tekanan darahnya cukup rendah, Gav. Kau harus segera membawanya ke rumah sakit,” ujar wanita bernama Gracia yang berstatus sebagai dokter tersebut.
“Kenapa tidak kau saja yang menuliskan resepnya. Beri dia obat, apa sekarang keahlianmu mendiagnosis penyakit sudah berkurang?”
“Bukan itu masalahnya! Tapi dia sedang hamil, aku tidak bisa sembarangan memberikannya obat. Kau harus segera menanganinya, kalau tidak dia bisa keguguran.”
Seketika hening. Baik Gavin atau Laysa sendiri, mereka terbungkam paksa oleh keterangan dokter tersebut.
Tunggu, Laysa hamil? Laysa sedikit keluar dari dalam selimut, apa yang harus dilakukannya sekarang? Laysa bukan menolak kehadiran seorang anak, tapi masalahnya adalah ayah dari calon anaknya kelak. Apa Gavin tidak akan memberikan masalah lebih jauh?
Sementara itu, Gavin tampak membisu. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
****Kedua tangan Laysa sedikit gemetar saat memegang perut yang masih tampak rata itu. Dia tidak percaya, apa ini hanya sebuah mimpi?
“Apa kau bisa memastikan kehamilannya itu?” tanya Gavin yang pada akhirnya menyadarkan Laysa bahwa mereka tidak sedang bermimpi.
Justru, keinginan Gavin untuk memiliki seorang anak dari Laysa ternyata terwujud begitu cepat. Sebab setiap kali mereka berhubungan, Laysa atau Gavin tidak pernah menggunakan pengaman apa pun.
“Tentu saja. Kau bisa memastikan sendiri setelah datang ke rumah sakit,” jawab Dokter Gracia.
Kemudian melihat ke arah Laysa sebentar sebelum terfokus kepada Gavin. “Apa kau yang melakukan ini? Jika memang iya, kau benar-benar sangat nekat, Gav. Aku tahu beberapa minggu lalu, ibumu sempat menyebarkan berita tentang pernikahanmu dengan Laura. Apa tanggapannya jika dia tahu kau akan memiliki anak dari gadis ini?”
“Itu adalah urusanku, tidak seorang pun yang bisa mengaturku walau dia adalah ibuku sendiri.” Gavin pun beranjak dari kursinya, lalu menghampiri Gracia. “Rahasiakan kedatanganmu ke tempatku, aku tidak ingin banyak media mengetahui ini sekarang.”
“Terserah padamu. Kalau begitu aku pergi dulu, jaga kesehatan mental dan fisiknya, Gav. Aku rasa kandungannya cukup lemah sekarang,” ujar Gracia sebelum pergi.
Gavin tidak mengiyakan, tidak juga menepis perkataan Gracia.
Setelah wanita itu pergi, Laysa belum berani bergerak banyak. Hanya air matanya yang mengambil tindakkan lebih dulu, seakan mewakilkan perasaannya sekarang.
Laysa kini benar-benar terjebak dalam jerat Gavin dengan mengandung calon anaknya.“Bangunlah!” ujar Gavin seraya memegang tangan Laysa dan membantunya bangkit.
Gavin meraih pipi Laysa dengan telapak tangan besarnya. Menyeka sedikit ari mata itu dari wajah cantik gadisnya.
“Kali ini kau masih selamat, Lays. Aku memang membutuhkan istri dan seorang anak dari rahimmu. Tapi, setelah anak itu lahir, aku menginginkan tes DNA, agar aku bisa mengetahui siapa ayah biologisnya,” ujar Gavin pelan, tapi sangat menohok.
Plak!
Laysa melayangkan sebuah tamparan keras di pipi Gavin. Sangat ringan seperti kapas, tangannya spontan melakukan itu akibat rasa sakit yang tidak bisa diterimanya karena ujaran Gavin barusan.
Gavin begitu terkejut atas keberanian Laysa.
Gavin lalu mencengkeram kasar tangan gadis itu, lalu berbisik, “Berani sekali kau menamparku! Ingatlah, kau hanya seorang gadis yang kubayar, Lays. Tidak lebih dari itu! Kau harus menyadari di mana menempatkan posisimu walau kita akan menikah.” Ucapannya tersebut sudah cukup membuat tekanan yang dialami Laysa semakin dalam. Dia menangis tersedu-sedu, meratapi kehidupannya yang tidak pernah bertemu dengan bahagia. Gavin pun melepas cengkeramannya cukup keras, hingga tubuh Laysa terempas ke kasur. Kemudian beranjak dari sana dengan angkuh dan tidak memedulikan apa pun tentang Laysa. Gavin sangat kesal, karena ternyata gadis itu sama seperti gadis kebanyakan yang mudah terlena dengan uang dan fisik seorang lelaki. *** Sebelum Gavin pulang ke rumah, semuanya terlihat baik-baik saja. Suasana hatinya selalu baik, apalagi ketika membaca tulisan pengakuan dari Laysa. Dia pikir, rencananya akan berjalan dengan lancar, mendapatkan seorang istri yang mudah disetir ke arah mana pun tanpa
Seketika Gavin teringat lagi saudara kembarnya. Pasti ini adalah ulah Xavier yang sengaja mengundang mereka ke sini. “Tidak perlu. Aku akan menemui mereka,” ujar Gavin. “Tapi, Tuan. Itu sangat berisiko tinggi untuk Anda.” “Aku bisa mengatasi ini, Derry. Siapkan saja mobilnya di depan.” Gavin membenarkan jas hitamnya, lalu berjalan tegas menuju area luar rumah sakit tempat para awak media itu berada. “Baik, Tuan.” Derry pun segera melaksanakan perintah tuannya, seraya mengikuti langkah Gavin dan Laysa. Namun, hati lelaki tua itu tak terlalu tenang. *** “Apa Anda bisa menjelaskan kedatangan Anda ke rumah sakit ini, Tuan?” tanya salah seorang dari media massa. Laysa dan Gavin seperti semut yang disodorkan makanan manis. Ada banyak kamera, begitu pun pertanyaan untuk keduanya. “Lalu siapa gadis yang ada di samping Anda ini? Apa benar dia adalah calon istri Anda?” tanya yang lainnya. “Saya hanya mengantarnya memeriksa kesehatan,” jawab Gavin. “Ya, dia adalah calon istri saya. Kal
“Tapi yang aku cintai itu kamu, Gav! Mana bisa aku mencintai lelaki lain walau wajah kalian serupa? Dia bukan dirimu,” sela Laura dengan tegas. “Apa yang kau cintai dari diriku?” “Semuanya, semua yang kau miliki.” Laura menjawab pertanyaan Gavin secepatnya. “Tapi yang kumiliki hanya harta dan kekuasaan, itu artinya kau tidak benar-benar mencintaiku.” Gavin tersenyum miring, seakan puas telah menjebak Laura dengan pertanyaan tersebut. “Gavin—“ “Gadis yang ingin kau nikahi sekarang adalah seorang cacat, Gav! Dia bahkan tidak bisa berbicara, atau membela dirinya lagi. Apa yang kau banggakan darinya? Cinta saja tidak cukup, dunia kita bukan untuk main-main. Momy membutuhkan menantu yang bisa mengimbangi keluarga kita dalam segi apa pun,” sela Anne yang masih penasaran dengan keputusan putranya. Ucapan Anne membuat Gavin geram. “Apa salahnya jika dia cacat? Apa dia tidak berhak memiliki cinta dariku?” “Omong kosong apa yang kau katakan ini?!” Mendadak suara Anne mengeras, menatap Ga
“Kalau kau bersedia, aku akan menikahimu dan kau akan mendapat kedudukan yang sama dengan Laysa. Hanya saja, tidak akan ada pernikahan mewah di antara kita berdua. Kau dan aku hanya akan mendatangkan saksi secukupnya, bagaimana?” “Apa kau tidak pernah memikirkan perasaanku, Gav? Selama ini aku selalu saja menuruti keinginanmu, tapi sekarang kau malah menawarkan sebuah jurang untukku. Bagaimana bisa aku menerima ini?” ujar Laura. Gavin mendengar suara gadis ini tidak lagi sekeras sebelumnya, menggantikan itu dengan untaian kalimat kekecewaan disertai pertanyaan untuk Gavin sendiri. Apa Gavin tersentuh? Sungguh, dia bukan seorang yang mudah ditaklukkan menggunakan sebuah kalimat indah apalagi sederhana, lemah lembut, atau pelan bahkan kasar sekalipun. Sekalinya dia berkeyakinan tidak, itu adalah keputusan akhir tanpa ada yang bisa mengusiknya. “Kalau kau ingin berada dalam pikiranku, jadilah seperti apa yang kuinginkan,” ujar Gavin pelan dan menegaskan kembali perkataan sebelum-seb
Suasana ramai serta hangat mengelilingi hari bahagia yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang, terlebih bagi Gavin. Hari ini akhirnya tiba, sebuah acara resepsi pernikahan yang digelar secara mewah miliknya dihadiri banyak orang dari berbagai kalangan. Mulai dari para pebisnis, beberapa artis hingga masyarakat biasa datang untuk menyaksikan langsung acara bersejarah ini. Bagaimana tidak disebut seperti itu? Tidak banyak dari kalangannya yang menyewa khusus orang dari pertelevisian untuk meliput pernikahan antara Gavin dan Laysa. Mereka menyiarkan secara langsung di beberapa stasiun televisi, sejak awal hingga acara selesai diselenggarakan. Gavin pun begitu gagah mengenakan jas hitamnya, seperti biasa. Penampilannya selalu harus sempurna, pemilihan bahan pakaian terbaik membuatnya terlihat seperti pangeran-pangeran di negeri dongeng. Setiap orang yang melihatnya tersenyum, bahkan menyebutnya sebagai crazy rich berhati mulia dengan menikahi seorang gadis yang memiliki keterbatasan dalam
“Apa kau serius, Gav?! Apa kau yakin dia mengandung bayimu?” tanya Anne bersuara keras kepada Gavin disertai tatapan tajamnya. Sementara Gavin tetap berusaha bersikap biasa saja. “Apa Momy harus bertanya sejujur itu di depan istriku?” “Sebab momy tidak mempercayainya, Gav.” Anne menjawab dengan nada datarnya. “Kalian berdua harus ingat ini baik-baik. Momy tidak akan pernah mau menerima dia atau keturunannya sampai kapan pun.” Sekali lagi Anne menatap tajam ke arah Laysa, kemudian lantas meninggalkan acara tersebut tanpa memedulikan apa pun lagi. Dia tidak pernah ingin menerima apalagi mengerti keputusan putranya yang satu ini. “Kau melakukannya dengan sangat baik, Gav. Kabar berita apa lagi yang akan kau bawa selanjutnya, uh?” ujar Xavier lagi-lagi bernada menyindir. Kepergian Anne nyatanya membuat kecanggungan tersendiri bagi mereka semua, terutama Laysa. Wanita itu hanya bisa tertunduk dan terus diam selama acara pernikahannya berlangsung. Di mana pernikahan seharusnya menjadi
Gavin merengkuh tubuh lemah Laysa, menggerakkannya dan berharap wanita ini segera membuka kedua matanya. Namun, usahanya sia-sia. Laysa tidak bisa merespons apa pun hingga membuat Gavin cemas.Gavin pun menyambar ponsel di meja, lalu menghubungi Derry. “Siapkan mobil sekarang, Derry.”“Apa yang—““Secepatnya!” Gavin berteriak keras. Setelah panggilan berakhir, dia pun mempersiapkan diri untuk membawa Laysa ke rumah sakit. Entah apa yang terjadi, dia tidak sempat memikirkan apa pun ke depannya.Sampai Gavin sendiri lupa dengan alasan kenapa dia sampai mencemaskan Laysa begini. Padahal, dia tidak pernah secemas ini dalam hal apa pun apalagi hanya karena seorang wanita yang menurutnya tidak penting.Beberapa waktu kemudian, mereka sampai di rumah sakit dan Laysa sudah ditangani oleh seorang dokter. Sementara Gavin tidak sabar menunggu karena dia melihat para perawat mulai mempersiapkan peralatan medis untuk dipasangkan ke tubuh Laysa.Wanita itu memang telah siuman sejak beberapa menit s
Setelah Laysa mulai terlelap dalam tidurnya, Gavin pun turun dari bed stretcher dengan perlahan. Tidak ingin menguik waktu istirahat wanita ini, beberapa detik hanya menatap wajah tenangnya, hati Gavin masih tetap bergemuruh. Ada gelenyar aneh dalam sana, yang membuatnya sulit berpaling apalagi menolak keinginan Laysa.Apa wanita ini memiliki sihir tertentu? Bagaimana bisa seorang Gavin Diamond Stewart bisa dengan begiu mudahnya luluh hanya karena sebuah tangisan kecil? Ah, tidak. Tangis itu bisa saja hanya menjadi sebuah senjata bagi Laysa sendiri karena tidak bisa melakukan apa pun.Begitulah anggapan Gavin. Ya, dia masih berusaha menolak perasaan aneh yang mulai menyusup dalam hatinya.Gavin pun pergi keluar dari kamar inap Laysa, berniat mencari udara segar di luar sana atau sekedar mengalihkan perasaan yang terus mengganggu ini. Gavin tidak ingin itu berkembang, sebab cinta hanya akan membuatnya rapuh. Cinta hanya akan membuat banyak celah bagi