Share

Rayuan

Laysa belum berhenti menangis, tetapi dia tetap berusaha membuka lembaran bukunya dengan satu tangan lain untuk menunjukkan sesuatu kepada Gavin.

[ Hidup dan tubuhku sudah menjadi milikmu, bahkan aku tidak bisa memikirkan hidup di luar sana lagi karenamu. Jika aku diberi dua pilihan sekali pun, aku akan kembali padamu. Karena hidup denganmu lebih baik dari pada menyodorkan nyawa dengan percuma di luar sana. ]

Seketika semua terasa hening. 

Gavin yang semula ingin sekali mengeluarkan kalimat kasar dengan kemarahan terbesarnya, mendadak luluh setelah membaca isi tulisan buku Laysa. 

Gadis itu putus asa, Gavin tahu. Namun, yang membuatnya tersentuh adalah ketika Laysa mempercayakan hidupnya secara tidak langsung.

“Derry, tolong tunggu di luar.” Gavin memberi kode kepada Derry, hingga lelaki itu mengerti dan meninggalkannya berdua saja bersama Laysa.

Gadis itu masih tampak menangis. 

Sisa-sisa ketakutan terlihat jelas di depan mata. Gavin pun melonggarkan pegangan tangannya, lalu mengajak Laysa duduk di pangkuannya hingga jarak mereka semakin dekat.

“Kalau begitu, jangan pernah lagi menjauh dariku apa pun yang terjadi, Lays. Kau adalah milikku, ingat itu baik-baik.” Gavin membenarkan anak rambut yang menghalangi wajah sendu Laysa.

Gadis itu tidak lagi bereaksi banyak, kecuali mencengkeram erat bahu Gavin saat bibirnya terasa hangat oleh sentuhan lembut–menuntun keduanya dalam sebuah kenikmatan tabu. 

“Laysa ....” desah Gavin menyebutkan nama “sang calon istri”.

*****

Tiga minggu berlalu.

Seharian penuh diisi Laysa dengan merenung dalam kesendiriannya. 

Dunia di balik jendela rumah lantai tiga ini sangat luas, tetapi dia terkurung di sini.

Laysa menyadari bahwa dirinya sudah terjerat si tuan muda super posesif dengan segala keangkuhannya itu.

Seketika, dia teringat perbincangannya dengan Xavier Semalam dia sudah berbicara dengan Xavier apa yang harus dilakukan ke depannya.

[ Apa aku bisa terbebas dari Gavin? Kalau ada caranya, aku mau, ] ujar Laysa.

Itu adalah ingatan percakapannya dengan Xavier. 

Lelaki jangkung tersebut tampak terdiam sejenak, kemudian berbicara.

“Caranya ... hanya menikah denganku.”

Kedua mata Laysa terbulat sempurna, tidak percaya dengan perkataan Xavier.

Bukankah mereka baru saling mengenal? Apa Xavier juga sama saja seperti lelaki kebanyakan? Hanya memandang fisik tanpa peduli perasaan pasangan? Dua hal tersebut sempat melintas di pikiran Laysa.

[ Kenapa begitu? ] tanya Laysa dengan bahasa isyarat.

“Karena tidak ada yang bisa melawannya, kecuali aku. Kalau kau berada dalam perlindunganku, setidaknya pergerakannya terbatas. Aku menjamin keselamatanmu,” jawab Xavier sangat tenang dan yakin.

Laysa berpikir banyak mendengar penawaran tersebut, apa itu terdengar bagus? Bagi kebanyakan orang, mungkin iya. Namun, baginya ... Xavier tidak pantas berkorban banyak hanya untuk gadis seperti dirinya yang tidak memiliki apa-apa kecuali kecantikan.

“Bagaimana? Apa kau menerima tawaranku?” tanya Xavier karena Laysa tidak kunjung memberi respons lain kecuali terdiam dengan gerak tubuh gelisah.

[ Maaf ... aku tidak bisa. ] Akhirnya Laysa menjawab, meskipun kelihatannya ini bukan sebuah jawaban yang tepat. 

“Kenapa? Yang kulihat sekarang kau tidak hanya tertekan, Gavin pasti selalu bersikap kasar padamu. Apa benar begitu?”

[ Aku tetap tidak bisa. Aku memiliki perjanjian dengan Gavin. Lagi pula, kalian berdua bersaudara. Aku tidak mau merusak tali persaudaraan kalian, ]

Gerakkan jemari Laysa sedikit pelan, sebab ada sebuah keraguan besar mengganjal dalam hatinya. Dia sangat ingin ... bahkan lebih dari ingin untuk bisa menghirup napas bebas, bisa mengepakkan sayap selebar-lebarnya demi melihat luasnya dunia ini. Namun, pemikiran dan hatinya bertolak belakang. 

Xavier menenggak minumannya sebentar sebelum berkata lagi. Bersama helaan tipisnya, dia menatap Laysa. 

“Hubunganku dengan Gavin sudah rusak sejak dulu. Tapi itu terserah padamu kalau memang masih ingin mempertahankannya. Aku hanya bisa menawarkan sebuah bantuan,” ujarnya.

Laysa sedikit merasa tidak enak. 

Dalam hati terdalamnya, penyesalan itu ada. 

Hanya saja, dia merasa lebih baik menyesal sekarang daripada nanti saat dia melihat dua saudara itu saling menyakiti. Laysa juga sudah bukan gadis yang memiliki kesucian lagi.

Tiba-tiba, pintu kamar Laysa terbuka.

Gadis itu lantas menoleh dan mendapati Gavin sudah pulang dengan wajahnya yang lelah. Gavin menanggalkan jas hitamnya, kemudian melonggarkan dasi di leher seraya menatap langkah Laysa yang menghampirinya.

Laysa langsung mengambil tas dan jas Gavin yang dibuang ke sembarang tempat, kemudian menaruh di tempat seharusnya. Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam, baru setengah jam dari waktu matahari terbenam dan lelaki itu tampaknya membawa sebuah kekesalan kecil ke rumah.

[ Kau baru pulang? Aku menunggumu sejak tadi, ada yang mau aku bicarakan denganmu.] Laysa menulis di bukunya, lalu memberikan itu kepada Gavin.

Gavin memang sempat menerimanya, tapi tidak lama. Buku itu dilempar ke atas tempat tidur tanpa sempat terbaca isi tulisan Laysa di sana. Pria itu terlihat kesal

“Lebih baik, kau ambilkan aku minum.”

Sebuah perintah dari Gavin membuat Laysa sedih. Bukan hanya tentang bukunya yang dilempar begitu saja, melainkan sebuah perasaan tidak berharga menyelinap di hatinya. 

Ternyata memang seburuk ini derajatnya di mata orang lain setelah hidupnya ‘dibeli’.

Laysa pun memenuhi perintah Gavin dan mengantarkan segelas minuman padanya. Dalam kamar besar ini, memang minuman menjadi sesuatu yang wajib tersedia. Walau segalanya bisa saja diurus oleh pelayan.

Sementara itu, Gavin mengacak rambutnya kasar. Dia mengepal tangannya kencang.

"Sialan kau, Xavier!" lirihnya pelan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status