Share

Istri Abangku
Istri Abangku
Author: Diganti Mawaddah

1. Di mana Alex?

Bu, sebenarnya Mas Alex itu kerjanya apa sih? Masa udah dua minggu kita di sini, belum ketemu orangnya. Saya aja gak kenal mukanya, kalau gak lihat di foto pernikahan di depan." Kamal bertanya pada ibunya yang sedang memasak di dapur.

"Gak tahu Ibu juga. Waktu itu, cuma ditelepon suruh menemin istrinya di sini. Dah, kita gak usah ikut campur. Kamu gak berangkat cari kerja?"

Uek!

Uek!

"Ya Allah, kasihan ya. Masih mual-mual aja Neng Ica." Bu Rani; ibu dari Kamal berjalan dengan tergopoh, menghampiri Ica di kamar mandi belakang.

"Buatin Teh, Mal!" teriak Bu Rani pada Kamal. Lelaki itu pun menurut, dengan sigap membuatkan teh untuk kakak iparnya yang masih saja mual dan muntah, padahal kehamilannya memasuki usia tujuh bulan.

Kamal berjalan ke arah ruang tengah, lalu meletakkan secangkir teh di atas meja. Kakak iparnya itu memejam mata, sambil menikmati pijatan dari Bu Rani, di leher belakangnya. Ada air bening di sudut matanya, dan itu membuat Kamal menjadi iba.

Wanita yang sedang hamil, setahunya selalu dekat dengan suami, atau pun kalau sedang berjauhan, pasti selalu video call atau teleponan. Karena pasti butuh perhatian lebih dan ingin dimanja. Walaupun ia belum menikah, pacar juga belum pernah punya, tetapi ia tahu hal itu dari teman-temannya yang sudah menikah dan baru memiliki anak.

Sepanjang tinggal di perumahan mewah milik Alex;abang beda ibu. Ia tak pernah melihat sang kakak ipar berbicara mesra di telepon. Kalau pun ada berbincang di telepon, pasti dengan orang tua atau teman-temannya. Sungguh ia penasaran, di mana Mas Alex.

Wanita berbadan dua itu keluar dari kamar dengan wajah ceria seperti biasa. Kamal dan ibunya tahu bahwa Ica tidak baik-baik saja karena suaminya yang tidak tahu di mana rimbanya.

"Cantik sekali pagi ini Neng Ica. Apakah ini tanda-tanda mau menyambut suami pulang?"sapa Bu Rani sambil tersenyum hangat.

"Tidak, Bu, Mas Alex belum ada kabar. Terakhir katanya mau keluar kota." Ica menyahut tanpa semangat.

"Oh, ya udah kalau gitu, tidak usah kuliah hari ini ya, Ica. Nanti, kalau mual, muntah di kampus gimana?" ujar Bu Rani pada Ica yang masih saja meneteskan air mata.

"Siang ini ada ujian, Bu. Gak papa, Ica kuliah saja. Nanti siang juga hilang mualnya," jawab Ica dengan menyunggingkan senyum tipis.

"Terima kasih ya, Bu. Ica udah dipijitin. Kalau gak ada Ibu dan Kamal, Ica pasti kesepian," suara wanita muda itu terdengar bergetar.

Tak mudah menjalankan pernikahan tanpa restu orang tua. Annisa, atau biasa dipanggil Ica menikah dengan Alex. Lelaki dewasa berusia tiga puluh enam tahun, sedangkan Ica baru tiga bulan ke depan berusia dua puluh tahun, dan sedang duduk di bangku kuliah semester tiga. Masih sangat muda dan pastinya sedang manja-manjanya dengan suami.

Sedari SMA, Ica memang nampak lebih tertarik dengan pria dewasa yang puluhan tahun beda usia darinya. Entahlah kenapa bisa seperti itu? Padahal ia juga tak kekurangan figur seorang ayah di dalam rumah.

Alex  sudah memiliki anak di luar pernikahan, dan hal itu yang membuat keluarga Ica tidak menyetujui pernikahan Ica dengan Alex. Sekarang, saat Ica dinyatakan hamil, tiba-tiba saja Alex pergi keluar kota hampir setiap bulan dengan alasan pekerjaan.

"Udah siap, Kak? Ayo, saya antar!" ajak Kamal pada kakak iparnya yang lagi-lagi melamun di teras.

"Maaf ya, Mal. Jadi merepotkan kamu." Susah payah Ica bangun dari duduknya, lalu berjalan mendekat pada Kamal yang sudah siap dengan motornya.

"Pake helemnya." Kamal mengulurkan helem pada Ica. Wanita hamil itu menurut, lalu naik ke boncengan motor Kamal.

"Baca doanya!" kata Kamal lagi pada Ica.

"Gue gak tahu doa naik kendaraan," jawab Ica dengan polosnya.

"Tahunya doa apa?" tanya Kamal lagi dengan wajah serius.

"Doa mau makan dan doa mau tidur," jawab Ica lagi dengan wajah polos. Tentu saja Kamal tergelak, dan Ica pun akhirnya ikut tergelak mendengar suara tawa Kamal yang begitu renyah.

Sebelum benar-benar meninggalkan pekarangan rumah, Kamal terlebih dahulu mengajarkan Ica doa naik kendaraan. Wanita itu pun menurut, lalu mengikuti ucapan doa yang diajarkan Kamal.

Bu Rani yang memperhatikan dari teras rumah, tentulah ikut melengkungkan garis bibir. Baru kali ini, ia bisa melihat tawa Ica yang begitu lebar. Wajah wanita hamil itu berubah menjadi sangat merah saat tertawa.

"Berangkat ya, Bu. Assalamualaykum," pamit Ica sambil melambaikan tangan pada Bu Rani.

Motor dikendarai Kamal dengan kecepatan sedang, cenderung pelan. Ia benar-benar canggung membawa wanita hamil besar seperti ini.

"Mal, ini motor ada mesinnya gak sih? Jalannya kok kayak gerobak!"

"Ha ha ha ...." Kamal tergelak. Ia tahu maksud ucapan dari Ica adalah, agar membawa motor lebih cepat.

"Pegangan, Kak," kata Kamal.

"Gak mau ah, bau badan kamu gak enak," tolak Ica mentah-mentah dengan alasan mengesalkan sekaligus menggemaskan. Kamal hanya bisa menyeringai, lalu kembali fokus pada kemudinya.

Angin bertiup sedikit kencang, padahal sudah pukul dua belas siang dan matahari juga bersinar cukup terik. Kamal sibuk memperhatikan jalan, Ica sibuk merindui suaminya yang sepekan ini tak berkirim kabar sama sekali.

Sebuah mobil yang sangat ia kenal, sedang berhenti di lampu merah dalam posisi paling depan. Itu bukannya mobil suaminya?

"Mal, ikuti mobil merah di depan ya."

"Merah BMW itu, Kak?"

"Iya."

Lampu hijau menyala, mobil berbelok ke kanan dan sesuai perintah Ica, Kamal mengikuti kemana mobil itu bergerak. Hingga sampai di sebuah lobi apartemen. Ica semakin berdebar, saat lelaki yang sangat ia rindukan keluar dari mobil mewah, dengan seorang wanita cantik. Keduanya bergandengan tangan dengan sangat mesra.

Kamal pun ikut tercengang dengan pemandangan di seberangnya. Lelaki itu adalah Alex; abangnya. Namun, siapa wanita seksi yang abangnya gandeng itu?

"Kak, itu ...."

"Itu suami saya," suara Ica bergetar.

"Ssstt ... aaah ... sakit!" Ica memegang perutnya yang tiba-tiba saja kaku dan sangat sakit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status