"Toloong! Toloong!" teriak Kamal saat mendapati Ica tergeletak pingsan di atas pangkuannya. Kamal tak tahu harus berbuat apa dan bagaiamana, sehingga ia terus saja berteriak minta tolong.
"Pak, tolooong saudara saya, Pak," ujar Kamal ketakutan saat mendapati seorang lelaki setengah baya berseragam, yang menghentikan motornya di dekat Kamal berada saat ini.
"Ini kenapa Dek istrinya?"
"Ini kakak saya ,Pak. Katanya sakit perut, tiba-tiba pingsan." Entah dari mana keberanian Kamal, tetapi telapak tangannya terus saja mengusap pipi Ica sedikit kasar, agar wanita itu segera sadar.
"Ayo, kita bawa saja ke rumah sakit." Pria berseragam kepolisian itu memberhentikan sebuah mobil sedan yang tengah melintas. Ica dibawa ke rumah sakit bersama Kamal, sedangkan motor Ica, ia titipkan di sebuah warung makan. Entahlah, ia percaya saja, karena saat ini nyawa Ica dan bayinya lebih penting.
Sesampainya di ruang IGD rumah sakit, dokter yang tengah berjaga menanyakan kronologi kejadian yang dialami Ica. Kamal menceritakan, tetapi tidak semua. Tidak mungkin ia sampaikan bahwa Ica pingsan saat mendapati suaminya masuk ke dalam apartemen bersama seorang wanita.
"Mal," lirih Ica melihat Kamal yang berdiri mematung di dekatnya. Kamal menoleh, lalu memberikan senyum tipisnya pada Ica.
"Gue di mana?"
"Di rumah sakit."
"Kenapa dibawa ke sini? Gue gak papa kok," suara Ica bergetar menahan tangis.
"Heran sama wanita, selalu bilang baik-baik saja. Padahal mereka sedang tidak baik-baik saja. Dah, yang penting gue udah bawa ke tempat yang bener. Daripada gue tinggalin di jalan, hayoo?" ucapan Kamal begitu menyentil dirinya.
Dia memang sedang tidak baik-baik saja. Malah bisa dikatakan, saat ini adalah masalah terburuk dalam hidupnya. Perawat datang, lalu memberikan Ica infusan penambah darah yang aman untuk wanita hamil.
Tekanan darah Ica rendah juga badannya sedikit hangat, dan untuk memastikan kondisi bayi dalam kandungannya, brangkar Ica didorong masuk ke dalam ruang praktek Dokter Kandungan yang sedang ada jadwal hari ini.
Kamal membalikkan tubuh, saat perawat menaikkan baju kaus lebar yang dipakai Ica. Bukan mahram dan bisa berakibat fatal bagi dirinya nanti.
"Mas, sini lihat bayinya!" pinta dokter wanita itu pada Kamal yang masih membalikkan tubuh.
"Gak boleh, Dok. Saya bukan suaminya."
"Oh, maaf."
Dokter kembali fokus memeriksa Ica dan Kamal masih dalam posisi yang sama. Begitu terdengar suara Ica yang sudah dirapikan pakaiannya, Kamal baru berbalik menoleh pada Ica yang raut wajahnya muram.
"Kondisi kandungannya baik ya. Posisi bayi juga sudah ada di bawah, tapi yang saya heran, kenapa sudah ada pembukaan satu ya? Padahal Mbak baru masuk tujuh bulan dan ini kehamilan pertama. Jadi, saya harapkan Mbak bedrest selama sepekan ya. Minggu depan kontrol lagi ke sini."
"Baik, Dok," jawab Ica lemah.
"Ajak suaminya kalau bisa."
"I-iya."
"Mas, saudaranya ini tidak boleh cape dan turun dari ranjang ya. Semua harus dilakukan di tempat tidur."
"Hah? Pipis sama BAB juga di kasur, Dok?" tanya Kamal yang sedikit kebingungan.
"Pipi bisa pakai pispot, kalau BAB sebaiknya digendong ke kamar mandi."
"Siapa yang gendong?" tanya Kamal lagi dengan polosnya.
"Ya, suaminya Mas. Masa suami tetangga." Dokter tergelak mendengar pertanyaan Kamal. Ica pun ikut mengulum senyum, lalu kembali diam dengan berjuta rasa sakit di hatinya.
Kamal sudah mengantar kembali Ica sampai di rumah dengan naik taksi online. Sedangkan Kamal, kembali ke warung-tempat ia menitipkan motor milik Ica. Bu Rani sempat kaget dengan keadaan Ica yang begitu lemah, bahkan harus dipapah Kamal masuk ke dalam kamar. Bukannya tadi Ica pamit kuliah, kenapa sudah kembali? Walau Kamal tadi sempat mengatakan bahwa Ica pingsan sebelum sampai kampus, tetapi anaknya itu tidak bilang karena apa.
Bu Rani membawakan bubur kacang hijau dan segelas teh hangat untuk untuk Ica. Ia duduk di samping ia yang berbaring memunggunginya sambil menangis.
"Neng, ada apa? Pulang-pulang kok sedih?"
"Gak papa, Bu," jawab Ica sambil berbalik menatap Bu Rani yang mengulas senyum keibuan. Ah, sungguh ia merindukan sang mama. Ia tidak cukup berani bertandang ke rumah orang tuanya, karena memang pernikahannya ini ditentang. Ia juga sudah berjanji, tidak akan menceritakan apa pun kesulitan yang ia alami dalam berumah tangga bersama Alex, kepada orang tuanya.
"Ya sudah kalau tidak mau cerita, tapi tadi kata Kamal, kamu pingsan di jalan, terus disuruh bedrest. Benar begitu?" Ica mengangguk, lalu meraih mangkuk bubur kacang hijau yang ada di tangan Bu Rani.
"Ibu, terima kasih ya."
"Ya sudah, Ibu kembali ke dapur ya." Lagi-lagi Ica tak bersuara, ia hanya mengangguk pelan.
Ica memandang mangkuk bubur dengan mata berkabut. Makanan ini harus ia makan sampai habis. Kasihan bayinya jika sampai kekurangan gizi karena punya ibu yang selalu bersedih dan tak berselera makan di saat seperti ini. Suaminya selingkuh? Di saat dia hamil besar seperti ini. Ica tergelak dengan air mata yang masih terus merembes di pipinya.
"Bertahanlah, Sayang. Ada Bunda bersama kamu, ada nenek Rani, dan Om Kamal yang bersama kita," gumamnya sambil mengusap perutnya yang membuncit.
Mangkuk ia letakkan sebentar di atas meja kecil yang berada di samping ranjang besarnya. Kemudian, ia mengeluarkan ponsel yang ada di dalam tas. Ia geser layar ponsel, maksud hati ingin mengecek apakah ada pesan masuk dari suaminya. Namun sungguh sayang, tak ada pesan dari siapa pun.
Ica berinisiatif memencet nomor suaminya dengan dada berdebar, karena panggilannya tersambung. Padahal sepekan ini, hanya operatorlah yang menjawab panggilannya. Beberapa kali mencoba tak juga diangkat, Ica tak putus semangat. Ia mencoba hingga mangkuk bubur yang tadi hangat, berubah menjadi dingin.
Bahunya bergetar, isakannya semakin dalam, saat sang pemilik nomor tak juga menganggkat panggilannyannya. Ica mencoba untuk yang terakhir kali.
Hallo, apa sih, orang lagi sibuk diteleponin?! Nanti saja! Ribet amat jadi istri!
Tut
TutMulutnya masih lagi terbuka hendak memanggil nama suaminya, tetapi sebuah kalimat bentakan yang ia dapat membuat nafasnya kini begitu sesak. Air mata yang tadi saja belum kering, kini sudah menganak sungai kembali
Kamu sibuk apa, Pa? Sibuk selingkuh?
****
"Ica, kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Bu Miranti saat anak perempuannya yang sudah berada di meja makan, pukul setengah tujuh pagi, dan masih memakai kaus santai. Bu Miranti semakin keheranan, saat mendapati koper berukuran sedang, tergeletak manis di samping anaknya. "Ca, Mama tanya, mau ke mana? Mau keluar kota? Ke mana?" cecar Bu Miranti tak sabar. Wanita paruh baya itu menarik kursi makan, persis di samping Ica."Annisa!" "Eh, iya Mama Sayang. Ica mau ke Amerika," jawabnya santai sambil terus mengunyah mi goreng buatan bibik. Mata Bu Miranti membulat sempurna."Amerika? Mau ngapain? Kerja? Kok dadakan?" cecar Bu Miranti dengan sangat kaget. Amerika? Dia saja belum pernah ke sana. "Mau cari jodoh, Ma. Boleh'kan?" senyum Ica melebar. Bu Miranti tak mampu menjawab jika itu alasannya, karena dia sendiri memang menginginkan anak perempuannya segera menikah."Memangnya Made in Indonesia sudah tidak ada?" Ica tergelak mendengar pertanyaan dari mamanya. Wanita itu menggeleng kuat, lal
Selamat membaca.Kamal tidak tahu harus bicara apa pada Ali;kakak dari Ica. Lelaki itu terus saja bercerita tentang kisah adiknya, yang selama beberapa tahun ini gonta-ganti dijodohkan dengan lelaki pilihan mama dan papanya, tetapi tak kunjung ada yang cocok.Berkali-kali wanita itu mencoba, tetapi tak juga menemuka pria yang bisa membuatnya berdebar sekaligus tertawa. Rata-rata, lelaki yang dijodohkan dengannya karena memandang status kedokteran yang dimiliki sang papa dan juga gelar hukum yang dimiliki Ica. Tak pernah ada lelaki yang benar-benar menerima Ica apa adanya, sejak ia menyandang status janda.Ada yang orang tuanya tidak setuju. Ada yang lelakinya yang gak asik. Ada juga lelaki yang matre, dan masih banyak tipe lelaki lainnya yang tak berhasil mendekati Ica. Betapa pun orang tua mengusahakannya, tetapi tetap saja Ica menjomblo di usia 26 enam menjelang dua puluh tujuh tahun.Kamal merasa sedih mendengar nasib yang dialami oleh Ica. Bagaimanapun sebenarnya wanita itu adalah
4 Tahun Kemudian.Los Angeles adalah kota terpadat di negara bagian California, dan kota kedua terpadat di Amerika Serikat setelah New York City, dan terletak di Calofornia selatan. Kota ini merupakan titik utama wilayah statistik metropolitan Los Angeles-Long Beach-Santa Ana, dan wilayah Los Angeles raya.Dijuluki City of Angels, Los Angeles adalah pusat dunia bisnis, perdagangan internasional, hiburan, budaya, media, mode, ilmu pengetahuan, olah raga, teknonologi dan pendidikan terdepan.Silicon Valley merupakan kawasan yang dipenuhi kantor perusahaan yang bergerak di bidang internet, digital, dan sejenisnya. Artherton terbilang sangat dekat dari kantor pusat Facebook.Jangan heran kalau kawasan Artherton menjadi wilayah favorit para petinggi Apple, Yahoo, Google, Hewlett-Packard, dan lainnya. Mereka tak perlu berkendara jauh untuk mencapai kantor. Untuk itulah Artherton menjadi kawasan dengan kode pos termahal di Amerika Serikat.Satu hal yang paling mengejutkan seorang Kamal di aw
Kamal, Bu Rani, dan Om Herman sudah berada di dalam mal. Mereka tengah memilih cincin cantik untuk diberikan pada Ica sore ini. Banyak pilihan cantik-cantik hingga membingungkan Kamal dan ibunya. Om Herman sampai menggeleng-gelengkan kepala memperhatikan Kamal dan ibunya yang kebingungan memilih aneka cincin."Semua bagus, Yang," puji Bu Rani menatap takjub etalase berisi emas."Pilih cincin juga buat Ibu," ucap Om Herman lagi sambil merangkul pundak calon istrinya. Kamal hanya bisa memutar bola mata malasnya melihat kedekatan sang ibu dengan lelaki tua yang bernama Herman. Canda-tawa dari sepasang calon pengantin uzur membuat dirinya jengah. Kamal memilih menjauh, sambil melihat-lihat etalase yang lain."Om, kalau melamar itu harus bawa cincin emangnya?" tanya Kamal pada Om Herman. Semua yang ada di sana termasuk tiga orang pelayan toko ikut menertawakan pertanyaan Kamal."Iya, Mal. Namanya juga melamar wanita, ya kudu bawa cincin. Masa bawa kentut doang," sahut Om Herman sambil terg
Kamal sadar dari pingsan, setelah dioleskan minyak kayu putih di hidungnya oleh Bu Rani. Beberapa kali mengerjapkan mata, mencoba untuk memulihkan kesadaran sepenuhnya. Samar Kamal melihat wajah khawatir sang ibu dan seorang pria yang baru saja mengatakan hal yang paling mengerikan dalam hidupnya. Dia saja belum ada yang mau. Padahal gagah, tampan, soleh, dan baik. Namun, kenapa yang lebih dahulu laris adalah para lelaki dan wanita berbau tanah?Sekali lagi Kamal menoleh pada ibu dan adik almarhum ayahnya. Lalu dengan sedikit merasakan nyeri di kepalanya, Kamal mencoba duduk. "Bu, anaknya pingsan jangan cuma dilihatin aja. Bagi minum, Bu," rengek Kamal dengan leher yang terasa begitu kering."Eh, iya. Gue ampe lupa, Mal. Habisnya, itu gue daritadi merhatiin hidung lu, agak kotor, Mal. Dibersihinlah!" ujar Bu Rani sambil berjalan menuju dapur. Kamal hanya bisa menyeringai sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sesaat kemudian, ia menoleh pada lelaki yang bernama Herman. Lalu deng
Kamal mengendarai motornya pelan masuk ke gang demi gang untuk menjajakan produk panci milik CV tempat ia bekerja saat ini. Penat, lelah, dan pegal pipi karena terus saja berbicara saat melakukan promosi sama sekali tidak membuatnya patah semangat atau mengeluh.Ditolak, sering. Diabaikan apalagi. Namun ia tetap berusaha. Tak pantas rasanya mengeluh, saat kita masih melihat ada orang yang berada di pinggir jalan dalam keadaan fisik tidak sempurna, sedangkan kita masih kuat dengan keadaan tubuh sempurna untuk mencari rejeki.Berangkat pagi pulang petang demi mendapatkan upah lima puluh ribu per hari dari kantor. Jika panci ada yang laku terjual, maka ia akan mendapatkan bonus seratus ribu per panci yang laku. Untuk gaji bulanan masih sangat kecil. Hanya satu juta saja, maka dari itu ia harus berusaha agar panci yang ia jajakan ada yang membeli.Seperti siang ini. Belum ada sama sekali kumpulan ibu-ibu yang membeli pancinya. Setiap sudut gang tikus dan masuk ke jalan buntu sudah ia lak