Kamal, Bu Rani, dan Om Herman sudah berada di dalam mal. Mereka tengah memilih cincin cantik untuk diberikan pada Ica sore ini. Banyak pilihan cantik-cantik hingga membingungkan Kamal dan ibunya. Om Herman sampai menggeleng-gelengkan kepala memperhatikan Kamal dan ibunya yang kebingungan memilih aneka cincin."Semua bagus, Yang," puji Bu Rani menatap takjub etalase berisi emas."Pilih cincin juga buat Ibu," ucap Om Herman lagi sambil merangkul pundak calon istrinya. Kamal hanya bisa memutar bola mata malasnya melihat kedekatan sang ibu dengan lelaki tua yang bernama Herman. Canda-tawa dari sepasang calon pengantin uzur membuat dirinya jengah. Kamal memilih menjauh, sambil melihat-lihat etalase yang lain."Om, kalau melamar itu harus bawa cincin emangnya?" tanya Kamal pada Om Herman. Semua yang ada di sana termasuk tiga orang pelayan toko ikut menertawakan pertanyaan Kamal."Iya, Mal. Namanya juga melamar wanita, ya kudu bawa cincin. Masa bawa kentut doang," sahut Om Herman sambil terg
4 Tahun Kemudian.Los Angeles adalah kota terpadat di negara bagian California, dan kota kedua terpadat di Amerika Serikat setelah New York City, dan terletak di Calofornia selatan. Kota ini merupakan titik utama wilayah statistik metropolitan Los Angeles-Long Beach-Santa Ana, dan wilayah Los Angeles raya.Dijuluki City of Angels, Los Angeles adalah pusat dunia bisnis, perdagangan internasional, hiburan, budaya, media, mode, ilmu pengetahuan, olah raga, teknonologi dan pendidikan terdepan.Silicon Valley merupakan kawasan yang dipenuhi kantor perusahaan yang bergerak di bidang internet, digital, dan sejenisnya. Artherton terbilang sangat dekat dari kantor pusat Facebook.Jangan heran kalau kawasan Artherton menjadi wilayah favorit para petinggi Apple, Yahoo, Google, Hewlett-Packard, dan lainnya. Mereka tak perlu berkendara jauh untuk mencapai kantor. Untuk itulah Artherton menjadi kawasan dengan kode pos termahal di Amerika Serikat.Satu hal yang paling mengejutkan seorang Kamal di aw
Selamat membaca.Kamal tidak tahu harus bicara apa pada Ali;kakak dari Ica. Lelaki itu terus saja bercerita tentang kisah adiknya, yang selama beberapa tahun ini gonta-ganti dijodohkan dengan lelaki pilihan mama dan papanya, tetapi tak kunjung ada yang cocok.Berkali-kali wanita itu mencoba, tetapi tak juga menemuka pria yang bisa membuatnya berdebar sekaligus tertawa. Rata-rata, lelaki yang dijodohkan dengannya karena memandang status kedokteran yang dimiliki sang papa dan juga gelar hukum yang dimiliki Ica. Tak pernah ada lelaki yang benar-benar menerima Ica apa adanya, sejak ia menyandang status janda.Ada yang orang tuanya tidak setuju. Ada yang lelakinya yang gak asik. Ada juga lelaki yang matre, dan masih banyak tipe lelaki lainnya yang tak berhasil mendekati Ica. Betapa pun orang tua mengusahakannya, tetapi tetap saja Ica menjomblo di usia 26 enam menjelang dua puluh tujuh tahun.Kamal merasa sedih mendengar nasib yang dialami oleh Ica. Bagaimanapun sebenarnya wanita itu adalah
"Ica, kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Bu Miranti saat anak perempuannya yang sudah berada di meja makan, pukul setengah tujuh pagi, dan masih memakai kaus santai. Bu Miranti semakin keheranan, saat mendapati koper berukuran sedang, tergeletak manis di samping anaknya. "Ca, Mama tanya, mau ke mana? Mau keluar kota? Ke mana?" cecar Bu Miranti tak sabar. Wanita paruh baya itu menarik kursi makan, persis di samping Ica."Annisa!" "Eh, iya Mama Sayang. Ica mau ke Amerika," jawabnya santai sambil terus mengunyah mi goreng buatan bibik. Mata Bu Miranti membulat sempurna."Amerika? Mau ngapain? Kerja? Kok dadakan?" cecar Bu Miranti dengan sangat kaget. Amerika? Dia saja belum pernah ke sana. "Mau cari jodoh, Ma. Boleh'kan?" senyum Ica melebar. Bu Miranti tak mampu menjawab jika itu alasannya, karena dia sendiri memang menginginkan anak perempuannya segera menikah."Memangnya Made in Indonesia sudah tidak ada?" Ica tergelak mendengar pertanyaan dari mamanya. Wanita itu menggeleng kuat, lal
Bu, sebenarnya Mas Alex itu kerjanya apa sih? Masa udah dua minggu kita di sini, belum ketemu orangnya. Saya aja gak kenal mukanya, kalau gak lihat di foto pernikahan di depan." Kamal bertanya pada ibunya yang sedang memasak di dapur."Gak tahu Ibu juga. Waktu itu, cuma ditelepon suruh menemin istrinya di sini. Dah, kita gak usah ikut campur. Kamu gak berangkat cari kerja?"Uek!Uek!"Ya Allah, kasihan ya. Masih mual-mual aja Neng Ica." Bu Rani; ibu dari Kamal berjalan dengan tergopoh, menghampiri Ica di kamar mandi belakang."Buatin Teh, Mal!" teriak Bu Rani pada Kamal. Lelaki itu pun menurut, dengan sigap membuatkan teh untuk kakak iparnya yang masih saja mual dan muntah, padahal kehamilannya memasuki usia tujuh bulan.Kamal berjalan ke arah ruang tengah, lalu meletakkan secangkir teh di atas meja. Kakak iparnya itu memejam mata, sambil menikmati pijatan dari Bu Rani, di leher belakangnya. Ada air bening di sudut matanya, dan itu membuat Kamal menjadi iba.Wanita yang sedang hamil,
"Toloong! Toloong!" teriak Kamal saat mendapati Ica tergeletak pingsan di atas pangkuannya. Kamal tak tahu harus berbuat apa dan bagaiamana, sehingga ia terus saja berteriak minta tolong."Pak, tolooong saudara saya, Pak," ujar Kamal ketakutan saat mendapati seorang lelaki setengah baya berseragam, yang menghentikan motornya di dekat Kamal berada saat ini."Ini kenapa Dek istrinya?""Ini kakak saya ,Pak. Katanya sakit perut, tiba-tiba pingsan." Entah dari mana keberanian Kamal, tetapi telapak tangannya terus saja mengusap pipi Ica sedikit kasar, agar wanita itu segera sadar."Ayo, kita bawa saja ke rumah sakit." Pria berseragam kepolisian itu memberhentikan sebuah mobil sedan yang tengah melintas. Ica dibawa ke rumah sakit bersama Kamal, sedangkan motor Ica, ia titipkan di sebuah warung makan. Entahlah, ia percaya saja, karena saat ini nyawa Ica dan bayinya lebih penting.Sesampainya di ruang IGD rumah sakit, dokter yang tengah berjaga menanyakan kronologi kejadian yang dialami Ica. K
"Ya ampun, Ca. Suami pulang bukannya disambut senyuman. Malah tiduran di sini. Ada-ada saja kamu!" Alex melemparkan jaket dan juga tasnya ke atas ranjang, tepat di samping Ica yang sedang berbaring lemas."Maaf, Mas. Tapi aku di sini juga karena kamu," balas Ica dengan suara lemah."Sama siapa kamu di apartemen?" tanya Ica dengan suara pelan. Ia tak ingin mertua dan iparnya mendengar pertengkarannya."Bosku.""Jangan bohong, Mas. Aku tahu kamu selingkuh," balas Ica tak mau kalah. Alex mencibir dan menatap istrinya begitu tak suka dan menjijikkan."Trus, kalau aku selingkuh kamu mau apa? Huh? Mau apa?!""Aw ... sakit, Mas," rintih Ica saat Alex dengan sengaja menarik paksa salah satu jari kaki Ica hingga mengeluarkan bunyi 'krek'"Aku gak suka wanita manja gak jelas seperti kamu! Tahu itu?" Alex membuka baju dan juga celananya. Gagal mamadu kasih dengan pacarnya kemarin, yang tiba-tiba saja datang bulan, membuat miliknya harus benar-benar menahan sakit di bawah sana. Untuk itulah ia pu
Bau obat-obatan dan disinfektan sungguh menyengat. Ica membuka pelan matanya dan merasa sangat silau dengan cahaya lampu yang terlalu terang. Tangannya yang tertancap jarum infus naik perlahan mengusap kening yang terasa berat."Alhamdulillah, lu udah sadar," suara lelaki di di sampingnya terdengar lega. Ica menoleh dan mendapati adik iparnya tengah duduk di kursi samping brangkarnya."Aku di mana, Mal?" tanya Ica lirih."Di rumah sakit," jawab Kamal singkat. Jantungnya lebih cepat berdetak dari biasanya. Entahlah, seakan dirinya yang kini harus bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami Ica. Padahal ada suami yang masih sehat dan banyak uang. Hanya saja memang tampak tidak mempunyai otak dalam memperlakukan istrinya."Mal, di mana Mas Alex?" Ica masih belum sadar, jika saat ini perutnya sudah rata."Mmm ... pergi beli obat," jawab Kamal berbohong. Kakak satu ayahnya itu tadi mengatakan ada meeting yang tak bisa ditinggal."Memangnya di apotik rumah sakit tidak ada?" tanya wanita i