"Mau jodohin dengan siapa?" tanya datar Fariz.
"Itu anaknya sahabat Mami yang pintar banget, dia gadis pesantren," ucap Mami Reva juga menjelaskan tentang kuliah Salma tanpa menyinggung masalah gay. "Gadis pesantren? Dapat dari pabrik mana?" Fariz sangat kaget mendengar yang dijodohkan tersebut seorang santri. "Kok pabrik? Maksud kamu apa?" tanya Mami Reva merasa bingung. Kedua orang tua Fariz tidak melihat wajah marah dari Fariz setelah berkata demikian. Namun, mereka juga tidak paham dengan pertanyaan putranya. Kedua orang tuanya saling berpandang dengan kebingungan. "Pabrik ya pabrik, Papa kan pengusaha, pasti sahabatnya juga yang sefrekuensi, Papa sering ke luar kota, ke luar negeri untuk kerja sama dengan pabrik 'kan?" tanya Fariz. "Aduh, ya nggak semua sefrekuensi dong, dia putri orang kaya, tapi bidang pertanian," ucap Papi Vero dengan menepuk jidatnya. "Coba lihat foto gadis itu!" pinta Fariz. "Ini fotonya, dia cantik 'kan? Masih muda sekali. Harus nikah syarat kuliah," ucap Mami Reva seraya menunjukkan foto Salma di layar ponsel. "Oh, cantik, Fariz setuju," jawab Fariz dengan santai. Sikap Fariz saat itu memang berbeda dalam menerima perjodohan. Dulu, orang tuanya juga pernah mau menjodohkan. Namun, Fariz marah besar. Itu baru beberapa detik langsung menyetujui, membuat orang tua Fariz bersorak gembira. 'Hahaha, nikah dengan bocah itu? Yaa, itung-itung buat hiburan walaupun ngeselin dia asyik juga orangnya, kasihan kalau dia nggak boleh kuliah, secara dia memang terlihat aktif belajar, masalah cinta sih entahlah, apa ini saatnya aku benar-benar melupakan masa lalu? Clarissa, hhhhhh,' batin Fariz sembari keluar ruangan. *** "Salma," ucap laki-laki yang tiba-tiba berada di belakang Salma. Saat itu Salma sedang mengadakan bazar di lapangan dekat kantor Zarzo Mikamilny. Laki-laki yang memanggil Salma itu tidak lain adalah Fariz. Salma masih mengingat suara itu dan hanya menjawab tanpa membalikkan badan. "Iya," jawab singkat Salma. "Yang panggil itu di belakang kamu! Memangnya kamu tahu siapa?" tanya Fariz mengeraskan suara. "Saya tahu, yang jawab ada di depan Pak CEO," ucap Salma tetap tidak berbalik arah sambil menata barang-barang yang akan dijual. "Sal, kamu balik arah dulu, kesannya nggak sopan banget, CEO tahu Sal," bisik Freya, sahabatnya Salma. Fariz terlalu geram menunggu respon Salma. Kebetulan saat itu Freya dipanggil gurunya. Kini hanya ada Salma dan Fariz. "Heh, punya sopan sedikit nggak?" tanya Fariz yang telah melangkah ke depan Salma. "Pak CEO, mau ajak debat di sini? Aku punya banyak sih sopannya, cuma," ucap Salma terpenggal Fariz. "Udah-udah jangan ngomel, aku mau tanya, bagaimana dengan perjodohan kita? Kamu setuju?" tanya Fariz mencoba mendekat dan memelankan suara. 'Oh, tidak! Pak CEO sudah tahu hal itu,' batin Salma dengan jantung berdebar. "Biasa kali Pak ngomongnya, jangan deket-deket ah, dilarang keras!" ucap Salma menjauh. "Hhh, jangan kepedean kamu! Saya tanya serius!" ucap Fariz. "Sebenarnya Pak CEO itu benar gay?" tanya Salma. Fariz hanya tersenyum samar saat perempuan itu membahas gay. Ia selalu ketawa dalam hati. Namun, mereka belum paham bahwa yang menjadi sebab perjodohan mereka itu berawal dari candaan Fariz yang dianggap serius oleh salma sehingga muncul juga berita gay itu di kantornya. "Dalam kamusku, tidak ada pertanyaan dibalas pertanyaan! Bagaimana jawaban kamu atas perjodohan itu?" tanya Fariz penuh tekanan."Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus