Ardian duduk di salah satu sofa butik, tubuhnya sedikit bersandar, tangannya bersilang di dada. Wajahnya datar. Rautnya seakan mengatakan 'tolong cepetin dikit!'Di hadapannya, Erna—sekretaris yang biasanya cepat, tegas, dan seefisien spreadsheet Excel kali ini berubah total. Alih-alih segera membantu Ardian memilih, ia malah berdiri di depan rak sepatu, matanya berbinar seperti pelanggan pertama saat sale akhir tahun.“Menurut Bapak, lebih bagus yang ada pitanya atau yang polos gini?” tanyanya sambil mengangkat sepatu berpita, sementara yang polos sudah terpasang di kakinya.Ardian mengangkat bahu. "Saya nggak tahu," balasnya datar.Erna menahan helaan napas. Bosnya memang tipe manusia yang sulit sekali diajak bicara. Memang salah dia meminta pendapat kepada Ardian.Erna bergumam sangat pelan, “Kalau sepatu ini dipakai kencan sama Mas Dipta bagus nggak, ya?”Tapi telinga Ardian sangatlah tajam. Dengan jelas ia bisa menangkap gumaman wanita itu.“Erna.” Ardian menatap wanita itu denga
Ardian dan Alda sudah kembali ke rumah sejak kemarin. Ardian kembali tenggelam dalam urusan kantor, sementara Alda fokus menjalani perkuliahan. Meski begitu, pengawasan terhadap Alda diperketat. Dua pengawal berjaga bergantian, memantau dari jarak yang tak mencolok. Tetap dalam radar, tapi tidak mengganggu privasinya. Siang itu, Ardian tengah menelaah laporan keuangan ketika ponselnya bergetar. Reza menelepon.“Pak, ada informasi tambahan. Salah satu pemilik unit di lantai 16 memasang kamera pribadi di depan pintu yang menghadap ke lorong dekat tangga darurat. Dari rekaman, ada seseorang yang mencurigakan pada hari yang sama dengan kejadian pengiriman ular. Videonya sudah saya kirimkan ke Bapak.” Ardian langsung membuka file video yang dikirimkan Reza. Rekaman malam itu cukup gelap, tapi tetap terbaca. Dari tangga darurat, muncul sosok berpakaian gelap. Jaket tebal dengan hoodie menutupi kepala. Tubuhnya mungil, dan gerakannya cekatan. Nyaris tanpa suara. “Pelaku?” tanya Ardian, m
"Hantu!" "Tolong, ada hantu!" Ardian yang baru saja keluar dari kamar mandi usai mengambil air wudhu berjalan mendekati Alda yang kini bergerak tak karuan di atas ranjang. Sebelum ke kamar mandi tadi, ia sudah membangunkan gadis itu tetapi Alda yang pada dasarnya kebo sangat sulit dibangunkan. "Tolong, ada mbak kunti!" Ardian memijat pelipisnya pelan. Ia sudah menduga jika ini adalah dampak dari dirinya yang subuh tadi mengajak Alda menonton film horor. Istrinya itu jadi ketakutan hingga terbawa ke alam mimpi. "Alda, bangun." Ia akhirnya menggoyangkan lengan gadis itu pelan. "Ada hantu!" "Alda, udah adzan. Bangun," bisiknya lembut. Tak tega juga membangunkan gadis itu keras-keras. Apalagi dia sedang mimpi buruk. "Kuyang!" Akhirnya Alda bangun dari tidurnya. Wajahnya penuh dengan keringat. "Sampai keringetan gini." Ardian geleng kepala. Kini beralih mengelap wajah istrinya dengan tangan. Alda yang belum tersadar sepenuhnya beringsut mundur. Berteriak histeris ketika melihat
"Alda, ayo pulang." "Kak, ini masih subuh loh. Nanti aja pulangnya. Pas udah siangan dikit." Alda geleng-geleng kepala. Sejak Aksa datang, sejak itu pula suaminya tak henti membujuknya untuk pulang. "Saya udah nggak betah di sini. Ayo pulang." Ardian betulan frustasi. Saking frustasinya, ia sampai berguling-guling di atas ranjang. "Iya, nanti kita pulang. Tapi, bukan sekarang. Ini masih subuh. Adzan aja masih lama." "Daripada Kakak ngerengek minta pulang kayak anak kecil, mending cerita dulu. Kakak sebenarnya ada masalah apa sama kak Aksa? Kok jadi sensi gitu tiap liat dia?" Ardian menghela. Kini beralih menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Alda yang sudah siap mendengar ceritanya ikut menegakkan badan. "Nanti aja ceritanya. Saya lagi nggak mood bahas Aksa." Alda berdecak. "Kirain mau cerita!" kesalnya. "Padahal, aku udah nungguin." Ardian terkikik geli. Terlebih saat wajah Alda tertekuk masam. "Tapi, tunggu!" Alda tiba-tiba mendekat. Menatap wajah Ardian de
"Loh, kok diem sih?" Erlin yang masih menanti jawaban menatap putra dan menantunya bergantian. Namun, alih-alih menyahut keduanya malah pura-pura sibuk dengan makanan masing-masing."Mungkin belum rejekinya mereka, Bun. Kita harus sabar." Erfan yang melihat kecanggungan itu akhirnya menepuk pelan bahu sang istri.Erlin menghela. Namun tak urung kepalanya mengangguk lesu. Setelahnya ia kembali melanjutkan makannya yang tertunda. Percakapan pun ikut berakhir hingga makan malam selesai."Kakak duluan aja, aku mau ambil air minum dulu." Begitu kata Alda ketika Ardian hendak menggandeng tangannya."Yaudah, saya tungguin." Bukannya menurut, Ardian malah duduk kembali di kursi pantry. Semua orang sudah pergi duluan ke ruang keluarga.Alda memutar bola mata. Sebelumnya, Ardian tidak pernah seperti ini. Sikap suaminya itu mendadak berubah sejak Aksa tiba di rumah ini."Kakak kenapa, sih?" Gadis itu mendekat. Menarik kursi di sisi Ardian usai menuangkan air minum ke dalam gelas. "Aku perhatika
"Aksa!"Seketika pemuda itu berbalik dan tersenyum hangat pada sang bunda. "Jadi, ini---" Kalimat Alda tak jadi rampung. Ia yang semula hendak bertanya pada Ardian terpaksa mengurungkan tanya itu ketika Ardian sudah lebih dulu meninggalkan mereka. "Kenapa nggak kabarin kita kalau kamu mau pulang? Tau gitu kan, bunda bisa suruh supir buat jemput." Erlin mengusap sudut matanya yang berair. Sungguh, ia sangat merindukan putranya ini. Terlebih Aksa sudah berada di Jerman selama kurang lebih tujuh tahun dan baru pulang ke Indonesia sekarang. "Kalau dikabarin dulu kan nggak surprise namanya, Bun." "Kamu udah lupa ya sama bunda? Betah banget di Jerman. Bertahun-tahun nggak mau pulang!" Haru sekaligus kesal, wanita itu menggampar lengan putranya. Aksa tersenyum kecil. Koper miliknya kini diserahkan kepada salah seorang pelayan. Sementara Alda yang sejak tadi menjadi penonton adegan itu hingga saat ini masih berdiri mematung di depan pintu. "Oh iya. Aksa, ini Alda. Istrinya Ardian." Ga