“Kak, dress yang mana yang bagus?” Alda mengangkat tiga dress sekaligus yang merupakan pemberian Ardian. “Semuanya bagus, apapun yang kamu pake pasti cantik.” Alda mencebik. Pada akhirnya, ia memilih dress yang senada dengan warna kemeja Ardian. “Jangan dandan cantik-cantik. Nanti, Aksa batal lagi lamarannya.” Ya, hari ini adalah hari di mana Aksa akan melamar Nada. Alda memutar bola mata. “Mulai deh, mulai!” Tak butuh sepuluh menit, akhirnya Alda keluar dari kamar mandi. Ia lantas menghampiri Ardian dan menggandeng tangannya. “Ayo pergi. Kita kan harusnya berangkat bersama rombongan dari rumah ayah sama bunda.” Pemuda itu mendelik. “Kenapa sih harus makeup segala?” Lagi-lagi, Alda memutar bola mata. “Ini acara lamaran, Kak. Emang Kakak mau liat istri Kakak kayak gembel di sana tanpa riasan apapun? Lagian, make up aku natural kok. Nggak tebel sampai lima senti juga.” Ardian berdecak. Namun tak urung membukakan Alda pintu mobil. “Padahal, tanpa makeup juga udah cantik.
“Besok kalian berdua diminta datang untuk memberikan keterangan.” Meira menatap Ardian dan Alda bergantian. Ekspresinya tenang tapi penuh keseriusan. Ia menghela napas pelan. “Seperti prediksi, Ridwan menggandeng salah satu pengacara ternama. Mungkin aja di pengadilan nanti mereka memutarbalikkan fakta.” Gadis itu membolak-balik tumpukan dokumen yang terbuka di pangkuannya. Saat ini, ia sedang berada di ruang tamu rumah Ardian dan Alda. Bersamanya hadir pula seorang pengacara senior yang tampak berwibawa. Pengacara yang sengaja ia datangkan untuk memperbesar peluang mereka menang di pengadilan nanti. “Terus, gimana caranya supaya kita bisa menang di pengadilan?” Alda menatap Meira lamat-lamat. Suaranya terdengar cemas.Ardian ikut menanggapi. “Ridwan orang yang licik. Kamu yakin semua bukti yang kita punya udah cukup buat ngelawan dia?”Meira menatap keduanya dalam-dalam, lalu mengangguk mantap. “Iya. Ridwan memang licik. Dia pasti bakal cari celah semaksimal mungkin di pengadil
“Bagaimana menurut Kakak soal permintaan ayah?” Ardian menghela. “Sebenarnya, aku lebih senang kerja di resto.” Ia tatap Alda yang balas menatapnya. “Gimana pendapat kamu?” Alda tersenyum. Mengusap lembut rambut Ardian. “Dalam hal ini, semua keputusan ada di tangan Kakak. Apapun itu aku pasti dukung.” “Starry Land butuh Kakak. Kalau Kakak mutusin buat kembali ke perusahaan maka itu pilihan yang bagus. Tapi, kalau Kakak milih tetap bertahan di resto, itu juga bukan pilihan yang buruk. Jadi, apapun keputusannya, aku yakin Kakak pasti udah pertimbangin semuanya dengan baik.” “Yaudah lah, nanti aku pikir-pikir lagi,” ujar Ardian akhirnya. Alda menghela. Ia beralih ke topik lain. “Ngomong-ngomong, Meira tadi kirim pesan. Katanya dia mau bawa kasus Mr. X ke pengadilan. Aku udah bilang kalo sebenarnya nggak perlu sampai segitunya karena kita juga nggak punya banyak uang untuk sewa pengacara. Tapi ternyata dia udah siapin semuanya. Mungkin lusa kita disuruh datang untuk kasih ketera
“Aksa mau minta izin buat nikah.” Mata Ardian membola. Pikirannya sudah ke mana-mana. Terlebih mengingat Aksa begitu terobsesi kepada istrinya. "Jangan macam-macam--" Namun, sebelum kalimatnya rampung, Aksa yang langsung paham isi kepala pemuda itu lebih dulu menyela. "Dengerin dulu sampai gue selesai ngomong, jangan langsung lo potong." "Hus, kalian berdua ini kenapa sih? Nggak bisa banget akur dikit!" Teguran langsung dari Erlin membuat Ardian yang hendak adu bacot spontan tutup mulut. Tapi tangannya sejak tadi masih memeluk bahu Alda posesif. "Siapa?" Akhirnya Erfan buka suara. Ia tatap putra sulungnya yang balas menatapnya. "Nada, Yah." Aksa menyahut. "Dia seorang dokter yang bekerja secara sukarela merawat korban gempa di Bogor." "Dadakan? Kapan kalian kenalan?" Ardian kembali menginterogasi. Matanya memicing curiga. "Sekitar dua bulan lalu," sahut Aksa tenang. Tapi, Ardian masih saja curiga. "Kesambet apa lo sampai tiba-tiba mau nikahin Nada?" Alda menyenggol l
“Saya senang sekali akhirnya semua klien penting Starry Land beralih ke Arthatama Company. Ternyata isu itu sangat membantu.” Seorang pria paru baya tampak mengangkat gelasnya yang berisi alkohol. “Mari kita bersulam.” Lalu seorang pria yang terlihat lebih tua darinya ikut mengangkat gelasnya. Mereka benar-benar bersulam untuk prestasi besar ini. Bahkan hingar bingar di club malam itu bersatu dengan tawa mereka. “Anda memang hebat, Mr. Hans. Saya tidak menyangka Starry Land akan hancur hanya dengan sekali petik jari. Kemarin saya dapat berita, rupanya Starry Land rugi puluhan milyar.” “Ah, Anda juga hebat, Pak Vito. Saya sangat senang dengan keberhasilan Citramaya Media yang mampu meyakinkan khalayak untuk menyerang keluarga Adiwijaya. Sesuai janji, saya akan mengalokasikan dana untuk perusahaan Anda.” Hans Arthatama merupakan Direktur Arthatama Company, pria paruh baya itu tersenyum lebar. “Saya pun sangat puas dengan kekacauan yang disebarkan putra Anda. Saya akui, Ridwan sangat
Alda menyandarkan tubuh di pembatas balkon, membiarkan angin malam menyapu rambutnya yang tergerai. Saat ini, ia dan Ardian masih tinggal di kediaman keluarga Adiwijaya.Gadis itu menengadah, menatap langit yang kian pekat. Cahaya bulan tampak sayup, nyaris tenggelam di balik awan. Ia mengusap kedua tangannya, mencoba mengusir dingin yang perlahan merayap ke kulit.Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Namun pikirannya yang kacau justru membuatnya betah berlama-lama di sini.Ia menghela napas panjang. Perlahan, pikiran tentang Aksa kembali menyusup tanpa diundang. Bukan karena ia mulai goyah. Bukan pula karena hatinya berpaling. Tapi justru karena sikap pemuda itu dan obsesinya yang tak wajar.Alda tak bisa membohongi dirinya sendiri. Apa yang ditunjukkan Aksa selama ini membuatnya resah. Terlebih, ada kemungkinan besar pemuda itu punya keterkaitan dengan teror-teror yang menimpa dirinya dan sang suami selama ini. “Alda!” Alda menoleh. Aksa saat ini tengah berlari-lari kecil k