“Saya senang sekali akhirnya semua klien penting Starry Land beralih ke Arthatama Company. Ternyata isu itu sangat membantu.” Seorang pria paru baya tampak mengangkat gelasnya yang berisi alkohol. “Mari kita bersulam.” Lalu seorang pria yang terlihat lebih tua darinya ikut mengangkat gelasnya. Mereka benar-benar bersulam untuk prestasi besar ini. Bahkan hingar bingar di club malam itu bersatu dengan tawa mereka. “Anda memang hebat, Mr. Hans. Saya tidak menyangka Starry Land akan hancur hanya dengan sekali petik jari. Kemarin saya dapat berita, rupanya Starry Land rugi puluhan milyar.” “Ah, Anda juga hebat, Pak Vito. Saya sangat senang dengan keberhasilan Citramaya Media yang mampu meyakinkan khalayak untuk menyerang keluarga Adiwijaya. Sesuai janji, saya akan mengalokasikan dana untuk perusahaan Anda.” Hans Arthatama merupakan Direktur Arthatama Company, pria paruh baya itu tersenyum lebar. “Saya pun sangat puas dengan kekacauan yang disebarkan putra Anda. Saya akui, Ridwan sangat
Alda menyandarkan tubuh di pembatas balkon, membiarkan angin malam menyapu rambutnya yang tergerai. Saat ini, ia dan Ardian masih tinggal di kediaman keluarga Adiwijaya.Gadis itu menengadah, menatap langit yang kian pekat. Cahaya bulan tampak sayup, nyaris tenggelam di balik awan. Ia mengusap kedua tangannya, mencoba mengusir dingin yang perlahan merayap ke kulit.Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Namun pikirannya yang kacau justru membuatnya betah berlama-lama di sini.Ia menghela napas panjang. Perlahan, pikiran tentang Aksa kembali menyusup tanpa diundang. Bukan karena ia mulai goyah. Bukan pula karena hatinya berpaling. Tapi justru karena sikap pemuda itu dan obsesinya yang tak wajar.Alda tak bisa membohongi dirinya sendiri. Apa yang ditunjukkan Aksa selama ini membuatnya resah. Terlebih, ada kemungkinan besar pemuda itu punya keterkaitan dengan teror-teror yang menimpa dirinya dan sang suami selama ini. “Alda!” Alda menoleh. Aksa saat ini tengah berlari-lari kecil k
Dapur baru saja kembali bersih setelah berantakan akibat perang tepung antara Ardian dan Alda. Aksa dan Ardian yang sejak tadi membereskan kekacauan kini duduk senyap.Saat Ardian mencuci wadah terakhir bekas adonan brownies dan bersiap pergi, Aksa akhirnya bersuara.“Lo ketemu Alda pertama kali di mana?”“Rumah sakit.” Ardian menjawab malas, nadanya masih ketus. “Kalian kok bisa nikah?” tanya Aksa lagi. “Udah jodohnya,” sahut Ardian singkat. Aksa memutar bola mata. “Gue ketemu sama Alda pertama kali di pasar malam,” ungkapnya. “Nggak nanya!” “Soal Anna--” Ardian menoleh. Tatapannya masih setajam tadi. “Gue yakin dia masih hidup.” Aksa menghela panjang. Bincang-bincang itu akhirnya ia hentikan sampai di sana. Padahal, ada hal penting tentang Anna yang harus ia diskusikan. Tapi ego-lah yang jadi tembok paling tinggi di antara mereka berdua.🍃Ardian masuk ke kamar dengan langkah lunglai. Pandangannya kosong dan napasnya terdengar berat. Di atas ranjang, Alda terlihat ber
Alda meregangkan tubuhnya sambil menguap kecil. Tugas kuliahnya baru selesai. Sementara itu, Ardian duduk bersandar di sofa, jari-jarinya sibuk menggulir layar ponsel.“Kakak kan pintar masak, nih. Bisa bikin kue juga," katanya membuka obrolan. "Mau dong diajarin bikin brownies.”Ardian mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. “Ini masih di rumah ayah bunda, sayang. Nanti aja pas di rumah kita sendiri.” Alda mencibir. “Emang kenapa? Kakak takut aku berantakin dapur?” Ardian gelagapan. Mau bilang tidak tapi itu fakta. Mau bilang iya, takut si ibu negara mengamuk. “Nggak gitu, sayang." Ardian menarik napas panjang. Tatapan Alda berubah tajam. "Yaudah deh, ayo aku ajarin," ujarnya begitu pasrah. Ardian sudah keluar dari kamar bersama Alda yang mengekorinya dari belakang. Sepertinya acara membuat brownies-nya sebentar lagi akan dimulai. “Bahannya apa aja? Biar aku yang ambil.” Begitu tanya Alda saat mereka sudah tiba di dapur. “Margarin.” Alda mengangguk lalu mencari ba
Seorang gadis yang baru turun dari lamborghini veneno roadster mengundang beberapa pasang mata untuk terang-terangan menatapnya. Dengan gaya anggun melepas kaca mata, ia berjalan bak seorang model. Tujuannya adalah Perusahaan Citramaya Media. "Saya ingin membuat janji temu dengan bapak Dirgantara Ridwan Alessio. Kalau dia bertanya, bilang kalau Almeira Aishrabella yang ingin bertemu." "Maaf, Mbak. Tapi, beliau ada---" "Usahakan agar saya bisa bertemu dengannya!" titah Meira tegas. Tak lupa menyodorkan amplop ke arah wanita bermata sipit tersebut. "Baik, silakan menunggu di sana." Wanita itu mengarahkan Meira untuk menuju sebuah sofa besar khusus untuk menjamu tamu. "Saya tunggu," katanya sembari duduk dengan anggun. Butuh setidaknya 30 menit untuk Meira menunggu. Rasa kesal itu ia tahan mati-matian. Andai dirinya tidak ada keperluan dengan sosok yang tengah ditunggunya, tentu ia tidak akan mau buang-buang waktu menunggu seperti ini. "Setelah hampir tiga tahun, kamu baru m
"Gimana kabar kalian?" Begitu selalu sambutan Erlin tiap kali Ardian dan Alda berkunjung. "Baik selalu kok, Bun." Alda melemparkan senyuman usai menyalami tangan sang ibu mertua. Tak jauh beda dengan yang dilakukan Ardian. "Lama baru ke sini," sindir wanita itu terutama pada Ardian. Lalu ditanggapi pemuda itu dengan memutar bola mata. "Namanya juga lagi sibuk urus resto, Bun. Kayak nggak tau orang udah berumah tangga aja." Erlin memutar bola mata. "Mana nih kabar baiknya? Bunda sama ayah udah nunggu lama tau!" Ardian yang sudah paham ke mana arah pembahasan tanpa perlu dijelaskan langsung menyahut. "Masih proses. Tunggu sekitar dua tahun lagi." "Lama banget!" Erlin mencibir. Namun tak urung menarik tangan menantunya untuk duduk di sisinya. "Kamu bahagia nggak sama anak bunda yang nyebelin itu?" tanyanya sengaja menyindir Ardian. "Itu mah nggak usah ditanya lagi." Bukan Alda yang menjawab. Tapi Ardian. "Bunda bukan tanya sama kamu, ya!" Alda terkekeh pelan. "Bahagia